Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17

Percepat kerjaan Louis?

Enak banget ngebacot.

Aku nggak bisa nggak misuh-misuh dengan permintaan Ganta. Anunya yang berdiri, aku yang disuruh tanggung jawab. Sudah begitu, permintaannya nggak masuk akal. Bagaimana bisa aku membuat pengerjaan furnitur rumahnya selesai dalam sebulan? Memangnya Louis dan bapak-bapak serdadu, sebutan untuk Pak Tarjo cs yang memproses kayu menjadi perabotan, bisa bekerja cepat. Dipikirnya kami itu jin di iklan rokok yang bisa wujudkan apa saja. Kalau bisa, aku pasti sudah mewujudkan mimpiku menjadi anak tunggal.

Punya adik nggak berguna.

Kekesalanku merambat pada Tita yang lagi-lagi kena tegur Pak Gerry. Anak itu payah banget beradaptasi. Sudah hampir sebulan bekerja masih saja belum dapat ritme kerja di sini. Bikin malu saja. Orang-orang kalau membicarakan Tita pasti mencatut namaku sebagai kakaknya. Padahal kinerjanya nggak berelasi dengan performaku di kantor. Tau ah. Gini banget bekerja satu kantor dengan saudara.

Pak Gerry menghampiriku usai mendamprat Tita di depan ruang kerjanya. Tita sendiri sudah pergi ke ruang fotokopi yang satu area dengan bagian GA.

"Shel, malam ini ikut saya ya," kata Pak Gerry.

Badanku spontan menegak. "Perlu bantuan saya buat apa, Pak?" Aku memang kesal dengan Pak Gerry yang mempekerjakan Tita tanpa ngomong-ngomong, tapi aku belum bisa menampik getar-getar demen padanya.

"Bukan urusan pekerjaan sih. Makan malam bareng aja. Biasanya kamu tahu tempat makan enak."

Suasana hatiku seketika berubah. Kayaknya hujan di luar sana tampak bagai hujan permen relaksa. "Boleh, Pak. Saya mau nyoba resto ayam taliwang. Katanya sih enak," usulku bersemangat.

Pak Gerry mengangguk sambil senyum tampan. Itu loh jenis senyuman yang bisa hadir kalau fisik pemiliknya memang sudah tampan sejak lahir. "Nanti ketemuan di lobi jam tujuh. Nggak apa-apa? Saya masih ada meeting sama Louis setelah pulang kerja."

"Bisa, Pak." Demi cintaku padamu, pulang telat pun kurela. Namanya latihan sebelum nikah dan terpaksa nungguin suami yang hobi lembur. OHOK!

&&&

Rambutku sengaja digerai untuk memberi kesan pipi tirus. Aku sengaja berganti pakaian dengan dress simpanan di laci meja kerja yang sudah aku persiapkan kalau-kalau datang ke kantor dalam kondisi basah kuyup. Jakarta sering langganan hujan dan banjir, guys. Aku sudah pernah naik ojek menerobos jalanan banjir setinggi setengah betis. Berasa sedang naik wahana air, bedanya yang ini air butek. Makeup hari ini temanya girly. Mbak Intan yang membantuku dandan dengan perona pipi, lipstik serta eyeshadow pink. Pak Tarjo sampai pangling melihat tampilanku. Katanya, "Koyo ngene toh, Nduk. Ayu tenan."

Lubang hidungku otomatis megar mendengar pujian Pak Tarjo. Belum lagi Mbak Intan yang mendoakan aku sukses menggaet bos. Dia tahu aku naksir Pak Gerry sejak hari pertama aku gabung di kantor. Jeli banget matanya.

Aku menunggu penilaian Pak Gerry. Sesekali aku meliriknya penasaran. Apa dia nggak memperhatikan perubahan penampilanku dengan yang tadi sore? Aku berganti pakaian, berias, dan wangi loh.

Apa matanya picek?

Atau aku yang kurang menarik?

Selama ini aku belum pernah tahu macam mana selera cewek Pak Gerry. Please bilang dia suka cewek. Kalau dia suka cowok, aku mundur, Wir. Siapa yang sanggup lawan batangan? Aku punyanya apem legit.

Ngomongin apem, aku teringat apemku bukan apem fresh.

"Kamu diam aja, Shel. Kenapa?" Pak Gerry bertanya.

"Ah, nggak. Cuma kaget aja karena tempatnya rame." Aku memandang sekeliling. Foodcourt di dekat taman ini ramai sekali. Aku pun baru pertama kali datang ke sini.

"Baru pertama kali ke sini?"

"Iya. Kalo Bapak?"

"Sama. Kalo bukan karena diajak kamu, saya mana pernah ke tempat kayak gini."

"Tumben Bapak minta diajak wisata kuliner. Lagi suntuk ya?" tebakku. Pak Gerry langganan jadi teman kulineranku setiap dia mumet dan butuh mengalihkan stresnya. Di kantor yang pekerjanya kurang dari 50 orang dan kebanyakan manajemen atas adalah aki-aki dan om-om, Pak Gerry mengaku sungkan kalau main bareng mereka. Sementara Louis itu introvert banget. Rute hidupnya dominan adalah kantor-rumah dan sebaliknya. Dia sering menolak nongkrong di luar jam kerja, kecuali terpaksa seperti saat pertemuan dengan klien dan meeting di luar. Acara makan malam perusahaan saja dia nggak ikutan. Dia lebih suka di rumah bersama meong-meongnya. Aku deh yang menjadi teman Pak Gerry kulineran setelah dia lihat aku punya pengetahuan makanan enak. Badan gemukku ini bukti kecintaanku pada makanan lezat. Dari situlah kami sering keluar setelah jam kerja. Ingat aku pernah bilang punya banyak foto berduaan Pak Gerry? Yah karena kami foto buat kenangan makan bareng.

"Awas, Shel."

Jantungku nyaris copot karena tiba-tiba Pak Gerry menarikku dalam dekapannya. Ketika aku melihatnya, dia sedang menggerutu pada orang yang membawa gerobak besar di sisi kami.

Bodo amat apa alasan dia memeluk. Sing penting aku dipeluk gebetan.

Dunia di sekelilingku serasa dipenuhi bunga-bunga yang mekar bersamaan dan angin yang meniupkan kelopak mawar serta kerlip-kerlip bintang mungil yang bersinar di antara kami. Indah banget dunia kecilku. Hingga satu sosok tampak di kejauhan sedang menyeringai ke arahku.

Si bangsul?

Iiih, aku membungkuk sedikit, berusaha menyembunyikan diriku di balik Pak Gerry.

"Kamu nggak apa-apa, Shel? Tadi kena ketabrak ya?"

"Bu-bukan, Pak. Itu..." Aku nggak sanggup bohong ke Pak Gerry. Mana bisa aku mengaku takut bertemu Ganta. Dia bisa saja kembali menerorku untuk mempercepat pekerjaan Louis. Mengingat relasinya dengan ratu iblis, bukan nggak mungkin dia sama gila dan jahatnya dengan si pacar.

"Shella!" Ganta muncul di belakang Pak Gerry dengan senyum luar biasa lebar.

Pak Gerry berbalik, lalu kebingungan. Aku yang juga sama bingung dengan kemunculan Ganta mencoba mengenalkan. "Ini Pak Ganta yang rumahnya lagi dikerjakan Louis."

"Oh. Halo. Saya Gerry, atasan Louis." Pak Gerry mengulurkan tangan.

Ganta menjabat tangan Pak Gerry penuh kepercayaan diri. "Saya Ganta. Kebetulan banget bisa ketemu di sini. Sudah makan atau belum?"

Aku panik. Tolonglah, jangan ganggu makan kami berdua.

"Kami baru datang. Kalau Pak Ganta gimana?"

"Saya juga baru datang. Kebetulan teman saya masih di jalan. Gimana kalau kita gabung?"

"Boleh." Pak Gerry beralih padaku. "Nggak masalah, Shel?"

Masalah. Masalah BANGET! "Boleh," jawabku berkebalikan teriakan hatiku.

Ganta dan Pak Gerry berjalan duluan menuju salah satu meja. Aku mengangkat kepalan tangan meninju udara di belakang kepala Ganta demi melampiaskan kekesalan. Ganta berbalik tiba-tiba. Aku segera mendekatkan kepalan ke mulut dan pura-pura batuk. Dia mengangkat telunjuknya dengan alis menikuk. Aku angkat bahu sambil pasang muka polos.

"Tiga puluh hari," ucapnya tanpa suara.

Aku mendesah. Dia masih saja berharap memperoleh keajaiban Roro Jonggrang. Aku hanya bisa pasang wajah memelas sambil menggosok tanganku. Pahami posisiku dong. Cungpret nih. Mana power-nya di perusahaan.

"Haus ya. Kayaknya es tebu enak. Pak Gerry mau es tebu juga?" Ganta berbicara keras-keras ke Pak Gerry.

"Biar saya yang beliin!" Aku mengangkat tangan penuh semangat. Kalau menawarkan diri menjadi babu bisa membuatnya lupa permintaan konyol tiga puluh hari, aku rela, mas bro.

Aku berlari ke stall es tebu asli untuk memesan dua gelas es tebu. Kurang dari sepuluh menit aku sudah bisa bergabung dengan Pak Gerry dan Ganta di meja. Aku menyerahkan pada mereka masing-masing es tebu.

"Buat kamu aja, Shel." Pak Gerry mendorong gelas es tebu.

"Eh, ini buat Bapak. Saya minum air putih aja. Nol kalori."

"Air tebu juga nol kalori."

"Kata siapa?"

"Katakan aja begitu. Kamu minum deh. Enakan es tebu daripada air putih." Pak Gerry masih memaksa aku menerima es tebunya.

Aku masih kekeh menolak. "Saya sukanya-"

"Mau pesan apa nih? Ada rekomendasi?" Ganta menyela tanpa dosa.

"Kami ke sini mau nyoba makan ayam taliwang. Shella yang tahu." Pak Gerry tersenyum bangga padaku.

Aku tersenyum malu. Padahal cuma dapat rekomendasi dari TokTok, tapi aku berasa spesial banget.

"Oh, ayam taliwang." Nada suara Ganta berubah sinis. "Enak kali ya. Ikut deh."

"Biar saya pesanin."

"Nggak bisa manggil pelayan?" Pak Gerry memegang tanganku yang hendak bangkit dari kursi.

"Di sini pesan langsung di kasirnya. Nanti makanannya baru diantar."

"Oh gitu. Mau saya temani?"

"Nggak usah, Pak." Aku bersemu saat mengurai genggamannya di lenganku.

Aku pergi dari situ dalam langkah berbunga. Gimana nggak senang punya gebetan yang penuh perhatian, walau dia nggak tahu perasaanku yang penting dia nggak menghindariku. Kadang hati itu rentan patah kalau menyukai orang yang salah apalagi yang terang-terangan menolak eksistensi kamu di sekitarnya. Beda sama Pak Gerry. Dia itu perhatian, lembut, baik. Minusnya cuma nerima Tita kerja aja.

Pesananku diproses cepat oleh kasir. Aku kembali ke meja persis saat Ganta dan Pak Gerry sedang membahas pekerjaan.

"Saya inginnya selesai bulan depan. Minimal akhir bulan depan. Nggak masalah soal harga selama kualitas dan waktunya dipersingkat," kata Ganta.

Waduh gila. Dia benar-benar obsesi ingin selesai cepat. Nekat banget minta langsung ke big boss. Nggak mungkin Pak Gerry oke-in. Dia pengertian banget sama kondisi karyawannya.

"Saya perlu omongin ke Louis dan bagian produksi. Kalau dikejar waktu, biasanya kami bakal memberi tambahan biaya. Apa ada masalah kalau harga berubah dua sampai tiga kali lipat."

Aku membelalak. Pak Gerry kok begini? Bisnis sih bisnis tapi pahami kemampuan bawahanmu dong.

Ganta menyeringai ke arahku. Dari kesannya, jelas-jelas dia mengejekku seakan ngomong, "Gue bisa dapatin apa yang gue mau. Nih, buktinya."

"Soal harga nggak masalah. Kirim aja tagihannya," kata Ganta pongah.

Aku mendengkus. Kalau begini, aku tahu bakal ada lembur maraton di bagian produksi dan bukan berarti aku nggak ikutan kena lembur.

"Shella, saya barusan ngobrol sama Pak Ganta. Ternyata dia pengusaha F&B. Dia lagi riset pasar dan merencanakan menu untuk resto barunya. Pas banget kamu banyak tahu tempat makan enak. Kenapa kamu nggak ngasih rekomendasi makanan enak?"

Aku menganga saking kagetnya dengan omongan Pak Gerry. Dari milyaran manusia di muka bumi, kenapa harus bantu si bangsul?

"Selera saya belum tentu cocok sama pengusaha F&B." Aku merendah sekaligus menolak secara halus. Mana mau aku berdekatan Ganta.

"Selera kamu bagus, Shel. Jangan malu. Cukup kasih rekomendasi. Biar Pak Ganta yang tentukan sesuai atau nggak sama konsep restorannya. Kita bisa coba dari ayam taliwang yang ini. Gimana, Pak Ganta?"

Ganta mengangguk.

"Saya biasa makan masakan kampung. Buat sekelas resto pasti butuh lidah yang biasa mencicip makanan dari restoran mahal, bukannya warteg dan warung tenda kayak saya." Aku berdalih.

"Malah seru kalau ada variasi makanan dari beragam rumah makan." Pak Gerry masih mendorong ide ini. "Lagian saya nggak mungkin rekomendasi kamu kalau bukan karena saya yakin sama kemampuan kamu."

"Kemampuan makan saya?" gurauku.

"Kemampuan kamu menemukan makanan enak."

"Saya cuma ngelihat review orang-orang di sosmed. Saya sendiri baru nyoba makan ayam taliwang di sini, bukan berarti saya tahu gimana kualitasnya loh."

"Pasti enak kalo kamu yang ajak."

"Saya ajak minum racun, enak juga dong."

"Jangan yang begitu lah. Saya masih punya banyak cicilan nih." Pak Gerry meringis.

Aku terkikik girang karena sukses membuatnya terpojok. Terlalu geli, suara tawaku sampai mengikik di ujung. Aku buru-buru menutup mulut. Malu bukan kepalang. Bisa-bisanya aku tertawa kayak gitu.

Pak Gerry tertawa memecah keheningan di meja. Aku sedikit lega. Tawaku nggak membuatku dicap konyol. Kecuali Ganta yang terang-terangan membelalak.

Ada sih sama manusia ini?

Cewek gendut itu memang mudah ngorok dan ngikik seperti kuda kok.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro