Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19

"Nduk, pacarnya udah di bawah tuh." Pak Tarjo cengir-cengir sambil mengedipkan matanya centil.

Aku meliriknya tanpa gairah. Sudah jam delapan malam dan aku masih berkutat dengan pekerjaan. Terima kasih aku haturkan pada si bangsul Ganta yang telah membuat seluruh kantor pulang di atas jam tujuh selama beberapa hari. Realita bekerja di kantor kecil adalah semua stafnya harus multitasking. Bukan cuma bisa merangkap admin dan tukang angkut barang, aku pun bisa disuruh mengendalikan api dan air. Contohnya saat ini. Aku sibuk berkutat di pantry untuk membuatkan sepuluh bungkus indomie demi menyelamatkan nyawa-nyawa tak bersalah yang dipaksa kerja rodi sama Pak Gerry. Aku harus memastikan api cukup panas untuk menggodok air. Kemampuan ini harus aku masukan dalam resume masa depanku. Mana lagi bisa ditemukan admin sebaik aku yang rela menyisihkan waktu untuk membuatkan makan malam serdadu Louis yang sibuk memotong kayu di bengkel. Baru semalam aku melihat video mas OB yang sabar mengisikan botol minum staf-staf yang mana itu bukan job desc-nya. Buat para dedek gemes yang belum terjun ke dunia kerja, emang kayak gitu kenyataan di lapangan. Orang baik itu bakal dimanfaatkan. Bisa bertahan di kantor asal sanggup menelan harga diri.

"Terus ini?" tanyaku sambil menunjuk bungkus-bungkus indomie yang sudah terbuka dan siap diterjunkan ke panci.

"Ya lanjut dong. Jangan ditinggal. Pacarnya Bapak suruh tunggu di pos aja. Ntar Bapak bawain teh Ucup sebotol biar sabar nungguin kamu kelar masak." Pak Tarjo membuka kulkas dan mengambil sebotol teh.

"Itu punya Mbak Intan."

"Udah izin. Katanya boleh. Lagi mens ya? Mukanya butek banget."

"Stres karena pulang lembur mulu."

"Bikinin mie aja. Mungkin lapar makanya kesal."

"Mana mau Mbak Intan makan mie instan. Dia udah pesan sushi bareng Pak Gerry."

"Kamu makan sushi juga?"

"Nggak. Aku makan bareng Bayan aja."

"Bayan siapa?"

"Cowok yang Pak Tarjo bilang pacarku itu. Dia bukan pacarku. Dia anaknya bu jambul yang tempo hari ngelabrak Bu Adem Sari."

"Lah mau apa dia ke sini?"

"Mau jemput. Kasihan dia dilema di rumah. Anaknya baik kok."

"Hati-hati, Nduk. Yang baik bisa jadi bungkusannya doang. Aslinya amit-amit."

"Curhat nih?"

"Bapak ngasih tahu supaya kamu hati-hati sama cowok."

"Iya iya." Aku menanggapi sekenanya. Air sudah mendidih. Aku segera memasukan keping-keping mie.

Pak Tarjo pergi dari situ. Mungkin dia sadar aku terlalu letih untuk dinasihati. Situasiku itu sedang butuh yang namanya holiday ke bulan. Sekalian yang jauh biar nggak bisa ditelepon Pak Gerry di pukul enam pagi buat membahas pekerjaan dan Louis nggak mengusik waktu makan siangku dengan seabrek tugas serta teror Pak Tarjo yang mendadak request barang yang berdampak aku kena omel vendor. Semua gara-gara Ganta dan permintaannya menciptakan candi Roro Jonggrang. Dia pikir kami ini Bandung Bondowoso dan geng jinnya?

Bayan yang tahu aku digempur lemburan menawarkan diri menjemputku pulang. Aku sudah tolak dengan macam-macam alasan. Sebenarnya aku nggak enak dijemput begitu. Bayan itu mahasiswa, pasti sedang sibuk-sibuknya. Walau aku belum pernah mengenyam pendidikan di universitas, aku menduga-duga saja sih.

Setengah jam kemudian aku sudah berada di lantai bawah sambil menenteng tas. Aku memandang puas pada para serdadu Louis yang makan masakanku dengan lahap. Aku menyajikan indomie kuah beserta nasi. Benar-benar menu makan malam yang buruk untuk aku yang bertubuh gemuk, tapi berbeda dengan mereka yang bekerja pakai otot.

"Sudah?" Bayan langsung bangkit dari kursi kayu yang ada di depan pos sekuriti.

Aku mengangguk sekali.

Bayan memimpin jalan menuju mobilnya yang terparkir di seberang pos. Aku mengikuti dengan lesu. Tanpa diminta Bayan membukakan aku pintu di sebelah pengemudi. Sambil tersenyum dia berkata, "Silakan, Nona Shella."

Sudut bibirku berkedut. Bisa-bisanya dia bertingkah manis gini. Kan jadi lupa aku sedang bad mood.

"Boleh mampir makan dulu?" tanyanya setelah menyusulku masuk ke mobil.

"Boleh. Kamu belum makan?"

"Udah di kampus, tapi lapar lagi."

Aku manyun. "Enak banget punya badan kayak kamu. Udah makan, mau makan lagi, tetap aja segitu doang ukurannya."

"Badan Kakak udah paling pas kayak gitu. Seksi." Bayan mengedipkan mata kirinya.

Aku mencibir. "Kamu manis banget mulutnya. Playboy ya?"

"Slay boy," ralatnya.

"Dih."

Bayan tertawa sambil menyalakan mobil. Aku membuang muka ke arah jendela. Saat itu aku melihat Tita keluar dari kantor menuju mobil sedan yang menepi dekat gerbang. Lagi-lagi anak itu sibuk dengan dunianya.

&&&

Tempat makan pilihan Bayan membuatku takjub. Itu adalah kafe sederhana dengan furnitur berbahan kayu dan dinding dihias foto-foto hitam putih. Aku mengamati suasana kafe, terutama foto-foto yang dipajang.

"Bagus ya?" tanya Bayan. Dia baru kembali dari kasir untuk memesan makanan. Para pengunjung harus memesan di kasir, baru nanti makanannya diantar ke meja, begitu kata Bayan. Aku membiarkan dia memesankanku makanan yang menurutnya enak.

"Iya." Aku mengeluarkan ponsel dan menjepret dinding kafe yang penuh dengan pigura kayu.

Perutku mendadak bergemuruh. "Aku ke toilet dulu."

"Di sebelah sana. Lurus terus belok. Ada papan petunjuknya."

"Oh oke." Aku meninggalkan ponsel di meja, lalu buru-buru pergi. Kalau sudah panggilan alam, jangan ditunda. Takutnya kebobolan, nggak ada cadangan penggantinya.

Sebuah keberuntungan sebab toiletnya sepi. Aku bisa bersantai buang air. Namun kita menyebut keberuntungan karena adanya kesialan. Yes, aku sial pas keluar dari situ. Dalam perjalanan balik ke meja, aku berpapasan dengan ratu iblis.

"Wah, siapa ini?" Ratu iblis menyilangkan lengannya penuh gaya.

Aku mencoba berjalan miring untuk menghindarinya. Dia malah dengan sengaja mencegatku menggunakan badannya yang kurus. Aku yang menahan napas saking jengkelnya. Mau apa lagi sih induk setan ini?

"Aku pikir kita sudah cukup akrab untuk saling sapa kalo ketemu. Ternyata kamu masih sombong," katanya.

"Aku mau balik ke mejaku." Lidahku kelu. Lagi-lagi ratu iblis ini memainkan kata-kata seakan dia si paling baik yang tersakiti sikapku. Permainan yang sering dia jadikan andalan untuk merusak citraku di sekolah, di hadapan teman-teman satu kelas.

Bayang-bayang dikerubungi teman-teman dan dilemparkan umpatan menyeruak. Sebutan gendut, nggak tahu diri, ngaca, dan sebagainya memekakan telinga. Kepalaku pusing. Pandanganku perlahan kabur.

Aku tahu itu hanyalah potongan kenangan kelam. Namun badanku tetap bereaksi. Kakiku menggigil. Deru jantungku meningkat. Aku kesulitan menangkap ucapan ratu iblis.

"Hei-"

Aku spontan menghalau tangan ratu iblis yang akan menyentuhku. Dia terdorong hingga jatuh ke lantai. Pekik kesakitannya menarik kesadaranku sepenuhnya.

Aku terhenyak pada apa yang telah aku lakukan. Ratu iblis mendelik murka padaku. Perhatian orang-orang yang berjalan di lorong beralih pada kami. Ratu iblis berubah ekspresi. Dia tiba-tiba sedih.

"Shella, kamu kenapa kayak gini?" Ratu iblis berdiri susah payah.

Badanku bergeming melihatnya. Aku takut mendekatinya.

Orang-orang yang keluar dari toilet yang membantu ratu iblis untuk berdiri. Mereka memapah lengan kurusnya. Tampak jelas ketidaksukaan mereka terhadapku dan diperburuk ucapan ratu iblis. "Aku cuma mau menyapa kamu setelah lama kita nggak ketemu. Kenapa kamu malah nuduh aku mau ngerebut pacar kamu? Aku nggak begitu, Shella. Dia yang hubungi aku. Dia yang bilang kalian udah nggak pacaran lagi."

Aku melongo.

Ratu iblis sedang ngomongin siapa sih?

Aku?

Yakin?

Aku yang belum pernah pacaran sejak orok mendadak nuduh dia merebut pacarku?

Heloooooo!!

Pacar yang mana?

Pacar halu?

Pacar haluku itu Vernon Seventeen. Masak perkara Vernon bisa heboh gini? Jutaan carats juga ngaku pacarnya Vernon dan Vernon sudah dilabeli pacar berjamaah carats.

Perempuan yang memapah ratu iblis ikut bicara, "Mbak, kalo ada masalah mending diomongin. Jangan main fisik kayak gini."

Rahangku turun dua senti.

Pria yang di sebelah ratu iblis nggak ketinggalan ikut campur, "Kalo mau gulat, sama yang ukurannya sesuai. Mbak itu gede, mbak ini kecil. Kalah lah mbak ini."

Rahangku jatuh sampai kaki.

Orang-orang sableng! Siapa yang mau main fisik dan gulat?!

Ratu iblis mengulum senyum jahat.

Aku menarik napas kesal. Ini bukan pengalaman pertamaku disalahpahami orang-orang. Namun mendapati diriku masih masuk jebakan yang sama induk setan ini, aku merasa sangat marah.

Aku memutar badan. Dua orang itu berteriak yang menyuruhku minta maaf. Aku pura-pura tuli. Aku hanya ingin pulang dan melesakan wajahku pada bantal seperti yang dulu aku lakukan tiap kali dirundung ratu iblis. Sebab aku tahu, nggak ada yang akan datang membantuku.

"Ada apa, Kak?" Bayan langsung berdiri begitu aku menghampiri.

Aku mengusap ujung mataku yang basah. Aku nggak ingin meneteskan air mata terutama di depan ratu iblis. "Ayo kita pulang." Aku menarik pergelangan tangan Bayan.

Tanpa bertanya, Bayan langsung mengangguk. Kami segera meninggalkan kafe itu. Bayan sigap membukakan pintu mobilnya.

Dalam mobil, tangisku pecah. Ketakutan kembali menyelimutiku. Kenangan masa lalu dirundung dan disalahkan satu per satu terbit mendesak kepala.

Bayan mengelus bahuku. Berusaha kuat, aku tersenyum. Bayan turut tersenyum.

"Mau jalan atau sedikit lebih lama di sini?" dia menawarkan.

"Jalan," kataku nyaris seperti desisan.

Bayan mengangguk singkat dan segera menyalakan mobil. Aku mengatur napas. Dari dalam mobil, aku bisa melihat ratu iblis keluar dari sana sambil melingkarkan lengannya pada seorang pria. Aku memajukan badan sambil memicing.

Bukan Ganta?

"Kakak kenal cewek itu?" Bayan menyadari sosok yang tengah aku awasi.

"Kenal."

"Dia yang bikin Kakak sedih?"

Aku tersenyum miris. "Kira-kira gitu."

"Dia siapa?"

Aku menangkap pertanyaan Bayan sebagai kesempatanku curhat. Di rumah, mana ada yang mau menyediakan telinga buatku menumpahkan resah dan gelisah. Bu Adem Sari terlalu sibuk membuat masalah dan Tita nyaris nggak ada waktu untuk makan karena banyak pria yang perlu dia urus.

"Kamu ingat cerita aku soal lembur gila-gilaan di kantor gara-gara cowok bangsul yang namanya Ganta?" Aku bersemangat untuk cerita.

Bayan mengangguk.

"Nah, cewek itu pacarnya. Kebetulan banget cewek itu teman SMA Kakak yang dulu suka ngatain Kakak gendut. Malah ketemu lagi di sini. Malesin banget." Aku meniadakan bagian ratu iblis membuat cerita bohong. Kalau aku cerita bagian itu, aku perlu menjelaskan statusku yang belum pernah pacaran.

Belum pernah pacaran di umur 23 rada gimana gitu.

"Oh gitu."

"Cewek itu jahat. Jahat banget. Kamu kalo nyari pacar, lihat-lihat karakternya. Jangan milih yang cakep doang. Isinya yang penting. Paham, kan?"

Bayan tersenyum. "Paham."

Saat itu, aku benar-benar nggak terbayang di balik senyuman itu, Bayan mengambil langkah gila yang membuat pagiku jungkir balik.

&&&

"Pagi, Kak."

"Bayan?" Aku terkejut menemukan dia sudah stand by di depan gang rumahku.

"Sekalian ke kampus, aku mau antar Kakak ke kantor. Awalnya aku rada takut datang terlambat, ternyata pas ya."

"Kenapa nggak nelepon dulu?"

Bayan menggaruk tengkuknya. "Biar surprise," jawabnya sambil melihat ke bawah.

Aku mengangguk. Aku suka kejutan. Setelah semalam bertemu induk setan dan merusak suasana hatiku menjelang tidur, aku suka menerima sedikit debaran karena perhatian orang lain. Adik kandungku mah jangan diharapkan. Tahu aku bangun kesiangan, dia tetap jalan tanpa mau repot membangunkanku. Bu Adem Sari terlambat membangunkanku karena tadi sibuk ngomel sama tukang sampah dulu. Untung tukang sampah di gang kami rada budek jadi Bu Adem Sari nggak pakai berantem dan masih sempat membangunkanku. Kalau nggak, waduh, lenyap uang harianku karena datang terlambat.

Bayan membukakan pintu untukku.

Baik banget, nilaiku.

Rasanya ingin tukar Bayan sama Tita deh.

Sepanjang jalan aku dan Bayan banyak bercerita. Aku curhat siksaan di tempat kerja, sementara Bayan cerita gimana sibuknya tugas kuliah. Mendengarnya membuatku membayangkan betapa menyenangkan orang-orang yang berkesempatan kuliah. Andai aku bukan tulang punggung keluarga, mungkin aku bisa menyisihkan uangku untuk membayar biaya kuliah. Mungkin aku bisa menikmati kesibukan yang dirasakan Bayan.

Nggak terasa kami sudah sampai di kantor. Diantar kendaraan pribadi memang beda sama diantar transportasi umum. Waktu yang terbuang di jalan terpangkas sampai setengahnya. Mantap euy! Tapi angkutan umum juga menyenangkan. Aku punya waktu molor di situ karena perjalanannya lebih panjang. Datang awal ke kantor tuh nggak mungkin bisa merem-merem ayam. Kalau dilihat bos, pasti langsung dilempar pekerjaan.

"Makasih buat tumpangannya. Nanti malam nggak usah jemput aku. Kamu istirahat aja di rumah," kataku. Dia sudah terlalu sering menjemputku pulang. Bayan tentu butuh waktu untuk istirahat di rumah dan mengerjakan tugas kuliahnya.

"Oke."

Tumben Bayan nggak memaksa menjemputku.

Aku keluar dari mobil. Sebelum menutup pintu, Bayan memanggil. "Kak, hapenya nih."

"Hah?" Aku heran saat menerima uluran ponselku dari Bayan. Aku nggak ingat sempat memainkan ponsel di mobil. Gimana bisa jatuh?

Apa aku lupa merisleting tas jadi ponselku jatuh?

"Dah."

"Hati-hati."

Aku melambai pada mobil Bayan yang menjauh. Kemudian beralih pada ponsel di tangan. Kayaknya aku mulai lupa. Nyaris saja aku kehilangan ponsel. Untung diantar Bayan. Kalau aku naik transportasi umum, bye bye ponsel deh. Yang menakutkan dari kehilangan ponsel itu bukan kehilangan kontak, melainkan terpaksa beli ponsel baru.

"Akhirnya lo nongol juga." Louis menyambutku di depan resepsionis. Di tangannya terdapat beberapa berkas.

Badanku langsung waspada melihat berkas-berkas itu. Sudah beberapa kali aku dikasih berkas sama Louis dan berujung lembur sampai jam sembilan malam. Ganta emang sebangsat itu menimbulkan huru-hara di kantor.

"Lo siapin invoice Ganta. Kata Intan, lo udah dikasih data dari keuangan."

"Sekarang?" Perasaan pekerjaan Pak Tarjo belum kelar. Pembayaran DP sudah diterima dua hari yang lalu. Masak dia sudah mau membayar sisanya?

Apa Pak Tarjo and the gank menemukan ajian leluhur yang membuat mereka super strong dan bisa bekerja sepanjang malam menyelesaikan pesanan?

Wiiih, daebak kalau beneran!

"Sekarang lah. Kirim langsung ke Ganta."

"Kirim langsung?" Aku mendadak nge-lag.

"Iya. Orangnya ada di ruang meeting nomor dua, lagi ngobrol sama Pak Gerry. Dia nunggu lo tuh."

Aku kaget dong. Masa nggak?

Jam kerja belum dimulai dan tukang nyari masalah sudah datang.

Louis pergi saat Pak Tarjo memanggilnya. Aku berjalan lesu menuju meja. Belum duduk, aku sudah menerima mandat kerjaan. Gini banget nasib jadi cungpret.

Aku menyalakan komputer. Sambil menunggu, aku mengecek ponsel. Ada puluhan telepon masuk dan banyak pesan belum dibaca. Aku memeriksa siapa peneleponnya.

Ganta menelepon berkali-kali semalam.

Buat apa?

Aku membuka WhatsApp. Puluhan pesan datang dari ruang chat Ganta. Isinya kurang lebih menuntutku untuk membalasnya segera. Aku bingung kenapa nada pesannya seperti nggak sabaran dan emosi. Padahal aku nggak ada interaksi dengannya kemarin. Apa ada masalah dengan pekerjaanku? Atau dia nggak bisa menghubungi Louis? Aku menggulir ke bawah untuk menemukan alasan Ganta mencecarku banyak pesan.

Mataku nyaris copot saat mendapati foto aku dan Ganta di hotel dikirim ke cowok itu. Kapan aku mengirim foto ini?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro