Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

99

125 VOTE
150 KOMEN
.
.
.

Sebuah momen yang Jimin harapkan akan terjadi di hidupnya kini terwujud. Bagaimana adik kecil kesayangannya itu telah kembali, berpijak pada kedua kakinya yang kuat dan tersenyum bergitu cerah.

Jimin tak pernah menyangka hari ini akan datang, nyata dan bukan hanya imajinasi semata. Ara berdiri di hadapannya, terlihat sehat dan semakin cantik sejak terakhir kali dia menemuinya dua tahun yang lalu di Jepang.

"Kau pulang," ucap Jimin penuh haru dengan kedua tangan membentang.

Ara mengangguk penuh semangat dengan mata yang tiba-tiba saja mengembun. "Oppa, aku merindukanmu," ujarnya menghamburkan tubuh pada pelukan sang kakak.

Jimin mendekap tubuh adiknya itu erat, mencium harum rambut panjang Ara yang beraroma stroberi. "Oppa juga sangat merindukanmu, Ra-ya. Kau baik-baik saja, hm?"

"Ya aku baik," ucap Ara mengurai pelukan mereka dalam tangis bahagia.

"Jadi, apa yang terjadi dengan rubah kecil nakal ini." Jimin mengalihkan pandangannya pada Bora yang sejak tadi bersembunyi di balik tubuh Ara. "Appa-mu akan menghukummu jika tahu kau pergi ke Jepang tanpa izinnya."

Bora memandang Jimin memelas, berharap Jimin tak membocorkan rahasia ini. "Samchon-ku yang baik hati, jangan adukan pada Appa ya?"

Jimin menjewer telinga Bora main-main, menegaskan dia gemas sekali dengan tingkah gadis itu. "Nakal!"

Bora berlari menjauh dengan senyum membentang, menjaga jarak aman sampai mereka memasuki mobil dan meninggalkan bandara.

Sebenarnya, banyak fakta yang kini berkelindan di otak remaja Bora, sedikit banyak dia cukup mengerti sekarang. Bagaimana jawaban Ara saat dirinya bertanya tentang Haru, bagaimana ucapan Jesica tentang hubungan Yoongi dan Ara yang katanya sudah bercerai, dan bagaimana sang ayah terpuruk selama ini sementara Ara tampak bahagia dengan keluarga barunya. Bora ingin menampik fakta tersebut dan berharap bisa merajut bahagia bersama Yoongi dan Ara saja dalam ikatan keluarga seperti dulu. Namun, bisakah itu terjadi?

***

Mobil yang dikendarai Jimin kini memasuki basemen apartemennya. Mau tak mau, pria itu sejak tadi terus mengalihkan pandangannya, menatap ke arah belakang mobil dari arah spion tengah guna melihat Ara. Tak dapat dipungkiri, pertemuan Ara dan Yuna untuk pertama kalinya setelah kejadian itu membuatnya begitu resah.

"Apakah tidak apa-apa jika ...." Jimin menggantung ucapannya. Dia jelas menyadari suara Ara yang menghilang sejak jarak mereka semakin dekat dengan apartemennya.

"Tidak apa-apa, aku baik-baik saja. Lagi pula sudah lama aku tak bertemu dengan Yuna Eonnie, aku juga belum pernah bertemu Junkyu," ucap Ara meyakinkan, Junkyu di sini adalah anak Jimin dan Yuna yang baru berusia tiga tahun. Bora yang duduk di sampingnya sedikit mengernyitkan dahi bingung.

Sebenarnya apa yang terjadi?

Jimin mengangguk paham, berdeham canggung sebagai tanda pembicaraan Yuna cukup sampai di situ karena keberadaan Bora di sana.

"Jadi apa yang Bora bawa? Apa itu hadiah untuk Junkyu?" tanya Jimin menunjuk tas besar yang di bawa Bora, kini ketiganya berjalan menuju unit apartemen Jimin.

Gadis kecil itu mengangguk. "Tadi Eomma membelikan di bandara dan aku yang memilihnya, ini mobil-mobilan yang bagus Junkyu pasti suka.

"Wah terima kasih Bora Noona," ucap Jimin seraya tertawa sementara jarak mereka dengan unit Jimin semakin dekat. Ah tahukah mereka bahwa keringat dingin mulai muncul di dahi Ara?

***

Bilah pintu itu terdorong, bersama presensi wanita cantik yang berdiri canggung menghadapi ketiganya.

Ara menyunggingkan senyumnya yang barang kali terlihat aneh. Tak dapat dipungkiri jika reminensi kelam itu seketika berkelebatan memenuhi otaknya, menghasilkan getaran kecil di seluruh tubuh Ara.

Wanita itu mendekat, menghambur memeluk Ara bersama isakkan yang mengaburkan pandangannya. Betapa rasa bersalah itu selama lima tahun ini begitu membebaninya, terlebih sang suami--Jimin--begitu menutup rapat segala informasi mengenai adik iparnya itu, tak memberi celah sedikitpun untuk Yuna menebus kesalahannya apalagi untuk sekadar meminta maaf secara benar.

"Ra-ya! Aku minta maaf benar-benar minta maaf atas apa yang aku lakukan."

Di balik tubuh gemetarnya, Ara kembali tersenyum kali ini rasanya sedikit lega. Dia berusaha mengingat semua ucapan Dokter Yoshinori. Bahwa semuanya hanyalah masalah waktu, rasa sakit itu akan semakin memudar seiring waktu tergantung sekuat apa keinginan seseorang itu untuk mengikhlaskan segala sakitnya. Dan di sini Ara tak mau pengobatannya itu sia-sia.

"Eonnie, tidak apa-apa."

"Maaf," ujar Yuna sebagai balasan, dan tangisnya semakin kencang.

"Eonnie, semua sudah berlalu. Jangan merasa bersalah lagi padaku. Aku sudah baik-baik saja, sungguh."

Jimin membiarkan keduanya berpelukan, dengan Yuna yang tak bisa menghentikan tangisannya. Jimin lebih memilih mengangkat tas punggung Bora, membawa gadis kecil itu masuk ke ruang keluarga dalam apartemennya.

"Samcho, aku ingin melihat Junkyu, sepertinya dia menangis di kamar."

Setelah melihat anggukan Jimin. Bora masuk ke dalam kamar Jimin, menggendong Lim Junkyu-- adiknya. Bora selalu senang ketika bermain ke tempat ibunya, karena dia bisa bermain dengan Junkyu yang tingkahnya sangat menggemaskan di usianya yang baru tiga tahun.

"Eomma, lihat! Dia adikku!"

Ara memgalihkan pandangannya daei Yuna yang masih terisak menatap Bora yang tengah menggendong balita lelaki tampan. Dia segera mendekat, mengambil alih anak itu dari Bora.

"Aigoo, uri Junkyu-ya ternyata memang tampan sekali. Sayangku, ini Aunty Yeong-ie."

Yuna yang mendengar Ara menyebut nama lain, memandang gadis itu heran, tetapi tak memberi respons lebih selain ikut mengusap halus pipi tembam anaknya. "Kau pergi lama sekali, Ra-ya. Kau bahkan tak datang saat dia lahir."

"Aku yang melarangnya pulang," sahut Jimin tak acuh. "Yuna-ya, bisakah kau memasakkan sesuatu untuk adikku? Atau aku perlu memesannya saja?"

Melarangnya pulang? batin Yuna merasa bingung, apa yang terjadi dengannya?

"Aku akan memesan saja," ujar Jimin karena Yuna diam saja, merasa mungkin istrinya itu lelah.

"Tidak, aku akan memasakkan makanan kesukaan Ara. Dia sudah lama sekali tak pulang, bagaimana mungkin aku akan melewatkan kesempatan untuk memasak makanan yang enak untuknya."

Yuna segera masuk ke dapur, melihat persediaan apa saja yang bisa dipakai untuk memasak, tetapi ternyata tak banyak yang tersisa, bahkan daging juga tak ada. Yuna kembali ke ruang tengah menemui suaminya.

"Bahan masakan habis. Junkyu rewel beberapa hari karena sakit dan aku tidak bisa belanja. Aku akan ke supermarket depan sebentar. Tolong jaga Junkyu ya?" pinta Yuna dengan tergesa-gesa, Jimin hanya mengangguk mengerti, membiarkan Yuna masuk ke dalam kamar.

"Ternyata kau juga sakit ya?" tanya Ara pada Junkyu yang duduk di pangkuannya. "Haru juga sakit, rewel sekali selama dua hari sampai aku tidak bisa tidur."

"Sepertinya pergantian musim merata, Yeong-ah. Apa Haru sudah sembuh sekarang? Kenapa tidak membawanya saja?" tanya Jimin.

"Dia sudah sembuh, Oppa. Haru nanti datang bersama ayahnya untuk menjemputku."

Yuna tentu mendengar percakapan Jimin dan Ara yang terdengar akrab sekali, tak ada canggung walau terpisah selama lima tahun. Hal itu membuat Yuna yakin jika Jimin selama ini menyembunyikan keberadaan Ara dari semua orang, termasuk dirinya. Hal itu mau tak mau membuatnya merasa tak senang, sebagai sepasang suami istri, harusnya tak ada rahasia di antara mereka bukan?

Yuna sedikit berpikir, apakah baik bagi Yoongi untuk datang menemui gadis itu sekarang? Terlepas Ara sudah bekeluarga atau belum, setidaknya Yoongi harus bertemu dengannya bukan? Untuk sebuah kata maaf yang selama lima tahun ini begitu membebani keduanya.

Yuna mengangguk, setuju dengan apa yang sedang ia pikirkan. Tangannya bergerak cepat, mengambil ponsel dan mengetikkan pesan pada mantan suaminya itu.

Ara di sini. Jika ingin menemuinya, datanglah ke supermarket di depan apartemenku, sekarang!

======

Dulu sekali, lima tahun yang lalu atau lebih sedikit, Ara pernah melakukan hal yang sama seperti saat ini, belanja dengan putri kecilnya-- Bora. Hal yang sepele memang, dulu Ara bahkan tak pernah mengira, jika hal seperti ini akan sangat dia rindukan.

Apakah Ara berlebihan jika merasa sangat senang, ataukah rindu pada Bora memang luar biasa besar, hingga hal kecil saja mampu membuat hatinya berbunga.

Supermarket sedikit ramai, ada Yuna yang tadi mengajaknya ikut berbelanja dan Bora yang otomatis mengikuti Ara karena tak mau kehilangan banyak waktu dengan sang ibu.

"Ra-ya, maaf ya. Kau lelah setelah perjalanan jauh, tetapi aku justru mengajakmu berbelanja." Yuna berujar ketika sedang antre untuk membayar, sedangkan Ara mengekor di belakangnya dengan menggandeng tangan Bora.

"Eonnie, aku justru senang bisa menikmati waktuku sebaik mungkin di sini. Saat perjalanan dari bandara saja, aku bahkan tak bisa mengalihkan pandangan dari jalan. Eonnie, aku sungguh merindukan Korea," jawab Ara, tertawa kecil karena merasa malu, takut jika dikira berlebihan dalam bersikap.

Yuna balas tersenyum, bergerak maju karena sudah gilirannya untuk membayar. Ara sudah menyerahkan kartu kreditnya, tetapi sayang sekali karena kartu itu tak bisa dia pakai di Korea. Ketika di Jepang, Ara mengganti semua data diri termasuk juga tabungan dan kartu kredit ke mode lokal agar tak ada yang mengetahui riwayat penarikan uang yang dia gunakan. Ara sedetil itu ketika memilih untuk menghilang.

Sekarang sepertinya Ara tak bisa berbelanja apa pun, harus menunggu Hyunjin datang. Malu jika harus meminta pada Jimin tentunya.

"Eonnie, maaf ya." Ara berujar tak enak.

"Hei, tak apa. Kau bisa menunggu di luar dengan Bora. Sebentar lagi selesai."

Ara menurut untuk keluar dari area supermarket masih dengan Bora yang ia genggam tangannya. Namun, ketika langkah kakinya baru saja menginjak trotoar, tubuh Ara seketika membeku, kulitnya meremang hebat, kepalanya terasa kesemutan. Mata cantik Ara seolah tak bisa dialihkan ke arah lain. Di depannya, berdiri sosok yang membuatnya harus menghilang dari masa lalunya--Min Yoongi.

"Appa!" pekik Bora ketika melihat ayahnya. Gadis itu sudah berniat untuk menghampiri Yoongi, tetapi tangan Ara tak mau melepaskannya. "Eomma," panggilnya lirih.

"Kau yang menghubungi Appa-mu?" tanya Ara pada Bora dengan suara tercekat. Sedangkan Bora menggeleng keras.

"Tidak! Aku tidak, Eomma! Demi Tuhan aku mengingat janjiku untuk tidak memberitahu Appa."

"Lalu kenapa Appa-mu di sini sekarang?" tanya Ara, menoleh pada Bora dengan tatapan kecewa.

"Aku tidak tahu, sungguh." Bora menjawab lirih, takut sekali jika Ara marah. "Eomma, aku sungguh tidak tahu."

Ara melepaskan pegangan tangannya pada Bora, menghela napas dan hendak berlalu ketika suara Yoongi masuk ke rungunya.

"Queen ...."

Demi Tuhan, Ara bisa merasakan matanya memanas, dadanya bergemuruh hebat dengan emosi yang tiba-tiba tak bisa dia kendalikan. Ada rasa rindu, tetapi kebencian tak bisa dia kesampingkan sama sekali. Ara terjebak pada kelabilannya, prediksi dokter Yoshinori sepertinya tidak terlalu tepat, Ara belum siap bertemu dengan orang yang memberikan luka paling dalam pada hidupnya.

Ara berusaha sekuat tenaga untuk kembali melangkah pergi, tetapi di depannya sudah ada Yuna yang menghalangi dirinya. Ara memicing bingung, mencoba bertanya lewat tatapan matanya.

"Maafkan aku, Ra-ya, tetapi kumohon, beri Yoongi satu kesempatan untuk bicara padamu. Aku melakukan ini bukan berniat buruk padamu, tetapi lima tahun ini Yoongi tak pernah berhenti mencarimu untuk meminta maaf dan menjelaskan semuanya dengan benar. Aku bisa menjamin, Yoongi sungguh telah mendapatkan bayaran dari kesalahan kami lima tahun yang lalu, dia sangat menyesali semuanya. Ra-ya, beri Yoongi satu saja kesempatan. Bahkan jika hanya lima menit, tolong."

Ara mulai merasa tak nyaman, rasa gugupnya berubah menjadi kekesalan luar biasa di titik ini. Ara tak mau dipaksa, Hyunjin juga sudah memperingatkan dirinya, tetapi Yuna justru menjebaknya dengan cara seperti ini. Bayangan perselingkuhan mereka kembali, dan itu membuat Ara memandang Yuna dengan tatapan muak.

"Eonnie, Jimin oppa mungkin akan marah jika tahu kau melakukan ini." Ara berujar tenang, tak mau terpancing emosinya sendiri, "sekarang minggirlah, biarkan aku lewat."

Namun, sebelum Ara kembali melangkah, tangannya dicekal oleh Bora. Ara menoleh tak senang, tetapi tak bisa melakukan apa pun pada anaknya itu.

"Eomma, bisakah kau memberi kesempatan pada Appa untuk bicara? Demi aku, bisakah? Demi lima tahun yang aku lewati dalam penantian menunggumu kembali dalam sabar, menepati segala janjiku untuk jadi anak baik dan tak merepotkan siapa pun. Kumohon."

Bora sungguh tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi di antara para orang dewasa itu, tetapi jika ucapannya mampu membuat Ara tetap di sana. Ya, Bora akan melakukannya.

Ara menunduk, menggerit gigi gerahamnya menahan kesal. Ara menatap ujung sepatunya, hanya untuk menatap ujung sepatu lain tepat di depannya. Ara mendongak dengan tatapan nyalang, bertemu tatap dengan mata yang sama, dengan mata yang selalu hadir dalam mimpinya selama ini.

"Queen, maafkan aku."

***

Jimin menatap bingung ketika Yuna pulang sendirian. Junkyu yang tadi terganggu tidurnya baru saja kembali tidur, dan Jimin berniat menyusul mereka bertiga karena lama sekali berbelanja, takut jika ada yang tak beres, apalagi Ara baru saja menempuh perjalanan jauh.

"Oh, kau pulang. Aku baru saja akan menyusul kalian. Dimana adikku dan Bora?" tanya Jimin pada Yuna yang menenteng satu kantong penuh belanjaan.

Yuna tak langsung menjawab, menelan ludahnya terlebih dulu, mencoba menjawab Jimin dengan baik. "Dia pergi bersama Bora."

"Ke mana?" tanya Jimin heran, sedikit curiga dengan gerak gerik Yuna yang tak biasa, "Na-ya, ke mana adikku pergi?" tanya Jimin sekali lagi.

"Jim, kumohon jangan marah, tapi Ara pergi bersama Yoongi dan Bora."

"Apa?!"

Jimin tak bisa mengendalikan keterkejutannya. Matanya melotot, memerah dalam sekejap, nada suaranya ikut naik ketika kembali bertanya. "Apa maksudmu, Na-ya!"

"Selama lima tahun ini Yoongi sangat menderita kehilangan Ara, dia hanya butuh sedikit waktu untuk bicara dengan adikmu. Kumohon biarkan mereka sebentar."

"Aku tidak peduli!" teriak Jimin menggelegar, Junkyu yang tertidur bahkan langsung terbangun dan menangis lagi. "Katakan kemana bajingan itu membawa adikku?!"

"Jangan berteriak, Junkyu terbangun," ujar Yuna mengingatkan. "Ada apa dengan responsmu yang berlebihan itu, Jim? Semua sudah berlalu, Yoongi sangat menyesali perbuatannya, dan kau juga bisa memaafkanku. Jadi kumohon beri kesempatan Ara untuk memaafkan Yoongi juga."

"Aku memaafkanmu karena kita sudah menikah sejak di Amerika! Memaafkanmu karena kita telah bersumpah di depan Tuhan saat itu, tetapi adikku tidak bisa dengan mudah menjalani harinya setelah hari sialan itu, Na-ya!"

Yuna agaknya terpancing emosi karena Jimin terus saja berteriak, bahkan tak peduli pada anak mereka yang tengah menangis. "Kau tidak tau bagaimana kehidupan Yoongi tanpa Ara! Dia sangat menderita, menyesali perbuatannya! Yoongi ketergantungan obat tidur, menjadi workaholic untuk bisa mengalihkan rasa rindunya pada adikmu. Aku hanya meminta sedikit waktu, dan sikapmu sangat keterlaluan sekali seolah Yoongi bisa membuat Ara mati!"

"Sekali lagi aku katakan, aku tak peduli pada bajingan itu!" teriak Jimin murka, membanting sepeda mainan Junkyu yang ada di dekatnya, "Yoongi pantas mendapat semua itu setelah apa yang kalian lakukan pada adikku! Kau sangat berempati begitu tau apa yang tengah dirasakan Yoongi, tetapi apa kau pernah berpikir kenapa adikku lebih memilih menghilang selama ini! ITU KARENA DIA MENGALAMI DEPRESI AKUT DAN TERUS SAJA MENCOBA BUNUH DIRI! DIA GILA NA-YA! ADIKKU GILA!"

Yuna tercengang di tempatnya berdiri, bukan karena teriakan Jimin, tapi karena fakta baru yang dia terima. Hatinya mencelus ketika membayangkan Ara harus menjalani kehidupan yang begitu sulit karena dirinya dan Yoongi. Depresi akut, percobaan bunuh diri, apa Ara sebegitu terlukanya karena perbuatan mereka?

"A-aku tidak tau itu. Kau terus saja menyembunyikan Ara bahkan dariku," ujar Yuna terbata. Pikirannya tak bisa fokus karena rasa bersalah itu kembali menghampiri hatinya.

"Alasan kenapa aku tak pernah memberitahumu ... karena aku tau kau pasti akan membela Yoongi dari pada adikku. Aku muak melihatmu begitu memperhatikan lelaki itu. Jika memang sejak awal kau tak bisa melepaskan masa lalumu, kenapa kau harus merengek dengan cara menyedihkan untuk kembali padaku, Na-ya," ujar Jimin dengan suara rendah, penuh intimidasi dan rasa benci yang luar biasa.

Mendengar ucapan Jimin, tentu saja Yuna merasa sakit hati. Bagaimana bisa Jimin mengatakan hal itu dengan mudah, tidakkah suaminya itu tau bagaimana ia sangat mencintainya.

"Apa yang kau katakan?" tanya Yuna dengan air mata mengalir.

"Urus saja Junkyu. Aku akan pergi untuk membawa adikku pulang." Jimin berjalan melewati tubuh Yuna, tak peduli bahkan ketika tangisan istrinya semakin keras. Fokus Jimin hanya ada pada Ara, takut jika kesembuhan Ara sia-sia jika bertemu lagi dengan Yoongi, dan yang menjadi alasan utama, Jimin tak rela Yoongi menemui Ara, apa pun keadaannya.

Jimin sudah membuka pintu apartemennya, tetapi dia terkejut saat melihat Hyunjin berdiri di depannya sekarang. "Jin-ah."

"Hyung, aku datang sekarang karena syutingku diundur selama satu minggu karena masalah perizinan. Di mana Ayeong?" tanya Hyunjin yang tadi baru saja akan memencet bel, tetapi Jimin keburu keluar.

"Yoongi membawanya," jawab Jimin singkat yang langsung membuat seluruh wajah Hyunjin memerah. Pikirannya sudah acak, terutama rasa kecewa dan marah pada Ara karena gadis itu mengkhianati janjinya.

Ayeong! Kau benar-benar tak bisa dilepaskan sendiri!
.
.
.
125 VOTE
150 KOMEN

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro