WITD 15. MEMORIES
Dari ribuan bahkan jutaan manusia yang ada di muka bumi, mungkin GRATINDA adalah salah satu kota kematian paling berbahaya dari pada harus menghabisi satu musuh. Tak hanya penduduknya, tempat terlarang pun bisa menjadi ancaman paling berbahaya untuk mereka yang singgah.
Ketika malam tiba, semua penduduk kota seperti hilang, semua ada di rumah mereka masing-masing. Meski begitu, tak ada satu pun dari pemukiman yang menyalakan lampu, hanya beberapa toko itu pun akan mati dalam beberapa menit. Semua hal yang ada pada GRATINDA seolah mengingatkan Yusril pada DEMANIA. Kota kelahirannya yang sampai saat ini masih menjadi tanya besar di kepala Yusril akan kejadian malam itu.
"Kenapa diam? Takut?"
Mendengar suara Yusril,gadis itu tersentak, sebelah kakinya terpeleset membuatnya tak seimbang, bahkan ia hampir terjatuh jika tidak berpegangan pada batang pohon tepat di bawah kaki Yusril. Sementara pemuda itu sudah menyeringai puas saat memandang wajah gadis di bawah kakinya. Ia justru mengambil kesempatan ketika gadis itu mencoba untuk tetap bertahan meski tangannya sudah tidak sanggup. Tatapan mata Yusril juga sama sekali tidak melunak, padahal gadis itu sudah sangat kesakitan di bawah sana.
"Aku sudah bilang, kan. Jangan halangi perjalananku jika kamu masih mau bernapas."
Gadis itu mendongak, memandang wajah menyeramkan Yusril membuatnya tak gentar sedikit pun walau tahu, punggung tangannya sudah terluka karena pisau kesayangan pemuda itu sudah menancap beberapa kali.
"Aku tidak peduli, hutan dan seluruh kota GRATINDA adalah kotaku, siapa kamu berani memerintah?"
Dengan kesal gadis itu berusaha mengangkat pedangnya, tetapi dengan cepat pula Yusril menangkisnya menggunakan tangan kosong. Pemuda itu seakan tak peduli lagi dengan luka-luka pada tubuhnya. Yusril hanya ingin bertemu Mandala. Hidupnya hanya untuk Mandala, tak peduli seberapa besar rintangan yang harus dilaluinya.
"Kamu sendiri bukannya sudah mengenalku?"
"Cih! Kenal denganmu?"
Mendengar gerutu gadis itu Yusril pun tertawa. Ia pun menarik paksa pisaunya dari punggung tangan yang sudah terluka parah. Gadis itu memandang Yusril, lalu tertawa begitu keras, tak lama setelahnya tubuh gadis itu benar-benar menyentuh tanah. Melihat tubuh mungil gadis di bawah sana, kedua mata Yusril memandang dingin, ia pun melompat dari pohon satu ke pohon yang lain meninggalkan gadis menyebalkan yang sudah tak berdaya dibuatnya.
Yusril tahu, dirinya telah membuat dosa sekali lagi. Membunuh orang yang mungkin tidak bersalah, tetapi kepala juga hatinya tak pernah sejalan jika sudah menyangkut Mandala. Ia akan bertindak sesuka hati, menghabisi banyak nyawa, hingga akhirnya ia menyendiri seperti orang ketakutan. Bersembunyi di balik pohon besar sambil bersandar, menekuk kedua lututnya lalu menunduk membiarkan keringatnya turun begitu saja sampai ke tanah.
"Maaf, tapi rasanya begitu lelah Mandala. Kamu seperti angin, bahkan namamu tak terdengar di mana-mana."
Lirih suaranya sudah seperti orang bodoh, memaki diri sendiri pun selalu menjadi pelampiasan, Yusril sudah sangat putus asa, mencari Mandala. Ia sudah sangat lelah menjelajah kota, tapi masih belum menemukan petunjuk akan keberadaan Mandala. Sesekali ia mengingat kenangan manis bersama Mandala. Membuat adik kesayangannya menggerutu hingga menangis.
Yusril terkekeh, saat dirinya kembali mengangkat kepala, di tatapnya hutan GRATINDA yang gelap juga menakutkan. Tetapi, isi kepalanya kembali teringat pada gadis bermata sipit beberapa jam lalu, ia hampir menghabisinya, meski tahu siapa gadis itu. Tetap saja, hati dan pikirannya seakan tak sejalan.
"Kenapa diam di sana seperti orang bodoh, Askara? Apa kamu memikirkan gadis itu?"
Yusril menoleh mencari siapa pemilik suara yang selalu mengganggu kesunyiannya. Kakinya sudah tak sanggup untuk melangkah, tubuhnya seakan remuk usai bermain bersama pasukan berseragam. Ia hanya mampu menyandarkan punggung juga kepalanya pada batang pohon besar yang kini menjadi tempatnya beristirahat.
"Aku sudah katakan, hutan ini penuh rahasia, jika kamu kembali ke kota pun akan sia-sia."
Yusril kesal, kedua matanya ia pejamkan, tetapi kedua telinganya menangkap jelas suara gila setiap kali dirinya sendiri.
"Cih! Siapa lo berani nyuruh?"
Tawa terdengar saat Yusril berkomentar, sudah seperti teman malam,tetapi suara itu jauh lebih menyebalkan daripada mendengar celoteh Mandala. Mengingat namanya, Yusril kembali terdiam, ia biarkan embus angin menerpa wajah penuh luka itu.
"Aku sudah katakan, kalau aku akan melakukan apa pun sama sepertimu. Askara."
Yusril memalingkan wajah, tetapi sebelah tangannya sudah mengambil sebuah ranting yang hendak ia lempar ke sembarang arah. Tak tahu, siapa yang ada di balik semak-semak di sebelah kanannya. Ia lemparkan ranting pohon itu sekuat yang dia mampu. Sampai akhirnya terdengar suasa rintih entah dari mana asalnya. Mengingat kakinya sudah sangat lelah melangkah, Yusril pun menghela napas lalu berdiri sambil berpegangan pada pohon tempatnya istirahat. Kedua matanya tertuju pada salah satu pohon yang tidak begitu besar, ia beranikan diri meski rasanya begitu khawatir mengingat beberapa kali banyak manusia gila yang tiba-tiba menyerang.
"Ah!"
Lagi, suara itu kembali terdengar saat Yusril telah sampai. Ia menoleh ke segala arah, tak ada siapa pun, bahkan suara menyebalkan itu telah hilang entah ke mana.
"Siapa di sana?"
"Siapa pun, tolong aku."
Meski ragu, Yusril mencoba mencari sesuatu di sekitarnya, ia tak lagi pikirkan telapak tangannya yang terluka karena goresan pedang gadis gila sebelumnya. Yang Yusril tahu, saat ini dirinya harus melihat siapa orang di balik pohon itu. Dan sekali lagi, dengan penuh kejutan, sebuah panah berhasil melesat sampai menancap pada pohon, beruntung Yusril segera menghindar. Ia pun langsung menoleh memandang siapa yang hampir membuatnya mati sebelum menemukan Mandala.
Tetapi, saat dirinya menoleh, tak ada siapa pun kecuali suara aneh yang berasal dari semak-semak di depannya. Ia kembali melanjutkan langkah, sampai akhirnya menemukan seorang pemuda kurus yang tengah menahan sakit karena sebuah panah menancap pada punggungnya.
Pemuda itu menunduk, tetapi tangan kanannya terus memegangi bahu, membuat Yusril tak dapat melihat wajahnya dengan jelas selain suasana hutan yang begitu mengerikan, langit pun begitu gelap tanpa sinar bulan.
"Tolong," ucap pemuda itu.
Yusril tersentak ketika mendengar suaranya. Ia seperti mengenali suara itu,tetapi ragu untuk menyapa. Ia hanya bisa berdiri di balik punggung punggung pemuda itu. Walau ingin, tetap saja dirinya tak mau membuat hati kecilnya menjadi lemah.
Sudah dua kali hampir tertipu hanya karena suara juga wajah yang sama. Tidak untuk kali ini, dirinya berusaha abai ketika hatinya ingin menolong. Bahkan ia memilih berbalik dan kembali melangkah. Namun, belum sempat kakinya melangkah menjauh, sebuah tembakkan kembali terdengar di mana-mana. Kedua matanya melebar, ia bahkan memutar tubuh untuk mencari tahu siapa yang telah melesatkan peluru, tetapi otaknya berkerja jauh lebih cepat hanya untuk melihat keadaan pemuda yang kini sudah tergeletak dengan punggung terluka juga beberapa anak panah yang masih menancap di sana.
Bahkan, tak lagi ia pikirkan dirinya hanya untuk membantu pemuda yang kini sudah hampir mati karena kehabisan darah.saat Yusril membalik tubuh pemuda itu, kedua matanya kian melebar, kakinya yang semula tegak, kini berlutut memandang siapa yang telah dilihatnya.
"Va- nggak mungkin ini lo, kan?"
Gumamnya pelan, tangannya pun bergetar ketika menyentuh wajah pemuda itu. Tak hanya wajah, bahkan Yusril meraba dada pemuda itu perlahan hingga terhenti tepat pada telapak tangan yang sudah dingin. Dilihatnya kembali wajah pucat juga mata yang tertutup rapat, bahkan bibirnya pun sudah begitu biru.
"Va, kenapa?" tanyanya pelan. Ia sudah menunduk, kedua matanya memanas menahan marah.
Terlihat sosok yang begitu ia kenal kini sudah terbaring tak bernyawa di balik semak di dalam hutan GRATINDA.
"Siapa yang buat lo begini, Va?"
Lagi, hanya embus angin yang menyapa. Tak ada yang tahu kalau sebenarnya Nadeva mengikuti Yusril hingga ke kota GRATINDA. Melewati cermin saat di rumah pemuda itu. Nadeva tak sengaja berada di rumah itu, memastikan kalau Yusril baik-baik saja, tapi siapa sangka kalau pemuda itu sebenarnya diam-diam mengikuti hingga ingatan Yusril kembali pada malam ketika mereka bertengkar. Di sana Nadeva datang bersama Rubi, sosok gadis yang begitu Yusril hindari keberadaannya.
"Jadi mau gimana? Dia di dalam dan kamu diam di sini? Pikir Bi, Yusril sendiri, kalau kamu nggak mau, biar aku aja."
Perdebatan itu masih bisa Yusril dengar sebelumnya, tetapi tiba-tiba senyap ketika dirinya terjatuh begitu saja. Dan berakhir di kota mengerikan.
"Jadi, selama ini lo..."
Ucapannya tersendat, ketika merasa seseorang telah memukul lehernya.
"Aku sudah bilang, jangan masuk terlalu dalam."
⚓⚓
Hallo, bentar lagi ada perang seru nih. Gimana kabarnya? Terima kasih sudah berkunjung salam manis dari Yusril.
Bye bye
Jangan lupa tinggalkan jejak ya 💃💃💃
Publish, 04 Oktober 2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro