Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

97

Tetap 130 vote ....
.
.
.

Tokyo di malam hari, seolah tidak akan berubah menjadi kota mati. Hiruk pikuk manusia yang melepas penat setelah siang hari lelah bekerja, membuat kawasan itu begitu ramai.

Pukul dua pagi, dari balik kaca balkon kamarnya, Ara menatap lelah pada jalanan di bawah. Matanya sudah memerah, menguap berulang kali, tetapi harus menahan kantuk karena balita yang menangis di dalam gendongannya itu masih belum juga mau tertidur.

Kening anak berusia dua tahun itu dipasangi gel dingin, setelah Ara mengecek suhu tubuhnya yang ternyata 38,5 derajat. Ah, Ara menyesal karena kurang bisa mengenai tanda kalau anak itu kurang fit, padahal sejak siang mereka menghabiskan waktu bermain dengan ceria di taman bawah.

Ara kembali menguap. "Haru-ya, apa kau tidak lelah, Sayang. Tidurlah, kau sudah terlalu lama menangis, kumohon," ujar Ara sambil terus menepuk pantat balita perempuan itu dengan lembut.

Ara bergerak ke kanan dan kiri, berputar-putar dalam jarak dekat sembari bersenandung lirih agar Haru mau tidur. Dia lelah, kepalanya sakit karena butuh istirahat, dan setelah perjuangan lebih dari dua jam menggendong balita kecil itu, Haru akhirnya mulai tenang, terisak kecil dan beberapa saat kemudian Ara dapat tersenyum lega karena akhirnya balita berpipi gemuk itu tertidur.

Ara masuk ke dalam kamar, musim semi cukup hangat, tetapi tetap saja tak baik jika membiarkan Haru terkena angin malam dalam kondisi sakit. Ara baru saja hendak meletakkan Haru di ranjang, tetapi bayi kecil itu justru merengek lagi, seolah tak rela jika harus diletakkan di sana. Ara kembali mendesau pelan, sepertinya Haru masih ingin menguji kesabarannya malam ini.

Ara mengerang, hampir menangis saja rasanya. Namun meskipun demikian, toh Ara tetap mengangkat kembali balita itu dalam gendongan, menimangnya dengan sayang. Kaki Ara bergerak keluar kamar, menemukan Hyunjin yang tertidur di sofa ruang tamu. Rasa lelah Ara menjadi berlipat ganda melihat Hyunjin justru nyenyak tidur sementara dirinya harus berjibaku dengan kerewelan Haru semalaman ini.

Dengan Haru yang masih rewel dalam gendongannya, Ara berjalan cepat ke arah Hyunjin, lalu tanpa perasaan menendang pantat pribadi di hadapannya itu hingga terjatuh dari sofa, menimbulkan suara benturan dengan lantai yang cukup keras. Hyunjin yang terkejut langsung saja mengerang sakit, memegangi pinggangnya yang sakit karena posisi jatuhnya tidak tepat.

"Yak, kau gila ya!" teriak Hyunjin dengan nada tinggi, kesal melihat Ara yang sudah seenaknya membuat dia terjatuh.

"Kau yang gila! Bagaimana bisa kau tidur nyenyak sementara anakmu menangis semalaman karena sakit!" balas Ara tak kalah sengit yang justru membuat Haru kembali menangis keras, dan dia harus kelimpungan karenanya.

"Kau berlebihan sekali! Aku baru saja tidur setengah jam, dan kau bilang nyenyak tidur, eoh! Tidurku bahkan mengambang karena lelah!"

"Kau kira aku tidak lelah, eoh! Kau baru tidur setengah jam, sedangkan aku? Kau baru menggendong Haru sepuluh menit dan sudah memberikannya lagi padaku. Kau ini ayah macam apa, hah?!" Ara terus saja membentak, tetapi kembali kelimpungan karena suara mereka menggema dalam apartemen, membuat Haru semakin tak nyaman dan terus saja menangis.

"Lalu kau mau apa?" ujar Hyunjin lelah sendiri, tak tega melihat anaknya terus menangis karena mereka saling menaikkan suara.

"Urus anakmu, bodoh! Besok aku harus kuliah pagi, aku mau tidur!"

"Turunkan suaramu, Ayeong. Kau itu bodoh atau gila? Haru terus menangis karena suaramu mengguncang bumi."

Ara mendengkus karena ucapan Hyunjin berlebihan sekali, memindahkan gendongan Haru pada pemuda itu. "Gendong Haru sampai berhenti menangis, jangan turunkan karena dia akan menangis lagi nanti."

Hyunjin menerima Haru dengan helaan napas lelah, menepuk punggung Haru lembut, tetapi anaknya itu justru menggerakkan tubuhnya, menolak untuk ia gendong.

"Hama, hama." Haru memanggil Ara dengan aksennya yang tak jelas. Balita dua tahun itu tak mau bersama Hyunjin, ia ingin digendong Ara saja.

Sementara Ara sudah akan masuk ke kamar, tetapi suara tangisan Haru yang terus memanggilnya membuatnya merasa de javu. Hatinya merasa tak nyaman, seperti dicengkeram oleh ingatan masa lalu yang membuat Ara ingin menangis, rindu pada Bora-nya, buntalan lemak kesayangannya.

Ara melepas tangannya dari kenop pintu, berbalik untuk menghampiri Hyunjin dan kembali mengambil alih lagi Haru yang masih saja menangis. Dia berjalan menjauh, menepuk pantat dan punggung Haru dengan lembut.

"Hama tak akan menurunkanmu, sekarang tidur ya, suaramu sudah serak sekali. Tenggorakanmu nanti sakit," pinta Ara dengan suara lembut penuh kasih.

Tak sampai sepuluh menit, akhirnya Haru kembali tidur, Hyunjin mendekat, mengusap lembut pipi anaknya. "Dia sudah tidur."

Ara mengangguk, menguap lebar dengan mata berair. "Tapi dia akan terus bangun jika diturunkan. Aku lelah sekali, sungguh."

Suara Ara ikut serak ketika merengek, Hyunjin tak tega juga jadinya. "Tidurnya sambil duduk saja. Ayo."

Ara menurut ketika Hyunjin menuntunnya ke sofa. Tak banyak protes ketika pemuda itu memintanya duduk dengan Haru tertidur di pangkuan, menempel erat pada dadanya. Ara juga diam saja ketika Hyunjin meluruskan kakinya, naik ke atas meja. Baru setelahnya Hyunjin ikut duduk, menempel pada Ara, lalu membawa kepala Ara untuk bersandar di bahunya.

"Seperti ini saja ya, tak apa kan?" tanya Hyunjin sambil berbisik dan Ara mengangguk, tak masalah asal dia bisa tidur malam ini.

***

Siang hari cukup terik, Hyunjin hanya memakai kaos dan celana pendek, tak lupa kacamata hitam ketika mengikuti Haru yang minta jalan-jalan di depan apartemen. Babysitter yang dia sewa, tak bisa datang hari ini karena suatu urusan, beruntung karena Hyunjin hari ini libur karena tahapan syuting baru dimulai besok.

Tengah memperhatikan Haru yang asik bermain di taman kecil yang disediakan pihak apartemen, Hyunjin tak sengaja melihat sebuah mobil terparkir di depan gedung.

Namun bukan itu, fokusnya ada pada penumpang mobil yang sedari tadi memperhatikan dirinya. Hal itu membuat Hyunjin menaikkan kewaspadaan. Kawasan apartemen ini aman dari paparazzi, tetapi tetap saja kejahatan lain bisa terjadi, apalagi Haru masih tersembunyi dari media. Hyunjin selama ini dianggap masih lajang karena pernikahannya pun tak bisa dia publikasikan, tidak selama dia masih meniti karier keartisanya di sana.

Hyunjin akan membawa Haru kembali masuk ketika sosok Ara yang baru pulang kuliah berjalan mendekat, dan Haru yang langsung berlari terseok menghampiri Ara dan sudut mata Hyunjin bisa melihat pergerakan kecil dari penumpang mobil itu.

"Hama, hama!" Haru berteriak senang karena Ara sudah pulang, tadi pagi dia masih tidur ketika Ara berangkat kuliah.

"Omo, Haru-ya! Kau sudah sehat, mn?" tanya Ara, menundukkan badan untuk menggendong anak itu, membawanya mendekat pada Hyunjin yang sedang duduk di kursi taman. Tak lupa Ara mengecek suhu tubuh Haru dengan punggung tangan, bersyukur karena demam Haru sudah turun. "Aaah, demammu turun, Sayangku. Apa kau sudah merasa lebih baik?"

Haru hanya menganggukkan kepala, memainkan rambut panjang Ara, menariknya dan menggulung kecil.

"Kenapa terlambat?" tanya Hyunjin ketika Ara sudah di depannya.

"Tadi pagi aku terlambat lima menit, dan dosen sialan itu memintaku untuk mengikuti dua kali tes setelah kelasnya berakhir. Otakku hampir meledak karenanya."

Hyunjin terkekeh, menendang iseng betis Ara agar masuk ke dalam apartemen. "Masuklah. Tadi dokter sudah memeriksa Haru, demamnya turun, tetapi masih harus minum obat."

"Kau sudah memberinya obat?"

Hyunjin menggeleng. "Belum, dia tidak mau makan sejak tadi, aku tidak berani memberinya obat. Coba kau bujuk, biasanya Haru langsung tidur jika sudah minum obat. Kau bisa tidur juga nanti."

Ara mengangguk, masuk ke dalam gedung apartemen masih dengan menggendong Haru. Sementara Hyunjin tak ikut masuk, memilih untuk mendekati mobil yang dia curigai.

Ah benar saja, ketika dia mengetuk kaca mobil dan si pemilik mobil menurunkan kaca itu, Hyunjin tak bisa menahan lidahnya untuk mengumpat.

"Ketahuan juga," ujar Hyunjin ringan, menegakkan tubuh, memasukkan kedua tangannya pada saku celana dan memandang remeh pada Yoongi dan entah siapa yang ada di balik kemudi.

"Kau menyembunyikan Ara dengan baik," balas Yoongi tenang, berbeda dengan sorot matanya yang tampak gelisah.

"Menyembunyikan Ara?" Hyunjin menoleh ke arah gedung apartemen, Ara sudah tidak ada di sana, lalu kembali menatap Yoongi. "Ara siapa? Jangan salah paham Tuan Min, dia bukan Ara yang kau cari. Sekarang pergilah, kau sudah cukup lama menguntit keluargaku. Jangan sampai polisi yang harus mengamankanmu. Itu jelas tak baik untuk nama baikmu bukan?"

Yoongi terkejut, menatap Hyunjin dengan raut penuh tanda tanya. Yoongi ingin memastikan apa yang dia dengar, tentang Ara yang menjadi keluarga Hyunjin. Dari apa yang dia lihat sejak tadi, tentang bagaimana gadis kecil itu menghampiri Ara, memanggilnya antusias dan meminta untuk digendong, Yoongi jelas merasa tak percaya dengan penglihatannya sendiri.

"Apa maksudmu?" tanya Yoongi dengan nada mengintimidasi.

"Kau sudah melihat sendiri, maka simpulkan sendiri." Hyunjin melangkah pergi, tapi baru tiga langkah dia berhenti, berbalik untuk menghadap Yoongi dengan sorot tajam. "Jangan mengganggu keluargaku, aku peringatkan itu!"

Yoongi bergeming dengan tangan mengepal kuat.

Apa benar balita perempuan itu anak Ara dan Hyunjin? Apa mereka akhirnya menikah?
.
.
.

Jangan protes pendek yaaa. Ini lagi ga enak badan huhu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro