Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20. Daisy

"Melamun, Tha?" tegur Mbak Yasmin sembari menyajikan secangkir cokelat hangat di atas meja yang ada di hadapanku.

Aku sedikit tersentak. Aroma pekat dari minuman itu mampu membuyarkan lamunanku. Layar ponsel yang sedari tadi terus menyala dan kupandangi, refleks aku balikkan segera.

"Enggak, Mbak," elakku entah dengan alasan apa. Aku merasa seperti tertangkap basah sedang melakukan sebuah kejahatan.

"Melamun apa?" tanya Mbak Yasmin tidak peduli bahwa aku menolak untuk bercerita—tidak untuk saat ini. Dahinya sedikit berkerut. Segera dia menarik sebuah kursi di seberang meja.

Aku kembali menunduk. Isi kepalaku benar-benar penuh, hingga aku enggan berbicara. Aku tidak yakin apakah harus memberitahu Arun soal permintaan—atau lebih tepatnya tantangan—dari Kak Ivan.

Mbak Yasmin menghela napasnya, setelah beberapa lama menungguku angkat bicara. Wanita itu kemudian bertanya, "kamu serius ingin putus dari Ivan?"

Aku mengangguk lemah.

"Dan menjalin hubungan dengan Arun lagi?" selidik Mbak Yasmin.

"Ya."

"Sudah kamu pikirkan masak-masak?"

Aku mengangguk kembali. "Aku sadar bahwa selama ini aku nggak pernah bisa mencintai Kak Ivan dengan baik dan tulus." Aku mengangkat wajah takut-takut dan berkata sedikit gemetar, "aku ... Aku jahat, ya, Mbak?"

Mbak Yasmin mengembuskan napas panjang. Wanita berhijab itu lalu memalingkan dirinya dariku. "Jujur, Tha. Aku lega dengar kamu mau putus dari Ivan. Lega banget malah. Yang aku lihat, selama ini kamu bertahan di sisi Ivan hanya sekadar balas budi. Iya, kan?"

Hatiku terasa tersengat mendengar penuturan Mbak Yasmin. Mulutku membisu, tak mampu membantah.

"Hubungan yang hanya satu pihak saja yang mencintai dan berusaha melakukan apa pun demi pasangannya itu terlihat menyedihkan. Kalian berdua, kamu dan Ivan, kelihatan kasihan karena saling memaksakan untuk mempertahankan hubungan yang tidak didasari cinta oleh kedua belah pihak ini." Mbak Yasmin berhenti sejenak untuk mengambil napas. "Tapi jika alasanmu putus karena laki-laki lain, jujur aku sedikit kecewa, Tha."

Aku menunduk dalam-dalam. Semua perkataan Mbak Yasmin memang selalu benar. Meski kenyataannya pahit seperti itu, aku harus menanggungnya, kan?

"Ya sudah, deh. Aku juga sudah janji akan selalu ada di pihakmu apa pun pilihanmu, kan, Tha?" Mbak Yasmin mengakhiri kalimatnya dengan senyuman lebar dibarengi oleh tepukan pada punggungku. "Yang semangat, Tha. Nggak boleh terlalu lama galau."

Aku membalas senyuman Mbak Yasmin dengan tulus. Wanita ini benar-benar yang paling mengerti aku. Selalu mendampingiku bahkan jika aku berbuat salah persis seperti Uti. Tidak pernah menghakimiku, tetapi memberiku banyak nasihat yang berguna. Dia memang keluargaku.

"Makasih, Mbak," ucapku seraya memberikan sebuah senyuman tulus kepada wanita baya tersebut. Kini, aku tidak akan ragu lagi.

***

Undangan ini berwarna oranye cerah dengan ornamen dan aksen bunga-bunga aster nan mungil. Kedua ujungnya kugenggam erat, tatkala aku melihat namaku dan Kak Ivan bersanding di sampulnya. Tanggal yang tertera di sana juga membuatku bergidik. Dua hari dari sekarang.

Kak Ivan sepertinya tidak main-main saat dia bilang tidak akan melepaskanku. Bahkan tanpa persetujuan dariku, dia telah menyiapkan acara pertunangan yang akan digelar secara privat. Undangan ini pun dibuat tanpa sepengetahuanku, hingga Mbak Yasmin tergopoh-gopoh memberikannya.

Bibir bawahku rasanya sudah perih tergigit oleh gigiku. Sejak beberapa menit lalu, tubuhku terasa gemetar karena memikirkan bagaimana caranya agar aku bisa putus darinya. Apakah aku harus menemui orang tuanya langsung, seperti yang dia katakan? Apakah aku punya nyali sebesar itu? Atau apakah aku harus mengajak Arun juga?

Aku menggeleng kuat. Tidak. Aku sama sekali tidak ingin melibatkan Arun dalam masalah ini. Biarkan aku yang menyelesaikannya sendiri.

Segera aku menghubungi Kak Ivan untuk bertemu. Maka, di sinilah aku sekarang; di salah satu restoran bergaya klasik nan mewah di hotel milik keluarganya. Pria itu sedang menyantap makan siang berupa steak dengan tenang. Senyum merekah di bibirnya kala melihatku datang. Seolah tidak terjadi apa-apa di antara kami.

"Makan dulu, Tha," sapa Kak Ivan ramah. Sepotong daging wagyu dengan aroma yang sungguh menggugah selera masuk ke dalam mulutnya. "Aku yakin kamu belum makan siang."

"Aku ke sini bukan untuk makan siang. Tapi, untuk membicarakan hal ini," jawabku dingin seraya meletakkan undangan berwarna jingga itu ke atas meja, tepat di sisinya.

Kak Ivan hanya meliriknya sebentar, kemudian beralih lagi pada potongan wagyu yang masih tersisa di atas piring porselennya. "Kita bisa diskusikan itu nanti setelah makan."

Lagi-lagi senyum merekah di kedua bibirnya.

"Nggak bisa, Kak. Kita harus bicarakan hal penting ini sekarang," tegasku.

"Apa lagi yang harus kita bicarakan? Semuanya sudah jelas, kan?" Kak Ivan meletakkan pisau daging dan garpunya di kedua sisi piring. Lalu, dengan gerakan anggun, dia mengelap mulutnya dengan serbet putih.

"Kenapa Kak Ivan melakukan ini secara sepihak?" tanyaku menuntut.

Kak Ivan memberikan isyarat kepadaku untuk duduk di hadapannya. Namun, aku bergeming. Sama sekali tidak berniat untuk duduk satu meja dengannya.

"Kenapa? Karena ini sudah rencana kita dari lama, Sayang. Bukankah kamu menginginkannya juga?"

Entah kenapa kata-kata yang begitu tenang keluar dari mulut Kak Ivan membuatku sedikit muak. Bahkan ada nada-nada yang secara aneh membuatku bergidik.

"Aku kira Kak Ivan sudah mengerti bahwa aku sama sekali nggak bisa melanjutkan hubungan ini."

"Bukankah aku juga sudah bilang, kalau kamu ingin mengakhiri ini semua, kamu harus langsung mengatakannya di hadapan Papa sama Mama sambil membawa serta selingkuhanmu itu?"

Aku bergeming. Kak Ivan benar-benar tahu bahwa aku tidak akan memiliki nyali sebesar itu untuk bicara langsung di hadapan orang tuanya. Terlebih, selama ini mereka begitu baik kepadaku dan sudah menganggapku seperti anaknya sendiri.

"Kamu pasti tahu, kan, apa yang akan terjadi kalau kamu melakukan itu?"

Ya, aku bisa menebak apa yang akan terjadi. Tanpa sadar aku menggigit bibir bawahku.

"Kamu nggak mau kalau Mama sampai kena serangan jantung dan membahayakan nyawanya, kan?" Kak Ivan mengatakannya dengan gesture yang tenang.

"Apa Kak Ivan sedang mengancamku sekarang?" tanyaku hampir tak percaya.

Kak Ivan menelengkan kepala. Tersenyum. Namun, tak lagi kurasakan senyuman bagai sinar matahari yang selalu ditampakkannya itu.

"Ah, apa perlu aku ingatkan juga, Tha?" Dia menyandarkan punggungnya. "Siapa yang membayar seluruh pengobatan Utimu itu dan membiayai hidupmu saat awal-awal kamu di sini?"

Aku benar-benar tidak berkutik. Kak Ivan sungguh mengancamku sekarang ini.

"Sudah aku bilang, kan, kamu cukup membayar semua hal itu hanya dengan tetap berada di sisiku, Tha?"

"Tapi, Kak ... Hubungan kita ini nggak bisa disebut cinta. Kak Ivan tahu, kan?" Aku mulai kehabisan kata-kata untuk membuatnya mengerti bahwa aku sama sekali tidak bisa melanjutkan hubungan yang jujur membuatku selalu merasa terbebani ini.

"Aku udah nggak peduli soal cintamu, Tha. Yang aku butuhkan cuma kamu ada di sisiku. Itu saja."

Aku menghela napas panjang. Kak Ivan memang selalu keras kepala seperti ini. Apa yang dia inginkan harus didapatkan. Apa pun itu. Rasanya otakku sudah buntu untuk membuatnya mengerti.

"Terserah Kak Ivan saja. Aku nggak akan datang ke acara pertunangan itu."

"Kalau begitu, kamu harus mengembalikan seluruh uang yang aku keluarkan untuk membiayai pengobatan Mbah Putrimu. Juga bicarakan hal ini kepada orang tuaku. Kalau kamu bisa memenuhi itu semua, aku akan mempertimbangkan permintaanmu untuk putus denganku, Tha."

Aku memandang Kak Ivan dengan nanar. Tak percaya. Pria yang selama ini kukenal begitu ramah, ternyata mampu mengancamku sedemikian rupa.

"Ah, atau aku harus memberi pelajaran pada laki-laki yang kamu cintai itu? Sedikit meninggalkan cendera mata di tubuhnya mungkin?"

Suasana di ruangan ini tiba-tiba berubah. Hawa dingin yang entah datang dari mana, melesak dan menyelimuti tubuhku. Membuatku merinding seketika. Apalagi kini, aku seperti melihat sosok lain dari dalam diri Kak Ivan. Pria itu tampak mengerikan. Begitu kejam. Obsesif. Aku harus pergi dari tempat ini segera jika tidak ingin hal buruk terjadi. Itulah yang dikatakan oleh naluriku.

Kak Ivan benar-benar tahu titik lemahku. Setiap kali kami bertengkar—yang hanya bisa dihitung dengan jari—dia pasti akan mengungkit-ungkit soal biaya yang telah dia keluarkan untuk pengobatan Mbah Uti yang saat itu tidak bisa dibilang sedikit. Aku memang harus berterima kasih soal itu padanya. Namun, apakah begini caranya? Tiba-tiba saja aku merasa seperti Sitti Nurbaya yang terpaksa menikah dengan Datuk Maringgih karena utang yang dimiliki oleh ayahnya. Bedanya Kak Ivan bukan pria tua bangka yang sudah bau tanah, tapi masih sangat muda dan tampan. Kalau mau, aku yakin Kak Ivan bisa mendapatkan gadis-gadis lain yang jauh lebih cantik dan berstatus sosial tinggi.

"Apa ... apa yang begitu Kak Ivan sukai dari aku sampai-sampai Kak Ivan menahanku dengan cara-cara licik seperti ini?" tanyaku dengan suara bergetar. Aku akui bahwa aku hampir-hampir gemetaran dan kakiku seakan tidak kuat lagi menopang berat tubuhku hingga aku harus bertopang pada ujung meja.

Kak Ivan hanya tersenyum memandangku sambil sesekali menyuap makan siangnya. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya sampai aku melihat dua sosok lain yang datang bergabung dengan kami. Mereka adalah kedua orang tua Kak Ivan yang langsung menyapaku dengan ramah.

"Wah, Mama senang sekali kamu ngundang mama sama papa makan siang," ucap Mama Kak Ivan begitu semringah.

Aku begitu terkejut dengan kehadiran mereka dan berusaha meminta penjelasan dari Kak Ivan lewat tatapan penuh tanda tanya dariku. Namun, lagi-lagi dia hanya tersenyum sambil mengerling ke arahku. Oh, aku mengerti maksudnya. Jadi, ini adalah bagian dari rencana Kak Ivan agar aku tidak lagi memintanya putus. Kak Ivan pasti memikirkan kesungkananku pada dua orang tuanya ini.

"Kok, masih berdiri aja, Tha? Duduk sini." Mama Kak Ivan menepuk bahuku dan menarik kursi di sebelah Kak Ivan, membuatku terpaksa harus menurutinya dan duduk dengan tidak nyaman. Bukan, bukan seperti ini yang aku rencanakan. Aku hanya ingin bicara berdua saja dulu dengan Kak Ivan.

Sementara Papa Kak Ivan yang selalu terlihat dingin dan tidak banyak bicara itu sudah menempatkan diri duduk di sebelah istrinya itu.

"Kamu nggak usah sungkan ya, Sayang. Sebentar lagi kami juga resmi jadi orang tuamu, kan," ujar Mama Kak Ivan yang justru membuatku semakin tidak nyaman.

"I-iya, Tante," jawabku.

Dahi Mama Ivan langsung mengkerut. "Kok, masih panggil 'tante' aja, sih? Panggil 'mama' dong," protesnya.

Rasanya lidahku tidak sanggup untuk memenuhi permintaan Mama Kak Ivan untuk memanggilnya 'mama'. Panggilan itu akan terasa jahat, jika beberapa menit dari sekarang aku justru mau mengakui bahwa hubunganku dengan Kak Ivan sudah berakhir. Aku hanya diam dan menatap Kak Ivan yang kini sedang menyesap wine-nya.

"Kamu bilang di telepon ada sesuatu yang mau Bitha bicarakan, Van," kata Papa Kak Ivan yang berhasil membuatku kembali melirik dengan tatapan tajam ke Kak Ivan.

"Nanti, Pa. Kita tunggu satu orang lagi," jawab Kak Ivan dengan santai.

Dahiku sedikit mengerut. Siapa?

"Siapa?" Pertanyaan Mama Kak Ivan benar-benar mewakiliku.

"Sebentar lagi pasti dia datang," balas Kak Ivan dengan senyum misterius. Entah kenapa perasaanku semakin tidak enak.

Rasa tersebut sejenak kemudian terjawab. Kulihat tubuh jangkung yang sangat kukenal itu saat mendekati meja kami. Aroma lemon yang sangat akrab di indra penciumanku, membuatku tersentak. Matanya yang tajam itu juga tampak sama terkejutnya ketika melihatku.

Arun Pawana.

"Duduklah." Kak Ivan mempersilakan Arun untuk duduk di kursi sebelahku yang kosong. "Pa, Ma, ini Arun. Masih ingat, kan?"

Kedua orang tua Kak Ivan saling pandang sejenak. Ada ekspresi keterkejutan di sana, sebelum akhirnya mengangguk-angguk dan memamerkan senyum semringah.

"Tentu saja kami ingat. Iya, kan, Pa?" kata Mama Kak Ivan.

"Bagaimana kabar ayahmu, Run?" tanya Papa Kak Ivan. "Bisnisnya pasti lancar sampai jarang ke sini," kelakarnya.

Aku hanya bisa melongo. Jadi, orang tua mereka saling mengenal? Aku sungguh terkejut melihat ini semua. Arun yang ditanyai juga hanya menjawab baik dengan singkat. Kulihat, matanya berkali-kali melirikku.

"Arun ini sekarang jadi fotografer. Kemarin sempat bantuin foto-foto juga di resort, tapi Papa sama Mama kayaknya belum sempat ketemu dia karena Papa sudah buru-buru pulang, kan?" imbuh Kak Ivan.

Tangannya kini meraih bahuku dan merangkulnya. Kedua manik mata Kak Ivan melirik ke Arun dengan tatapan tidak suka. Pun dengan Arun. Aura persaingan tercium sangat kental di antara mereka. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi antara Kak Ivan dan Arun.

Aku berusaha menyingkirkan tangan Kak Ivan dengan halus dari pundakku. Dia sepertinya agak terkejut dengan penolakanku. Namun sedetik kemudian, dia kembali bertingkah biasa.

Makanan yang kami pesan pun akhirnya datang. Kami menyantap hidangan yang tersaji diselingi beberapa obrolan ringan. Aku sendiri tidak terlalu fokus dengan apa yang mereka bicarakan. Otakku masih berpikir bagaimana cara terbaik untuk bicara dengan orang tua Kak Ivan bahwa aku tidak bisa lagi bersama putranya.

Kepalan tanganku yang berada di atas pangkuan, tiba-tiba terasa hangat. Ketika aku meliriknya dengan ujung mata, Arun sudah menggenggamnya dengan kuat. Dia seakan ingin memberikanku keberanian untuk berterus terang.

"Jadi, ke mana kalian rencananya mau honeymoon setelah menikah?" tanya Mama Kak Ivan tiba-tiba mengganti topik pembicaraan yang awalnya soal bisnis dan segala tetek bengeknya yang tidak aku mengerti.

"Me ... Menikah?" Aku tergelagap. Kata itu tiba-tiba terdengar menakutkan, hingga aku kesusahan untuk menelan ludahku sendiri.

"Iya. Setelah bertunangan, kalian pasti akan menikah, kan?" jelas Mama Kak Ivan dengan seulas senyum ramah.

"Hm, bagaimana kalau tempat yang kamu suka, Tha?" jawab Kak Ivan mengerlingkan mata kepadaku.

Aku menggeleng. Tidak. Aku ke sini bukan untuk membahas soal masa depan dengan Kak Ivan, tapi untuk mengakhirinya. Genggaman Arun semakin erat di bawah sana.

"Om, Tante, ada hal penting yang ingin saya sampaikan," ujarku dengan suara sedikit gemetar. Aku tidak ingin membayangkan bagaimana reaksi mereka saat aku memberitahu soal keputusanku mengakhiri hubungan dengan Kak Ivan.

"Hal penting apa, Sayang? Muka kamu, kok, tegang gitu," tanya Mama Kak Ivan seraya mengubah raut wajahnya menjadi waswas.

Aku menarik oksigen lewat hidungku sesaat, sebelum menjawab, "maaf, saya nggak bisa bertunangan atau menikah dengan Kak Ivan."

Seketika atmosfer di sini terasa hening. Hanya suara denting sendok dicampakkan sedikit kasar di atas piring yang berasal dari Kak Ivan. Seluruh pasang mata di sini pun kini tertuju kepadaku.

"Kamu bilang apa tadi?" Mama Kak Ivan bersuara.

"Maaf, Tante. Sebenarnya kami sudah putus," jelasku sambil menunduk, tak berani menatap matanya sama sekali.

"Kenapa?" tanya Papa Kak Ivan dengan suara berat khasnya yang dalam, membuatku semakin mengisut.

"Saya ..."

"Cuma kamu yang pengin putus, Tha. Bukan aku." Kalimatku dipotong cepat oleh Kak Ivan.

"Coba jelaskan ini dengan pelan-pelan," tuntut Mama Kak Ivan.

Tanganku mulai basah keringat. Rasanya sangat dingin, meskipun digenggam oleh kehangatan Arun. Perlahan-lahan, aku mulai melirik ke arah laki-laki itu. Berusaha mencari dukungan di matanya bahwa apa yang sedang aku lakukan bukanlah sebuah kesalahan.

Kami bertatap sejenak, sebelum Kak Ivan tiba-tiba saja berdiri dari kursinya dan menarik ujung kerah kemeja Arun. Setengah detik kemudian, kepalan tangan pria itu sudah mampir di pipi kiri Arun dan membuatnya langsung tersungkur. Menimbulkan bunyi berdebum yang mengagetkan kami semua. Bahkan Mama Kak Ivan juga berteriak histeris.

"Berani-beraninya kamu menyentuh milikku!" hardik Kak Ivan yang kini kembali menarik ujung kerah Arun.

Aku terbelalak. Kak Ivan yang diliputi amarah bersiap untuk meninju Arun kembali. Sedangkan Arun terlihat menyeringai, seolah pukulan Kak Ivan tidak berarti baginya. Meskipun darah segar mengucur dari sudut bibirnya.

"Milikmu? Jangan bercanda! Aku yang lebih dulu kenal dan menyukai Bitha. Aku cuma merebut kembali apa yang awalnya memang jadi milikku," desis Arun tak kalah menakutkan.

Mata Kak Ivan berkilat-kilat. Baru pertama kali ini aku melihatnya semarah itu. Dia mencengkeram lebih kuat kerah Arun. Sedangkan aku lebih mencemaskan keadaan laki-laki berambut gondrong itu. Aku berusaha mencegah Kak Ivan kembali memukul Arun. Namun, kekuatanku kalah besar darinya.

Suara berdebuk kembali terdengar. Bahkan sekarang bertubi-tubi. Diselingi oleh teriakan ketakutan Mami Ivan dan aku yang hanya bisa menatap nanar mereka. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro