Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

WITD 19. KISAH SINGKAT

Dulu, ketika Yusril masih duduk di bangku SMA, ia pernah berjanji pada Mandala, kalau dirinya akan selalu ada ketika anak itu butuhkan. Akan selalu datang tepat waktu, tanpa harus dihubungi. Ia selalu maju paling depan saat Mandala dalam kesulitan, ia tak akan membiarkan siapa pun menyentuh adik kecil kesayangannya walau  seujung kuku pun.

Kini, memori lamanya seolah kembali berputar, ketika kaki jenjang itu mulai melewati pintu goa yang cukup besar. Membuat kedua matanya melebar sempurna saat melihat keluar dan tidak menemukan apa pun selain bangunan-bangunan  kuno, mirip seperti rumah tradisional yang ada di negara Asia sana.  Dekorasi klasik membuat kesan tersendiri bagi mereka yang melihatnya.

Yusril tersentak saat bahunya disentuh, ia hanya melirik, tak berniat untuk berbalik, tetapi saat mendengar suara yang begitu ia kenal, tubuhnya  seperti tersengat dan langsung memeluk sosok yang membuatnya hampir gila.

"Bagaimana bisa?" tanyanya pelan.

Ia sudah kesal setiap kali memandang wajah orang-orang yang begitu menyedihkan di depan matanya. Tidak untuk kali ini. Yusril justru mencoba menahan diri untuk tidak melakukan perlawanan, meski ingin.

"Lo ke mana aja Ril, gue khawatir," ucapnya pelan.

Yusril masih diam membisu. Tangannya seakan berat untuk membalas peluk erat yang hampir merenggut sebagian oksigen di dalam tubuhnya. Beruntung, Yusril cepat sadar dan langsung mendorong paksa orang yang kini sudah mengusap wajahnya lelah.

"Kenapa lo di sini? Bukannya lo udah mati?"

Orang itu menggeleng, lalu kembali mendekat dan meraih kedua tangan Yusril yang terlihat begitu menyedihkan. Penuh luka juga sedikit kasar.

"Apa yang lo lihat, apa yang lo rasain sekarang. Semua itu ilusi, Lo udah cukup lama di sini, ayo pulang," katanya pelan.

"Untuk apa? Bertemu gadis gila seperti Rubi?" katanya begitu dingin.

Yusril tidak mengerti setiap kali dirinya memejam, bisik kegelapan seakan tahu kalau hatinya tengah gelisah, bahkan kali ini pun sama. Ia sedang menenangkan diri untuk tidak kembali terpengaruh oleh apa pun, tetapi saat dirinya kembali mengingat tentang kenangan lama, seseorang yang tidak ia kenal muncul di hadapannya.

Katanya, jika hatimu dipenuhi oleh dendam, maka apa pun yang kamu lakukan di masa lalu akan berbalik pada dirimu. Ia lupa kapan terakhir kali menjadi pemuda ramah dengan semua orang. Bahkan untuk sekadar bertegur sapa pun rasanya malas, lalu kali ini kedua matanya benar-benar memandang orang yang jelas-jelas sudah tewas di dalam hutan.

"Yusril. Tolong kali ini dengar gue. Mandala udah mati, dia udah pergi bahkan jauh sebelum DEMANIA porak poranda," katanya pelan.

Kepalanya menunduk, tetapi kedua tangan dingin itu masih tetap memegang kedua tangan Yusril. Sementara pemuda itu hanya diam membuang muka. Sudah malas dan bosan, meski hatinya tengah bergejolak menahan amarah begitu besar.

"Mandala tewas di tangan orang yang buat DEMANIA seperti kota mati. Apa lo lupa?" lanjutnya.

Yusril masih tetap diam. Ia bahkan masih memasang wajah yang sama, tatapan yang sama dan bungkamnya sudah menandakan kalau dirinya tengah menahan amarah. Namun, pemuda itu masih tetap mendengarkan hingga, kalimat terakhir jelas membuat hati yang semula bergejolak pun akhirnya melampiaskan emosinya bertubi-tubi.

"Mandala akan pergi, bagaimana pun bentuknya."

Pedang panjang yang didapatnya dari dalam goa membuat Yusril terlihat seperti iblis, tatapan mata yang  tajam sampai alis pun ikut menyatu.

"Yang lo masuki ini bukan hanya sekadar kota hina, Ril. Ini dunia ilusi, di mana semua orang akan terlihat asli di mata lo."

"Gue nggak peduli, selagi Mandala masih belum ketemu, kota ini akan tetap hancur, kan?"

"Enggak! Kota ini nggak akan hancur sebelum lo mati."

Yusril terdiam. Akhirnya ia pun memandang wajah orang yang kini sudah tak berbentuk. Tak dikenali, bahkan tubuhnya sudah sangat mengerikan. Yusril menghela napas, tetapi tangannya ia tarik paksa karena tak rela di sentuh.

"Kenapa? Mau bertemu Mandala kan?"

Yusril menggeleng, perlahan langkahnya ia bawa mendekat hingga tak lagi ada jarak antara mereka.

"Dengar gue. Hutan ini penuh ilusi, apa pun bisa terjadi dan lo nggak bisa keluar dari sini begitu aja."

Yusril mengangkat sebelah alisnya, "Lalu?" tanyanya.

"Sadarkan diri lo dan buang semua pikiran jahat lo itu."

Yusril terkekeh, lalu memandang sosok di depannya dengan sinis.  "Begitu, ya?"

Kali ini sosok itu yang menggeleng, tubuhnya gelap, bahkan sempat mengeluarkan asap dan berakhir terbakar tepat di depan mata Yusril. Sampai pemuda itu tak tahu harus mengatakan apa selain berdecak kemudian berteriak saat ada seseorang yang berlari ke arahnya sambil menodongkan pedang panjang.

"Kamu lagi, kenapa masih belum mati juga?"

"Aku tidak akan mati sebelum mengambil separuh hati yang kamu miliki," katanya pelan.

"Untuk apa ? Membangkitkan semua manusia yang sudah menjadi tulang bahkan sudah bercampur dengan tanah ?"

Gadis itu tertawa sampai terduduk sambil memegangi perutnya. Bahkan, kedua mata sipitnya sudah berair karena terlalu banyak tertawa, tetapi masih belum mau memperlihatkan wajahnya di depan Yusril. Sampai membuat pemuda itu kesal dibuatnya. Hingga tak lama kemudian, terdengar suara ledakkan yang lagi-lagi membuat Yusril tersentak dan membuatnya hampir kehilangan nyawa.

Ia juga terkejut saat sebuah pedang sudah berada di sebelah lehernya. Matanya melirik tajam tak berarti dia akan langsung melawan, ia tak ingin kulitnya tergores jika salah mengambil langkah. Bisa-bisa nyawanya yang hilang dan tak akan bisa menemukan keberadaan Mandala.

Ia tak yakin, tetapi pisau kesayangannya yang sejak tadi menganggur pun akhirnya bisa ia gunakan untuk membuat sebuah gores panjang pada lengan gadis bermata sipit yang kini sudah merintih kesakitan.  Kedua matanya menatap tajam kearah Yusril yang kini sudah tersenyum miring memandang gadis di depannya.

"Apa itu sakit?" tanyanya tenang. Bahkan tak ada rasa kasihan di wajahnya.

Pemuda itu seakan puas telah membuat lukisan berwarna untuk kesekian kali. Seketika wajah tenang itu berubah, matanya pun memerah, kedua tangannya memegang erat dua benda tajam yang sudah berwarna merah sampai beberapa tetes cairan amis itu menetes ke tanah.

"Jangan katakan seberapa sakit luka ini, aku rasa kamu hanya perlu memikirkan jalan keluar dari hutan hina ini."

"Oh, ya?" Kata Yusril. Pemuda itu juga sudah berjongkok memandang wajah pucat gadis di depannya, sebelah tangannya terulur setelah menancapkan pedang panjang.

"Pemuda gila sepertimu harusnya sudah musnah dari dunia ini. Hidupmu, akan sia-sia dan apa yang kamu ingin tak akan bisa kamu dapat."

Yusril tertawa mendengarnya, bahkan pemuda itu sudah kembali menciptakan lukisan manis pada sebelah pipi gadis yang kini sudah tertawa memandang wajah Yusril.

"Aku yakin, kisah singkat ini akan berakhir sebentar lagi. Dan kamu, akan tahu siapa dirimu."

Tepat pada kalimat terakhir yang gadis itu katakan, tiba-tiba sebuah panah menancap pada pohon yang berada di belakang.  Ia melirik pada sekitar hutan, ia mendengar sebuah langkah kaki yang begitu keras dan bergemuruh hingga terlihat beberapa orang berseragam hitam berdiri  mengelilinginya.

"Kalian memang pandai menemukan mangsa rupanya."

Usai mengatakan pandangannya suara teriakan pun terdengar pedang yang dimiliki Yusril saling bersahutan untuk melawan. Dan semua yang Yusril hadapi berakhir menjadi jasad, di atas tanah basah karena berbarengan dengan hujan yang turun cukup deras.

"Tanganmu akan mengakhiri dirimu sendiri, Askara. Berhati-hatilah."

Yusril terdiam, saat bisik gila yang selalu menganggu kembali terdengar. Tak sadar kalau telapak tangannya terluka hingga darah segar mengalir sampai menetes, di balik pedang yang digenggamnya cukup erat.

"Sampai hari itu tiba, maka kamu yang akan menjadi jasad selanjutnya."

⚓⚓

Hallo, apa kabar, kembali lagi dengan Yusril. Semoga selalu sehat. Terima kasih sudah berkunjung setelah ini akan ada yang seru. Jangan lupa tinggalkan jejak supaya aku makin semangat ngetiknya.

Publish, 21 Oktober

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro