WITD 13. LEDAKKAN
Hutan GRATINDA. Siapa pun tak ada yang berani masuk ke dalam sana. Ada banyak cerita di dalam hutan itu. Ada banyak peristiwa mengerikan di sana. Kabar kematian Gubernur kota, selalu menjadi berita paling panas. Selain jasadnya yang hilang, tulang belulangnya pun tak ditemukan. Setahun lalu, kota itu sempat dikabarkan hilang, penduduknya dipastikan mati karena sebuah bom.
Namun, setahun setelahnya kota itu kembali bangkit, tetapi tak ada dari mereka yang memiliki hati. Gedung tinggi seperti bangunan musium selalu menjadi pusat perhatian, di dalamnya terdapat mini bar dan ballroom sebagai tempat berdansa para orang kaya berkumpul. Ada toko bunga, juga beberapa tempat paling pojok sebagai tempat berkumpulnya preman yang mabuk.
Setiap kali gadis-gadis melintas akan ada orang gila mabuk lalu melecehkannya, entah itu hanya dipegang bahu atau bisa lebih mengerikan lagi seperti jemput paksa, dan berakhir di dalam ruang penyiksaan. Semua memang sudah berlalu, tetapi jejak-jejak memori itu seakan menjadi pembicaraan yang tak lagi rahasia. Semua orang tahu kalau di kota mereka ada salah satu bangunan moderen dengan semua fasilitas elegan membuat siapa pun akan berdecak kagum.
Seperti Yusril yang tersesat saat ia melintasi sebuah lubang gelap, ketika dirinya berada di dalam bangunan tua di Matriana. Kota pesona satu itu masih memiliki jiwa waras dan bahasa yang baik. Tetapi, lirikan tajam membuat mereka akan kehilangan sebelah atau bahkan seluruh tubuhnya.
Yusril masih ingat saat dia berada di salah satu rumah penduduk, di sana ia sempat mengobrol dengan seorang pemuda penjual buah-buahan segar. Tatapan mata tajam juga aura mengerikan itu memang tidak bisa dihilangkan, beruntung pemuda itu peka, kalau tidak, mungkin akan ada noda-noda sebelum pembicaraan berakhir.
Matriana memiliki kesan tersendiri selain kota pesona penuh cinta, di sana tak lebih dari sekadar kota gelap. Sama seperti GRATINDA. Tempat yang saat ini sudah berhasil membuat Yusril mengambang dalam kebimbangan. Ia tersadar setelah hampir satu jam lebih terdampar di tengah hutan. Kedua matanya yang masih terasa berat ia paksakan terbuka lebar. Melihat bagaimana dirinya saat ia mengangkat sebelah tangan kirinya yang kini sudah berwarna merah berbau dan kering.
Ia menghela napas dengan kasar, sambil memegang kepala menggunakan tangan kanannya, Yusril kembali mengedarkan pandangan. Ia tidak begitu ingat saat terakhir kali sebelum dirinya ada di dalam hutan.
"Selamat datang di rumah abadi. Apa kamu ingin minum teh bersama?"
Yusril tersentak, ia menolehkan kepalanya dengan cepat. Memandang lurus sambil menyipitkan kedua matanya Yusril baru bisa menemukan seseorang yang berdiri mengenakan jubah hitam kebesaran juga penutup kepala begitu rapat.
"Siapa lo?" tanya Yusril. Ia juga berusaha bangkit walau kenyataannya tubuh itu masih lemah untuk diajak kerja sama.
"Saya adalah kamu. Bagaimana bisa kamu lupa?" balas sosok itu.
Jarak antara mereka yang cukup jauh, seakan dekat karena hutan itu benar-benar sepi.
"Gue? Apa masih ada nama Askara yang mengaku masih hidup?"
Sosok itu tersenyum tipis saat Yusril menyuarakan kekesalannya. Tak hanya jantungnya yang berdetak cepat. Otaknya pun sudah mendidih ketika melihat tatapan tajam dari balik topeng hitam itu.
"Kamu terlalu labil Askara, kamu masih saja sama seperti dulu, egois. Apa kamu tidak berpikir sedikit tentang Aksara?"
"Tahu apa lo tentang dia?"
Yusril sudah sangat kesal, kedua tangannya sudah terkepal padahal tenaganya sudah hampir habis, tetapi gejolak amarah selalu membuatnya hilang kendali. Tidak ia lupakan pisau kesayangannya, kini sudah ia genggam erat, siap untuk ia tancapkan dengan senang hati pada orang-orang yang membahas tentang Mandala di depannya.
"Aku tahu, karena aku sudah mengatakannya, bukan? Aku adalah kamu."
Yusril berdecih sambil memalingkan wajah juga mengusap hidungnya yang tak gatal. Lalu ia kembali memandang sosok gila masih berdiri di depan sana, bahkan jarak mereka pun kini sudah cukup dekat.
"Lo hanyalah iblis gila," gerutunya.
"Memang. Dan itu kamu," balasnya pelan.
Yusril meludah ke sembarang ia sedikit melirik ke bawah tepat pada sepatu hitam pekat yang dikenakannya. Tak lama, lalu kembali menatap tajam pada sosok di depan sana.
""Cih! Aku akan muncul setiap kali kamu memintanya hadir. Lalu, di mana kesalahanku?"
Yusril terkekeh, ia sedikit menunduk, tak hanya kepalanya yang terasa berat, lengannya pun terasa kebas, karena terlalu keras menekan luka yang masih cukup basah walau bekasnya sudah mengering. Tetapi, di sisi lain niat ingin menghabisi sudah bergemuruh di dadanya. Ia sudah sangat muak melihat senyum aneh itu.
Tak peduli rasa sakit pada tubuhnya. Yusril hanya ingin menghabisi sosok di depannya, tetapi belum juga melangkah terdengar suara peluru bergemuruh saling bersahutan membuat perhatian Yusril teralih. Pemuda itu berlari kecil sambil beberapa kali bersembunyi di balik semak atau pepohonan yang masih berdiri kokoh di tengah hutan yang akan mati. Di tengah rasa sakitnya Yusril kembali mengedarkan pandangan mencari sosok yang sama, tetapi tidak terlihat keberadaanya.
"Sial!" Gerutunya kesal.
Tak sadar kalau sejak tadi ada seseorang yang tengah memerhatikan dirinya dari jauh.
"Aku pastikan kamu hanya akan menyesal. Askara."
"Siapa itu?" teriak Yusril.
Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, tetapi tak ada seorang pun yang melintas. Ia hanya seorang diri, bahkan langit saja tak sanggup untuk membagi cahaya.
"Kakak awas!"
Yusril terkejut saat tubuhnya terhempas begitu saja, ada sebuah dorongan kuat hingga membuat tubuh lemah itu tersungkur membuat sedikit luka baru di pipi kanannya. Dengan susah payah ia mencoba bangkit, tetapi sebelah tangannya sudah terlalu lemah. Tak sadar kalau pisaunya sudah menancap pada sebuah pohon yang jaraknya tidak begitu jauh.
"Bangun!"
Lagi dan lagi, kepalanya sudah sangat pusing, tetapi sebuah pedang sudah berada tepat di depan matanya. Tatapannya yang tajam terus mengarah pada pedang itu. Ia mengikuti arah pedang sampai terlihat seorang gadis berdiri di depannya.
"Ru-bi," gumamnya pelan.
Gadis itu diam membiarkan tubuh Yusril kembali terjatuh tak sadarkan diri.
"Bodoh!"
Gadis itu memandang beberapa orang di depannya, seolah sedang memberikan kode agar mereka mengangkat tubuh lemah Yusril yang kini sudah benar-benar tak berdaya. Wajah pucatnya begitu jelas terlihat membuat gadis yang berjalan di belakang orang-orang bertubuh besar itu mendecih beberapa kali.
"Kenapa bodoh sekali masuk ke dalam hutan ini, apa tidak ada hal menarik dari pusat kota?"
"Bagaimana, Nona? Apa kita bawa dia ke gedung?" tanya salah seorang dari beberapa orang yang berjalan di depannya.
"Tidak. Bawa dia ke gubukku dan kalian carilah orang yang bisa mengobati semua lukanya. Lihat, dia seperti mayat, harusnya dia sudah mati karena peluru juga sebuah tusukkan pada lengannya."
Gadis itu mengoceh kesal, tak tahu kalau orang-orang di depannya menahan senyum, merasa ada yang berbeda dari nona manisnya.
"Sejak kemarin dia begitu menyedihkan, memelukku tanpa sebab, mengoceh seperti orang gila. Kenapa ada pemuda tampan seperti dia di kota ini?"
Gemas, kesal, juga marah padahal beberapa waktu lalu ia memarahi Yusril karena sikap pemuda itu yang mengejutkan. Namun, ia kembali teringat ketika pandangannya tak sengaja mengarah pada kemeja putih yang dikenakan Yusril saat pemuda itu pergi meniggalan gedung.
"Tunggu!"
"Ada apa?"
"Aku seperti mendengar langkah kaki mendekat kemari, carilah tempat bersembunyi, aku akan menghadapi mereka."
"Tidak, kami akan di sini bersama Nona."
"Jangan bodoh, mereka pasti membawa bom atau senjata."
Dalam hitungan menit, suara ledakkan terdengar cukup dekat, bahkan beberapa orang yang menjaga gadis itu pun ikut terhempas. Sementara gadis itu menjerit sambil menutup telinga.
"Ada apa ini?"
"Aku sudah katakan, aku tidak selemah yang kamu pikirkan."
Gadis itu menoleh, saat melihat sosok Yusril yang kini sudah berdiri tegak. Pemuda itu seolah tak mengalami apa pun, pakaiannya kotor, wajahnya penuh luka, belum lagi sebelah lengan kemejanya dilepat sampai ke siku, membuat bagian lengan kekarnya terlihat jelas kalau ada goresan panjang cukup dalam menyisakan cairan amis yang sudah mengering.
Tak lupa, Yusril pun kembali mendapatkan pisaunya saat kaki jenjang itu melangkah perlahan melewati beberapa pohon di sana. Tatapan tajam juga senyum tipisnya seakan memberi pesan singkat.
"Aku sudah katakan, aku akan menjemput mereka yang mencoba mengganggu perjalananku."
Tepat setelah kalimat terakhirnya, sebuah ledakkan hebat kembali terdengar sangat dekat. Asap juga api mulai tercium, beberapa pohon kering di hutan itu ikut terbakar. Bahkan, motor yang tak tahu datang dari mana pun ikut terbakar.
"Aku lupa, ternyata kota ini tak lebih dari kota hina. Di dalam hutan pun masih banyak nyamuk berkeliaran sepertimu," ucapnya bersamaan dengan tangan kanan Yusril menekan kedua pipi gadis itu, sementara sebelah tangan lainnya meletakkan pisau kecil pada kedua pipinya.
"Kali ini aku pastikan kamu, Nona."
⚓⚓
Yaayy, sudah kembali nih, siapa yang kangen. Makin hari makin meresahkan si Yusril ini. Kenalan jangan lupa. Dan terima kasih sudah berkunjung. Jangan lupa tinggalkan jejak supaya aku makin semangat nulisnya. Bye bye, sampai ketemu di chapter berikutnya.
Publish, 27 September 2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro