Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2.1

Mataku lengket seperti seseorang baru saja mengoleskan super glue saat aku tertidur. Itu alasan mengapa aku benci menangis, itu dan rasa sakit yang berdenyut-denyut tak tertahankan di sisi kepalaku. Namun akhir-akhir ini aku masih melakukannya. Aku meregangkan tubuhku, membiarkan selimutku meluncur jatuh di atas kasur saat kakiku meraba-raba lantai yang membeku karena aku tidak punya cukup uang untuk membeli mesin penghangat ruangan yang baru.

Aku masih menguap saat meraih handukku dan berjalan di lorong yang hening menuju kamar mandi, meskipun aku yakin ayahku telah bangun di suatu tempat, mungkin mulai mengotak-atik skuter antiknya. Jika ayahku pernah punya hobi dan cinta selain untuk keluarganya, maka itu skuternya. Bagaimanapun dia ayah yang baik, terlalu baik bahkan. Aku mencintainya dan akhir-akhir ini membunuhku karena aku sering bersikap kurang ajar. Frustrasi dengan pekerjaan dan kerangnya waktu untuk kecintaanku sendiri mengubahku menjadi sumbu yang pendek. Aku mudah kesal. Aku mudah marah. Dan aku jelas menjadi berengsek untuk keluargaku.

Itu menyedihkan, dan pada satu titik aku harus menghentikannya. Hanya saja itu tidak mudah. Beban terasa menghimpitku dan aku ingin mencekik sesuatu atau berteriak pada seseorang untuk mengurangi tekanan. Aku hampir 23 tahun, yang seharusnya membuatku cukup dewasa dan mampu untuk menangani tekanan dunia kerja, tapi nyatanya itu masih membuatku sekarat. Tidak ada yang semudah itu, dan umur jelas tidak menjamin apa pun.

Aku menghidupkan pancuran, dan bersyukur saat air hangat mengguyur tubuhku. Setidaknya kami masih punya satu kemewahan tersisa di rumah ini, tapi jika aku tidak bertahan di pekerjaanku, kami tidak akan bisa membayar sewa. Aku tidak ingin memikirkan pindah ke rumah yang lebih kecil, dengan penghangat ruangan yang rusak, dan pipa air panas yang tidak berfungsi. Jadi lebih baik aku menelan keluhanku seperti bola kapas yang manis alih-alih memuntahkannya.

Mematikan keran setelah aku membasuh semua busa dari kulitku aku keluar dari bilik bak mandi dan menggosok kulitku dengan handuk. Memastikan rambutku tidak lagi meneteskan air sebelum melilitkan handuk di sekitar tubuhku dan berjalan ke lorong kembali ke kamarku. Aku menganbil blouse krem yang membosankan dari lemariku, mencocokkannya dengan rok pensil hitam. Aku memakainya dalam sekejap, dan kemudian aku mulai bekerja pada rambutku. Itu memakan waktu yang lebih lama karena aku punya rambut panjang bergelombang yang secara resmi tidak dapat diatur. Pada akhirnya aku menyerah dan hanya mengambil karet gelang untuk mengikatnya. Saat aku selesai itu hampir pukul tujuh lima belas menit. Banyak waktu untuk sarapan, tapi aku terlalu malas untuk itu. Jadi aku menunda beberapa menit lebih lama di kamarku. Menggulir ponselku pada laman blog yang sedang aku kerjakan. Tidak banyak pengunjung tapi aku bangga karena memilikinya.

Aku menulis beberapa hal di laman blog milikku. Beberapa tips menulis, review novel terbaru, readinglist, puisi, tapi satu yang membuatku begitu tertahan di dalamnya adalah salah satu novel yang aku kerjakan di sana. Tidak banyak yang tahu, dan jelas tidak banyak yang berkunjung di sana. Namun aku tidak keberatan, karena apa yang sebenarnya aku tulis adalah sebuah rahasia yang memalukan. Itu mendebarkan saat kamu menulis jiwamu telanjang dan rentan untuk bisa dilihat semua orang. Seperti kamu meletakkan rahasia paling memalukan di depan umum dengan hanya selubung tipis untuk menutupinya. Mendebarkan dan meringankan.

Aku berada di baris terakhir di novel yang sedang aku kerjakan saat ketukan yang tidak sopan muncul di pintuku. Aku tahu itu Nessa dari caranya mengetuk dengan sangat keras dan tidak sabar. Adikku selalu punya cara untuk menjadi sialan, aku tidak pernah mengatakan itu padanya karena jelas aku tidak pernah mengutuk di depan adikku yang praktis baru berumur 9 tahun, empat belas tahun lebih muda dariku.

"Kamu bisa mengambil sarapanku," teriakku, tidak repot-repot bangkit saat aku menggulir layar ponselku ke laman goodread, berburu beberapa novel keluaran terbaru yang ingin aku dapatkan bulan ini.

"Ada Camaro hitam mengkilap di luar jalan masuk rumah kita!" pekiknya diredam oleh suara pintuku yang membentur dinding. Dia masuk dengan mata berkilau. Mendorong ponselku menjauh dari mataku. "Camaro sialan!"

Aku mengedipkan mataku dengan malas terhadap histerianya dan menyelipkan ponselku ke dalam tas tangan yang tergeletak di atas meja riasku. "Lalu?"

"Sial! Tidakkah kamu ingin tahu siapa yang ada di dalamnya?" Dia melompat-lompat dengan bersemangat, jelas berharap aku akan lebih tertarik dengan berita ini.

"Tidak, kenapa aku ingin tahu?" tanyaku saat aku bangkit dan berjalan ke dinding. Memungut sepatu yang kemarin aku tendang dengan sembarangan.

"Kamu benar-banar payah, Addy!" ucapnya kecewa yang menbuatku terkekeh. Adikku mungkin masih muda tapi dia jelas mencintai gosip lebih baik dari pada aku.

"Ingat siapa yang gagal lulus ujian matematikanya bulan ini sebelum menentukan siapa yang payah," ucapku terkekeh. Aku bisa merasakan matanya menusuk tengkukku karena jengkel saat aku keluar dari kamar.

Dapur kosong saat aku mengambil kotak makan siang. Memasukkan roti dan sosis untuk ditumpuk bersama selada dan timun. Itu akan menjadi kurang segar nanti tapi tidak banyak pilihan. Aku membuat dua porsi. Mengambil sosis tambahan karena tahu March selalu makan seperti monster dan menambahkan botol saus tomat sebelum memasukannya ke tas-ku.

Aku keluar dari pintu depan, ibuku sedang membuang sampah di ujung jalan sementara ayahku baru saja selesai memasang bagian terakhir skuternya.

"Aku berangkat," teriakku tanpa berhenti.

Ayahku menyeka tangannya dengan kain. "Ingin aku mengantarmu hari ini?"

"Tidak," jawabku, lebih baik menghemat bahan bakar, lagi pula Lovely Jelly hanya beberapa blok.

Tidak ada perdebatan karena ayahku tahu itu akan sia-sia. Langkahku sedikit melambat saat melihat Camaro terparkir tepat di depan jalan masuk kami, aku mengitarinya untuk menyeberang saat pintu pengemudi terbuka dan seseorang di dalamnya menyergapku. Aku akan menjerit berpikir aku akan diculik tapi kemudian ingat kalau itu konyol. Ayahku masih di beranda melihatku dengan setengah senyum geli dan ibuku hanya beberapa meter di ujung jalan. Hanya penculik bodoh yang akan menculik seorang gadis tepat di depan orang tuanya.

Memiringkan kepalaku untuk melihat orang iseng yang merusak rutinitas pagiku yang membosankan, aku bersiap untuk mengumpat kata kotor yang kaya. Hanya saja kata-kata itu macet di tenggorokanku saat aku melihat siapa tepatnya yang menahan lenganku.

"Kejutan!" ucapnya tapi aku hanya mengerutkan dahiku dan tidak yakin bagaimana harus bereaksi.

Aku mengamatinya, pertama pada tindik di bibir dan lidahnya, lalu satu lagi di alis kirinya. Tato di sisi lehernya menghilang di balik kaus hitam yang dia kenakan. Pada potongan Man bun pirangnya, dan terakhir ke mata biru paling cerah yang dulu aku anggap sangat cantik. Itu masih sangat cantik. Dia masih sangat cantik dan itu menbuatku ingin menangis.

"Uhh, aku pikir kamu benar-banar tidak ingin melihatku," ucapnya canggung saat aku hanya menatapnya dengan mulut setengah terbuka. Dia tidak bisa menjadi nyata. Bishop Bennett seharusnya tidak bisa tumbuh menjadi pria sempurna yang aku lihat saat ini. Aku tentu saja telah banyak melihatnya di internet atau televisi tapi nyata dan bernapas dengan tangan kapalan melingkari pergelangan tanganku? Itu tidak bisa berada di realitas ini.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" desisku, aku berusaha menarik lenganku tapi dia mengencangkan genggamannya.

Ayahku jelas tahu Best ada di sini untukku karena dia baru saja masuk ke dalam, berpikir aku bisa menangani pria yang dulu praktis menjadi naksir pertamaku.

"Aku hanya ingin melihatmu," ucapnya, tapi aku tidak punya waktu untuk ini. Terlambat dan aku akan mendapat teguran yang tidak menyenangkan lagi.

"Dan aku bilang tidak ingin melihatmu!"

Dia terlihat terluka untuk satu detik yang singkat tapi kemudian itu hilang digantikan dengan senyum nakal saat menyeretku ke Camaro miliknya yang mengkilat. Membuka pintu dan mendorongku masuk, membanting pintu di belakangku saat dia berlari ke pintu pengemudi dan masuk, sebelum aku bisa melompat keluar dia sudah berada di kursi pengemudi. Aku mencoba pintuku tapi itu terkunci, jadi aku tidak punya pilihan saat menginjak gas.

"Senang menemukan kamu masih keras kepala seperti dulu, Addy."

Aku tidak mengatakan apa-apa, bertekad untuk mempertahankan keheningan canggung selamanya di antara kami tapi kemudian dia menghidupkan pemutar musik dan salah satu lagunya diputar sebagai latar belakang. Dia tersenyum seperti orang bodoh saat aku berusaha mengabaikan betapa senyum itu membuatnya cantik.

***

Tidak ada yang ingin memberikan beberapa saran untuk Addy?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro