WITD 16. PETUNJUK BERDARAH
Hari itu, di Matriana. Yusril berbicara pada seorang gadis berkepang yang pernah mengajaknya berdansa di pinggir kota. Gadis manis dengan warna kulit mulus seputih susu. Memiliki bola mata yang begitu indah bila dipandang dari dekat. Gadis yang membuat Yusril sempat terpesona akan kecantikannya.
Namun, gadis itu seperti mawar, cantik dan berbahaya. Saat dirinya terlelap, hanya ingatan kecil yang melintas di sana. Ia kembali mengingat bagaimana mereka berdansa berdua sambil bercerita, memandang satu sama lain, mengikuti lantun musik yang mengiringi. Ia tidak banyak bicara, tetapi kedua matanya selalu menangkap setiap kali gadis itu bicara.
Tak ada keraguan, walau hatinya sedang bergejolak saat itu. Pikirannya penuh karena hanya nama Mandala yang ia ingat. Hanya Mandala yang membuatnya tak bisa tidur tenang. Dan ketika tatapan gadis itu menarik perhatiannya, Yusril kembali teringat pada sosok gadis cantik pemikat hatinya.
Kali ini semua gambar abu-abu di kepalanya tiba-tiba muncul begitu saja. Seketika dirinya dapat melihat kembali suasana kota kelahirannya yang pernah seindah kelopak bunga mawar. Tidak ada keributan atau saling menodongkan senjata satu sama lain. Kotanya sangat damai, semua penduduk hanya memikirkan diri mereka masing-masing, tak banyak yang memiliki hati selembut sutra. Biarpun demikian, DEMANIA tetaplah kota kenangan. Hanya sebagian yang mampu bertahan, sisanya memilih pergi ke manapun mereka mau.
"Bangun Askara, apa kamu tidak mau berdiri setelah mereka mencoba memukul adik kesayanganmu?"
Yusril menoleh, ia memutar tubuhnya beberapa kali sambil menatap sekeliling. Ia ingat tempatnya berdiri saat ini. Bahkan ia begitu kenal sampai hafal apa saja yang ada di sana. Yusril mencoba menenangkan diri, perlahan menarik napas untuk meyakinkan dirinya sekali lagi sebelum benar-benar memasuki sebuah toko antik yang berada tepat di depannya.
"Saya ingat tempat ini, saat itu Mandala pernah mengajak saya ke sini," ucapnya pelan.
"Benar, kamu akan melihatnya."
Yusril berusaha tidak mendengarkan setiap kali dirinya terdiam cukup lama, ia berusaha untuk tidak mengunakan emosinya terlalu banyak, tetapi bisik gila itu selalu muncul setiap kali hati dan pikirannya terus tertuju pada Mandala.
"Askara, apa kamu ingat tempat ini telah memberi kamu banyak noda."
"Diem lo! Siapa lo sebenarnya?"
Tawa itu menggema saat Yusril mulai terusik, bahkan pemuda itu sudah berjalan cepat ke semua ruangan yang ada di tempat itu. Tak ditemukannya seorang pun. Hanya embus angin yang lewat melalui celah pintu dan jendela toko. Berulang kali Yusril menoleh ke sana-kemari, tetapi hanya melodi jam yang menempel pada dinding terus berdentum mencuri pendengarannya.
"Kamu lupa atau bagaiman? Sudah jelas, aku adalah kamu, Askara."
"Nggak! Dia udah mati. Askara udah mati!"
"Haha... Benar, Askara sudah mati, karena itulah aku ada."
"Bangsat! Keluar kalau lo berani, bajingan! "
"Siapa yang kamu bilang bajingan, Askara? Dirimu sendiri?"
Yusril benci, ia muak dan sekali lagi ia tak mau membuang tenaga sebenarnya. Namun, kesunyian itu seakan semakin dalam dan merusak semua konsentrasinya. Ia hanya malas, tetapi bisik gila itu selalu menganggu ketenangan jiwanya.
Semua yang sudah ditahannya sejak tadi, sudah tak lagi bisa terbendung, ia pun mengambil sebuah samurai panjang yang tergantung pada sebuah dinding di sudut dekat pintu masuk toko tersebut. Sebelah tangannya yang lain ia biarkan begitu saja sampai akhirnya ia kembali mendengar suara lain dari arah lorong yang menghubungkan ruangan satu dengan ruangan lainnya.
Tanpa sadar kakinya melangkah dan berhenti di sebuah pintu berukuran besar berwarna hitam pekat. Kedua matanya menatap tajam tanpa berkedip, bajan sebelah tangannya yang lain terulur untuk menyentuh daun pintu di depannya. Dan ketika akan mendorong pintu itu, tiba-tiba saja pipi sebelah kanannya terkena pukulan hebat, sampai ia tak mampu menahan berat tubuhnya sendiri.
Terkejut, itulah yang Yusril rasakan, tetapi kedua mata tajamnya tak henti menatap orang yang kini sudah berdiri tak jauh dari tempatnya.
"Kamu pikir mudah untuk membukanya? Tidak Askara. Ingat, kedua orang tuamu juga adik lemah kesayanganmu itu hanya akan selamat jika kamu mau mengikuti perintahku."
Sudut bibir Yusril sudah berdarah juga sedikit sobek, tetapi genggam erat tangannya saat memegang samurai sudah tak bisa dikendalikan, begitu pun dengan tatapan matanya. Pemuda itu sangat kesal juga marah. Apalagi ketika sebuah lembaran kertas berukuran sedang di lemparkan ke udara dan berhamburan ke lantai, Yusril masih diam. Bahkan, saat dirinya tak sengaja menangkan salah satu dari kertas itu ada sketsa Mandala juga ratu paling cantik dalam hidupnya.
"Ibun," gumamnya pelan.
Rasanya sesak, saat dirinya meneguk ludahnya sendiri pun begitu sakit. Tak hanya sketsa ibunya, tetapi juga Mandala ada di sana. Sketsa yang sama saat mereka pergi ke sebuah pameran malam waktu itu.
"Bagaimana? Indah bukan?"
"Alvero."
Kedua mata pemuda itu menutup sebentar sebelum akhirnya kembali terbuka dan menatap remeh ke arah Yusril. Ia tersenyum bangga, lalu menodong Yusril dengan pedang yang sudah penuh dengan noda merah.
"Akhirnya, kita bertemu di sini. Bangun Askara. Temui aku," katanya.
Yusril masih diam, tetapi samurai yang ada di tangannya sudah bersandar manis di sebelah leher pemuda gila yang kini sudah tertawa begitu keras sampai Yusril tak tahan mendengarnya.
"Mau seberapa jauh pun kamu pergi, kamu akan tetap terjebak pada bayang abu-abu rendah yang hanya akan memperlihatkan harapan. Kamu pikir, saat ini kamu ada di mana? Arcania? Matriana? Atau ..." ucap Alvero, pemuda yang kini sudah begitu puas membuat Yusril kesal.
Pemuda itu sampai tersentak ketika perutnya mendapat tekanan keras dari Yusril. Ia sedikit menunduk memegang perutnya, tetapi tatapannya tak pernah berpaling dari wajah penuh amarah milk Yusril. Pemuda itu tertawa, sampai deretan gigi berwarna merah itu terlihat. Ada darah yang keluar dari dalam mulutnya saat pemuda itu hendak bicara.
"Aku belum selsai bicara, tapi kamu sudah memberi perlawan. Apa aku harus jelaskan, kalau kota itu tak pernah sekali pun memberi petunjuk, Askara," katanya. Dengan nada remeh pemuda itu kembali memperbaiki posisi berdirinya. Sambil mengusap mulutnya, pemuda itu pun kembali mendekat.
Keduanya saling beradu tatap saat tak ada lagi jarak di antara mereka. "Jangan pernah membuat aku kesal Askara."
Yusril masih belum memberi apa pun pada pemuda di depannya. Ia hanya memandang tanpa berkedip, tetapi sebelah tangan yang lain sudah siap untuk memberikan hadiah dengan pisau kesayangannya.
"Oh, ya?" balasnya singkat.
"Apa kamu pikir kamu sudah hebat?"
"Gue rasa gue nggak pernah menganggap gue hebat. "
"Cih! Mulut kotor," gerutu Alvero membuat Yusril tertawa.
Alvero yakin, kalau ucapannya sudah berhasil membuat Yusril terpancing. Namun, tiba-tiba kedua matanya melebar seiring dengan kepala yang menunduk menatap sebuah pisau telah menancap sempurna di perutnya. Tak lama, ia kembali mengangkat kepalanya sambil menatap tak percaya pada Yusril.
"Kenapa? Kurang?" tanya Yusril begitu ringan.
Tangannya sudah sangat pandai menari pada sebuah luka yang dibuatnya sendiri, bahkan dengan pelan ia tarik pisau kesayangannya, lalu kembali menambah tekanan sampai beberapa jarinya dapat masuk ke dalam perut itu.
"Iblis."
Alvero menatap Yusril begitu tajam, sambil memegang tangan Yusril dengan kedua tangannya. Pedang yang bahkan sempat dibawanya pun sudah terlepas. Sambil menahan perih, pemuda itu kembali menatap wajah menyeramkan Yusril sekali lagi sebelum akhirnya pemuda iru berlutut di depan Yusril, ketika pemuda itu menarik paksa pisaunya.
"Kak..."
Belum usai Yusril membuat Alvero tersiksa, pendengarannya kembali mendapat sinyal, tetapi saat dirinya menoleh ke belakang tak ada siapa pun kecuali tirai yang berhembus ditiup angin.
"Kak..."
"Jangan!"
Yusril terbangun, ia kembali menatap sekeliling, lalu kembali mengusap wajahnya kasar.
"Seperti sungguhan. Apa benar di hutan ini ada toko itu?"
Yusril kembali menggeleng, ia tak tahu sudah berapa lama dirinya pingsan, bahkan bayangan abu-abu yang ada di kepalanya seakan nyata. Tetapi saat dirinya kembali menatap sekitar, hanya ada pepohonan juga langit yang masih sama, gelap tanpa siapa pun di sana.
"Nadeva, sekarang gue tahu orang itu, dia ada di sini."
⚓⚓
Hallo, apa kabar? Semoga selalu sehat. Terima kasih sudah berkunjung. Gimana, udah kenalan sama Yusril belum?
Kenalan lagi kalau gitu, bentar cek pemirsa dulu deh 🤭🤭
Nah, see you di next chapter
Publish, 07 Oktober 2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro