WITD 1. GUBUK TUA BERDARAH
DEMANIA, 18 Agustus
Rumah tua bernuansa tradisional dipadukan dengan interior moderen itu berdiri kokoh di pinggir kota nyaris bersembunyi dari jangkauan mata. Angin berembus membuat suasananya menjadi tenang dan nyaman untuk bersantai. Tak ada bising kendaraan, ramai mulut tetangga atau suara hewan berkaki mengerikan juga mencekam, hanya suara pepohonan yang saling bergesek satu sama lain.
Pemandangan sore itu membuat sepasang mata memandang lurus ke depan kemudian akhirnya beranjak, diam bagai patung bernapas, mencoba menghilangkan rasa penasaran yang sudah dipendam lama, nyatanya masih tetap bisa terusik dikala malam tiba. Suara tetes air dari arah kamar mandi di dalam kamarnya seakan tak berhenti membuat siapa pun akan bertanya jika melewati ruangan itu.
"Ril, lo di dalam, kan?"
Panggilan demi panggilan mulai menggema, dari sekian banyak alasan hanya ada dua yang mampu memecahkan kepala saat mendengarnya.
"Ril? Rubi di bawah, mau ketemu."
Sekali lagi, panggilan itu sudah seperti angin, berembus melewati celah setelahnya menyisakan udara hampa.
"Rubi yang mana? Dia udah mati!"
Teriak pemilik kamar, membuat pemuda yang berada tepat di depan pintu kamar itu menghela napas berkali-kali. Rasanya kesal, tetapi tak sanggup untuk melupakan bagaimana pemuda yang masih bersikeras mempertahankan dirinya di dalam kamar sumpek tanpa udara sedikit pun.
"Yusril! Keluar kalau pintu kamar lo masih mau selamat."
Tidak, bukan itu yang diinginkan sebenarnya walau terdengar sedikit menyebalkan, kaki jenjang si pemilik kamar mulai melangkah mendekati daun pintu yang tertutup rapat.
"Laporan buruan!"
Perintah yang akan membuat pemuda di balik pintu itu mendengus sebal. Tak heran bila raut wajahnya selalu terlihat tertekan.
"Rubika, dia di bawah, tolong keluar siapa tahu ada info penting."
Kedua alis Yusril saling bertaut, tangannya terkepal saat mendengar kata 'info penting' . Sudah sangat hafal tetapi belum ada satu pun informasi yang disampaikan benar-benar valid. Ia muak, namanya saja Yusril Askara. Pemuda dengan perawakan tinggi dengan warna kulit sawo matang itu selalu terlihat jengah. Belum lagi, mendengar celoteh manusia bernama'Rubi' si kepala batu dengan omong kosongnya.
"Kalau infonya nggak menarik, usir! Gue ngantuk, mau tidur."
Masih menyahut meski di dalam kamar dan di balik pintu, nyatanya sama saja. Yusril enggan menemui pemuda bernama Rubi itu. Amarahnya seolah muncul tiba-tiba saat tau kalau Rubi ada hubungan dengan seorang lelaki bertubuh besar dengan tato Naga di belakang telinganya.
"Oke. Jangan nanya apa pun soal penemuan bangkai di kota DEMANIA."
Pemuda yang sejak tadi masih berdiri di depan pintu kamar Yusril pun akhirnya berbalik, memilih pergi dengan hati yang begitu kesal. Meyakinkan temannya sama saja mencari jarum di dalam jerami, sulit diselami apalagi diyakinkan.
Namun, baru beberapa langkah pintu kamar yang semula tertutup rapat itu pun terbuka sedikit, menunjukkan sosok pemuda yang sejak tadi diajak bicara dengan pintu sebagai penghalang. Senyum sumringah terlihat jelas di wajah temannya, tetapi tidak dengan Yusril yang justru memasang wajah tanpa ekspresi juga tatapan penuh amarah.
"Jam berapa?" tanya Yusril tanpa basa-basi.
Pemuda itu seolah tak ingin membuang waktu lagi, dengan cepat temannya membuka sebuah salah satu room chat dari aplikasi chating yang biasa digunakannya.
"Di sana ada beberapa jasad tanpa identitas, Rubi ke sini mau menawarkan bantuan," balas pemuda yang masih berdiri di hadapan Yusril.
Pemuda yang tidak terlalu tinggi itu memandang sepenuh harap, ingin agar Yusril mau mengikuti apa yang direncanakan oleh Rubi, dari pada harus mencari sendiri hasilnya belum tentu ketemu. Walau begitu, tatapan mata Yusril masih terus menatap ke arahnya, seolah pertanyaan singkatnya sangat biasa, alih-alih menjawab pemuda di hadapannya justru mengatakan hal lain yang membuat Yusril semakin kesal menatapnya.
"Waktu gue bukan untuk menjelaskan. Rumah tua itu ada di dalam hutan belantara, kalau kita berangkat sekarang, sampai sana malam, nggak akan ada yang kelihatan."
Yusril masih diam, deru napas memburu menandakan sebuah penolakan keras dari pemuda itu. Kakinya melangkah mendekat ke arah pemuda di depannya, tak lupa tatapan tajam mata itu membuat temannya meringis dan melangkah mundur perlahan.
"Ril, dengar dulu," katanya pelan.
Yusril masih diam, rahangnya mengeras, urat tangannya mulai bermunculan, geram sekali rasanya mendengar alasan yang sama sejak tadi.
"Fine! Tenang, Ril."
Dengan cepat langkah kaki Yusril pun terhenti, matanya tak berkedip sedikit pun menatap wajah pucat pemuda yang ia kenal teman sejati katanya.
"Jangan sebar informasi kalau lo sendiri nggak tahu penjelasan rincinya kayak gimana, Va!"
"Gue minta maaf, tapi kali ini tolong temui Rubi, dia tahu sesuatu tentang rumah tua di tengah hutan itu, Ril."
Sebelah tangan Yusril terulur untuk menyentuh sebelah pipi Nadeva, pemuda yang kini menjadi objek paling menarik di mata Yusril ketika sedang panik atau ketakutan. Sementara pelaku tersenyum simpul dengan tatapan tajam.
"Bilang sama Rubi, Yusril udah mati. Bilang juga sama Dia, lain kali menyerahkan diri sebelum habis dimakan api membara. Jangan lupa, rumah tua yang di maksud hanya ada di negeri dongeng. Jadi,..." Yusril memajukan wajahnya ke wajah Nadeva, sampai kepala pemuda itu mundur ke belakang karena takut. "Jangan coba buat berbohong sebelum peluru melesat sempurna di bagian yang nggak terduga nantinya."
Nadeva tersentak saat sebelah tangan Yusril yang lain memegang pagar pembatas tangga di belakang tubuhnya. Gemetar, itulah yang di rasa saat bibir Yusril mulai berbisik di sebelah telinganya.
"Gue tahu, lo ada di sana saat kejadian itu."
Kedua mata Nadeva membelalak sempurna, lalu mendorong tubuh tinggi Yusril sampai pemuda itu mundur beberapa langkah. Suara tegas juga nada bicara yang dingin membuat Yusril terkekeh dengan memalingkan wajah sebelum tatapnya kembali mengarah pada Nadeva.
"Jadi, siapa yang mau lo tolong?"
Nadeva terdiam sejenak, kemudian pemuda itu menoleh ke belakang dan memandang cemas ke arah Rubi yang masih duduk di sofa lantai bawah. Ia pun kembali memandang wajah Yusril yang sudah kembali muram, kepalanya tertunduk dengan bibir bergetar, kedua tangannya masih terkepal kuat. Tidak tahu apa sedang dipikirkan temannya itu.
Nadeva hanya bisa menghela napas, lalu melangkah maju mendekati Yusril. Tak hanya itu, ia pun memeluk tubuh tinggi Yusril untuk menyalurkan rasa tenang pada pemuda itu.
"Kota ini sudah semakin sesak, jangan ditambah lagi."
Tentu saja Nadeva mendengarkannya. Siapa yang tidak mengenal Yusril, pemuda berhati iblis dengan penuh amarah selalu menyimpan rahasia. Tak heran jika Nadeva saja takut saat berhadapan dengannya.
Hanya usap hangat pada punggung tegap Yusril hang bisa dilakukan Nadeva. Pemuda dengan selisih usia tak begitu jauh, selalu membuatnya bertanya, mengapa bisa bertemu Yusril, mengapa juga dia bisa dekat seperti perangko, semua pertanyaan itu selalu muncul ketika suasa hati Yusril memburuk seperti saat ini.
"Bangun, kenapa masih di sini?"
Pandangan Yusril mengarah pada sebuah kerangka yang tergeletak di sudut ruangan, sudah lama sepertinya, tetapi mata tajam Yusril terhenti pada sebuah bingkai foto tua yang nyaris keropos, di dalamnya ada sebuah foto lama yang warnanya sudah kusam.
"Ini...Kenapa gue di sini?"
"Bagus sudah bangun, bagaimana mimpinya?"
⚓⚓
Hallo, apa kabar? Semoga selalu baik-baik saja . Terima kasih sudah berkunjung jangan lupa tinggalkan jejak, agar aku makin semangat nulisnya😊 jangan lupa ikuti terus kisahnya ya, sampai jumpa di bab berikutnya bye bye 😘
Publish, 03 September 2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro