Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Gin dan Vodka


Saya butuh kopi tapi enggak ingin beranjak lama-lama meninggalkan Arin. Bagaimana, ya? Saya sengaja enggak membiarkan Ibu serta Mama turut menjaga Arin. Mereka juga butuh istirahat dan saya pun ingin membuktikan kalau diri ini bisa diandalkan untuk Arin.

Istri saya marah saat tahu ibunya enggak ada di sini.

"Gue enggak butuh bantuan lo!" Matanya mendelik sangar ke arah saya yang hanya bisa menghela napas berkali-kali. "Panggil ibu gue sekarang!"

Saya tahu Arin itu ketus. Tapi mendapatinya marah, baru beberapa kali dan itu menyeramkan. Enggak. Saya enggak akan turuti kemauannya. Membujuk Arin adalah cara yang paling bisa saya lakukan biarpun kata-katanya yang kasar menyapa telinga ini tanpa ampun. Saya terima. Lebih kasar tingkah dan tindakan saya yang melukai hatinya.

Hati perempuan itu lembut sebenarnya. Dia keras hati karena dilukai dan bodohnya, saya yang melakukan hal itu pada Arin. Yang seharusnya saya jaga agar terus bahagia, agar terus mau tersenyum ke arah saya, atau seenggaknya bertutur yang menggemaskan seperti biasanya. Walau ada nada ketus di sana, tapi ketahui lah, Arin ini sangat manja.

"Gue enggak butuh bantuan lo! Keluar sekarang! Keluar!"

Saya mengalah akhirnya. Pagi tadi, saya mau suapi bubur tapi dia menolak. Berkali-kali saya ingatkan agar makan tapi Arin bersikeras enggak lapar. Padahal wajahnya pucat. Sorot matanya memerah. Belum lagi bibirnya seperti enggak ada ronanya. Dan bubur yang harusnya sudah ia lahap, hanya sebagai penunggu nakas saja.

Dia benar-benar enggak mau makan.

Pada akhirnya saya mengalah karena Arin suka dibujuk. Memilih untuk keluar dari kamar inapnya, ternyata ada Mae juga suaminya berjalan mendekat. Senyum saya ulas karena sudah lama juga enggak berkomunikasi dengan Mae. Namun ...

"Ibu!" teriak Satria yang pastinya kaget dengan tingkah sang istri. Saya sendiri sampai melotot tak percaya karena tingkah Mae barusan.

Astaga.

Saya dipukul pakai tas tentengnya. Matanya galak sekali mengarah pada saya. Selama mengenal seorang Mae dengan inisial Pina Colada, pembawaannya yang santai juga terkesan ramah saya dapatkan. Sekarang?

"Kak Kiki kurang ajar!"

Sekali lagi saya menerima tas itu melayang mengenai bahu. Entah ada ujung besi di bawahnya atau memang tas itu berat, rasanya cukup sakit bahu saya terkena hantamannya. Kalau tadi tepat mengenai sisi kepala, kali ini bahu. Apa Mae tertular galaknya Arin, ya?

"Ibu," panggil Satria. "Sudah."

Mungkin kalau enggak ditahan sama suaminya, Mae pasti mau pukul saya lagi.

"Mas, Kak Kiki ini benar-benar ... Ya allah, Mas! Arin itu enggak pernah selemah ini. Tapi sama Kak Kiki. Ya Allah," Mae mengusap dadanya pelan. "Aku belum selesai bikin perhitungan sama Kak Kiki, ya. Sebentar lagi Gin ke sini. Aku enggak peduli kalau Gin hajar Kak Kiki!"

Saya menelan ludah. "Kenapa ada Gin di sini?"

Mae enggak menjawab malah memilih masuk dalam ruang rawat Arin. Saya cukup beruntung paling enggak, di dalam Arin ada yang menunggu dan menemani. Walau saya enggak akan bergerak ke mana-mana juga, sih.

"Saya harap, ada pelajaran yang bisa kamu dapatkan dari kejadian ini."

Saya menoleh. Suami Mae ini jarang bicara. Pembawaannya tenang tapi matanya sama sekali enggak pernah lepas dari mengawasi Mae. Sorot matanya juga tajam dan terkesan enggak mau ada gangguan.

"Iya, Mas." Pasrah, saya bisa apa? Saya orang yang paling salah di sini.

Dia mengangguk tapi belum mau menurunkan sikapnya pada saya. Saya maklumi hal itu. Mungkin perbedaan usia juga cukup membuat saya sungkan kalau terus menerus ada di dekatnya dalam aura seperti ini.

"Arin termasuk karyawan saya yang mumpuni. Karena kamu, kinerjanya terganggu." Kali ini, Satria menatap saya tanpa ragu sedikit pun. Saya tau, Arin dan pekerjaannya sangat berdedikasi. Makanya ketika Arin menyinggung masalah LDR, saya enggak masalah.

Saya beri kesempatan Arin untuk tetap bisa berkarya. Binar kecintaannya saat ia berkisah mengenai kantor, membuat saya yakin, Arin menyukai aktifitasnya sehari-hari. Saya yang bodoh mengkhianati kepercayaannya dan sekarang, saya benar-benar akan menebusnya.

"Sepertinya hantaman tas istri saya cukup membuat kepala kamu benjol."

Buru-buru saya menyentuh bagian kepala yang memang agak nyeri tadi. Satria benar rupanya. Rasanya seperti kena hantam benda berat. Apa Mae bawa batu bata dalam tasnya?

Saya hanya bisa meringis pelan menanggapi ucapan Satria barusan.

"Tapi saya rasa kamu pantas mendapatkannya." Satria melipat tangannya di dada. Lantas memilih duduk di salah satu kursi ruang tunggu. Tak lagi terlalu awas menatap saya tapi entah kenapa gestur tubuhnya masih terlihat memusuhi saya.

Tak ada yang bisa saya lakukan kecuali mengangguk pasrah. Lagi-lagi. Kami juga tak saling bicara setelahnya. Agak canggung juga, dan itu pula yang membuat saya memutuskan untuk ke toilet sejenak. Baru saja pamit meninggalkan kursi, berbelok ke arah toilet yang ada di koridor lain, saya dikejutkan oleh satu hal.

Saya menggeram kesakitan dengan tangan terkepal. Ingin membalas siapa yang seenaknya menghantam wajah ini.

"Dari Vodka, buat Arin."

Bibir saya sampai agak berdarah. Begitu kami bersitatap, Gin tanpa ragu menatap saya dengan pandangan siap berkelahi.

"Dan ini dari gue!"

Pukulan cukup kencang gue terima di perut. Sial banget saya hari ini. Padahal ini koridor rumah sakit tapi kenapa enggak ada satu pun perawat atau keluarga pasien yang lalu lalang? Seolah semesta bekerja sama banget membuat saya kena hantam beberapa kali dari teman terdekat.

"Berengsek lo, Ki! Bajingan Tengik!"

Saya meringis. Hampir jatuh terduduk tapi sebelah tangan saya menopang tubuh pada bagian tepi kursi. "Thanks, sambutannya. Baru gue mau temui lo."

Dia berdecih. "Pak Satria enggak mau nambahin?" tanyanya yang lantas disambut kekeh dari sosok yang duduk santai di kursi. Matanya hanya melirik tanpa minat pada saya yang kesakitan.

"Pinpin kalian pukul Whiskie dua kali."

Gin, sohib saya terpengarah. "Serius, Pak?"

"Kenapa saya mesti bohong? Saya juga malas mengotori tangan kalau ada yang bisa melakukan tanpa perlu disuruh." Satria melirik saya sekilas. "Saya ke kafe seberang dulu. Mau kopi, Ki?"

Saya mengangguk saja. "Makasih, Mas." Saya lihat Satria beranjak begitu saja. Sempat menepuk bahu saya dengan pelan sembari berbisik, "Ini belum seberapa, Ki."

Benar. ini belum seberapa. Berusaha sekali saya untuk menormalkan tubuh. Menghela beberapa kali sebelum akhirnya bisa menegakkan punggung. "Lo dari tadi?" Saya bertanya pada Gin yang masih menatap penuh emosi.

"Gue enggak sangka lo tega berbuat kayak gitu ke Arin! Arin, lho, Arintania Maharani. Yang lo gadang-gadang istri masa depan! Mana? Ini yang lo sebut cinta?"

Mata saya refleks terpejam. "Jangan bersuara terlalu keras, Gin. Ini rumah sakit."

"Rumah sakit ini juga punya paman gue, kok. Santai saja. Paling gue enggak boleh main ke sini lagi."

Ck! Ck! Ck! Apa dia yang membuat koridor ini sepi agar bisa memukuli saya?

"Gue baru tau kalau ini punya kerabat lo."

Dia mendengkus. "Memangnya segala property keluarga gue mesti orang lain tau?"

Saya tergelak tapi meringis kembali. Sakit juga pukulannya di pipi.

"Bersihkan muka lo sana." Dia mendorong bahu gue untuk segera menyingkir. "Nanti disangkanya lo kelahi enggak guna lagi."

"Thanks oleh-olehnya," kata saya sembari mengusap ujung bibir.

"Vodka kecewa sama lo, Ki. Lo panutannya, lo juga yang buat kita-kita merasa lo enggak berguna sebagai laki-laki."

Ucapan Gin enggak lagi dengan nada tinggi tapi sungguh, menghantam telak hati saya. Agak lama saya terdiam sebelum akhirnya memilih menyingkir. Setidaknya membersihkan wajah dari luka yang saya dapat, bisa sedikit lebih baik.

Enggak butuh waktu lama untuk saya membersihkan diri. Agak nyeri tapi enggak apa. Memang saya pantas mendapatkannya. Gin dan Vodka, memang enggak pernah berinteraksi langsung dengan Arin. Segan katanya. Tapi saya yakin ribuan persen, kalau berita ketololan saya ini mereka dapat dari Pinpin.

Kami berempat bersahabat baik. Diawali dengan kecanduan pada hal yang sama. Hingga berakhir pada basis yang kami dirikan untuk kebersamaan yang tercipta; Daki Monyet. sampai sekarang, kami masih eksis walau belum seratus persen kembali. Saya rasa, tahun ini kami mundur dari pendaftaran kompetisi lomba. Mengingat Mae sedang hamil. Saya yang masih kacau dengan masalah yang saya timbulkan sendiri.

Sementara saya dengar, harusnya Gin ada di luar negeri melanjutkan studi. Berbeda dengan Vodka yang asyik bergumul dengan anak-anak di rumah sakit.

"Kenapa, sih, lo begonya sampai ke tulang sumsum, Ki?" tanya Gin saat saya sudah duduk enggak jauh dari tempatnya bersila kaki.

Saya menghela napas pelan. "Iya. Gue bodoh banget memang."

"Kalau lo masih mau mainan sama perempuan, harusnya Arin enggak lo ajak nikah. Dia hamil, Ki, hamil. Lo buat dia sedih terus. Meski gue enggak paham mengenai dunia kedokteran, tapi seharusnya lo tahu, kan, ibu hamil enggak boleh stress?"

Saya diam mendengar ceramah Gin.

"Gue jadi penasaran, saat lo lakukan tindakan sok super hero itu, lo pakai otak enggak, sih?"

Saya tertawa. "Mungkin perkara kasihan yang seharusnya enggak ada. Malah bikin runyam banget."

"Udah, lah. Ngapain ada rasa kasihan begitu? Yang seharusnya lo kasihi ini istri lo, Ki. Si Arin. Kenapa malah cewek lain?"

Saya menunduk.

"Gue kalau jadi Arin, enggak pakai basa basi. Minta cerai."

Bahu saya makin merosot tajam. "Kemarin Arin juga minta cerai, Gin," lirih saya. Mata saya pun makin lama makin buram mengingat kata-kata itu.

"Bagus. Gue dukung Arin kalau gitu."

"Kok, lo gitu?" Saya enggak percaya kalau Gin bisa mengatakan hal itu ditambah wajahnya enggak ada jenakanya sama sekali. Biasanya ia usil dan menanggapi dengan gurauan. Kali ini?

"Lo mikir saja, dia istri lo. Lo hampir mati demi orang lain. Otak lo lenyap?"

Saya kehabisan kosa kata, enggak mau juga membela diri. Gin benar.

"Lo pikir, deh, bagaimana sakitnya istri lo. Bagus dia masih mau lo ada di sekitarnya. Lo enggak tau, kan, jalan Allah seperti apa? Siapa tahu saja ada yang nungguin Arin jadi janda. Lo mau?"

"Kok ucapan lo makin ngawur?"

"Ucapan gue ngawur tapi tindakan gue rasional. Ketimbang lo? Ucapan lurus juga waras, tindakannya di luar logika banget." Gin menatap gue tanpa ampun. "Pikir, Rasyid."

Sepanjang saya mengenal Gin, Vodka, dan Pinpin, untuk kedua kalinya—saat pertama jelas ketika kami berkenalan dulu. Menggunakan nama asli masing-masing sebelum akhirnya terbiasa menggunakan uname pada games kami sebagai panggilan—Gin memanggil nama asli saya.

"Gue memang enggak kenal Arin secara pribadi tapi dari semua cerita Pinpin mengenai sosok istri lo, lo yang bakalan jungkir balik kalau sampai Arin benar-benar merealisasikan ucapannya."

Saya terdiam. Pikiran saya mau enggak mau menyetujui ucapan Gin.

"Lo harus punya strategi khusus mengambil lagi hati istri lo."

Benar. Gin benar sekali.

"Lo ahli strategi, Rasyid. Gue kenal lo sebagai Whiskey yang selalu siap menghadapi musuh. Enggak mau kalah dalam hal adu lihai. Jangan mau kalah. Itu juga kalau lo memang cinta Arin."

***

Arin sama sekali enggak mau bicara dengan saya sejak kepulangan Mae. Kalau saya sudah bertanya lebih dari lima kali, Arin baru mau bersuara itu pun singkat sekali. Tapi saya enggak akan kalah. Saya akan lebih berjuang keras.

Ini salah saya. Harus saya tanggung asal Arin jangan pergi. Saya sungguh ketakutan kalau ia benar-benar mengajukan gugatan cerai. Ya Allah, saya enggak mau.

Enggak sekali dua kali saya diusir untuk menjauh. Apalagi di depan dokter yang memeriksanya, Arin sama sekali enggak menurunkan intensitas kebencian. Saya hanya senyum kecil menanggapi dan beruntung sekali, dokternya enggak banyak tanya atau ingin tau.

Malah sesekali meledek Arin yang justru makin jadi menatap saya dengan aura permusuhannya. Enggak apa. Saya tahan. Harus tahan. Enggak boleh nyerah. Arin enggak akan semarah itu kalau bukan karena saya.

Saya harus dapatkan maaf darinya.

Mau sepanjang usia saya nanti usaha untuk menggapai maafnya, akan saya lakukan. Kalau posisinya di balik, belum tentu saya tahan dan setegar Arin. Bekas jahitan saya masih agak ngilu sebenarnya tapi semuanya enggak jadi masalah asal masih dikasih kesempatan menatap Arin yang sekarang jatuh tertidur. Mungkin capek marah-marah atau bersikap ketus pada saya.

Mungkin juga karena suasana yang sunyi sepi di ruang rawatnya ini. Makanya ia gampang mengantuk. Saya ingat banyak kebiasaan kami yang demikian saya rindu. Garis tawanya, caranya tersenyum, nada bicaranya yang seenaknya tapi justru membuat saya tergelak. Belum lagi sorot matanya yang menyebalkan tapi di saat bersamaan sangat menggemaskan itu.

Mengingat hal itu membuat saya terpejam tanpa sadar. Hingga saat saya membuka mata kembali karena kesemutan di bagian tangan. Ternyata lengan saya entah sudah berapa jam menjadi tumpuan kepala. Mendesah pelan, saya bergegas ke kamar mandi. Lebih baik sholat malam sekalian mohon ampun, siapa tahu dibantu dengan Sang Pemilik Hati, ada belas kasih untuk saya agar mendapat maaf dari istri.

Khusu' saya melaksanakan kegiatan hingga tanpa sengaja, saat saya melirik ke arah ranjang Arin, istri saya itu terbangun. Menatap ke arah saya dengan pandangan yang sulit sekali saya artikan. Sendu, marah, kecewa, kesal, geram, berkumpul jadi satu di sana. Merajam saya tanpa ampun dan seperti saya ini ditimpuk ribuan kerikil tanpa jeda.

Sakit sekali saya melihat sorot mata itu di netra Arin. Dan yang paling saya benci, sayalah yang melakukannya.

Saya beranikan diri mendekat ke arahnya. Dia seperti sedang melamun. "Neng? Bengong?" tanya saya pelan. Saya takut mengagetkannya dan kembali didorong menjauh.

Matanya masih enggak ia alihkan ke mana-mana. Fokus banget menatap saya, membuat saya takut dengan keadaannya. Lalu jemarinya menyentuh pipi saya yang agak nyeri tadi.

"Ini kenapa?" tanyanya dengan sorot heran. Segera saya turunkan jemarinya agar enggak menyentuh nyeri itu lagi. Bukan karena sakitnya, tapi lantaran malu. Bekas lebam ini pasti kentara kalau diperhatikan jelas seperti tadi Arin memperhatikan saya.

Yang enggak saya siap, dia malah melengos dan sorot matanya kembali membara.

"Lho, kenapa, Rin? Ada yang salah?" Saya harus tahu ada apa dengannya kini. "Neng kenapa? Sesaat tadi, Abang merasa ada Neng di dekat Abang. Tapi sekarang? Neng jauh banget."

"Bisa enggak, sih, lo bikin gue tenang? Buat gue merasa jadi istri lo? Atau memang lo cuma butuh status gue sebagai istri? Dengan mengumbar kata-kata manis di awal sampai lo berhasil nikahin gue? Begitu?"

saya melongo. Pemikiran dari mana? Enggak. Enggak. Saya enggak boleh membuat praduga aneh-aneh. Biarkan dulu Arin meluapkan emosinya. Enggak apa. Saya tahan. "Maafin Abang."

Arin kembali diam tapi isaknya semakin jadi.

"Neng mau Abang gimana? Abang sudah enggak mau berhubungan dengan mereka lagi. Abang salah. Memang hutang budi enggak harus seperti itu cara balasnya. Taruhan Abang besar banget dan jujur ... Abang takut banget saat melihat darah di malam Abang berantem itu."

Saya mengambil napas sejenak juga melihat bagaimana reaksinya mendengar ucapan saya.

"Abang takut, enggak dikasih kesempatan untuk terus bersama Neng lagi."

"Kenapa enggak sekalian mati aja, ya, Abang? Jadi penyesalan itu seumur hidup dibawa mati." Arin berkata sembari mengusap air matanya di pipi.

Saya mengusap dada mendadak. Ya Allah, sadisnya bibir mungil itu berbicara. "Kok, gitu? Jahat banget."

"Lebih jahat juga lo, kan? Membela orang lain tapi ninggalin istri sendirian di rumah." Arin bicara dengan telaknya membuat saya diam tiba-tiba. Menarik napas sebentar sebelum kembali bicara. mumpung sepertinya Arin lagi baik hati. Mau mendengarkan saya bicara panjang lebar.

"Makanya, Abang enggak akan berhenti berucap maaf sembari membuktikan ke Neng, Abang kali ini serius dan sudah enggak mau lagi salah meletakkan posisi. Abang salah."

Saya enggak peduli kalau nantinya kena tampar. Saya jatuhkan kepala ini di pangkuannya. Biasanya kalau saya bersikap seperti ini, jemari Arin menyusuri kulit kepala saya. Memijatnya pelan, membuat saya rileks. Saya sungguh merindukan sentuhannya. "Maafin Abang, Neng. Abang terima semua perlakuan Neng yang menjauh asal jangan benar-benar pergi. Abang enggak sanggup."

"Gue sanggup ngadepin lo yang enggak tau diri. Kenapa giliran gue marah, lo enggak sanggup?"

Arin benar.

"Mumpung gue berbaik hati, mungkin malaikat yang tadi sholat bareng sama lo ikutan berbisik lembut biar mau mendengar penjelasan mengenai hutang budi yang dimaksud. Kalau Abang enggak bisa jujur juga, gue enggak tahu lagi bagaimana mesti bersikap."

Sungguh, saya enggak percaya dengan apa yang baru saja didengar. Saya sampai mengerjap menatapnya, takut kalau ini hanya mimpi. Apalagi saya ingat, ini masih dini hari. Berhubung enggak ada kata lanjutan lagi keluar dari bibirnya yang masih pucat, saya meyakini kalau pendengaran ini enggak salah. Segera saya menariknya dalam dekap sembari berkata demikian lirih. Berharap sekali, permohonan maaf saya mulai memengaruhinya.

"Makasih, Neng. Makasih."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro