Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. Marigold

Sudah aku putuskan untuk berhenti memikirkan Arun. Aku tidak ingin hubunganku dengan Kak Ivan yang sudah terjalin begitu lama ini berantakan. Tak akan kubiarkan laki-laki itu membuka kembali kotak perasaanku yang sudah tertutup dan tersimpan rapat di dalam hati. Toh, kami juga belum tentu akan bertemu kembali. Lagi pula, aku ingat pernah mengaku telah menikah padanya saat di kereta.

Sekarang aku harus fokus pada pekerjaanku. Apalagi satu bulan ini adalah saat-saat tersibuk karena banyaknya pasangan yang menikah. Aku yakin, dengan menyibukkan diri mampu melupakan sesuatu yang sangat ingin kita lupakan. Sama seperti yang telah aku lakukan selama ini.

Selain itu aku juga harus mempertimbangkan perasaan Kak Ivan. Mungkin ini saatnya aku mengatakan 'ya' untuk lamarannya tempo hari. Aku tidak boleh mengecewakan orang yang sudah begitu baik kepadaku selama ini, kan? Bukan hanya Kak Ivan dan Illana, tapi juga orang tuanya yang selalu menerimaku dengan tangan terbuka.

"Beneran, Tha?" tanya Kak Ivan dari ujung telepon sana. Dari suaranya yang terdengar begitu antusias, aku yakin jika dia pastilah sangat bahagia. Aku bahkan membayangkan, saat ini Kak Ivan akan mengepalkan tangannya ke udara, bersorak di belakang mejanya persis seperti anak kecil yang baru saja memenangkan sebuah perlombaan.

"Iya, Kak," jawabku sembari memegang erat cincin berlian yang diberikan pria berusia tiga puluh tahun itu. Meski aku tidak bisa merasakan euforia yang sama seperti Kak Ivan, tapi mendengar suaranya yang begitu bahagia, aku pun ikut senang.

"Makasih banyak, ya, Sayang," balasnya. "Aku jadi pengin peluk dan cium kamu saat ini juga."

Aku tergelak. Merasakan sarafku sedikit menegang. "Nggak."

"Kok, enggak, sih?" rajuknya. "Kalau gitu malam ini kita makan malam bareng, ya? Enggak boleh nolak. Hari ini aku lagi senang banget karena dapat beberapa berita gembira sekaligus."

"Oh, ya? Selamat kalau gitu, Kak."

Setelah mengobrol beberapa saat dan bersepakat untuk janji makan malam kami, sambungan telepon pun terputus. Aku menyimpan kembali ponsel ke dalam kantung celemek yang sedang aku kenakan. Sedangkan tanganku mulai sibuk menggunting batang mawar dan menatanya dalam sebuah box bundar berwarna ungu pastel dengan logo Jasmine Florist & Decoration.

Tenggelam dalam pekerjaan mungkin menjadi salah satu caraku untuk tidak terlarut-larut dalam perasaan yang tidak jelas. Aku selalu menemukan duniaku sendiri ketika berhadapan dengan berbagai macam bunga—sesuatu yang tidak bisa aku bagi bahkan dengan Kak Ivan.

Meski pekerjaanku sebagai florist banyak bersinggungan dengan Kak Ivan, entah kenapa tidak ada satu pun di antara kami yang ingin berbagi dunia yang sama. Dia dengan kesibukannya sebagai direktur marketing jaringan hotel milik keluarganya, dan aku yang hanya seorang tukang bunga di toko yang tak terlalu besar.

Saat aku tengah asyik dengan pekerjaanku, tiba-tiba saja satu cup kopi susu dengan brown sugar tersaji di depanku. Embun-embun terlihat memenuhi seluruh permukaannya. Sukses membuatku menelan ludah di hari yang panas ini.

Aku mengangkat kepala untuk melihat siapa biang kerok yang sudah meletakkan minuman favoritku itu di sana. Kemudian aku menemukan Nina sudah tersenyum dengan sangat lebar di hadapanku. Wajahnya tampak berbinar-binar ceria.

"Apa ini?" tanyaku mengerutkan kening.

"Ucapan makasih aku, Mbak," jawab Nina seraya menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Buat buket bunga yang kemarin."

Aku sedikit tersentak. Mengingat bahwa kemarin aku telah membuatkan Nina buket bunga morning glory untuk Angin Pagi.

"Oh, iya. Sama-sama," jawabku berusaha santai. Namun, aku yakin suaraku justru terdengar begitu kaku. "Gimana? Dia suka bunganya?"

Darahku berdesir. Diam-diam memendam penasaran pada reaksi Arun ketika menerima buket itu.

"Iya, Mbak." Nina mengangguk semangat. "Pokoknya makasih banget, ya?"

Nina kemudian berlalu dari hadapanku dan kembali ke balik mejanya. Meninggalkan aku dengan desiran darah yang masih terasa. Jika dipikir lagi, aku sudah dua kali membuatkan buket bunga untuk Arun, bukan? Entah hal itu membuatku kembali bertanya-tanya, apakah pertemuan kami saat ini hanya sebuah kebetulan semata.

"Nggak, nggak, nggak," desisku pelan seraya menggeleng kuat-kuat. Berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran itu dari otakku.

Aku pun mengambil cup kopi susu dan menenggaknya hingga tandas separuh. Benar-benar hari yang panas.

***

"Jadi, Angin Pagi akhirnya juga setuju buat kerja sama kita, Tha. Benar-benar kabar baik, kan?"

Aku bergeming. Bahkan sendok dalam genggamanku hampir saja jatuh. Kalimat Kak Ivan barusan begitu menyentak. Entah aku harus menyebutnya kabar baik atau buruk.

"Iya. Kok bisa?" tanyaku berusaha menormalkan nada dalam suara. "Bukannya kemarin Kak Ivan bilang dia menolak kerja sama?"

Kak Ivan tampak begitu gembira malam ini. Bahkan dalam keremangan cahaya di kafe roof top, aku bisa melihat senyum yang terus mengembang di bibirnya yang tipis.

"Nggak ada yang bisa menolak seorang Ivander Aryasatya," ucapnya dengan penuh kebanggaan. Sepotong daging panggang dengan saus mushroom pun masuk ke dalam mulutnya.

Aku hanya bisa membalasnya dengan senyum dan ucapan selamat. Tiba-tiba saja aku merasakan sebuah euforia. Tanpa bisa dicegah dadaku mendadak dipenuhi bunga-bunga yang bermekaran. Membayangkan bahwa aku akan bertemu dengan Arun dalam sebuah pekerjaan, sungguh memantik rasa senang.

"Kamu kenapa senyum-senyum sendiri, Sayang?" Suara Kak Ivan membuatku terkejut. "Kelihatan lagi senang banget."

Tatapannya sedikit menyelidik hingga aku harus cepat memutar otak untuk memberikan jawaban yang tidak mencurigakan. "Aku cuma lagi membayangkan gimana reaksi Nina kalau tahu idolanya kerja bareng aku. Bisa-bisa dia minta ikut ke Batam."

Bagus, Tabitha. Kamu sedang berbohong.

"Beneran?" Kak Ivan mengangkat sebelah alisnya.

Aku mengangguk dan cepat-cepat menyantap makan malamku yang berupa nasi goreng omelette. Berusaha menghindari tatapan Kak Ivan yang bisa menelanjangi segalanya, termasuk kebohonganku.

Peristiwa itu sudah terjadi beberapa hari lalu. Kini aku kembali melihat Arun di sini; di ruang tunggu bandara. Sepasang mataku yang menangkap kehadirannya mendadak membulat. Dia datang dengan menyandang sebuah ransel besar. Langkahnya terlihat mantap kala menuju ke arah kami.

Kak Ivan segera menyambut kehadiran laki-laki itu. Senyuman mengembang di kedua bibirnya. Dia mengulurkan lengan; menawarkan sebuah jabat tangan kepada Arun.

"Senang sekali rasanya waktu dengar kamu setuju sama kerjaan ini," sambut Kak Ivan dengan suara yang dibuat sewibawa mungkin, tapi tidak bisa menutupi kegembiraannya di telingaku.

"Saya juga berharap bahwa kerja sama ini berjalan dengan baik," balas Arun seraya menyambut uluran tangan Kak Ivan.

"Oh, ya. Kamu mungkin udah pernah lihat dia sekilas pas di Dedaunan minggu kemarin." Kak Ivan menarik lenganku agar lebih dekat. "Dia Tabitha, dekorator yang juga berada di tim ini."

Spontan aku menahan napas tatkala pandangan Arun beralih kepadaku. Tatapan itu memang selalu mampu memompa darahku lebih cepat. Membuat desiran halus yang memenuhi seluruh bagian tubuhku.

Aku mengulurkan tangan kepadanya dengan gerakan sedikit kaku. Dalam hati aku berdoa agar Kak Ivan tidak menyadari kegugupanku.

"Tabitha," ucapku seolah-olah tidak mengenalnya. Lagi pula, itu memang permintaannya juga, bukan?

"Arun." Laki-laki itu menyambut uluran tanganku. Menjabatnya dengan satu remasan lembut. Lagi-lagi, aku seperti tersengat dibuatnya.

Segera Arun membuang muka dan melepaskan tangannya. Di sisi kirinya, aku baru menyadari kehadiran sosok lain. Seorang laki-laki yang mengenakan topi hitam, juga mengenakan sebuah kacamata berbingkai tipis.

"Dia Saif. Staf yang akan membantu saya dalam pekerjaan ini," jelas Arun kepada kami.

Saif kemudian menjabat tangan Kak Ivan dan aku secara bergantian. Sebuah lesung pipi terlihat saat dia menarik ujung-ujung bibirnya ke atas.

Sesi perkenalan singkat itu pun berakhir tatkala suara lembut dari seorang wanita menggema ke seluruh sudut bandara. Sebuah pengumuman bahwa pesawat yang menuju Bandara Hang Nadim akan segera berangkat. Gegas kami semua pun mulai beranjak.

Segera aku tahu, bahwa keputusan untuk tidak lagi memikirkan Arun hanya bualanku saja.

***

Dua jam kemudian, pesawat sudah mendarat di Bandara Hang Nadim dengan sukses. Dua orang pegawai berseragam resort pun menyambut kedatangan kami bak tamu besar. Ah, sebenarnya hanya Kak Ivan saja yang disambut sedemikian rupa. Pria itu diberi sebuah untaian kalung bunga, perpaduan dari marigold dan anggrek berwarna jingga serta ungu.

"Kakak udah mirip atlet yang baru menang Olimpiade, aja," bisikku seraya menahan geli saat melihat ekspresinya yang sedikit kaku.

Aku tahu, Kak Ivan sebenarnya tidak ingin memakai kalung bunga itu—terbaca jelas dari raut wajahnya. Jengah. Namun, dia menahan demi menghormati karyawannya yang sudah jauh-jauh menjemput kami.

"Dulu aku pernah jadi atlet basket di SMA," balas Kak Ivan penuh percaya diri sambil merangkul pundakku.

Aku menyunggingkan senyum tipis. Pria ini memang selalu membanggakan diri pernah mewakili sekolahnya dulu dalam turnamen nasional. Ya, walaupun menurut cerita Kak Ivan, mereka hanya berhasil menjadi juara ketiga, tetapi itu cukup baginya untuk sedikit menyombongkan diri.

Kami pun segera digiring menuju ke sebuah van untuk pergi ke pelabuhan. Pulau tempat didirikan resort itu terletak di Kepulauan Karimun—begitulah info yang aku dapat setelah mencarinya di Google. Sekilas aku menoleh ke belakang dan melihat laki-laki yang kini tengah berjalan menyandang ransel besar tersebut berjalan di sebelah Saif dengan earphone yang selalu menyumpal di telinganya.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba saja ponsel Kak Ivan berdering. Raut wajahnya terlihat menegang saat berbicara dengan seseorang di ujung telepon sana. Hingga akhirnya Kak Ivan meminta turun di tengah jalan.

"Maaf semuanya. Saya rasa ada urusan mendadak yang harus saya selesaikan dulu," ucap Kak Ivan saat hendak keluar van. "Kalian semua duluan saja. Nanti saya akan menyusul."

Semua orang tampak mengangguk menyetujui. Sedangkan aku hanya menatapnya sedikit kebingungan.

"Urusan apa, Kak?"

"Nanti aku ceritain." Kalimat Kak Ivan terjeda. Matanya seperti memindai seluruh isi van dan menyadari bahwa aku satu-satunya perempuan di sini. "Kamu nggak apa-apa aku tinggal sendiri, kan, Tha?"

Setelah menimbang beberapa detik, akhirnya aku pun mengangguk pasrah ditinggal olehnya. Pintu kembali tertutup dan kini van melaju lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro