Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5

Benar dugaanku!

Aku nggak mungkin meleset soal ini.

Hidungku kembang kempis melihat Pak Gerry sedang mengomeli Tita di dalam ruangan. Aku lagi nggak ngintip. Semua orang di ruangan bisa melihat gerak-gerik Pak Gerry melalui jendela ruangannya. Begitu pula Tita yang menunduk sambil sesekali menyahut.

Sudah dua pekan Tita bekerja. Sejak itu pula dia bermasalah. Dari salah menggunakan mesin fotokopi sampai salah menginput data. Tita nggak tahu rumus-rumus excel dan menghabiskan waktu untuk mengolah data karena dia menggunakan cara manual dengan menghitung satu per satu. Pak Gerry meminta Mbak Intan mengajarkan Tita cara input data. Kayaknya dia sungkan meminta bantuanku sebab Louis sering memberiku pekerjaan yang diberi tanda 'URGENT'. Hari ini kesabaran Pak Gerry sudah di ujung. Tita salah mengirimkan berkas ke bagian keuangan.

Aku menonton puas dari balik meja. Bukannya aku jahat banget ke adik sendiri, tapi Tita itu nyebelin banget. Dia membanggakan pekerjaan barunya ke tetangga. Seakan-akan dia dapat posisi lebih baik dariku. Tetangga yang mendengarnya jadi kasihan padaku. Bahkan ada gosip yang lagi santer di lingkungan rumah kami soal aku yang kerja di situ-situ aja selama bertahun-tahun karena bentuk fisikku yang bwleeh.

Di kantor pun sama menyebalkannya. Orang-orang yang bertugas di bagian produksi menilai Tita cocok dengan posisinya sekarang dan membandingkannya sama aku. Menurut mereka, bekerja di bawah bos persis lebih baik daripada aku yang seringnya interaksi sama mereka. Minta banget dirujak om-om lemes itu.

"Besok ikut gue ke event furnitur." Louis tahu-tahu sudah berdiri di sebelahku.

"Kino absen lagi?" Sejak aku bantu dia memotret kafe, dia sering muncul di dekatku untuk minta tolong ini itu. Aku nggak bermasalah membantu Louis karena pekerjaanku memang berkaitan dengan posisinya. Aku loh yang membuat permohonan material yang dia butuhkan.

"Katanya, pamannya meninggal."

"Oh." Aku cuma angguk-angguk antara percaya nggak percaya. Gelagat mau hengkang dari Kino mulai terasa. Dalam seminggu, dia sudah bolos 2 kali.

"Aku perlu bantu apa di event itu?"

"Sales kita buka stand di situ. Kita survey lapangan, sekalian ngelihat stand dari workshop lain."

"Perlu motret?"

"Nggak usah. Palingan kita bantu backing anak sales yang butuh istirahat."

"Oke." Aku menyambar buku catatan yang biasa aku pakai untuk mencatat tugas. "Kita jalan jam berapa?"

"Jam tujuh udah jalan dari kantor. Kita jalan bareng. Event buka jam sembilan, tapi kita perlu mampir ke Jaya. Ada barang baru yang perlu gue lihat."

Aku menulis semuanya. Kemudian mengacungkan jempol.

Louis tertarik pada ruangan Pak Gerry. Louis punya ruang kerja tersendiri di lantai bawah yang mempermudah aksesnya kalau harus mondar-mandir ke bengkel, area pengerjaan furniture. Nama area itu semestinya workshop, tapi kami membiasakan menyebutnya bengkel karena isinya para tukang kayu yang getok dan gergaji. Suasananya mirip bengkel. "Kayaknya Pak Gerry lagi ngomel," katanya.

"Mungkin." Aku enggan menanggapi.

"Asisten baru Pak Gerry itu adik lo?" Louis yang masih kepo pada ruangan Pak Gerry bertanya lagi.

"Iya." Tumben dia banyak tanya.

Mungkin karena reaksiku yang kurang asik, Louis berhenti bertanya. "Gue turun. Jangan sampai telat besok."

"Sip."

Ketika Louis sudah pergi, Tita keluar dari ruangan. Dia setengah berlari menuju ke lorong toilet. Secuil rasa kasihan terbit. Meski begitu, Tita perlu mengalami semua ini supaya lebih menghargai uang jajan yang selama ini aku berikan. Dia perlu tahu diomeli atasan dan tetap bertahan karena menantikan gaji bulanan. Ibu Adem Sari sering membela Tita setiap anak itu merengek minta tambahan uang jajan. Dalihnya sama, kasihan adik. Dulu, pas kecil, ibu selalu mengeluarkan kalimat andalan, "Ngalah sama adik. Kamu yang kakak harus baik." Sekarang, tuai hasil pendidikan Bu Adem Sari. Aku sih emoh bantu anak manja itu.

"Shella."

Saking khidmatnya melamun, aku nggak sadar Pak Gerry berdiri di depan mejaku. "Ya? Kenapa, Pak?"

Pak Gerry ragu saat berujar, "Kamu bisa bantu Tita?"

OGAAAAH! Batinku menjerit.

Aku mengingat posisiku sebagai seorang profesional di tempat kerja. "Bantu apa ya, Pak?" Jangan langsung ngegas. Harus main cantik kalau mau menolak atasannya. Berikan tanggapan positif sebelum dibelokan, lalu dihempas. Syaaaah...

"Tita masih kesulitan beradaptasi di sini. Kalau ada yang kurang dia mengerti, tolong kamu bantu."

"Maunya bantu, tapi..." Sesuka-sukanya aku sama Pak Gerry, rasa jengkelku sama Tita lebih kuat. "Louis minta saya ngikut ke event furniture besok."

"Nggak harus besok. Kamu..." Pak Gerry mendesah. "Oke deh, kamu lanjutin pekerjaan kamu aja."

"Oke, Pak." Aku nggak mencegah Pak Gerry. Malah senang karena nggak usah susah payah bantuin Tita.

&&&

Event yang dimaksud Louis nggak terlalu ramai. Mungkin karena pameran furnitur. Coba acara bagi-bagi sembako murah dari calon pejabat, ramai zekaliih.

Kami menggantikan sales yang makan siang. Karena aku sering berurusan dengan rekap laporan sampai perincian biaya pembuatan furniture, pengetahuanku lumayan bagus untuk melayani pengunjung. Sementara Louis nggak perlu ditanya. Dia paling tahu soal kualitas dan desains barang beserta harganya. Kan selama ini dia yang menggetok harga untuk custom furniture. Dia tahu bagaimana menghitung biaya produksi dan menghasilkan cuan buat perusahaan. Dia itu aset kantor versi bernyawa dan butuh beol.

"Gue ke toilet. Bisa gue tinggal sendiri?"

Aku sudah bilang Louis itu butuh beol. Sekarang contohnya. Dia meminta izin hengkang karena panggilan alam.

Berhubung stand kami sedang sepi, aku mengangguk. Setelah sendiri, aku memilih mengeluarkan ponsel. Sejak pagi, aku belum memeriksa isinya. Mungkin saja ada pesan masuk yang menyatakan aku adalah seorang putri dari sebuah negara antah berantah dan selama ini Bu Adem Sari merupakan seorang putri yang kabur demi menikahi bapakku. Kakekku yang seorang raja mencari keberadaanku selama ini dan ingin menghadiahkanku harta dan tahta.

Wow... akibat membaca novel di dunia oren, otakku mendadak handal membuat kisah nggak kalah halu. Mungkin aku bisa menambahkan halu di tengah namaku.

"Selaput? Ups, sorry. Apa kabar, Shella Putri?"

Fenomena kemunculan jelangkung belum sedahsyat peristiwa ini. Dari luasnya kota dan jutaan orang yang berdesakan hidup di dalamnya, bisa-bisanya aku beririsan takdir dengan ratu iblis berkedok bidadari. Tanpa perlu aku berikan penjelasan, aku yakin kalian paham maksudku. Cewek cantik dan modis yang hatinya luar biasa busuk. Satu-satunya pendapat yang akan aku berikan soal cewek ini adalah HINDARI DIA.

"Baik." Aku mengemas ponselku ke saku celana dan bangkit dari kursiku. Walau aku enggan berbicara dengannya, aku masih memiliki sejengkal kesadaran bahwa aku tengah bekerja dan perlu menjaga imej tempatku bekerja dengan bersikap sopan dan ramah.

"Sedang apa di sini?" tanyaku berbasa-basi. Aku menekankan dalam pikiranku untuk berasumsi positif dengan kemunculan ratu iblis ini. Setelah bertahun-tahun, semua orang bisa berubah. Selalu ada kemungkinan yang seperti itu.

"Keliling lihat pameran. Kamu..." Ratu iblis memindaiku atas bawah. Kemudian senyum jahanamnya terbit. Aku paling hapal dengan senyuman itu. Bagi orang awam, itu adalah senyuman manis. Menurut pengalamanku, itulah senyuman yang menandakan keberingasannya sebagai manusia. "Kerja di sini?" lanjutnya dengan nada meremehkan.

"Iya. Aku lagi jaga stand." Aku menjawab jujur. Toh, mau bohong juga percuma. Mau mengaku bos atau pemilik usaha, nyaliku ciut.

Ratu iblis masuk ke stand workshop kantorku. Dia menyisir furniture yang dipajang. Aura suwombongnya menyebar kuat. Aku bergeser untuk menghindar bahu kami saling membentur.

"Aku nggak tahu kalo selama ini kamu kerja begini. Apa kamu kuliah desain interior?" tanya si ratu iblis.

"Aku nggak kuliah desain."

"Oh, aku pikir kamu kuliah di luar sama kayak aku. Soalnya teman-teman cerita kalo mereka nggak pernah ketemu sama kamu sejak lulus SMA. Apa selama ini kamu kerja?"

Aku mengangguk. Mulutku malas melantunkan suara.

"Apa kamu kuliah di Indonesia?"

"Aku belum pernah kuliah," akuku agak getir.

"Ya ampun, Shella. Kuliah itu penting. Sekarang susah dapat pekerjaan yang bagus kalo nggak punya ijazah sarjana. Saran aku, kamu mulai nabung buat kuliah. Aku tahu, kamu mungkin punya masalah keuangan tapi semua orang harus berusaha untuk hidup lebih baik. Apa kamu mau aku pinjamkan uang?"

Najeeees!!

Aku mengulas senyum menutupi kekesalanku. "Makasih, tapi aku baik-baik aja."

Ratu iblis mendekat dalam langkah anggun. Dia menatapku intens. "Kita teman, Shell. Jangan sungkan meminta bantuan ke teman. Aku mau bantu kamu karena aku peduli sama kamu."

Peduli? Ngibul!!

"Makasih, tapi aku baik-baik aja." Aku mengulang penolakanku. Di balik ketegaran yang aku tampilkan, aku menutupi fakta bahwa kedua kakiku menggigil ngeri. Ingatan itu terasa seperti baru kemarin saat cewek jahat ini menarikku ke belakang sekolah, lantas menoyor kepalaku berkali-kali sambil mengucapkan sumpah serapah. Ketakutan yang mencekikku di masa sekolah belum lenyap. Begitu pula amarahku yang kembali mendidih menemukan perundungku hidup baik-baik selama ini.

"Kamu selalu bisa minta bantuan aku. Kasih aku nomor telepon kamu. Aku mau hubungi kamu saat ada acara kumpul bareng teman-teman SMA. Pasti mereka senang ketemu kamu lagi." Ratu iblis menyodorkan ponsel puluhan jutanya.

Aku menarik napas. Ada dua pilihan di depan mata, yaitu menolak memberikan nomorku atau memberikan nomorku. Bagai robot, aku mengambil ponsel itu dan mengetikan nomorku. Ratu iblis tersenyum licik setelah aku mengembalikan ponselnya. Dia mengetikan sesuatu di situ.

"Kalau gitu, sampai jumpa lagi. Bye, Shella." Ratu iblis melambai.

"Hati-hati di jalan, Shella," balasku nggak kalah manis sambil melambai.

Aku roboh di atas kursi. Namun pandanganku masih terpaku pada punggung ratu iblis. Dia berjalan menuju seorang pria. Kemudian lengannya bertaut dengan lengan si pria. Aku melihat pria itu tersenyum setelah ratu iblis membisikan sesuatu. Darahku seketika mendidih. Seseorang yang meninggalkan kemalangan selama masa SMA-ku ternyata bahagia. Dia memiliki seorang pasangan di sisinya yang tersenyum. Setelah merampas kebahagiaanku, dia masih dilimpahkan kebahagiaan.

Nggak adil!

Sangat nggak adil!

Aku membencinya. Aku membenci kebahagiaannya.

###

16/05/2024

Kamu punya pengalaman dirundung semasa sekolah? kalo punya, apa kamu sudah bisa terlepas dari ketakutan yang timbul dari perundungan itu?

Aku ingin berbagi kisah tentang cewek yang sudah dewasa tapi punya pengalaman dirundung pas sekolah. Aku mau ngasih unjuk ke pembaca gimana dia melewati ini secara manusiawi. Mungkin beberapa peristiwa sudah dia lupain, tapi perasaan takut dan sedih itu masih tersisa. Kira2 kayak gitu cerita si mbak semok ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro