Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18. Hydrangea

Setelah kembali ke ibukota, aku benar-benar jatuh sakit selama beberapa hari. Demam yang mencapai 39° C membuat aku hanya bisa berbaring di atas tempat tidur. Seluruh badanku terasa ngilu, bahkan hanya dengan sedikit sentuhan pada kulitnya. Belum lagi pusing akibat saluran pernapasan yang penuh oleh lendir. Benar-benar menyiksa saat flu tiba-tiba datang menyerang.

Kondisi itu juga diperparah oleh sebuah peristiwa yang terjadi saat perjalanan pulang dari resort. Aku sudah berniat untuk berbicara berdua saja dengan Kak Ivan saat mengantarku kembali ke rumah. Di dalam mobil yang dikendarai oleh salah satu sopirnya, kata-kata perpisahan itu sudah keluar dari dalam mulutku.

Aku harap drama putus tersebut akan berjalan mulus. Nyatanya, tak seperti yang aku bayangkan. Kak Ivan bahkan tidak bertanya apa alasanku meminta perpisahan darinya. Aku masih ingat betul apa yang dikatakan olehnya saat itu.

"Kamu bercanda, kan? Aku nggak akan pernah melepaskan kamu, mau apa pun itu alasannya."

Sekarang ini, aku sudah berkali-kali berusaha menghubungi Kak Ivan untuk membicarakan hubungan kami lagi. Akan tetapi, dia selalu menjawabnya dengan lain kali. Seakan menghindari dan tidak ingin membahasnya.

[Hubungan kita sudah jelas, kan, Tha? Kita akan mengadakan pertunangan resmi dalam satu minggu ini.]

Begitulah isi dari pesan instan yang dia kirimkan beberapa saat lalu; membuat kepalaku semakin berdenyut sakit.

"Kamu yakin sudah nggak kenapa-kenapa masuk kerja, Tha?" Pertanyaan Mbak Yasmin itu telah berkali-kali aku dengar sepanjang pagi tadi.

"Iya, Mbak. Insyaallah nggak apa-apa. Ini juga udah mending dari kemarin," jawabku berusaha memberikan sebuah senyum.

"Tapi, muka Mbak Bitha masih pucat gitu," timpal Nina—yang sudah bertekur di depan laptop yang menyala di atas meja konter—dan disetujui oleh Mbak Yasmin dengan anggukan.

"Aku malah akan merasa semakin nggak enak kalau libur terus." Aku berusaha tidak mengacuhkan rasa sakitku. Setelah membenarkan letak masker yang aku pakai sedikit miring, aku kembali mengecek kesegaran bunga-bunga pesanan untuk hari ini.

Aku tahu, Mbak Yasmin pasti terkejut melihatku tiba-tiba ada di sini tadi pagi. Dia memang selalu keluar rumah lebih awal untuk mengantarkan Pasai ke sekolahnya—setelah mengecek keadaanku beberapa hari saat sakit ini. Baru kemudian dia akan pergi ke toko. Jadi, wanita itu tentu saja kaget dengan kehadiranku.

"Kamu nggak apa-apa, Tha?" Mbak Yasmin kembali bertanya, membuatku sedikit mengembuskan napas kasar.

"Iya, Mbak. Mbak Yasmin udah tanya itu ribuan kali," jawabku dengan berlebihan.

Aku menaburkan flower food ke air dingin di dalam ember-ember stainless steel berisi berbagai jenis bunga beraneka warna untuk menjaga kesegarannya.

"Bukan itu, Tha." Mbak Yasmine mendekat dan berbisik, "tapi, hatimu. Hubungan kamu sama Ivander. Kamu yakin baik-baik saja?" Wanita itu tentu saja sudah aku ceritakan seluruh peristiwa yang terjadi di resort.

Seketika gerakanku pun terhenti. Aku memutuskan kembali bekerja karena butuh kesibukan untuk sedikit melupakan masalah itu. Akan tetapi, kalimat Mbak Yasmin barusan membuatku kembali mengingat bahwa Kak Ivan secara sepihak memutuskan untuk tetap bertunangan di saat aku sudah mengucapkan kalimat perpisahan.

Meskipun aku tidak melihatnya, aku yakin Mbak Yasmin saat ini sedang menatapku lekat sembari berharap sebuah jawaban dariku yang memuaskan. Namun, aku sendiri bahkan tidak yakin apakah aku baik-baik saja saat ini.

Belum juga aku mengucapkan sesuatu, lonceng pintu berdenting—tanda ada seseorang yang membukanya. Refleks kami semua menoleh ke sumber suara karena ingin melihat siapa yang datang. Seketika mataku pun membola sempurna. Tercengang.

Nina yang pertama kali mengeluarkan suara. Tergopoh-gopoh dia bangkit dan menghampiri tubuh laki-laki yang masih berdiri tegap di tempat.

"Angin Pagi," sapa Nina antusias. Bahkan aku bisa melihat binar-binar di sepasang matanya.

Arun mengerutkan dahi. Tercetak jelas di wajahnya sebuah kebingungan. Mungkin dia bertanya-tanya siapa gadis berambut bob yang kini ada di hadapannya.

"Kamu nggak ingat sama aku, ya?" tanya Nina dengan nada kecewa.

"Maaf," jawab Arun pelan. Matanya kemudian beralih kepadaku yang masih juga berdiri di sebelah bunga-bunga segar dengan terkejut.

"Aku yang kemarin datang ke workshop di Dedaunan. Yang kasih buket bunga ke kamu." Terlihat Nina masih berusaha membuat Arun bisa mengingatnya.

Arun diam sejenak. Dia tampak sedang berpikir beberapa saat, hingga beberapa detik kemudian berkata, "oh. Buket bunga morning glory itu, ya?"

Nina mengangguk dengan senyum yang melebar. Aku menahan napas. Apakah dia tahu kalau aku yang membuat buket bunga tersebut?

"Kebetulan, nih, yang bikin bunganya itu ada di sini." Nina menarik lenganku mendekat. Dia benar-benar terlihat senang karena idolanya tiba-tiba ada di sini tanpa ada angin dan hujan.

Napasku semakin tidak teratur. Jantungku berdebar-debar tak karuan saat Arun menghunjamkan tatapan kepadaku. Susah payah suaraku pun keluar untuk menyapanya, "hai, Run."

Senyum Arun merekah. Tatapannya lekat kepadaku, membuat perutku diliputi oleh desir-desir halus yang menggoda. Apalagi saat aku teringat bagaimana bibirnya yang manis menyentuhku serta pelukannya yang menghangatkan.

"Kamu sehat, Tha?" tanya Arun yang sukses mengejutkan Nina. Bahkan Mbak Yasmin pun ikut mendekat.

"Sedikit kena flu."

"Aku juga." Jawabannya sungguh membuatku meringis. Entah siapa yang menularkan ke siapa virus flu ini.

"Mbak Bitha kayaknya akrab sama Angin Pagi? Gara-gara kerjaan kemarin, ya?" tanya Nina menyela. Matanya bergantian menatap aku dan Arun.

"Nggak juga, sih. Kami teman sekolah dulu." Aku mengangguk.

Jawabanku sontak disambut histeris oleh Nina. "Kok, nggak bilang-bilang, sih, Mbak? Tahu gitu, kemarin aku ikut ke Batam, deh, biar bisa akrab sama Angin Pagi."

Aku hanya bisa membalas ucapan Nina dengan senyuman—meski aku yakin dia tidak bisa melihatnya.

"Sudah. Balik kerja sana, Nin," perintah Mbak Yasmin yang membuat Nina mencebik kecewa. Gadis itu kemudian melangkahkan kakinya kembali ke belakang meja konter, diikuti oleh Mbak Yasmin yang harus memeriksa beberapa laporan bulanan.

"Kamu, kok, bisa ada di sini?" tanyaku tak mampu menyembunyikan keheranan sekaligus rasa senang. Benar, aku sangat gembira ketika melihat wajahnya hingga sebagian rasa sakitku menguap entah ke mana.

"Mau beli bunga," jawabnya singkat.

Aku merasakan sedikit kekecewaan karena aku pikir dia ke sini karena ingin bertemu denganku. Ternyata .... Ah, laki-laki ini memang selalu bisa menaikturunkan perasaanku dalam sekejap.

"Oh. Mau jenis rangkaian dan bunga seperti apa?" tanyaku berusaha untuk ramah. Bagaimanapun dia ke sini sebagai pelanggan, kan?

Arun kemudian menyapukan pandangan ke jejeran bunga-bunga potong yang masih segar, hingga jemarinya menunjuk satu arah. "Yang biru itu. Hydrangea. Buat seperti buket biasa saja."

Aku pun mengambil dua potong hydrangea tersebut, serta memilih beberapa tangkai baby's breath yang akan aku gunakan dalam rangkaian.

"Buat siapa bunganya?" tanyaku seraya mengapit tangkai bunga bernama lain bokor itu di antara ibu jari dan telunjuk kiri—mulai menyusunnya satu persatu. Meski badanku masih terasa sedikit sakit, tapi bekerja seperti ini membuatku agak lebih baik.

"Buat perempuan yang paling aku cintai," jawab Arun membuat gerakan tanganku terhenti sejenak.

"Oh, dia pasti sangat beruntung," timpalku; diam-diam mengulum senyum di balik kain masker yang aku pakai.

Dadaku tiba-tiba kembali berdebar kencang dengan sensasi menyenangkan. Perempuan yang dia cintai? Aku berharap bahwa yang dia maksud adalah aku.

"Kamu mau ikut menemuinya, Tha?" tanya Arun dan aku terkesiap.

***

Arun bersimpuh di samping sebuah pusara. Kedua matanya tampak berkaca-kaca memandangi gundukan tanah berbentuk persegi panjang di hadapannya. Tangannya terulur, mengelus lembut batu nisan hitam berukir satu nama. Rangkaian bunga hydrangea biru yang tadi dibelinya pun tergeletak pasrah di atas makam tersebut.

Aku tidak menyangka bahwa Arun akan membawaku ke tempat peristirahatan ini. Setelah sebelumnya Mbak Yasmin juga mengamini agar aku tidak bekerja hari ini, sebab fluku yang dia pikir masih parah. Maka, aku pun ada di sini sekarang.

Sebuah kompleks pemakaman—yamg aku tahu—elite di atas bukit hijau dan terletak sedikit jauh dari ibukota. Tempat persemayaman untuk orang-orang berada. Aku pikir, laki-laki itu akan mengajakku ke suatu tempat yang lain. Bukan mengunjungi sebuah pusara yang masih menjadi tanda tanya bagiku milik siapa. Dia bilang akan menemui perempuan yang paling dicintainya, bukan?

"Ini mamaku, Tha," lirih Arun dengan sedikit senyum yang dipaksakan. "Perempuan yang paling aku sayangi di dunia ini."

Aku menyimpulkan senyum tatkala Arun dengan khusyuk berdoa di samping makam ibunya. Aku sudah menyadarinya sejak dulu. Di balik penampilan Arun yang seperti anak nakal, dia sebenarnya adalah sosok yang penyayang. Pun dengan tembok yang sengaja dia bangun untuk membatasi hatinya yang lembut dengan orang lain.

Aku pun ikut mengirimkan sebuah doa untuk ibu Arun. Meski aku tidak mengenal jasad yang terkubur di dalam sini. Namun, aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang-orang yang kita sayangi terutama keluarga. Sebab aku pun mengalaminya.

Selepas berdoa, Arun masih memilih untuk menyimpuhkan diri di sebelah makam Sang Ibu. "Gimana kabarnya, Ma? Maaf, jika akhir-akhir ini aku sering mengunjungi Mama. Mama pasti nggak suka, kan? Aku bawakan bunga kesukaan Mama ini biar aku nggak dimarahi," monolog Arun pada kuburan itu.

Aku hampir terkikik geli. Jadi Arun saat ini sedang menyogok ibunya? Benar-benar mirip seperti anak kecil.

"Kenapa tertawa?" ketusnya tajam tanpa mengalihkan perhatiannya pada pusara ibunya.

"Nggak, kok. Aku cuma senang aja bisa kamu ajak ke sini dan kenalan sama mama kamu." Dan melihat sisi lain dirimu yang super manis. Aku memasang senyum tulus—yang tentu saja tidak terlihat olehnya.

Arun menyeringai. Sejenak kemudian dia bangkit dan mengajakku beranjak dari pusara ibunya. Kini kami berjalan bersisian di jalan beraspal yang membelah pemakaman yang sepi ini. Sejauh mataku memandang, kesan hijau dan asri yang kutangkap. Jauh dari kesan seram yang selama ini menjadi citra kuburan. Bahkan yang aku tahu, di sini juga dijadikan tempat wisata. Di depan sana ada sebuah danau buatan yang cukup luas dengan angsa-angsa yang asyik berenang.

"Jadi kenapa kamu ajak aku ke sini untuk ketemu mama kamu?" tanyaku membelah kesunyian di antara kami. Meskipun aku menikmati perjalanan ini—bahkan jika kami hanya saling diam tanpa ucap—tapi ada banyak pertanyaan yang menggelitik di pikiranku.

"Karena aku ingin," jawabnya seraya mengedikkan bahu. Kini langkahnya membawa kami ke sisi lain pemakaman dengan nuansa Tionghoa. Paviliun-paviliun putih berdiri di sisi sebuah danau kecil dengan jembatan kayu juga teratai-teratai yang terapung.

"Kenapa ingin?" Aku mengikuti langkah lebarnya yang menuju ke sisi lain danau.

Aku melihat wajahnya mengerut. "Sejak kapan kamu jadi secerewet ini?" tanyanya seraya mendudukkan diri di bawah sebatang pohon angsana.

"Udah sembilan tahun, Run. Banyak hal yang berubah." Aku mengikutinya untuk duduk bersebelahan.

"Tapi, perasaan kamu ke aku nggak berubah sama sekali."

"Itu pengecualian," ujarku tersipu. Andaikan aku tidak memakai masker ini, mungkin wajahku yang tengah memerah akan terlihat jelas olehnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro