10. Morning Glory
Sepanjang perjalanan mengantarku pulang, Kak Ivan tak henti-henti menanyakan apakah aku baik-baik saja. Bahkan ketika mobil yang dikendarai Kak Ivan sudah berada di depan rumah tempatku tinggal, dia masih saja bertanya hal yang sama.
"Kamu yakin nggak apa-apa, Tha?" Kak Ivan mengulurkan tangan kirinya dan menyentuh tanganku lembut.
Aku mengangguk. Berusaha tersenyum dengan sisa-sisa tenaga yang aku punya. Rasanya sudah ingin merebahkan tubuh untuk menikmati nyamannya tempat tidurku.
"Kamu udah makan, kan?" tanya Kak Ivan lagi.
"Udah, Kak," jawabku dusta.
Setelah kalimat menusuk yang Arun katakan kepadaku saat di gerbong makan tadi, aku sudah tak bisa lagi menikmati makan malamku. Nafsu makanku menguar entah ke mana. Walhasil, yang kulakukan hanya mengaduk-aduk nasi gorengku tanpa ada minat lagi untuk menyuapkannya ke dalam mulutku.
Aku dengar napas Kak Ivan yang terembus sedikit kasar. Dia menarik kembali tangannya yang terulur. Tampaknya Kak Ivan mulai menyerah untuk mengorek informasi tentang apa yang terjadi padaku. Kak Ivan adalah salah satu orang yang memiliki kepekaan dan sensitivitas tinggi. Dia selalu punya firasat yang tepat sasaran. Kadang kala, hal itu membuatku sedikit takut untuk mengelabuhinya.
"Tha, nanti kamu ikut ke Batam, ya?" ujar Kak Ivan dengan seulas senyum.
Kepalaku menoleh. Dahiku mengernyit sebab tidak mengerti dengan arah pembicaraannya.
"Saat grand opening resort di sana," jelas Kak Ivan. "Kerjaan kamu nanti buat mendekor venue. Sekalian kita bisa liburan. Udah lama kita nggak pergi bareng, kan?"
Kalimat Kak Ivan terdengar seperti perintah dari pada sebuah permintaan. Aku melihat kembali ke sorot matanya yang penuh pengharapan itu. Hingga akhirnya aku mengangguk mengiakan.
"Ya udah. Kamu cepat masuk rumah dan istirahat. Besok pasti kamu bakal sibuk banget. Ya, kan? Setelah kerjaan kamu selesai, kita jalan, ya?" ujarnya kemudian seraya mengelus rambutku.
Aku kembali mengangguk dan tersenyum kecil sambil melepaskan seat belt yang melingkari tubuhku. Saat Kak Ivan hendak memberikan kecupan singkat di sudut bibirku, sontak tubuhku menghindar dengan sendirinya.
"Maaf, Kak," cicitku pelan. Merasa bersalah karena menolak sentuhannya.
Kak Ivan kembali menarik tubuhnya. Sudut bibirnya menyimpul dengan senyuman. Akan tetapi, aku melihat ada kekecewaan yang tercetak di matanya.
Segera aku membuka pintu mobil dan keluar. Kulambaikan tangan kepada Kak Ivan yang juga membalasnya dengan gerakan yang sama. Aku masih berdiri di depan gerbang untuk melihat mobil Kak Ivan menghilang di belokan.
Aku benar-benar lelah hari ini. Mungkin karena perjalanan sehari yang kulakukan untuk mengunjungi makam Mbah Putri, atau karena pertemuanku dengan Arun di kereta api. Aku tidak tahu pasti.
Dengan langkah berat, aku memasuki pekarangan rumah. Aku lihat lampu di ruang tamu masih menyala, menandakan bahwa Mbak Yasmin belum tidur. Aku memang tinggal bersama Mbak Yasmin, atau lebih tepatnya aku adalah penyewa salah satu kamar di rumahnya.
"Assalamualaikum," ucapku ketika pintu rumah kubuka.
Dari dalam kudengar Mbak Yasmin menjawab salamku. Rupanya wanita pertengahan tiga puluh tahun itu sedang duduk santai di atas sofa sambil menonton televisi di ruang tengah. Melihatnya masih terjaga, aku pun ikut menghempaskan tubuh di sampingnya. Aku taruh ranselku sembarangan di lantai.
"Pasai udah tidur, Mbak?" tanyaku. Pasai adalah putra semata wayang Mbak Yasmin dari pernikahannya terdahulu.
"Udah dari jam sembilan tadi," jawabnya seraya mengecilkan volume televisi. Aku melirik jam yang menempel di dinding atas televisi. Sudah pukul sebelas lebih. "Udah salat?"
Aku menggeleng pelan. Rasanya ingin langsung tidur saja tanpa membersihkan badan.
"Salat dulu, gih," perintah Mbak Yasmin.
Aku hanya menggumam untuk menjawabnya. "Mbak?"
"Kenapa, Tha?"
"Dulu apa yang Mbak Yasmin pikirkan waktu mau nikah?" tanyaku penasaran. Aku benar-benar ingin tahu, apakah perasaan gelisah yang kurasakan tiap kali bersama Kak Ivan ini normal atau tidak.
Mbak Yasmin mengetuk-ketukan remote televisi yang dia genggam ke dagunya, seperti berusaha mengingat-ingat. "Hm, karena aku pengin menghabiskan sisa umurku buat hidup bersama orang yang aku cintai dan mencintaiku. Sudah jadi naluri alamiah seorang manusia untuk membutuhkan pasangan yang selalu di sampingnya. Yah, walaupun aku sendiri akhirnya gagal buat mempertahankan cintaku."
Aku mangut-mangut. "Begitu, ya?"
"Kenapa kamu tiba-tiba tanya gitu, Tha? Kamu udah siap mau nikah sama Ivan?" tanya Mbak Yasmin penuh selidik. Meski kedua matanya sedang terfokus pada tayangan film yang sedang diputar di televisi, tapi aku tahu fokusnya teralih kepadaku.
"Nggak. Bukan apa-apa, kok, Mbak. Aku cuma penasaran aja sama pendapat Mbak Yasmin," jawabku.
Aku kemudian beranjak meninggalkan Mbak Yasmin sendirian di ruang tengah dan menuju kamarku. Namun, belum sampai aku mencapai gagang pintu, suara Mbak Yasmin sampai di gendang telingaku dan membuatku tertegun.
"Tha, kalau ada apa-apa cerita sama Mbakmu ini, ya? Masalah itu jangan dipendam sendiri."
***
"Mbak Bitha, aku juga mau dibikinin satu buket, dong. Aku bayar, kok," pinta Nina sedikit mengagetkan.
Gerakanku terhenti saat sedang membereskan beberapa tangkai bunga aster yang tersisa untuk dekorasi pelaminan pagi ini. Kepalaku refleks menoleh ke arah gadis berambut bob yang masih setia memegang kameranya itu. Nina adalah salah satu pekerja di Jasmine Florist & Decoration yang bertugas sebagai admin media sosial. Dia sengaja datang subuh-subuh ke venue acara ini untuk memotret hasil kerjaku demi kepentingan konten dan promosi.
"Sekarang?" tanyaku mengernyitkan dahi.
"Habis ini balik lagi ke toko nggak, Mbak?" Nina mengangguk mantap.
"Kayaknya enggak, deh, Nin. Dari semalam aku belum tidur. Mau langsung pulang dan istirahat, setelah itu baru mau jalan," jawabku sembari menggeleng.
Kedua mataku memang sudah terasa sangat berat dan segera ingin mengajaknya untuk terpejam. Semalaman mendekorasi lokasi pernikahan di sebuah aula besar yang mampu menampung seribu orang itu telah banyak menguras energiku. Meski aku sudah dibantu oleh beberapa orang, tetap saja kami baru bisa menyelesaikannya sampai subuh ini.
Ada bulan-bulan tertentu, di mana pesta perkawinan sedang marak dilaksanakan. Pada musim ini, biasanya adalah saat-saat paling sibuk bagi para tukang bunga dan dekorasi seperti kami. Bahkan akhir minggu ini saja, toko milik Mbak Yasmin mendapatkan empat pesanan untuk menghias pelaminan dan segala tetek-bengeknya.
Meskipun begitu, aku menikmati berkutat dengan ribuan tangkai bunga pelbagai jenis. Sungguh, pekerjaan ini sangat membuatku senang. Apalagi jika itu untuk acara-acara membahagiakan seperti pernikahan.
Nina tampak sedikit cemberut. Raut wajah manis dengan tahi lalat di bawah bibit itu tertekuk. Mungkin agak kecewa.
"Nggak bisa diusahakan gitu, Mbak?" rajuknya kembali.
"Memang kamu mau kasih bunganya ke siapa?"
Aku beranjak. Membawa sisa bunga itu ke belakang. Sedangkan Nina masih mengekoriku.
"Calon pacar aku, Mbak," jawabnya spontan seraya terkikik.
Kembali aku mengerutkan kening. Sedikit heran dengan penuturannya. "Calon pacar?"
"Iya, Mbak. Doain aja, ya. Aku, kan, juga pengin punya pacar kayak Mbak Bitha." Nina menyengir lebar.
Baiklah. Aku mengembuskan napas panjang. Angan-angan untuk segera menghempaskan tubuh ke atas kasur empuk sepertinya harus tertunda.
Setelah meyakinkan bahwa semua dekorasi sudah oke, kami pun kembali ke toko. Menuruti permintaan dadakan Nina untuk membuatkannya sebuah buket bunga.
Hari Minggu ini sebenarnya toko kami tutup. Aku melihat-lihat dan memilah bunga yang masih tersisa. Hanya tinggal beberapa jenis saja yang ada. Biasanya bunga segar akan dikirim tiap Senin dan Kamis pagi.
"Dia orang yang kayak gimana? Calon pacar kamu itu," tanyaku pada Nina yang ikut memilih bunga yang masih terlihat segar. Penting bagi seorang florist untuk memastikan bahwa bunga pilihan mereka sesuai dengan kepribadian penerima.
"Kurang tahu, Mbak," jawab Nina enteng dan lagi-lagi membuat dahiku berkernyit.
Sejurus kemudian, perempuan itu mengulurkan ponselnya di hadapanku. Di layarnya terpampang sebuah akun Instagram yang sama, yang pernah aku lihat sebelumnya.
"Kira-kira kayak ginilah, Mbak," tuturnya.
Dahiku semakin melipat dalam. Gawai itu lalu berpindah ke tanganku. Jemariku menggulir ke bawah dengan cepat untuk melihat ribuan post yang telah dibuat akun tersebut. Hampir seluruhnya adalah hasil jepretan foto tentang alam, seperti hutan, pegunungan, hingga laut. Aku juga melihat profil pekerjaan yang ditulisnya sebagai landscape photographer.
"Angin Pagi?" tanyaku memastikan. Bukankah akun ini yang kemarin sempat membuatku jadi teringat Arun?
Nina mengangguk semangat. "Iya, Mbak. Hari ini dia ngadain workshop di Kemang. Aku pengin ke sana dan bawain dia bunga."
Aku mengangguk-angguk paham. Ternyata Nina memang penggemar beratnya.
"Kok buat calon pacar, sih?" protesku sembari mengembalikan ponsel milik Nina.
"Ya, kali-kali aja dia jodoh aku, Mbak." Nina tertawa renyah.
Aku mencebik. Membuat Nina semakin melebarkan tawanya. Sepertinya dia sangat puas membuatku sedikit kesal karena merasa ditipu.
Aku kembali menerka, kira-kira bunga apa yang cocok diberikan kepada Si Angin Pagi ini. Entah kenapa pikiranku justru melayang kembali kepada sosok Arun Pawana. Nama mereka bahkan hampir serupa.
Hatiku serasa mencelus. Keterbatasan bunga di toko membuatku tidak memiliki banyak pilihan. Kepalaku yang sudah berat pun seakan enggan untuk diajak berpikir kreatif.
Pandanganku lalu menerawang keluar toko, pada tepian atap teras yang tergantung beberapa pot morning glory yang sedang memekarkan bunga birunya yang menawan. Mendadak terlintas di otakku sebuah ide untuk merangkainya dalam sebuah buket tangan.
Segera aku pinta Nina untuk membantuku memotong beberapa sulur morning glory itu. Mungkin aku bisa memadukannya dengan sisa bunga aster putih yang aku bawa tadi. Aku juga akan menambahkan helai alang-alang juga satu-dua bunga liar yang baru saja aku ambil di lahan kosong di depan toko.
"Yakin mau pakai bahan-bahan ini semua, Mbak?" tanya Nina dengan sedikit ragu saat aku kembali dengan membawa banyak gulma di tanganku.
"Yakin, dong." Kali ini aku yang mengangguk semangat. "Tenang aja, Nin. Hasilnya pasti cantik, kok. Kadang sesuatu yang terabaikan dan tidak dipedulikan itu bisa menghasilkan sesuatu yang luar biasa."
Dari raut wajahnya aku yakin, Nina sebenarnya ingin melayangkan protes. Akan tetapi, aku memberikan isyarat agar dia menunggu hasil jadinya saja.
Kantukku yang semula mendera hebat, kini benar-benar sirna tak berbekas. Dengan lincah, tanganku berkutat menyusun bunga-bunga yang baru saja aku kumpulkan. Hingga rangkaian itu selesai dan menerbitkan secercah senyum di bibir Nina.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro