12. Carnation
Aku tertegun. Langkahku sontak terhenti. Kala sepasang mataku menangkap pemandangan yang terasa ganjil. Aku yakin itu dia. Laki-laki yang kini tengah duduk berhadapan dengan Kak Ivan di salah satu meja yang berada di tengah-tengah ruangan kafe lantai dua.
Mereka terlihat berbincang tentang sesuatu. Entahlah. Aku tidak bisa menangkap dengan jelas suara mereka dari jarak beberapa meter. Ditambah alunan lagu salah satu hits milik Rizky Febian yang diputar menggema seantero ruangan. Membuatnya terdengar bagai dengung lebah di telingaku.
Masih mendekap erat buku yang baru saja kubeli beberapa menit lalu, aku memilih menarik salah satu kursi yang berada di dekatku. Duduk di sana sembari memesan secangkir latte pada pramusaji yang langsung menghampiriku.
Baiklah. Aku bertindak seperti mata-mata hari ini. Biarkan. Sebab kakiku tertahan untuk mendekati mereka.
Kupandangi lagi kedua laki-laki itu berbicara. Meski aku tidak bisa mendengar dengan jelas apa isi obrolan mereka, tetapi dari ekspresi wajah Kak Ivan bisa aku simpulkan bahwa dia tengah menunjukkan kemampuan persuasinya. Sedangkan Arun, hanya sesekali menanggapi dengan menggelengkan kepala.
Sepertinya pembicaraan mereka berjalan alot. Hingga akhirnya laki-laki berambut gondrong yang diikat itu memutuskan untuk berdiri dari tempat duduknya. Dia hendak beranjak. Membuatku sedikit kelimpungan untuk menyembunyikan diri agar tidak terlihat olehnya. Namun, sepertinya aku kalah cepat dari pandangannya yang langsung menyambar ke arahku.
Aku yakin, dia sedikit terkejut kala menangkap basah aku yang diam-diam mengawasi mereka. Semua tampak dari gerakannya yang terhenti dan matanya yang membulat. Tubuhku pun bagai tersengat listrik berarus kecil. Menegang, tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Tiba-tiba saja perkataan Arun di kereta tempo hari terngiang-ngiang dalam otak.
"Karena kamu adalah masa lalu yang ingin aku lupakan."
Entah kenapa hatiku begitu sakit mengingat kalimat itu. Ada yang meremas jantungku dengan sangat keras. Menimbulkan gejala sesak yang tiba-tiba saja datang. Membuatku ingin meraup sebanyak-banyaknya oksigen di udara.
Lagi-lagi aku tersentak. Kala tubuh Kak Ivan berbalik dan melihatku dari jauh. Seulas senyum terbit pada sepasang bibirnya. Tangan kanannya melambai ke arahku. Otomatis, aku pun membalasnya dengan hal yang serupa.
Sesaat aku melihat raut kejut dari wajah Arun yang kemudian dengan cepat berganti tak acuh. Tubuh tingginya melenggang begitu saja melewatiku tanpa minat sedikit pun. Seolah aku orang asing yang tidak dikenalnya.
"Nanti, jika saja kita nggak sengaja ketemu lagi, aku harap kita akan bertingkah nggak saling kenal."
Oh, baiklah. Aku mengingat juga kalimatnya yang itu. Membuatku bertambah sesak.
Pandanganku mengikuti arah geraknya. Arun memasuki sebuah ruangan yang terlihat ramai orang dan dibatasi oleh sebuah dinding kaca. Sekilas aku melihat, di antara orang-orang itu ada Nina yang duduk santai di atas sofa berwarna merah tua.
"Kamu kenal dia?" Suara Kak Ivan terdengar begitu mengagetkan hingga aku menjengit.
"Eh, siapa?" tanyaku pura-pura tidak tahu apa maksudnya.
Kak Ivan menunjuk ke arah Arun dengan dagunya yang kini duduk di depan para audiensi sembari memegang mikrofon.
"Oh." Otakku berpikir keras untuk menemukan jawaban yang seusai. "Itu, dia... Ini." Aku menunjukkan buku fotografi berjudul Psithurism yang baru saja aku beli di lantai bawah itu kepada Kak Ivan.
"Aku nggak tahu kalau kamu penggemarnya," komentar Kak Ivan seraya menarik kursi di hadapanku.
"Enggak, Kak. Bukan gitu. Nina yang sering banget ngomongin dia. Aku jadi penasaran aja, sih," balasku.
Aku tidak tahu kenapa aku menjawab seperti itu. Entah. Aku seperti ingin menyembunyikan fakta bahwa aku mengenal Arun. Atau, sebenarnya aku tidak ingin Kak Ivan tahu bahwa laki-laki itu adalah cinta pertamaku? Aku tidak bisa memastikannya dengan jelas.
***
Perasaanku benar-benar sedang berkecamuk saat ini. Nama Arun terus saja berputar-putar di kepalaku semenjak di kafe siang tadi. Sikapnya yang dingin dan seolah tidak mengenalku, sungguh menyengat hati.
Meskipun Kak Ivan selalu bertanya apa aku baik-baik saja di sepanjang acara kencan kami—karena aku terlihat lebih pendiam dan sedikit pucat—aku hanya mampu menggeleng dan berkata bahwa aku hanya sedang kelelahan saja. Walhasil, laki-laki itu mengajakku pulang lebih cepat. Maka, itulah alasan kenapa aku sudah meringkuk di kamarku pada pukul delapan malam.
Sebenarnya tubuhku terasa sangat kelelahan dan aku ingin sekali bisa tidur. Namun, kelopak mataku tak kunjung mau terpejam. Entah ke mana perginya kebiasaan nempel-molor-ku itu saat dibutuhkan? Ia seperti menguap begitu saja.
Aku bangkit, lalu menekan sakelar yang berada di dinding dekat pintu. Cahaya benderang yang berasal dari lampu LED hemat energi itu langsung menerangi seisi ruangan. Aku menarik kursi dan kembali meraih buku fotografi milik Arun yang aku letakkan di atas meja rias. Sudah berapa kali aku membuka isinya dan diam-diam mengagumi hasil jepretan kamera laki-laki itu. Membuatku terkenang bagaimana dia yang terlihat bercahaya saat sedang memotret.
Jemariku menelusuri pinggiran buku itu. Merasakan halusnya bahan kertas yang digunakan. Membalikkannya hingga sampai di halaman terakhir. Potret wajah Arun.
Katakanlah aku memang sedikit terobsesi dengannya. Aku mengakuinya dan tak akan mengelak dengan tuduhan semacam itu. Sesuatu yang harusnya aku enyahkan dari hati dan pikiranku. Namun, aku tidak bisa.
Pandanganku lalu berpindah pada lingkaran dengan manik berkilauan ditimpa cahaya lampu pada jari manisku. Cincin pemberian Kak Ivan terpasang begitu cantik dan pas di sana. Terbersit sebuah rasa bersalah pada laki-laki itu. Membuatku sedikit nyeri. Dia telah begitu baik kepadaku selama ini. Akan tetapi, aku malah membalasnya dengan diam-diam memikirkan pria lain.
Aku perempuan yang benar-benar jahat, bukan? Aku bahkan tidak bisa mengontrol perasaanku sendiri. Namun, kadang kala sesuatu yang tidak bisa kita raih justru terlihat begitu berkilau di mata, dibanding dengan yang telah kita miliki. Bukankah selalu seperti itu?
Aku menghela napas sedikit panjang dan dengan satu gerakan langsung menutup buku itu. Lalu, apa yang aku harapkan dari Arun sekarang?
Akhirnya aku pun memutuskan untuk keluar kamar dan menuju ke dapur. Membuat secangkir susu cokelat hangat mungkin akan bisa membantuku untuk tertidur pulas dan mengenyahkan pikiran-pikiran tentang Arun. Aku harus melupakannya. Harus.
Di dapur, Mbak Yasmin terlihat sedang mencuci piring-piring kotor bekas makan malamnya. Sedangkan Pasai—bocah laki-laki berumur enam tahun itu duduk takzim menggambar di kursi makan. Tampak pensil warna yang berserakan di atas meja.
"Loh, belum tidur, Tha?" tanya Mbak Yasmin saat menyadari keberadaanku yang tiba-tiba.
"Terlalu capek bikin susah tidur, Mbak," akuku sedikit berbohong sambil meraih serenceng susu cokelat saset berwarna hijau dari rak atas dapur.
"Kalau Tante Bitha capek, sini aku pijitin," timpal bocah laki-laki yang kini menghentikan kegiatan menggambar dan melemparkan pandangannya kepadaku.
"Emang kamu bisa?" tanyaku ringan.
"Bisa, dong. Aku, kan, sering pijitin mama kalau lagi capek," jawab Pasai dengan nada sok dewasa. Matanya yang jernih mengerling ke arah ibunya.
Mbak Yasmin tampak mengulum senyum untuk Pasai, lalu berkata kepadaku, "kalau udah tahu capek, kenapa tadi nggak istirahat aja, Tha? Ivan pasti juga bakal maklum, kok."
Aku tidak segera membalas kalimat wanita paruh baya itu. Hanya sebuah deheman pelan yang aku keluarkan. Tanganku saat ini telah sibuk menjerang air panas.
"Kamu emang punya kebiasaan buruk, sih, Tha," sambung Mbak Yasmin. "Kebiasaan nggak bisa nolak orang lain."
Mbak Yasmin telah rampung dengan pekerjaan rumahnya dan kini dia telah menarik kursi di sebelah Pasai. Tangan keibuannya mengelus rambut Pasai seraya bertanya apakah bocah itu sudah selesai menggambar.
"Nggak apa-apa, Kak," balasku. "Lagi pula kalau aku nggak pergi, aku mungkin nggak bakal ketemu dia lagi," ujarku dengan suara lirih.
"Dia?" Mbak Yasmin mengerutkan alis. "Siapa?"
Aku menggigit bibir bawahku. Sedikit ragu untuk menjawabnya hingga bunyi ketel uap mendesis nyaring. "Arun." Suaraku seperti tenggelam lagi ke dalam tenggorokan.
"Arun yang sering kamu ceritakan itu?" tanya Mbak Yasmin terkejut. Suaranya bahkan terdengar hampir naik satu oktaf.
Aku mengangguk. "Dia fotografer yang launching bukunya di hotel waktu itu."
Aku yakin Mbak Yasmin pasti sangat terkejut jika melihat sepasang matanya yang membulat sempurna.
"Angin Pagi itu, ya? Pantas aja, aku kayak kenal aura-aura dia." Wanita itu mengangguk-angguk paham. "Terus?"
"Apanya yang terus, Mbak?" Tanganku kini sedang menyobek saset susu cokelat dan menuangkan ke dalam mug, menyiramnya dengan air panas yang baru saja mendidih, dan terakhir mengaduknya hingga larut.
"Kamulah, Tha. Habis ketemu dan tahu keberadaan dia sekarang, kamu mau apa?"
Aku menggeleng lemah. "Nggak tahu, Mbak. Dia bilang buat pura-pura nggak kenal sama dia kalau kami ketemu lagi. Sebelumnya aku juga nggak sengaja ketemu dia di kereta pas pulang dari Jawa." Kalimatku terjeda sesaat oleh hela napas, lalu bergumam, "apa ini cuma kebetulan atau emang udah takdir?"
"Gimana sama Ivan? Dia tahu kalau kamu kenal Angin Pagi atau Arun ini?" Suara Mbak Yasmin terdengar ragu.
"Aku nggak pernah cerita soal Arun ke Kak Ivan."
"Kamu tahu, kan, Tha? Kalau Ivan mau kerja sama dengan Angin Pagi buat motret sekaligus promo resort barunya."
Aku menjawabnya dengan anggukan. Kakiku seperti enggan untuk beranjak dari sisi dapur dan duduk di kursi makan.
"Kamu juga pasti udah dikasih tahu kalau Jasmine Florist diminta buat mendekor venue soft opening-nya, kan?"
Lagi-lagi aku mengangguk.
"Dan kamu yang bakal mewakili ke sana."
Bahuku terasa semakin merosot. Aku tahu semua itu. Hotel milik keluarga Aryasatya memang salah satu pelanggan VIP di Jasmine Florist & Decoration. Acara pembukaan resort di Batam itu juga membutuhkan jasa kami. Mbak Yasmin sebagai pemilik harusnya yang bertanggung jawab langsung. Namun, karena dia tidak bisa meninggalkan Pasai di sini, maka aku yang akan mengambil alih.
"Tapi kata Kak Ivan, Arun menolak tawaran kerja samanya," ujarku lirih mengingat keluhan Kak Ivan tentangnya tadi. "Aku nggak tahu harus bernapas lega atau nggak, Mbak."
Jujur, itu juga yang sedang berkecamuk dalam pikiranku saat ini. Di satu sisi aku merasa lega sebab tidak harus berhadapan dengan Arun yang aku yakin bisa menyuburkan benih-benih rasaku lagi untuknya, sedangkan ada hati Kak Ivan yang harus aku jaga. Namun, aku juga tidak bisa memungkiri bahwa dalam lubukku memiliki keinginan besar untuk melihat dan mendengarkan suaranya lagi.
Aku... benar-benar wanita yang jahat dan serakah, ya?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro