21. Lilac
Warning 18+
Aku masih memandangi Arun nanar. Wajahnya kini tampak babak belur dengan warna keunguan yang menghiasinya. Kak Ivan benar-benar menghajarnya habis-habisan tanpa ada perlawanan sedikit pun dari Arun Pawana. Dia tampak pasrah saat Kak Ivan meninjunya berulang. Padahal aku seribu persen yakin laki-laki itu mampu membalasnya telak.
"Kenapa kamu nggak balas pukul?" tanyaku menahan isak kala mengoleskan obat ke luka-lukanya.
Arun meringis saat ujung jariku tanpa sengaja menyentuh luka robek di sudut bibirnya. Kondisi laki-laki ini begitu mengenaskan di mataku yang tidak pernah melihat adegan kekerasan secara langsung. Aku sudah menawarinya untuk pergi ke klinik, tetapi dia menolak dan memilih membeli sendiri obat di apotek dalam perjalanan pulang ke sini—apartemennya.
"Aku udah biasa dipukuli sejak kecil, Tha. Kamu nggak usah khawatir," jawab Arun sambil tersenyum. Dia terlihat santai seolah ini bukanlah sesuatu yang harus dibesar-besarkan. Namun aku tetap menangkap kegetiran di suaranya.
"Kamu dipukuli kayak samsak masih bisa senyum-senyum?" ocehku pelan.
"Aku baik-baik aja, Tha. Aku bahkan pernah hampir mati karena dihajar oleh papaku," balasnya ringan tanpa beban.
Aku terkesiap. Kembali memandang ke dalam lensa mata berwarna hitam pekat itu. "Maafkan aku, Run. Gara-gara aku, kamu dipukuli Kak Ivan," ucapku penuh sesal.
Arun mempertahankan senyumannya. Kedua netranya menatapku begitu lembut dan lekat. Di raihnya pucuk kepalaku, lalu menepuknya perlahan. "Bukan salahmu. Aku justru senang ada kamu di sini. Terima kasih."
Aku tak bisa membendungnya lagi. Isak yang sedari tadi aku tahan kini tumpah. Antara bahagia dan sedih bercampur menjadi satu. Begitu menyesakkan di dada.
"Maaf, kalau aku cengeng dan suka nangis," ujarku seraya menyeka sebulir air mata yang sudah terlanjur jatuh.
"Manis," ucapnya. "Aku suka sisi kamu yang cengeng ini. Kelihatan menggemaskan."
Pipiku merona sebab bualan Arun. "Semua cowok sama saja, ya? Suka gombal," balasku cemberut.
Arun tidak menanggapinya. Dia malah menarikku dalam pelukannya. Aku menikmati momen ini. Ketika aku bisa menghidu dalam-dalam aroma maskulinnya yang membuat jantungku berdebar. Tidak ada yang lebih membahagiakan selain bersama orang yang kita cintai, bukan?
"Ngomong-ngomong, kamu, kok, bisa datang, Run? Kak Ivan yang telepon?" tanyaku menuntaskan rasa penasaran yang sejak tadi berjejal di otakku; kenapa Arun tiba-tiba ada di sana padahal aku sama sekali tidak memberitahunya.
Masih dalam posisi berpelukan, Arun mengelus rambutku. "Ya. Pacarmu itu yang minta aku datang."
"Mantan," koreksiku cepat. "Pacarku sekarang, kan, kamu."
Arun terkekeh tanpa suara. Aku dapat merasakan dadanya naik turun. Dia tidak menjawab apa-apa. Hanya pelukannya yang terasa semakin erat membelit pinggangku.
Beberapa lama kami dalam posisi ini, tiba-tiba ponsel milik Arun berdering memenuhi ruangan apartemen tipe studio ini. Laki-laki itu pun melepaskan dekapannya, dan melihat sekilas layarnya. Wajahnya berubah tegang. Aku bahkan melihat Arun sempat menelan ludah. Aku sempat melirik nama yang tertera pada gawai tersebut. Ada tulisan 'Papa' di sana.
Aku ikut menegang. Kuraih tangan Arun yang berkeringat dingin. Napasnya pun mulai tidak teratur. Matanya menyiratkan sebuah ketakutan. Bisa jadi dia mengalami hal traumatis terhadap ayahnya. Bukankah Arun selalu bercerita jika Sang Ayah sering memukulnya?
"Ini sudah sore, Tha. Kamu nggak mau pulang?" tanya Arun dengan suara bergetar. Aku tahu dia sedang mengusirku secara halus.
Sebenarnya aku enggan meninggalkan Arun sendirian. Namun, pandangan mata yang mengiba itu seolah memohon kepadaku untuk pergi. Dia seperti tak ingin dilihat oleh orang lain saat berada pada titik kerapuhan.
Maka dengan berat hati aku pergi. Meninggalkan Arun untuk menghadapi segala lukanya sendirian. Kulihat sekilas dia mengangkat ponselnya dengan gemetar sebelum pintu apartemennya tertutup sempurna. Aku gamang. Masih enggan beranjak. Apakah dia akan baik-baik saja?
***
Pemandangan dari dalam gerbong kereta yang melaju terlihat berkilat-kilat. Cepat berganti dalam hitungan setengah detik. Mulai dari gedung-gedung pencakar langit, perumahan padat penduduk, hingga lahan terbuka hijau yang menenangkan mata. Semua tampak tak menyenangkan bagiku sekarang. Padahal aku selalu suka goresan gambar alam itu tatkala berada di dalam kereta.
Aku tatap pantulan samar wajahku lewat kaca kereta. Pikiranku masih melayang-layang pada peristiwa baku hantam di restoran beberapa hari lalu. Aku masih tidak menyangka bahwa Kak Ivan yang biasa tenang akan meluapkan amarahnya seperti itu. Sedangkan Arun, bukan luka fisik akibat pukulan Kak Ivan yang aku cemaskan. Akan tetapi, bagaimana dia yang gemetar terlihat ketakutan meski hanya membaca nama 'Papa' di ponselnya yang berdering kencang. Luka di hatinya pastilah belum sembuh benar.
Setelah itu, aku tidak tahu lagi bagaimana keadaan Arun. Dia kembali menghilang dan tidak bisa dihubungi. Rasa cemas menyeruak dalam pikiranku, bertanya-tanya bagaimana keadaan laki-laki itu. Apakah dia baik-baik saja?
Aku meraba jemari kiriku. Sudah tak ada lagi cincin berlian yang melingkar di sana. Aku telah melepaskan benda tersebut dan mengembalikannya ke Kak Ivan yang begitu dingin. Entah di mana kehangatan yang selalu dia bagi dengan orang lain. Dia seperti matahari yang kehilangan cahayanya. Ah, aku begitu jahat terhadapnya. Aku juga tidak mampu meminta agar dia memaafkanku.
Seluruh kejenuhan ini membuatku ingin menyendiri. Melarikan diri. Menjauh dari hiruk-pikuk ibukota. Melupakan semua masalah percintaan ini sementara. Singgah beberapa hari di kota kelahiranku pun menjadi pilihan untuk kembali mengisi daya energiku yang hampir habis.
Perjalanan kurang lebih enam jam, kereta mulai melambat saat memasuki peron stasiun tua bergaya kolonial yang konon menjadi stasiun tertua di negara ini. Bunyi peluit kereta terdengar nyaring ditingkahi oleh bunyi berdesis rem yang beradu dengan rel. Suara merdu terdengar dari pengeras yang memberitahukan bahwa ini adalah tempat pemberhentian terakhir. Tak lupa mengingatkan untuk memeriksa barang bawaan agar tidak ada yang tertinggal. Semua penumpang bergegas turun, pun aku.
Menyandang sebuah tas ransel hitam cukup besar, aku ikut mengantre ke pintu keluar bersama penumpang yang tak seberapa banyak. Tidak terlalu berjubel memang. Hingga memudahkan satu persatu turun, hingga giliranku tiba untuk menginjakkan kaki di atas lantai peron.
Aku merogoh salah satu kantong celana jinku untuk mengambil ikat rambut. Menyugar rambutku beberapa kali sebelum mencepolnya asal. Kubenarkan kembali letak kacamata yang sudah lama tidak pernah aku pakai sebelum melanjutkan langkah keluar stasiun—selama beberapa tahun terakhir ini, aku lebih memilih memakai lensa kontak karena Kak Ivan lebih menyukainya.
Saat itulah tanpa sengaja aku melihat tubuh jangkung yang juga baru turun gerbong. Penampilannya sedikit berbeda dengan potongan rambut pendek model undercut yang memiliki sentuhan messy; membuatnya terlihat lebih segar dari sebelumnya. Dia juga menyandang sebuah ransel di punggungnya. Aku menatapnya takjub dari kejauhan, hampir tak percaya. Apakah kami ini memang punya ikatan batin yang kuat atau semacamnya?
Berjarak sepuluh meter, laki-laki itu—yang sepertinya merasa sedang diperhatikan—pun menoleh ke arahku. Dia tampak terkesiap sejenak hingga akhirnya sebuah senyuman kecil terbit di kedua bibirnya yang pernah menyentuhku. Arun dengan langkah gontai menghampiriku. Pun aku yang ingin segera mengikis jarak darinya. Aku tidak menyangka kami akan bertemu di sini secara kebetulan.
Semakin dekat, aku bisa jelas melihat wajah Arun yang masih agak lebam di beberapa bagian. Senyum tipisnya terlukis indah, meski ada luka di sana. Sepasang mata hitamnya berbinar, walau terlihat sayu dan sedikit lelah. Entah, semuanya tampak terbingkai apik dalam penampilan barunya. Sedikit aneh, sebab aku terbiasa melihat Arun dengan rambut panjangnya yang kini sirna.
"Kita seperti punya ikatan benang merah takdir, ya?" ucapku tanpa basa-basi.
Arun hanya tersenyum. Kali ini lebih lebar. Membuatku serasa melayang. Dia yang selalu kulihat jarang menampakkan lengkungan indah di bibirnya itu, kini sering menyuguhkannya kepadaku.
"Rambut kamu bagus," komentarku yang membuat Arun mengelus rambutnya pelan hingga memunculkan senyum malu-malunya. Menggemaskan.
"Kamu suka?" Aku mengangguk. "Tapi, aku merasa sedikit aneh. Belum terbiasa," lanjut Arun canggung.
Kemudian kami terdiam beberapa saat. Hingga tanpa ucap—hanya dengan tangannya yang terulur—Arun mengajakku saling menautkan jemari dan berjalan keluar stasiun. Aku menyambutnya riang. Genggaman jemarinya masih sama hangatnya seperti dulu.
Semakin mengenal Arun, aku semakin merasa kami memiliki banyak persamaan. Terutama kami yang sama-sama butuh menepi sejenak dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari untuk mengisi kembali energi. Mungkin, ini pula yang sedang dilakukan oleh Arun. Dia memiliki alasan yang sama sepertiku, kenapa kami berada di sini. Di kota tempat pertama kali kami mengukir kenangan bersama saat masa putih abu-abu.
***
Arun merebahkan dirinya di atas lantai gazebo, mengatur posisi agar dia bisa nyaman terlentang di sana. Sedangkan aku hanya menikmati sejuknya udara dan mendengar suara yang disebut psithurism itu. Jajaran pohon pinus yang rapat, angin yang berembus di sela-sela dedaunan berbentuk jarum, membuat simfoni alam yang sungguh merdu tiada duanya. Aku jadi mengerti, kenapa Arun bisa menyukai bunyi ini.
"Kamu baik-baik saja setelah aku tinggal kemarin, kan, Run?" tanyaku tidak mampu menyembunyikan rasa penasaran.
"Baik," jawab Arun singkat sambil menutup kedua kelopak matanya.
"Soal papa kamu gimana?" Aku sedikit ragu untuk bertanya.
Arum bergumam. Suaranya agak berdesis pelan. "Aku nggak suka bicara tentang papaku, Tha," tegas Arun.
Aku kembali menelan segala pertanyaanku tentang ayah Arun. Bagaimana sosok itu yang mampu membentuk dirinya yang sekarang, membuatku sedikit penasaran.
"Kalau begitu, boleh aku tanya hal lain?" tanyaku kembali.
"Kamu sedang nggak main detektif-detektifan, kan?" selidik Arun.
Aku sedikit tertawa. Ternyata Arun memiliki selera humor juga. "Maunya."
Arun mendengkus dengan mata tertutup. Dia kemudian mengubah posisinya menjadi miring ke kanan. Laki-laki itu diam tanpa menjawab pertanyaanku.
"Aku simpulkan kalau jawabannya boleh," ucapku kemudian. Kembali Arun diam. "Kamu waktu itu memotret aku diam-diam, kan? Waktu pertama kali kita ke sini sama-sama. Kenapa?"
Cukup lama hening tanpa ada jawaban dari Arun. Hingga aku mengira dia tertidur. Sampai kemudian sebuah kalimat meluncur dari mulutnya, "Karena kamu tampak bahagia saat itu."
Aku tersenyum kecil mengingat kenangan tersebut. Saat itu aku memang merasa bahagia karena baru pertama kalinya melihat pemandangan indah ini. Pun berkat Arun yang ada bersamaku kala itu membuat kebahagiaanku berkali-kali lipat.
"Terima kasih, Run. Dulu kamu menyelamatkanku dari bully-an Jennifer," ujarku. "Kalau nggak ada kamu, aku nggak tahu bakal seperti apa."
Arun membuka matanya. Ada sesuatu di kedua netranya yang memandangku dengan penyesalan. Lagi-lagi aku tidak mampu memaknai sesal untuk apa. Hal apa lagi yang tidak aku tahu tentangnya? Ah, ternyata masih banyak kode-kode yang harus aku urai satu persatu.
Perlahan aku merasa lengan berotot Arun mulai melingkari pinggangku dari belakang. Kepalanya disandarkan di atas bahuku, membuatku tergelitik dengan embusan napasnya yang mengenai leherku. Aku menggeliat, meremang ketika ujung hidungnya juga menempel di kulitku.
"Aku takut," bisik Arun. "Bahwa kita seperti ini hanya sebentar. Nggak akan lama. Aku takut jika nantinya kamu yang pergi menjauh. Bukan aku."
Aku terkesiap. Sedikit tidak mengerti apa maksudnya. Hal apa yang akan membuatku meninggalkan Arun? Apakah ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku? Entah kenapa tiba-tiba aku takut bertanya dan mengetahui kenyataan yang dia rahasiakan.
Sejurus kemudian, pikiran tentang hal itu pun sirna begitu saja saat aku merasakan kehangatan bibir Arun menyapu kulit sepanjang leherku. Kembali aku menggeliat dan berusaha mendorong Arun agar menghentikan aktivitasnya. Namun, cumbuannya tidak berhenti. Pelukannya makin erat membelit pinggangku, pun aku juga bisa merasakan napasnya yang semakin memberat.
"Run," panggilku lirih sambil terus berusaha lepas dari pelukannya. "Jangan."
Arun tidak merespon. Dia tetap mencumbuku.
"Aku mohon, Run. Jangan! Nanti ada yang lihat." Aku terus berusaha meminta Arun berhenti saat tangannya mulai menyelip ke dalam blusku dan mengelus perutku. Bibirnya kini bahkan sudah berpindah ke cuping telingaku dan mengecupnya dengan cara paling sensual yang pernah aku alami.
Sementara itu aku mulai sedikit panik. Bukan apa-apa. Pasalnya kami sedang ditempat terbuka sekarang. Bagaimana jika tiba-tiba yang memergoki, lalu menggiring kami ke kantor polisi, kemudian kami diinterogasi karena sudah melakukan perbuatan tidak sesonoh? Atau yang lebih parah dari itu ada yang merekam kami diam-diam dan diviralkan. Membayangkannya saja sudah membuatku bergidik antara rasa takut dan malu.
Arun bergumam, lalu berucap di sela-sela cumbuannya, "aku cinta sama kamu, Tha." Jantungku mendadak tersengat dan berdebar-debar tak berirama. "Terima kasih karena sudah mau menungguku kembali selama ini."
Kalimat itu, pengakuan cinta dari Arun. Entah rasanya benar-benar membuatku seakan melayang. Kata-katanya langsung bisa memerangkapku dalam euforia yang langsung meningkatkan hormon endorfinku. Aku merasa begitu bahagia hingga lupa bahwa sentuhan Arun kini sudah semakin intens menjelajahi tiap jengkal tubuhku. Sesuatu yang bahkan tidak pernah aku izinkan untuk dilakukan oleh Kak Ivan, kini aku biarkan laki-laki ini melukisnya dengan sapuan cintanya yang penuh kelembutan.
"Aku juga, Run," balasku dengan napas sedikit tersendat, berusaha menahan gejolak dari dalam diriku yang tiba-tiba saja datang.
"Juga apa?" Suara Arun semakin lirih dan bergetar.
Aku sedikit mendorong bahu Arun agar bisa menatap kedua mata yang kini telah sayu itu secara langsung.
"Aku juga cinta sama kamu, Run," ujarku penuh kemantapan.
Aku tahu—kami sama-sama tahu bahwa ada hasrat di antara kami berdua yang butuh untuk disalurkan. Arun mencium bibirku kemudian. Lagi-lagi dengan cara paling melenakan yang belum pernah aku rasakan.
Aku pasti sudah gila. Ya. Di mana akal sehatku berlari saat ini? Aku harusnya menolak perlakuan Arun dengan sangat tegas. Mendorong atau menampar pipinya kalau perlu. Namun, kelembutan yang ditawarkan Arun begitu membuatku mabuk. Seakan aku sedang disuguhi segelas air saat sedang begitu kehausan di tengah gurun dan aku langsung mereguknya dengan tak sabar.
Akan tetapi, Arun mendadak berhenti saat aku sudah begitu mendambanya. Ada rasa kecewa yang menyelinap dalam hatiku saat bibirnya tak lagi menyentuhku. Dan aku mengutukinya.
"Kita pergi ke hotel aja?" kata Arun.
Itu bukan kalimat pernyataan atau perintah. Namun, lebih seperti sebuah pertanyaan yang meminta sebuah persetujuan dan konfirmasi bahwa aku juga menginginkan hal yang sama dengannya saat ini.
"I-iya," jawabku dengan sedikit ragu.
Arun tersenyum. Jemarinya lalu meraih surai-surai rambutku yang lepas dari ikatan dan menyelipkannya ke belakang telinga. Dia masih terus memandangiku dengan tatapan lembut dan penuh cinta. Seakan-akan semua kata yang ada dalam hatinya, dapat terbaca begitu jelas dari sana.
"Pergi sekarang?" Lagi-lagi Arun bertanya dan aku hanya mejawab dengan satu anggukan pelan.
Kami pun mulai merapikan ransel masing-masing saat ponsel Arun berdering dengan nyaring. Wajah Arun yang tadi tampak berseri-seri, kini pasi. Lagi-lagi tangannya yang memegang benda pipih itu gemetaran. Spontan saja, didorong oleh naluri, aku meraih tangan Arun lalu mengenggamnya.
"Telepon dari papa kamu?" tebakku.
Arun pun mengangguk kaku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro