13
"Fisiknya mirip gitar Spanyol. Cuih!" Aku mencibir dengan bibir dimonyongkan supaya mirip cowok lemes berbibir tebal bernama Osta. Aku melirik sosoknya yang berdiri di ruang tengah, sementara aku pura-pura sibuk menjepret di dapur. Asli, baru kali ini aku sudah membenci seseorang sejak pertemuan pertama. Biasanya aku woles saja sama lirikan orang yang heran dengan bentuk badanku yang serba montok. Si bibir louhan itu beda. Bibirnya benar-benar perwujudan sifatnya yang amit-amit.
"Belum tahu aja segimana iblis sifat manusia itu." Aku merujuk pada ratu iblis. Cewek itu sejak sekolah memang paling pintar bertingkah bak putri baik hati. Begitu meleng sedikit, dia bisa mengeluarkan taring drakula dan menghisap semua darah sampai kering.
"Kendi tanah liat masih lebih bagus dari bibir kayak louhan." Aku masih belum puas. Kekesalanku berlipat ganda karena Ganta ikut tertawa. Lirikan pedasku beralih ke Ganta yang berdiri di sebelah Osta dan sedang mendengarkan perkataan Louis.
Aku doakan mereka berdua dapat istri badan melar kayak aku. Sana rasakan nikmatnya ditindih istri triple XL di atas kasur. Kekesalanku berkurang sedikit tergantikan kelucuan membayangkan Osta yang kurus menjulang ternyata K.O. di bawah kendali istri jumbo. Kemudian bayangan malam gila terbit. Napasku sontak tercekat.
Aku mengingatkan diri untuk membeli kembang tujuh rupa dalam perjalanan pulang. Sepanjang akhir pekan aku terlalu sibuk mengurus luka-lukaku sampai lupa mau menghapus jejak cowok menyebalkan itu.
Lihat kan dia sudah lupa padaku.
Aku memang ingin melarikan diri darinya. Ingin nggak berurusan lagi. Namun jujur saja, ada sebagian hatiku yang perih karena pengalaman pertamaku diambil cowok yang nggak bisa mengingatku. Apa hubungan kami malam itu nggak terlalu berkesan?
Harga diriku terluka.
Ternyata cuma aku yang mengenangnya. Cowok itu, Ganta, terus melanjutkan hidupnya. Lihat saja ini. Dia mempersiapkan rumah masa depannya bareng ratu iblis.
Sampai akhir, aku tetap nggak bisa menghancurkan kebahagiaan ratu iblis.
"Kita balik." Louis tahu-tahu muncul di pintu dapur.
"Ke kantor?"
"Iya. Emangnya mau ke mana lagi?"
"Rumah," gurauku.
"Jangan berharap ketinggian. Nggak bakal dikasih sama Gerry. Yuk pamitan sama Ganta dan Osta."
Males banget harus beramah-tamah sama mereka. Duo busuk. Lagian Ganta nggak bisa mengingatku. Cuma karena aku pakai kacamata, dia bisa lupa sama cewek yang ditiduri beberapa malam lalu? Dih, bangsat betul jadi cowok. Dasar bangsul
Setengah terpaksa aku menyeret kaki mengikuti Louis menuju ruang tamu. Si louhan dan si bangsul alias Ganta sudah ada di sana.
"Kami balik. Draft-nya bakal gue kirim lewat email. Kalo ada yang kurang, langsung ngomong aja. Biar gue perbaiki." Louis berbicara dengan Bangsul.
"Masih bisa perbaikan?"
"Bisa. Biasanya tiga kali. Buat lo, gue buat sampai lo puas."
Dalam hati, aku mengangkat dua jempol buat jiwa marketing Louis. Lincah banget lidahnya mengikat klien. Pantas perusahaan kami selalu kencang pendapatannya. Wong kayak gini aksi bos kami.
Lihat aja tuh nyengiran senang si bangsul. Dia pasti senang bisa dapat pelayanan super sebaik Louis.
"Thanks for coming, Bro. Gue tunggu hasilnya." Ganta memukul ringan tinjunya pada lengan atas Louis.
Nggak sakit tah?
Sebuah ide pun muncul.
Aku maju untuk pamitan. Sambil senyum-senyum, aku menunduk pada Ganta. Cowok itu tersenyum canggung. Giliran di depan Osta, aku pura-pura menjatuhkan lipstik pemberian Mbak Intan, lalu terburu-buru berputar untuk mengambilnya sampai tasku agak terhempas dari bahu dan menghantam perutnya. Mamam tuh hantaman tasku yang isinya macam-macam. Ada payung, botol minum, sampai kotak bekal.
"Oh sori. Sawriii." Aku berbalik arah ke Osta dan dengan sengaja menabrakan badanku padanya. Dia terhuyung ke belakang.
Ganta menahan Osta dari belakang. Sigap sekali bangsul ini. Padahal bakal seru kalau bisa melihat Osta sampai tersungkur ke lantai.
Osta mengibaskan tangan, tapi badannya masih membungkuk. Kayaknya dia beneran kesakitan. Yah, maaf deh, aku nggak kasihan.
"Nggak apa-apa, Ta?" Bangsul bertanya. Dia khawatir.
Louis yang jalan duluan kebingungan sendiri saat berbalik dan melihat Osta berdiri meringkuk. "Perlu ke rumah sakit?" dia mengusulkan.
"Nggak. Udah nggak apa-apa." Osta berdiri tegak. Dia memasang senyum dipaksakan. Tapi alisnya yang mengerut mengisyaratkan dia nggak baik-baik saja. "Aman, bro."
"Oh, oke." Louis berusaha untuk percaya. "Kalo gitu kami balik duluan."
"Sip." Osta masih tersenyum seperti onta yang dikebiri.
"Hati-hati di jalan." Ganta merangkul Osta dengan satu tangan.
Aku keluar duluan. Lega banget hatiku sudah bisa memberikan Osta balasan. Louis menyusulku. Dia memanaskan mesin mobil.
"Lo yang bikin Osta kesakitan?" tanya Louis. Nada bicaranya sudah masuk mode bos. Aku hapal banget sama style-nya yang ini. Setiap dia mau memperingatkan bawahan, dia bakal berbicara dengan suara rendah dan tegas.
"Nggak sengaja. Ketabrak tadi."
"Gimana bisa ketabrak?"
"Lipstik aku jatuh. Terus..." Aku membelalak.
"Terus nabrak Osta?"
"Iya."
Louis mendesah. "Lain kali hati-hati. Jaga jarak aman." Suaranya sudah kembali normal.
Aku mengangguk patuh, walau kurang sreg. Buat apa jaga jarak aman? Kan masker sudah boleh nggak dipakai. Sudah lewat eranya jaga jarak, bosku.
Tanpa aba-aba, Louis sudah menggerakan mobil keluar dari situ. Aku panik. Louis malah membentakku yang belum memakai sabuk pengaman. Tanganku menarik sabuk pengaman, tapi mataku melekat pada pintu rumah.
Lipstikku ... lipstik mahal pemberian Mbak Intan ketinggalan.
&&&
Orang-orang di lingkungan rumah sudah banyak yang tahu aku dan Tita kerja di tempat yang sama. Tetangga sering bertanya, "Pulang sendirian aja, Shel?" Aku biasa menjawab aku habis dari tugas luar atau Tita masih di kantor. Padahal aku dan Tita nggak mau pulang bersama. Kita nggak seakrab itu untuk pulang kerja bareng. Berangkat pun masing-masing. Tita punya banyak sopir yang akan mengantarnya sampai kantor. Aku nggak tahu persisnya status cowok-cowok yang menjemputnya. Yang pasti mereka bukan ojek online. Tita itu player banget. Selama dia menganggur, dia punya banyak cowok yang bakal memenuhi kebutuhan makeup dan pesan antar makanannya. Nggak jelas yang mana yang pacarnya. Karena Bu Adem Sari anteng saja melihat anak bungsunya punya pacar, aku ikutan bomat.
Malam ini aku kembali pulang sendirian. Tita sudah cabut dari kantor pada jam lima teng. Entah dia mau pulang sama siapa. Aku sudah cukup punya masalah untuk aku urus. Tita sudah besar dan sudah terbiasa kena omel Pak Gerry. Aku nggak perlu mengurusnya.
"Lipstik," gumamku merana.
Sedihku masih berlanjut. Kehilangan lipstik mahal yang nggak akan aku beli sekalipun masih bisa dibeli pakai gaji. Habisnya aku punya cicilan kulkas tiga pintu. Tabungan nyaris seperti khayalan karena pendapatanku habisnya buat setoran ke Bu Adem Sari, ongkos kerja, camilan, dan cicilan. Boro-boro investasi, dana darurat saja aku nggak ada.
"Permisi."
"AYAM AYAM!" Aku terperanjat.
Seorang pria muda muncul dari balik kegelapan tiang listrik.
Aku perlu mengatur napas dan detak jantung. Nyawaku nyaris lepas karena cowok ini nongolnya persis Badarawuhi aka nakutin.
"Kenapa?" Aku kelepasan berbicara ketus. Sumpah, gang ini lagi sepi. Berduaan sama orang nggak dikenal mengingatkanku pada berita anak-anak sekolahan yang diculik. Aku takut jadi korban berikutnya. Jarak rumahku dari sini masih lumayan. Kalau berlari, mungkin lima menit. Itu pun langkahku belum terjamin bisa lebih cepat dari langkahnya.
"Saya Bayan."
"Bayam? Kenapa sama bayam? Oh mau beli bayam. Biasanya warung sayur Mpok Ela udah tutup. Di ujung gang sana ada warung Madura, belok kiri ada rumah Bang Mamat. Dia biasa jualan sayur keliling. Coba tanya apa masih ada bayam di situ. Biasanya dia kasih murah kalo stok tadi pagi. Udah ya. Semoga berhasil." Aku mencerocos, lalu bergegas pergi.
"Sebentar, Kak."
Dia ngejar dong.
Maunya apa lagi sih?
Aku berhenti persis di depan gerobak nasi goreng yang abangnya pakai jam tangan bagus. Menurut ilmu nujum Tita, abang nasi goreng itu intel. Terbukti dari adukan nasi gorengnya yang nggak pernah berceceran dan jam tangannya yang asli. Kali-kali aku bisa aman di dekat abang itu melayani pemuda ini.
"Apa lagi?"
"Nama saya Bayan. Bukan bayam," katanya.
"Oh. Maaf." Setelah aku perhatikan cowok ini punya wajah lumayan rapi, senyum manis, dan rambut gondrong sebahu yang cocok dengan penampilannya.
"Boleh ngobrol sebentar," pintanya.
Ngobrol? Sama aku?
Tuduhanku langsung melayang ke Tita. Pasti Bayan datang ke sini mau mengadukan Tita. Memang Tita belum pernah berulah seperti Bu Adem Sari, tapi bukan nggak mungkin dia punya potensi membuat sakit kepala. Sudah aku bilang Tita itu punya banyak cowok yang statusnya abu-abu.
"Di situ nggak masalah?" Aku menunjuk kursi-kursi abang nasi goreng.
"Boleh."
"Sekalian makan ya," aku menawarkan. Barangkali makanan bisa memperbaiki suasana hatinya kalau-kalau dia datang ke sini untuk berkeluh kesah karena adikku nggak membalas perasaannya.
"Boleh."
Aku memesan dua nasi goreng dan minta ditambahkan telur dadar untuk bagiannya. Dia sudah duduk anteng di kursi. Abang nasi goreng hanya menyediakan kursi untuk yang mau makan di tempat. Aku duduk di dekatnya.
"Ada perlu apa ya?"
Senyum Bayan terasa sedih. Dia tampak ragu. Aku menunggu dia bicara sambil deg-degan. Sungguh deh, walau sudah berpengalaman dengan masalah yang ditimbulkan Bu Adem Sari, aku masih waswas kalau mau berhadapan masalah baru. Mungkin mentalku belum cukup kebal menerima kejutan masalah baru.
"Saya anaknya Bu Lidya," kata Bayan.
"Bu Lidya siapa?" Aku nggak ingat punya tetangga maupun rekan kerja yang namanya Lidya.
"Ibu yang Sabtu lalu bertikai dengan Bu Sari."
Oalah anaknya si bu jambul. Pantas rasanya familiar.
"Saya minta maaf soal tempo hari, tapi ibu saya benar-benar bukan selingkuhan Pak Asep," kataku.
Bayan mengangguk lesu. "Papa juga ngomong yang sama. Tapi mama masih berkeras papa selingkuh dengan Bu Sari. Masalahnya Bu Sari nggak menampik tuduhan mama."
Aku teringat pertengkaran pertama kali Bu Adem Sari dan bu jambul. Memang ibuku nggak menampiknya. Dia malah menyebut si bu jambul bakal dapat surat cerai dan terang-terangan mengaku bersama Pak Asep. Dengan kemampuan menimbulkan masalah, Bu Adem Sari patut diberi penghargaan si paling meresahkan.
"Kayaknya ibuku terbawa emosi. Dia nggak serius sama ucapannya," aku mencoba meyakinkan.
"Tapi ucapan Bu Sari benar. Papa benar-benar menggugat mama untuk bercerai. Berkasnya sudah masuk pengadilan."
"Pasti bukan karena ibuku. Ibuku bukan selingkuhan Pak Asep." Pas kayak begini, aku ingin banget lari pulang buat ngomel ke Bu Adem Sari. Lihat ulahmu, Ma. Ada anak orang yang nyaris nangis karena lambemu ngasal.
Bayan menunduk. Ujung sepatunya mengetuk kerikil. "Saya nggak tahu bisa bicara sama siapa lagi. Adik saya masih SMA. Karena takut adik saya terkena imbas perceraian orang tua, saya terpaksa ungsikan ke rumah sepupu. Tapi dia pasti bakal tahu kondisi orang tua kami."
Aku yang MBTI-nya F otomatis prihatin. Bayan membicarakan adiknya, sedangkan dia sendiri belum tentu baik-baik saja menghadapi perpisahan orang tuanya.
"Gimana kondisi kamu?" aku terbawa suasana dan bertanya tanpa pikir panjang. Meski terhitung keceplosan, aku nggak menyesali pertanyaanku barusan. Aku ingin tahu bagaimana perasaan Bayan. Ada masa di mana aku merasa sangat tertekan dan berharap datang satu orang yang mau bertanya kabarku.
Bayan terkejut. Dia diam sejenak sambil menatapku intens. Kemudian dia tersenyum tipis. "Nggak baik," jawabnya dengan suara agak bergetar.
"Kamu bisa cerita sama aku." Aku bersimpati padanya.
Bayan menarik napas dan melarikan pandangannya ke langit malam. "Aku ke sini berharap bisa membuktikan Bu Sari jahat dan kamu bakal ngusir aku. Ternyata... nggak ada yang aku dapat."
Aku mengelus bahu Bayan yang kurus. "Kamu masih dapat nasi goreng traktiran aku."
Bayan tertawa kecil.
Dalam hati, aku berpikir Bayan yang malang. Dia pasti kebingungan. Mau sebesar apapun badannya, dia masih muda. Kalau salah jalan, susah putar baliknya. Aku harus menjaganya sebagai bentuk permohonan maafku atas ulah ibuku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro