14. Chamomile
Satu jam kemudian, praktis semua pertanyaan dalam benakku; kenapa Kak Ivan memisahkan diri dari rombongan, menghilang. Dia yang terlihat buru-buru saat turun dari mobil van dan menyetop taksi itu sudah tidak lagi mengganggu pikiranku. Ya, anggap saja Kak Ivan ada sebuah janji temu penting dengan seorang kolega, atau apa. Jujur, aku mulai tidak terlalu peduli.
Saat ini kapal feri mulai bergerak meninggalkan pelabuhan. Menurut salah satu staf resort, kami akan sampai di pulau tujuan sekitar satu setengah jam lagi dan setelah itu perjalanan akan disambung dengan menaiki perahu motor selama dua puluh menit. Memikirkan masih lamanya kami akan berlabuh, aku memutuskan untuk naik ke atas buritan.
Tubuhku terayun saat menaiki tangga yang tidak terlalu lebar itu, sehingga aku harus senantiasa berpegang pada birai besi yang sedikit berkarat. Ombak kecil yang menerpa badan feri membuatnya bergerak ke kanan-kiri di tengah laut. Terpaan angin cukup kuat aku rasakan menampar wajah kala kakiku telah sampai di buritan.
Aroma matahari dan asinnya laut begitu menyengat. Helai-helai rambutku pun berkibar-kibar dengan bebas tatkala berpapasan dengan angin yang terdengar menderu. Sedikit mengganggu pandangan sebenarnya, hingga kuputuskan untuk mengikat rambut saja.
"Jadi, sebenarnya kamu udah nikah atau belum nikah?"
Aku menjengit. Tiba-tiba saja suara itu masuk ke gendang telingaku seakan terbawa oleh angin. Kepalaku menoleh ke kiri dan mendapati tubuh jangkung Arun sudah ada di sebelahku; bersandar pada birai buritan. Sepasang mata tajamnya melihatku dengan tatapan bertanya.
Aku meluruskan punggung. Mendadak tenggorokanku pun terasa serak hingga harus berdeham sejenak. Kugelengkan kepala dua kali sebelum menjawab, "belum."
Meski berusaha agar suaraku terdengar biasa saja, tapi aku yakin yang keluar justru lebih mirip cicit tikus. Arun membuang pandangannya. Pelabuhan Sekupang terlihat semakin menciut dari kejauhan.
"Kenapa bohong?" tanyanya lagi. Kali ini tanpa menoleh ke arahku.
Lagi-lagi bibirku kelu. Aku sendiri tidak yakin kenapa saat itu justru mengiakan pertanyaan Arun soal diriku yang sudah menikah atau belum. "Spontan aja, mungkin," jawabku sedikit ragu.
"Takut kalau tiba-tiba kamu malah suka sama aku lagi?" Pertanyaannya sarat akan rasa percaya diri, membuatku sedikit terkejut.
Kutatap wajahnya dari samping. Terlihat jelas bahwa sudut bibir itu tertarik ke belakang, membentuk sebuah seringai.
"Aku... Aku nggak suka sama kamu." Kedua bibirku bergerak tersendat. Entah apa lagi yang kupikirkan saat menjawabnya. Jelas-jelas saat ini aku kembali berbohong soal mengatakan tidak menyukainya. Karena pada faktanya, Arun tidak pernah sedikit pun hilang dari benakku selama sembilan tahun berlalu.
"Benarkah?" Arun menyeringai lebih lebar.
Tubuhnya kini sedikit menyerong ke arahku. Sepasang manik hitam yang tertanam di matanya itu menatapku penuh godaan. Sama seperti yang pernah dilakukannya saat SMA dulu di lapangan basket.
"Aku benci kamu yang tiba-tiba aja hilang," tuturku sembari menantang tatapannya.
Pandangan Arun seketika berubah. Sekilas aku bisa melihat adanya kabut di sana. Hanya sesaat, tatapan itu kembali mendingin. Menyisakan denyar dalam hatiku.
"Semoga kamu bahagia bersama pacar kamu itu," ucapnya sebelum berbalik dan meninggalkanku sendirian.
Aku menatap punggung Arun yang menjauh. Hatiku terasa diremas-remas sangat kuat. Ada begitu banyak pertanyaan bersesak di dalam otakku yang membutuhkan jawaban darinya.
***
Mesin perahu mulai dimatikan. Hanya menyisakan suara debur ombak sebagai pengiring saat ia menepi ke sebuah dermaga kayu. Pulau cantik itu menyambut kami. Pantai berpasir putih bersih yang terhampar bersama laut jernih berwarna biru kehijauan, terlihat bagaikan serpihan surga yang jatuh ke dunia. Tak ayal aku pun mengaguminya dengan decak.
Aku berusaha berdiri tegak, menyeimbangkan tubuh agar tidak oleng mengikuti goyangan badan perahu. Cukup susah bagiku untuk bisa melompat ke atas dermaga—takut kalau-kalau aku justru jatuh terjerembap. Sebuah tangan terulur padaku dan langsung kupegang erat tanpa melihat siapa pemiliknya. Sukses. Aku berhasil menginjakkan kakiku di atas susunan kayu tanpa pelitur itu.
"Makasih," ujarku.
"Sama-sama," jawab pemilik tangan tersebut singkat.
Suaranya yang dalam itu membuatku mendongak. Ada sepasang mata Arun yang kulihat pertama kali. Tangan kami masih saling berpegangan. Aku merasakan kehangatan yang tiba-tiba menjalar ke seluruh tubuh. Hanya beberapa detik saja dan aku buru-buru melepasnya.
Aku membenahi rambutku yang berantakan selama perjalanan tadi. Meskipun sudah aku kucir, tapi angin laut yang bertiup lumayan kencang berhasil membuat surai-surai tersebut keluar dari ikatannya. Sembari itu, aku melirik ke Arun yang sudah berjalan di depan. Di hadapannya ada Saif yang sedang memegang kamera untuk merekam dirinya. Laki-laki itu kemudian berbicara satu-dua patah kata dengan gayanya yang tetap tak acuh.
Kutinggalkan pandangan dari Arun dan Saif yang sedang membuat konten. Mataku lalu beralih pada dataran di pangkal dermaga sana. Beberapa bungalo yang tampak sederhana di luar, dibangun pada sepanjang sisi pantai yang tak terlalu luas itu. Di belakangnya terlihat pula hutan-hutan hijau alami.
Kala aku sedang asyik mengamati pemandangan indah yang terhampar di depan mata, sebuah suara nyaring memanggilku dengan lantang. Aku berusaha memperhatikan wajah dari tubuh berbalut blus bunga-bunga tipis yang menerawang itu dengan saksama. Kaki-kakinya yang jenjang melangkah tergesa ke arahku. Semakin dekat, aku bisa melihat dengan jelas. Sebuah senyum terbit di bibirku kemudian.
"Illana?" panggilku sontak. Bukankah ini kejutan?
Setengah berlari, aku pun menghampiri gadis itu yang juga melangkah ke arahku dengan ringan. Penampilan Illana terlihat telah banyak berubah semenjak dia kuliah di luar negeri, kemudian menetap di Singapura. Rambutnya yang hitam panjang, kini terganti potongan pendek dan dicat merah tua. Terlihat cantik dan selaras dengan kulit seputih susu miliknya. Namun, satu hal yang tidak berubah adalah suara Illana tetap seriang yang biasa aku dengar dulu.
Kami langsung berpelukan begitu Illana sudah berada di hadapanku. Rasanya aku rindu sekali pada sahabat yang sudah berteman denganku saat SMA—satu-satunya murid yang mau menghabiskan waktu berteman denganku selain Arun.
"Kok, bisa ada di sini, Lan?" tanyaku heran saat pelukan kami terlepas.
"Bisalah. Naik ferry dari Singapore," jawabannya ringan dengan cengiran amat lebar.
Aku tergelak. Tentu. Jarak antara pulau ini dan Negeri Merlion itu hanya satu lemparan batu saja.
"Mama sama papa nanti juga nyusul ke sini," ujar Illana membuatku sedikit terenyak.
"Eh, om dan tante mau ke sini?" Aku mengulang perkataan Illana.
Sahabatku itu pun mengangguk. Kepalanya kini menoleh ke sekitar seolah sedang memindai sesuatu. "Loh, Kak Ivan mana, Tha?"
Aku mengedikkan bahu. "Katanya ada urusan dulu di Batam."
Illana terpaku. Bukan karena perkataanku yang sepertinya tidak dia dengar, melainkan sepasang matanya yang menangkap sosok Arun di belakang sana. Dahinya mengerut dalam.
"Kenapa orang itu ada di sini?" tanyanya ketus. Kentara sekali ada nada tidak suka dari ucapannya.
Belum sempat aku membuka mulut untuk menjelaskan, Illana sudah berlalu dari hadapanku dan menghampiri Arun. Dia berkacak pinggang. Menatap Arun dengan matanya yang berapi-api. Aku sedikit tidak mengerti, kenapa Illana sampai sebegitu membenci Arun sejak dulu.
"Ngapain kamu di sini?" Aku dapat mendengar suara Illana dengan jelas dari jarak beberapa meter. Cukup kencang untuk bisa mengalahkan bunyi angin berpadu debur ombak. "Mau ganggu Bitha lagi?"
"Kerja," jawab Arun singkat dengan ekspresi datar tak terbaca seperti biasa.
Illana tampak tidak puas dengan jawaban Arun hingga membuatku harus menghampiri mereka dan menjelaskannya.
"Kak Ivan yang ngajakin dia kerja sama buat event resort, Lan."
Tatapan Illana kembali menyelidik kepada Arun. Seolah penjelasanku tidak masuk akal baginya.
"Awas aja kalau kamu gangguin Bitha lagi," ancam Illana pada akhirnya. "Aku nggak bakal biarin kamu."
"Aku nggak tertarik," balas Arun dengan senyum miring. Tubuh tinggi itu pun kini melenggang diikuti oleh Saif.
Entah kenapa, aku menjadi sedikit sakit hati saat mendengar kalimat terakhirnya. Ada yang menusuk jantungku hingga berdenyut agak perih. Ah, apa aku mengharapkan dia untuk 'mengganggu' hidupku lagi seperti yang dikatakan Illana?
***
Perjalanan kapal feri menuju pulau ini hanya ada sekali sehari. Jadi, Kak Ivan mengatakan bahwa dia akan menyusul ke resort esok pagi, bersamaan dengan orang tuanya. Berita yang tidak terlalu mengejutkan untukku.
Aku menutup sambungan telepon, meletakkan benda pipih itu ke atas pangkuanku. Duduk meluruskan kaki di kursi malas pinggir pantai. Angin sore ini terasa mulai menyejuk. Semburat jingga tampak menghiasi cakrawala barat. Debur ombak terdengar bersahutan, masih berpadu dengan aroma air asin yang pekat terhidu olehku.
Pemandangan yang cukup eksotis itu membuat kakiku tergerak untuk lebih mendekati air yang telah pasang. Ponsel kembali kunyalakan. Kali ini bukan untuk menelepon atau mengecek berbagai akun sosial media, tetapi untuk mengabadikan momen indah yang sayang jika tidak diabadikan lewat sebuah potret.
Berbagai sudut pandang berusaha aku ambil untuk menghasilkan foto yang pas. Namun, tidak ada satu pun di antaranya yang memuaskan hatiku. Matahari semakin tenggelam ke ufuk.
Sejurus kemudian, tiba-tiba ponsel di genggamanmu beralih. Ada sebuah tangan nan kekar yang merebutnya dariku. Saat menoleh, lagi-lagi Arun datang dengan mendadak. Aku terkejut dengan mata yang mengerjap-ngerjap.
Dalam keadaan normal, harusnya aku langsung merebut ponselku kembali. Akan tetapi, otakku seolah membeku hanya dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Jantungku berdebar, menggedor-gedor dada seakan meminta dilepaskan.
Arun masyuk. Jemarinya bagai menari-nari di atas layar sentuh ponselku, mengutak-atik pengaturan kameranya. Dalam beberapa detik, dia pun menyentuh tombol shutter.
"Nih," ujarnya seraya mengembalikan benda berwarna perak itu.
Aku menerimanya. Kemudian kedua sudut bibirku pun tertarik ke belakang. Membentuk sebuah senyuman tatkala menyadari bahwa laki-laki itu memotret pemandangan senja untukku.
"Profesional memang beda, ya?" pujiku seraya mengagumi hasil jepretannya yang berada di ponselku. Indah tentu saja. Jauh berbeda dengan foto yang aku ambil, terutama di komposisi cahayanya.
Arun menjawab dengan deheman dan hendak berlalu. Entah dari mana asalnya keberanian itu, aku malah menarik ujung bajunya. Berusaha menahan tubuhnya untuk tetap berada di dekatku lebih lama.
"Ada apa?" Kira-kira begitulah ekspresi wajah yang dia perlihatkan, tanpa ada satu pun kata yang terucapkan.
"Aku..."
Aku ingin kamu di sini bersamaku. Lebih lama.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro