21
Jahat.
Jahat banget.
Aku meremas sapu tangan seakan benda itu bisa menyalurkan sakit hatiku kepada pelaku. Seberapa keras aku meremasnya, benda itu tetap bungkam. Memang apa yang aku harapkan dari benda mati ini selain fungsi utamanya untuk mengelap air mata dan ingus?
Andai aku punya kemampuan pengendali setan, sudah aku kirim badarawuhi ke tempat si bangsat Ganta. Biar dia mati dengan mulut berbusa karena teror agen kematianku. Kalau aku bisa ajian santet, aku kirim paku bumi ke perutnya. Ide-ide liar bergentayangan di benak karena tuduhan-tuduhannya yang nggak berdasar.
Dia tuduh apa aku tadi?
Mau memeras dia?
Dih, aku masih tahu caranya mencari nafkah halal. Lagian kenapa harus dia? Kalau mau memeras, aku nggak perlu repot mengejar dia. Aku bisa mengincar Pak Gerry dan mengancamnya dengan uang nakal yang Pak Gerry keluarkan maupun dia tarik dari proyek. Memangnya aku bodoh banget apa?
Aku berdiri dari dudukan toilet. Aku menarik tisu dari gulungan dan pulpen dari saku, lalu menulis kata-kata hinaan serta gambar jelek si bangsul diincar roket dalam bilik terpojok, bilik WC yang jarang digunakan karena isinya alat-alat kebersihan. Biasanya aku ke sini kalau butuh menulis surat makian bagi para atasan dan rekan kerja, lalu aku buang ke toilet seakan aku membuang semua taik. Dalam filosofi taik, sekali dibuang, nggak bakal dicari lagi. Sekali aku buang kekesalanku, amarahku mereda. Aku bisa kembali pulih dan bekerja kembali. Aku meremas kertas berukuran A5, lalu melemparkannya ke toilet. Tatapanku nyalang mengawasi bola kertas itu berputar dibawa turun flush air toilet.
Rasanya agak lega bisa melihat gambar si bangsul mengalir bersama air menuju septic tank. Tentu lebih baik jika si bangsul turut dibawa jatuh ke sana. Dia bakal cocok banget bersama kotoran, sama seperti mulutnya yang berbisa.
Aku keluar dari bilik. Restroom perempuan kosong. Jam segini, orang-orang masih sibuk di meja masing-masing. Kalaupun ada yang berkeliaran, pastinya bukan di sini, melainkan di pantry. Dekat pantry, terdapat toilet juga. Mereka nggak mungkin mau repot-repot turun ke restroom ini yang ada di lantai satu.
Aku menyedot ingus kuat-kuat, lalu mengelap pipi yang basah. Sekeras apapun aku berusaha menguatkan mental, nyatanya aku masih merasa buruk. Ganta si bangsat telah menyerang di titik yang paling sensitif di hatiku. Dia menyebut fisikku menjijikan.
Di depan bilik, cermin panjang menempel di dinding persis di bawah wastafel. Kakiku melangkah ragu menuju ke sana. Mataku terpaku pada bayangan diri sendiri. Tanganku menyentuh leher perlahan. Pantulan diriku pada cermin memberi penguatan atas kata-kata Ganta.
"Gue jijik. Merinding lihatnya. Yang ada dalam pikir gue cuma bingung, kok bisa-bisanya gue nyosor ke leher lo yang penuh lemak itu. Mana lipetan lemaknya banyak banget, coba lo cek, seberapa banyak daki lo tinggal di sana!"
Aku tersenyum miris dengan hati berdarah. Ucapan Ganta nggak salah. Aku sudah pernah mendengarnya dulu dengan orang yang berbeda. Kini, kata-kata itu kembali. Bagaimana bisa dua orang itu mengatakan kata-kata yang sama tentang aku? Dan mengapa mereka bisa menjadi sepasang kekasih?
Kenangan kelam itu terputar di hadapanku layaknya baru kemarin. Ratu iblis mendorongku ke gang sempit menuju gudang belakang sekolah. Dia tertawa melihatku yang tersungkur ke tanah. Tanpa iba, dia berjongkok di dekatku, lantas menjambak rambutku hingga kepalaku mendongak. Aku merintih kesakitan sambil berusaha melepaskan tangannya. Namun dia menjambakku lebih keras. Makian itu pun terlontar, "Lipatan lemak lo nggak bisa bikin lo sedikit sadar diri? Lo itu menjijikan. Berani-beraninya lo senyum ke cowok gue. Ngaca woy. Gue aja yang cewek ngeri lihat badan lo. Cowok gue lebih jijik lihat badan lo."
Aku menggigil. Ketakutan itu kembali menjalar ke sekujur badan. Aku roboh ke lantai. Air mataku kembali tumpah. Sekali lagi, aku menangis atas hinaan orang. Sekali lagi, aku sendirian memeluk sakit hatiku.
&&&
"Hai, Kak."
Aku mendelik pada Bayan. Tanpa tahu malu, dia masih berani nongol sambil cengar-cengir di depanku. Amarahku sudah seperti air mendidih yang siap kapan saja menyiram orang.
Bayan duduk di sebelahku. Tanganku langsung menyambar kerah kemejanya. "Kamu yang kirim foto di hape aku ke Ganta, kan?" Aku nggak pakai basa-basi langsung bertanya. Aku tahu itu adalah dia. Siapa lagi yang memegang ponselku selain dia.
Bayan mengalihkan pandangannya dariku. Mungkin dia kaget aku bisa menemukan dia secepat ini. Tolong ya, ijazahku memang SMA, tapi otakku masih sering digunakan. Berpikir masih termasuk kemampuan manusiawiku.
Gini ya... Terakhir kali aku memegang ponsel itu saat di tempat makan semalam. Di situ, adanya Bayan doang. Pagi ini, Bayan menyerahkan ponselku dengan dalih aku menjatuhkannya di mobilnya. Padahal aku sendiri nggak pernah memainkan ponsel. Kalau benar ponselku jatuh di mobil, kok bisa? Aku biasa menaruh ponsel di bagian depan tasku, itu loh bagian tas yang kecil seukuran saku yang pas untuk kartu e-money, tisu, dan ponsel. Aku nggak menggunakan angkutan umum sooo aku nggak mengeluarkan kartu e-money. Aku nggak berkeringat karena nggak perlu jalan kaki ke halte maka tisu nggak dipakai. Terus gimana ponselku bisa jatuh dari tas? Memangnya ponselku itu bisa hidup kaya Buzz Lightyear? Ponselku emang smart tapi bukan smart toy di Toy Story.
Kesimpulannya cuma satu. Bayan yang menyabotase ponselku.
"Gimana kamu bisa tahu password hape aku?" aku nggak menunggu dia mengaku. Kepo sudah menjalar di ubun-ubun. Jujurly, aku nggak pernah memberi tahu sandi ponselku, bahkan ke Pak Tarjo yang aku percayai. Kita itu butuh banget space dalam hidup kita loh, salah satunya ya ponsel.
Bayan masih bungkam.
Aku bertambah kesal. Cengkeramanku pada kemejanya tambah kencang. "Selama ini kamu ngawasin aku ya? Apa ini niat kamu sebenarnya? Kamu mau ngerjain aku? Kamu mau bikin aku bermasalah? Kamu nggak tulus temenan sama aku?"
Bayan mulai menatapku. Nggak ada yang bisa aku mengerti dari sorot matanya, maupun kebungkamannya.
Aku marah padanya. Sangat marah. Tapi aku tahu perjalanannya untuk sampai di sini. Dia adalah anak dari ibu yang terluka karena suaminya dekat dengan Bu Adem Sari. Meski ibuku mengaku nggak berselingkuh dengan bapaknya Bayan, siapa yang tahu kebenarannya hanya mereka berdua. Aku hanya percaya pada ibuku. Bayan belum tentu sama.
Aku melepaskannya. Mungkin hari ini bukan waktunya untuk berbicara dengan Bayan. Pikiranku masih diisi amarah dan hatiku carut-marut. Aku perlu pulang dan membungkus diri di balik selimut sambil menangis hingga kantuk menarik kesadaranku sepenuhnya.
"Aku nggak tahu apa alasan kamu ngirim foto itu ke Ganta dan gimana kamu tahu soal Ganta. Aku nggak akan maksa kamu bicara kalo kamu nggak mau. Aku cuma mau ngasih tahu kamu, entah niat kamu buruk atau baik pas deketin aku dulu. Aku tulus mau berteman sama kamu. Aku tulus anggap kamu adik aku. Aku tulus meminta maaf atas nama ibuku karena udah bikin orang tua kamu bertengkar. Sampai sekarang, semarah apa pun aku ke kamu, aku nggak bisa benci kamu. Aku nggak bisa lupa usaha kamu yang rela antar jemput aku, nemenin aku makan, dan nelepon aku. Entah itu semua sandiwara kamu, aku menikmati waktu kita main bareng," ujarku sepenuh hati. Aku merasa perlu memberi tahunya perasaanku ini. Mau dia jadi jujur atau tetap bungkam atau mengelak, terserah deh. Aku cuma mau menyampaikan apa yang aku rasa selama bersama Bayan.
Bayan menangkap tanganku sebelum sempat aku berdiri. Bibirnya sedikit terbuka, lalu tertutup kembali. Aku menantinya bicara. Untuk beberapa detik, nggak ada satu kata pun yang terucap. Aku tersenyum tanpa gairah. Mungkin dia perlu mengatur pikirannya. Aku melepaskan diri, lalu bangkit dari situ dan pergi. Aku membiarkan Bayan sendirian di bangku di bawah lampu taman yang menyala.
Sama sepertiku, dia pun perlu waktu untuk berpikir. Ada terlalu banyak hal yang terjadi hari ini di antara kami.
&&&
Ketika aku pikir rumah adalah tempat terbaik menutup hari ini, aku bisa melihat dugaanku salah. Bu Adem Sari menyambutku di teras rumah dengan wajah nyalang. Entah apa lagi masalahnya, tapi aku menduga akulah targetnya. Aku letih secara fisik dan mental. Aku hanya ingin masuk kamar dan beristirahat.
"Kamu dari mana aja?" Bu Adem Sari bertanya dengan nada kesal.
Sekarang belum mencapai pukul tujuh malam. Ibuku mestinya tahu jam kerjaku sampai jam lima sore. Sudah merupakan pencapaian bisa mencapai rumah saat ini. Namun aku nggak ingin berdebat. Emosi sedang nggak baik.
"Dari kantor," jawabku pendek.
"Bohong! Tita bilang kamu udah pulang duluan. Dia aja udah di rumah dari tadi."
"Tita pulang dijemput pacarnya, nggak naik angkot kayak aku. Tentu dia pulang lebih cepat." Aku masih berusaha menahan diri.
"Kamu tu kebanyakan alasan. Ngaku aja kamu lagi deket sama cowok. Tita lihat kamu bareng cowok, berduaan di taman. Enak kamu ya pacaran terus. Di rumah Mama capek ngurusin kerjaan sendirian. Kamu nggak ada mikirnya buat bantu kerjaan rumah."
Nah, ini alasan Bu Adem Sari menjadikanku samsak amarahnya. Dia yang capek, dia pula yang mencari pelampiasan ke orang lain.
"Tita udah pulang. Mama bisa minta tolong Tita buat bantu kerjaan di rumah," aku mengusulkan.
"Kamu tu kelewatan banget. Tita itu capek kerja. Dia asisten bos. Banyak kerjaan dia. Kamu di kantor nggak ada bantuin dia. Semua dia kerjain sendirian. Bener-bener kelewatan kamu. Sama adik, kamu sengaja nggak bantuin. Sama orang tua, kamu lebih milih pacaran."
"Aku juga kerja. Aku nggak diam aja di kantor. Gimana aku bisa bantu Tita kalo kerjaan dia dan aku nggak sama? Aku belum tentu paham pekerjaan Tita. Lagian aku nggak punya kuasa bantuin Tita," aku menjelaskan dengan hati-hati. Sebenarnya, pekerjaan Tita itu sedikit banyak aku tahu. Toh, dulu aku yang mengerjakannya bersama-sama Mbak Intan. Setelah datang Tita, ya aku dan Mbak Intan nggak lagi turun tangan. Bagaimanapun, setiap orang sudah punya porsinya masing-masing untuk bekerja dan karena itu kami digaji.
"Alah, alasan. Tita bilang kamu dulunya ngerjain kerjaan dia. Bos dia yang bilang. Kamu aja yang nggak mau bantu. Kalo kamu bantu dari awal, Tita nggak akan kena marah bos. Maunya Mama, kamu tu ada mikir dikit buat keluarga. Bantu adik, bantu Mama. Yang ada kamu malah senang-senang sendiri. Mau enaknya aja," omel Bu Adem Sari tambah ganas.
Aku menarik napas. Ini merupakan usaha terakhirku untuk tenang. Aku nggak ingin menambah masalah. Sudah cukup yang aku miliki sekarang. Namun mataku menemukan Tita tengah mengintip dari balik tirai jendela kamar Bu Adem Sari. Ketika mata kami bertemu, alih-alih bersembunyi, dia malah cengengesan.
Sudah cukup, pikirku sambil tersenyum miris.
Hidup memang nggak adil. Kalau porsiku memang yang begini, aku mesti apa?
Aku beralih pada Bu Adem Sari. "Mama maunya aku gimana? Bantu kerjaan Mama di rumah? Boleh. Tapi aku nggak mau bayar semua cicilan Mama. Kasih tanggungan itu ke Tita supaya aku nggak perlu lembur lagi."
"Kamu gila, ya?!" Bu Adem Sari menudingkan telunjuknya dengan wajah murka.
"Aku emang udah gila. Mama baru tahu?" sahutku kalem.
"Mentang-mentang punya duit sedikit, kamu udah berani sama orang tua. Mikir gimana Mama dulu ngelahirin kamu? Badan kamu gede, Mama nyaris mati karena usahain kamu lahir. Kalo bukan Mama, siapa lagi? Bapak kamu di kuburan? Ngimpi! Dia itu gembel."
"Kalo tahu gembel, ngapain nikah sama bapakku? Kalo ngelahirin aku susah, ngapain masih urus aku? Buang aja aku pas bayi ke sungai biar mati tenggelam." Aku terpancing.
"Kamu disekolahin bukannya pintar malah tambah bego ya. Ngomong sembarangan."
"Emang Mama nggak ngomong sembarangan?"
"Mama itu ngasih tahu kamu, berani kamu jawab-jawab."
"Kalo ngasih tahunya baik-baik, aku mau dengar. Yang Mama ucapin itu buruk. Mau minta balasan udah ngelahirin aku? Ya ampun, Ma. Kalo tahu aku bakal dibesarin ibu kayak Mama, aku minta nggak pernah dilahirin deh. Hampir setiap hari ada aja masalah yang Mama buat. Utang sana-sini. Berantem sama tetangga. Baru-baru ini, Mama malah dituduh selingkuhan. Kurang sial apa aku jadi anak Mama?" Semuanya aku tumpahkan.
PLAK!
Kepalaku tersentak ke kiri. Sepersekian detik, aku mengalami disorientasi. Kemudian rasa panas dan nyeri menyadarkanku. Tamparan itu sungguhan dilayangkan ibu kandungku.
Aku memegang pipi kiriku ragu-ragu. Sengatan sakit pada pipi saat bersentuhan ujung jari membuatku sadar aku telah berhasil membuat ibuku sangat marah.
Aku menatap Bu Adem Sari. Dia tampak terkejut. Pandangannya berkelana antara telapak tangan kanannya dan aku.
"Kayaknya hari ini aku terlalu banyak ngomong," kataku dengan lemah. Aku menurunkan tanganku dari wajah.
Aku memiliki banyak pilihan untuk menyudahi pertengkaran kami. Aku bisa melukai Bu Adem Sari dengan lebih banyak kata-kata menyakitkan. Aku juga bisa bersimpuh di kakinya dan memohon maaf atas kekhilafanku lalu kami kembali baik-baik saja. Namun aku nggak menginginkan keduanya. Aku nggak ingin terikat karena terus menyakitinya, maupun terikat karena berbaikan dengannya. Aku ingin mundur dan menenangkan diri.
"Aku minta maaf. Kayaknya malam ini Mama perlu ketenangan. Aku nginap di rumah temanku." Aku memutar tumit, lantas pergi dari situ dalam langkah terseok.
Belum pernah aku merasa sakit begini. Jika kata-kata Ganta tadi pagi dan ejekan ratu iblis semasa SMA telah menghancurkan kepercayaan diriku, maka Bu Adem Sari sukses membuatku nggak percaya pada siapa pun. Nggak ada yang tersisa di dunia ini untuk aku berbagi kasih sayang. Selama ini aku pikir seburuk-buruknya keluarga, aku akan tetap dicinta dan aku bisa mencinta mereka tanpa syarat. Ketika tamparan itu bersarang di wajahku, aku meragu pada arti keluarga.
Barangkali ini yang terbaik buatku. Sendirian.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro