Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3

"Lepasin. Kak, lepasin."

Aku menarik lengan Tita tanpa memedulikan rengekannya. Begitu tahu Tita interview di sini, aku berlari ngibrit ke luar kantor untuk mencegatnya sebelum pulang, lalu menariknya ke tempat sepi yang ada di ujung area parkir motor. Tempat yang lumayan pas untuk mengintrogasi Tita.

Dia berhenti merengek setelah aku melepaskannya di belakang pohon asem fenomenal. Pohon ini tersohor karena menjadi tempat favorit melabrak bawahan tengil. Kurasa, inilah tempat terbaik untuk mengorek informasi.

"Kamu abis ngapain di ruangan Pak Gerry?" tanyaku langsung ke poin.

"Aku interview." Tita mengusap lengannya yang tadi aku cengkeram.

"Interview? Kamu?" Selain mustahil melihat matahari terbit di malam hari, mustahil pula menemukan Tita interview. Bocah ini paling anti interview. Dia selalu mengoceh soal menikahi cowok tajir melintir. Dulu, dia menjadikan Sandra Dewi sebagai junjungan. Setelah kasus ratusan triliun, dia menurunkan foto pernikahan Sandra Dewi yang bertema Disney dan beralih menjadikan Syahrini sebagai idola. Segitu obsesinya dia menjadi istri orang kaya sampai meniadakan 'kerja' dalam daftar kegiatannya selama hidup.

"Iya. Emang kenapa? Bukannya kamu yang selalu cerewet nyuruh aku kerja?"

"Aku emang nyuruh kamu kerja buat bayar semua COD kamu yang menggunung itu, tapi kenapa di sini?"

"Apa masalahnya kalo aku kerja di sini. Koh Gerry aja setuju. Dia bilang aku bisa mulai kerja Senin minggu depan." Tita mengibaskan rambut yang digerai ke belakang.

Aku meneguk ludah. Kabar ini mengerikan. Aku rela bekerja diteror customer dan harus lembur demi menginput segunung data ke komputer. Tapi bekerja bareng Tita, iiih... bulu kudukku lantas berdiri. Dia lebih cocok jadi kontestan pemalas sedunia. Buat ambil minum saja dia malas dan malah meneleponku yang sedang menggoreng di dapur untuk membawakannya segelas air. Sudah begitu, sifat ngambekannya jelek banget. Kalau nggak dituruti, dia mengamuk layaknya anak tantrum.

"Kamu mau kerja apa di sini?" Bukannya aku merendahkan Tita loh. Dia lulusan SMA dan pengalamannya terbatas pernah jadi kasir di toko kue selama seminggu.

"Asisten Koh Gerry," jawab Tita dengan pongah.

Aku menganga. "Gimana bisa?!" aku memekik nggak terima.

Sudah lama Pak Gerry mengeluhkan pekerjaannya yang menumpuk. Mbak Intan sudah sering mengusulkan asisten untuk membantu pekerjaannya. Waktu itu aku yang diusulkan Mbak Intan menilik pengalaman dan etos kerjaku. Pak Gerry menolak karena menurutnya aku sudah pas di posisiku sebagai admin. Padahal aku sempat ngarep bakal dipindah ke posisi yang nempel Pak Gerry.

Kenapa malah Tita yang dijadikan asisten? Mana dia paham pekerjaan di sini!

"Ya bisa lah. Apa masalahnya kalo aku jadi asisten Koh Gerry?"

"Koh Gerry. Koh Gerry. Nggak sopan banget kamu manggil dia. Dia itu bos di sini."

"Koh Gerry oke oke aja aku panggil begitu. Dia sendiri yang bilang kalo dia merasa nyaman dipanggil begitu SAMA AKU." Tita menunjuk dadanya sendiri untuk menegaskan hanya dirinya yang diizinkan memanggil Koh Gerry.

Aku menarik napas jengkel. "Aku nggak bakal bantu kamu selama kerja di sini. Jangan berharap aku bantuin kamu," ancamku.

"Terserah. Aku bisa belajar sendiri tuh. Emangnya sesusah apa kerja di sini? Aku itu lulusan SMK loh. Udah ah, kamu bawel banget, Kak." Tita mengibaskan tangan, lalu melenggang pergi.

Aku menatap kesal sosok Tita yang menjauh. Sebenarnya, aku punya dugaan kenapa Pak Gerry menolakku sebagai asistennya waktu itu. Secara penampilan, aku memang jauh dari kata menarik. Wajahku biasa saja. Sekali melihatku belum tentu meninggalkan kesan. Apalagi bentuk badanku. Ada banyak timbunan lemak di lengan, paha, perut, dan bokong. Perutku pun memiliki lipatan yang tebal. Pakaian ukuran L nggak muat di badanku.

Di lain sisi, Tita dikaruniai gen baik orang tua kami. Dia tinggi dan langsing. Wajahnya bebas jerawat dan sering dipoles makeup. Penampilannya selalu trendi karena jauh dari masalah pakaian kekecilan. Bukan nggak mungkin Pak Gerry memilih Tita karena tampilan luarnya yang lebih menawan daripada aku. Tapi kenapa harus Tita? Bakal lebih baik kalau Pak Gerry memboyong cewek lain sebagai asisten pribadi.

"Ah, pusing." Aku ingin berlari ke ruangan Pak Gerry dan mempertanyakan semuanya. Namun aku terlalu pengecut. Aku takut dinilai suka ikut campur.

Aku memutuskan menahan semuanya dan segera kembali ke kantor. Pekerjaan akan mengalihkan emosiku kepada sesuatu yang bermanfaat.

"Shella."

Aku mendapati Pak Gerry menyambutku di ambang ruang kerjanya. Secuil harapanku mekar. Barangkali Pak Gerry ingin menjelaskan soal Tita. Dia mungkin ingin mengajakku berdiskusi baik dan buruknya memasukan Tita di sini.

"Ya, Pak?" Aku menghampiri dalam langkah super ringan.

"Ini." Pak Gerry menyodorkan sebuah berkas. Aku menerimanya ragu-ragu. Sebelum bertanya, dia sudah lebih dulu menjelaskan, "Tolong kamu ikut Louis ke kafe klien. Di sana bantu foto-foto ruangan."

Aku heran. Louis adalah satu-satunya desainer yang ada di sini. Biasanya dia meninjau lokasi sendirian atau bareng Kino. Aku belum pernah turun ke lapangan karena tugasku sebagai admin di balik meja. Bukannya yang bertemu klien.

"Saya motret aja, kan?" Aku perlu memastikan. Takutnya aku juga disuruh mengukur. Aku lumayan akrab dengan angka dalam bentuk rupiah, tapi bukan angka dalam senti dan meter. Gimana kalau aku salah mengukur 0,1 senti dan memengaruhi kepuasan klien?

"Emangnya kamu mau apa lagi? Bantu desain?" Pak Gerry tertawa kecil.

Aku paling menyukai tawa Pak Gerry. Matanya yang sipit jadi berubah seperti garis berbentuk sabit. Dan itu kiyowo banget.

"Yah, saya cuma mastiin aja. Takutnya Bapak berekspektasi tinggi sama saya."

"Nggak kok. Cuma temani Louis aja. Tugas kamu motret dan minta ditraktir makan siang sama Louis. Jangan mau diajak pulang dengan perut lapar."

"Terus kerjaan saya?" Aku ingat belum menyelesaikan tugas sendiri.

"Lanjutin setelah balik. Saya percaya kamu bisa." Pak Gerry menepuk bahuku ringan.

Sentuhan kecil itu membuat hatiku berdesir. Alasanku jarang menolak tugas dari Pak Gerry adalah karena aku suka setiap kali dia menepuk bahuku sambil tersenyum tanpa memamerkan gigi.

Aku segera menuju meja kerja. Kesempatan pertamaku tugas luar. Kapan lagi dapat kesempatan jalan-jalan di jam kerja. Aku perlu refreshing akibat ulah Tita. Lagian aku sedang menunaikan tugas negara yang diberikan Pak Gerry. Aku bakal balik ke kantor dan bikin Pak Gerry terpukau pada hasil kerjaku. Lebih baik kalau Pak Gerry tergugah oleh kinerjaku dan memutuskan batal mempekerjakan Tita, melainkan mempercayaiku sebagai asisten pribadinya.

"Ngomongin apa sama Pak Gerry?" Mbak Intan merapat ke mejaku saat aku sedang mengemas barang-barang untuk tugas luar.

"Diminta nemenin Louis motret kafe klien," jawabku tanpa melirik. Aku harus bekerja efisien. Tangan dan mata gesit mengemas barang, di saat mulutku bicara. Gini nih contoh karyawati teladan.

"Kamu dijadiin bumper karena Kino ngambek."

Aku sontak mengangkat wajah. Mbak Intan menatapku prihatin. "Kino minta naik gaji, tapi Pak Gerry nggak ngasih. Hari ini dia nggak masuk. Alasannya sakit, tapi siapa yang tahu. Mungkin dia lagi interview tempat lain," Mbak Intan menjelaskan.

"Mungkin mogok kerja," timpalku. Aku nggak peduli sama Kino. Yang penting aku menjalankan perintah Pak Gerry dan balik membawa kebanggaan kantor. Yah, aku sendiri kurang yakin memotret cukup untuk dibanggakan oleh bos. Tapi kerja dulu deh. Kasih performa terbaik.

&&&

Louis masih mengobrol dengan pemilik kafe. Aku sudah memiliki seenggaknya 500 foto dan 10 video dokumentasi. Sekarang aku nggak tahu mau mengerjakan apa lagi. Semua sudut, termasuk langit-langit sudah aku foto. Meski begitu, aku menemukan kesenangan tersendiri dari menggunakan kamera DSLR.

Aku melipir ke luar bangunan. Ada area hijau di samping kafe yang memiliki akses ke parkiran di depan melalui pintu kayu setinggi 1,5 meter. Aku menyusuri lahan parkir. Terdapat tiga mobil yang nangkring di situ dan beberapa sepeda motor. Nggak ada kang parkir yang berkeliaran karena sudah ada petugas parkir no tipping yang disediakan oleh pemilik. Aku cukup terkesan terhadap betapa detailnya sang pemilik membangun usahanya, termasuk memastikan kenyamanan parkir pelanggan. Aku memotret suasana parkir karena bagian ini belum aku dokumentasikan. Louis pun nggak akan berterima kasih untuk usahaku yang ini karena dia nggak membutuhkannya. Aku akan menghapusnya di jalan pulang. Saat ini aku hanya ingin berperan sebagai seorang fotografer yang mencari inspirasi. Aku melipir ke area hijau dari lahan parkir. Beberapa meja kayu dan kursi dari besi tempa disusun terpisah dan tampak estetik. Nggak ada satu tamu pun yang duduk di situ membuat jiwaku ingin jepret sana-sini. Aku berjongkok untuk mengambil angle yang ciamik.

Di tengah keseriusanku membidik, pintu penghubung area hijau dan lahan parkir dibuka. Aku terdorong dari belakang. Kurang sigap, aku terjerembab ke depan.

"Oh sorry. Sorry."

Seseorang menangkap lenganku. Dia menggeram saat menarikku untuk bangkit dari posisi bak sapi betina mencari makan rumput.

"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya.

Aku terpanah. Sosok yang menarikku adalah pria tinggi dengn hidung tinggi yang memukau. Bola matanya seperti ditabur gliter. Rahangnya bukan jenis pahatan patung Yunani, tapi cukup tegas terlihat. Aroma parfumnya semerbak menggoda panca indra.

"Ada yang sakit?" tanyanya lagi.

"Ah." Aku tersadar. Sontak aku menjauhkan diri. "Nggak apa-apa."

"Maaf ya. Aku nggak sengaja buka pintu. Biasanya nggak ada orang di belakangnya. Apa ada yang luka?"

Suara cowok ini lembut banget. Tipe suaranya bukan yang nge-bass manja, tapi cukup buat bikin perutku bergelanyar.

"Aku nggak luka. Cuma..." Aku menunjukkan kedua telapak tanganku yang kotor.

Cowok itu mengeluarkan sapu tangan. "Pakai ini dulu. Habis itu cuci tangan kamu. Mau aku tunjukin WC di sini?"

"Nggak perlu. Sapu tangan kamu nanti kotor."

"Udah nggak apa-apa. Lagian aku yang salah." Cowok itu menarik tangan kananku dan meletakan sapu tangannya di situ.

"Kalo kamu baik-baik aja, aku duluan ya." Cowok itu tersenyum luar biasa manis mengalahkan kenikmatan marshmallow. Dia masuk ke dalam, lalu bergabung bersama Louis dan pemilik kafe.

Kegilaanku terbit. Aku menaikan kamera, mengatur zoom dan shutter, kemudian mengabadikan ketampanan itu.

Saat itu, aku nggak pernah menyangka pertemuan tersebut adalah awal dari kegilaan yang lebih dahsyat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro