Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11


Gila!

Ini kegilaan paling gila yang orang gila bisa lakukan dan GILANYAAA akulah si orang gila itu.

Kenapa harus aku???

Perkara sekali menemukan batangan lelaki berdiri menjulang, aku sudah menjatuhkan diri ke pelukan cowok asing. Mana cowok ini pacarnya ratu iblis. Iiiih, aku beneran butuh mandi kembang untuk membuang bekas sentuhannya dari badanku. Kalau perlu aku mandi lumpur supaya jejak jemarinya yang menjamah tiap lekuk badanku lenyap. Lagian ngapain sih punya jari berkelana di badan orang lain, mana enak lagi?

Iish! Otak, berhenti mengingat malam itu!

Buang jauh-jauh cowok itu dari ingatan. Anggap cowok itu upil yang setelah dibuang nggak dicari kembali, aku mengulang perkataan itu berkali-kali dalam hati sambil menepuk-nepuk pipi supaya terhapus peristiwa semalam dari benak.

Dari sekian banyak tanggal dalam setahun, emang nggak ada yang bisa memastikan yang mana tanggal sial. Aku pikir kesialanku semalam cuma sebatas menghindari omelan Bu Adem Sari, ternyata kesialanku berpangkat seratus juta. Efeknya lebih buruk dengan dijatuhkan seember kotoran babi di atas kepala. Beberapa jam yang lalu, aku masih perawan. Sekarang sudah lepas segelnya. Aku melepasnya dengan kesadaran penuh melakukan bersama pria yang bukan suami.

Aaaakh, gimana nasibku?!

Aku mempercepat langkah menjauhi hotel laknat. Bayang-bayang semalam masih bergentayangan, tapi aku lebih takut kalau cowok itu bangun dan mengejarku untuk minta pertanggungjawaban. Bisa saja dia merasa dirugikan padahal semalam dia yang paling banyak beraksi. Intinya, manusia itu bisa hilang akal kalau urusan nganu-nganu. Begitu pagi datang dan kebutuhan birahi sudah tersalurkan, siapa saja bisa mengambil langkah spontan semisal dia ingin memboyongku ke pak polisi buat silaturahmi sekaligus menyuruhku diinapkan beberapa waktu di salah satu sel penjara. Wadidaw, bahaya tuh!

"Ojek! Ojek!" Aku melambai ke pengemudi ojek online yang baru saja menurunkan penumpang di tepi jalan.

Aku harus bergegas pulang.

&&&

Tanggal sialku mungkin double, yakni kemarin dan hari ini. Niat pulang untuk menjernihkan pikiran, ternyata gagal. Apa yang aku temukan di depan rumah luar biasa menakjubkan. Aku sudah mengakui kemampuan Bu Adem Sari mengundang masalah datang ke rumah, tetapi kali ini levelnya berbeda.

"JANCUK! PERGI LU, SETAN BABI!"

"DASAR TAI ANJING! MASIH BERANI KAMU GANGGU RUMAH TANGGA SAYA!"

"AAAKH! SAKIT, GOBLOK! LAKI LU UDAH MUAK AMA LU! AAAKH!"

"BANGSAT! LEPAS TANGAN KAMU! AKH, LEPAS!"

"LU YANG LEPAS! LEPAS, SIALAN!"

Bu Adem Sari dan Bu Jambul saling jambak di depan rumah. Di antara mereka, ada Tita dan seorang bapak-bapak yang sibuk melerai. Alih-alih melerai, mereka malah jadi korban jambak dan dilempar keluar dari pergelutan dua ibu sakti. Apa sebutannya untuk dua perempuan di usia senja yang sanggup melempar mereka dengan sebelah tangan kecuali sakti?

Tetangga mengintip dari balik jendela. Beberapa ada yang terang-terangan menongolkan kepala di balik gerbang rumah masing-masing. Hansip kompleks pasti baru tidur setelah ronda keliling semalaman. Aku nggak tega kalau lagi-lagi mendatangi rumah salah satu hansip untuk minta tolong.

Aku menarik napas. Tanpa pikir panjang, aku masuk ke tengah pergulatan sambil berteriak, "HIYAAAAAA!!"

&&&

"Wewe gombel bakal kabur lihat penampilan Kakak."

Aku melirik sinis Tita. "Pocong menjerit ketakutan lihat kamu," balasku. Aku tersenyum puas dan berakhir melenguh kesakitan. Sudut bibirku memar kena sikut Bu Adem Sari. Bagian dalam bibirku tergores gigi sendiri. Namun itu belum semengerikan mata kiriku yang sukses dihantam bogem Bu Jambul akibat Bu Adem Sari berkelit ke belakangku.

Tita sama mengenaskannya. Pipinya merah kena tonjok. Salah satu lubang hidungnya disumbat tisu untuk menghentikan pendarahan. Keningnya berbekas lima garis cakaran. Itu belum terhitung luka dan memar di badan kami.

Pergulatan itu usai setelah Bu Jambul ditarik paksa seorang gadis berseragam SMA dan pemuda gondrong. Barangkali mereka adalah anak-anaknya. Bapak yang tadi membantu Tita melerai pergulatan adalah si Mas Asep yang nggak kasep. Rambutnya luar biasa klimis dan disisir belah samping. Kemeja putihnya berantakan dan ada yang robek. Wajahnya pun memiliki bekas luka cakar. Yang menakjubkan ialah rambutnya yang tetap rapi. Aku nggak sempat berbicara dengannya karena dia buru-buru mengejar Bu Jambul dan anak-anaknya. Kalaupun ada kesempatan, aku juga nggak tahu harus ngobrol apa. Pasti aneh kalau memulai percakapan, "Hai, Om. Gimana hubungan sama mama saya? Kapan dihalalin nih?"

Aku bergidik sendiri membayangkan bakal melontarkan pertanyaan yang seperti itu. Memangnya siapa yang sudi? Sekonyol-konyolnya Bu Adem Sari, aku masih sayang dan berharap dia mendapatkan pasangan yang benar. Bukannya suami orang.

Bu Adem Sari muncul bersama nampan yang membawa dua gelas teh manis. Dia meletakannya di meja di hadapan kami, lalu duduk di kursi di seberang. "Minum dulu," katanya dalam nada memerintah.

Aku dan Tita saling lirik, lantas kompak menggeleng. Siapa pun yang punya mata bisa melihat teh itu masih mengepulkan uap panas. Kalau nekat diminum, bisa-bisa lidah kami melepuh. Lagian ini konyol banget. Dua putrinya memar dan luka, bukannya pingsan di tengah upacara bendera. Mestinya Bu Adem Sari membawakan obat merah dan plester luka. Gini nih dampak kebanyakan nonton sinetron, apapun penyakitnya, teh manis solusinya.

"Kenapa ibu jambul itu ke sini lagi? Sebenarnya Mama ngapain sih?" Tita memulai percakapan dengan ngegas.

Aku mengacungkan jempol diam-diam di bawah meja. Kontrol emosi Tita memang sepayah Bu Adem Sari dan inilah manfaatnya. Di saat aku butuh mengomeli ibuku, dia sudah mewakili. Saranghae, Tita.

"Ibu itu jangan didengerin. Semua bacotnya itu bohong. Kalian harus percaya sama Mama." Bu Adem Sari pasang wajah serius.

Bukannya percaya, aku malah sangsi. Terakhir kali ibuku mengaku main arisan, tahu-tahunya ambil pinjaman di bank keliling. Uangnya untuk membeli kulkas baru tiga pintu yang nyaris menghabiskan lahan di dapur. Walhasil, kami punya dua kulkas. Alasan Bu Adem Sari karena kasihan lihat aku dan Tita yang jajan es krim melulu. Kalau ada kulkas yang bisa menyimpan es krim buatan rumah, kami nggak akan jajan. Yah, setelah enam bulan dimiliki, kulkas tiga pintu tetap nggak pernah menyimpan es krim sebab uang bikin es krimnya harus dialokasikan untuk cicilan bulanan. Kabar kulkas lama kami yang satu pintu masih sehat, hanya bagian freezer-nya dipenuhi bunga es dan isinya botol-botol air putih.

"Terus gimana Mama bisa kenal suami ibu itu?" aku bertanya hati-hati. Bukan demi menjaga perasaan Bu Adem Sari, melainkan kondisi ujung bibirku yang tambah nyeri.

"Mama ketemu Mas Asep karena takdir. Kami ngobrol dan sama-sama cocok. Mas Asep itu punya masalah keluarga. Kasihan dia. Istrinya nggak bisa paham, tahunya belanja melulu. Lihat aja emasnya di leher dan tangan udah kayak toko emas berjalan."

"Kalo Mama cuma teman ngobrol, kenapa Mama bisa dituduh selingkuhan suaminya? Mama jujur deh!" Tita tambah kuat mengintrogasi.

"Salah dia sendiri jadi orang pikirannya sempit. Sekalian aja Mama kasih paham gimana rasanya kalo kebanyakan negatif tingping."

"Thinking," koreksiku.

"Ya itulah." Bu Adem Sari manyun.

"Bener Mama bukan selingkuhan?" Tita masih mencecar.

"Bukan. Mama BU-KAN SE-LING-KU-HAN!"

"Demi papa, Mama berani sumpah?" tantang Tita.

"Demi papa." Mama menunjuk ke atas dengan percaya diri.

Kalau Bu Adem Sari sudah berucap papa, aku nggak bisa nggak percaya. Semoga setelah ini, bu jambul mantul itu nggak datang lagi.

&&&

Louis merapat pada dinding saat bertemu aku di lorong. Ekspresinya yang biasanya datar dan nggak bergairah hidup mendadak berubah. Matanya yang segaris membesar dan mulutnya megap-megap layaknya ikan gurame.

"Tren bulan ini?" katanya.

Aku menurunkan kacamata untuk menunjukkan mahakarya yang aku terima dua hari lalu. Warnanya ungu gonjreng melingkar di mata kiri. Sebelumnya sempat bengkak. Setelah dua hari, bengkaknya berkurang. Memarnya yang masih tersisa. Aku malu berkeliaran dengan mata seperti ini. Tita mengusulkan menutup memarku menggunakan makeup. Ternyata alat makeup kami semuanya low budget dengan coverage rendah. Dan beginilah hasil diskusi kami sepanjang akhir pekan demi menghindari pertanyaan "Kenapa muka lo?" Aku memutuskan memakai kacamata untuk menutupi memar di mata. Sementara Tita mengenakan masker untuk menutup memar di pipinya dan memotong rambut menjadi poni untuk menutupi bekas cakaran.

"Lo kenapa?"

"Takdir," jawabku ogah-ogahan.

Untungnya lawan bicaraku Louis yang untuk makan aja dia seringkali malas. Kalau makan bisa diwakilkan dia pasti buka lowongan untuk diwakilkan makan. Aku sih yang bakal daftar duluan. Karena Louis itu malas bertanya ini itu, dia angguk-angguk seakan ingin menyudahi segera.

"Kita ke Pondok Indah yuk," kata Louis.

Aku mengernyit. "Mau nge-mall?"

"Site visit."

"Kino sakit lagi?"

"Udah kabur. Jangan tanya lagi. Gue tunggu di depan sepuluh menit lagi."

"Perlu bawa apa?" Aku belum pernah site visit. Biasanya Kino yang menemani Louis. Site visit itu kalau bukan mau ukur-ukur ruangan, ya pasti masang furniture. Aku yang hitung-hitungan pakai rumus excel mana bisa bantu-bantu ukur ruangan.

Apa aku mau diminta memasang furniture?

"Bawa apa aja yang lo suka."

"Bawa pulang brankas kantor, bisa kali ya," candaku.

"Bisa." Louis menyengir. "Bisa ditangkap polisi."

"Iiih ngeri." Aku pura-pura takut, lalu melipir dari situ.

Mbak Intan melambai saat aku muncul di area admin. Aku memutar tumit dan berjalan ke mejanya. "Kenapa, Mbak?" tanyaku.

"Dicariin Louis. Udah ketemu?"

"Udah."

"Katanya, kamu mau diajak site visit. Dandan yang cantik dong. Lepas kacamata hitam kamu itu. Aneh banget pake kacamata dalam ruangan."

"Style bulan ini, Mbak. Biar cepat mendaftar di pelaminan."

"Padahal ini kesempatan kamu tebar pesona. Klien yang ini ganteng banget, Shell. Tajir dan citranya oke. Mbak tahu orangnya karena dia pernah satu kampus di Amerika sama sepupu Mbak."

"Gantengan mana sama Sehun?" Aku mengerling jenaka.

Mbak Intan pernah ngidam Sehun semasa hamil anak kedua. Dia beli semua album EXO, nonton semua variety show yang ada Sehunnya, sampai nekat berangkat nonton konser EXO di Seoul sekalian baby moon. Gitu emang kalau punya suami yang duitnya kencang. Ngidam istri terpenuhi, anak mereka pun tampan.

"Sehun sama yang ini beda, Shell. Pokoknya kamu pakai ini." Mbak Intan menyerahkan lipstik merah favoritnya yang harganya 700 ribu. Menurutnya, lipstik ini lipstik ani-ani karena anti longsor kalau dipakai cipokan sama sugar daddy.

"Buat aku?" Aku menerimanya ragu-ragu.

"Iya. Biar jadi lucky charm kamu. Kalo nggak dapat cowok ini, at least kamu dapat temannya. Cakep juga loh."

Saat itu, aku menerima lipstik itu sekedar waaah gue dapat lipstik mahal. Biarin deh udah bekas yang penting masih banyak isinya. Aku memoles lipstik itu di mobil sebelum turun untuk melihat lokasi klien, rumah super gede yang mengingatkan aku bahwa rumah ala istana itu benar nyata. Semua baik-baik saja sampai kami masuk ke dalam rumah. Louis bersemangat menghampiri si pemilik rumah. Mereka berjabat tangan. Dari balik punggung Louis, aku nggak tahu siapa yang dia ajak bicara. Sampai Louis bergeser untuk memperkenalkan aku pada dua orang pria. Mataku otomatis membelalak. Itulah saat dimana aku tahu, takdir sedang membimbingku pada kegilaan lain.

"Kayak kenal ya?" Ganta membungkukan badannya. Dia menelitiku.

Seharusnya aku bertanya rumah siapa yang mau Louis datangi. Kalau tahu ini adalah rumah Ganta, aku rela penilaian kinerjaku dibuat jeblok sama Louis asal aku nggak harus ketemu cowok ini lagi.

Aku takut dia mengenaliku. Dengan kacamata hitam ini, orang-orang tentu masih bisa mengenali sosokku. Jarang loh ada cewek berdada besar, bokong luber, perut membusung, lengan montok, dan paha besar seperti aku. Gimana kalau dia mengingatku dan menarik paksa aku ke polisi atas tuduhan sudah menjebaknya?

Aaaaaaaaaakh, gimana nih?!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro