96
Perhatikan waktunya ya biar ga bingung
Tetap 130 VOTE
Part kemarin sepi komen huhu jd kurang semangat
Btw, aku liat ada beberapa pembaca hantu yang udah mau vote atau pembaca setia yang bikin banyak akun? Hahaha
Terima kasih apresiasinya
.
.
.
Rambut Ara sudah kembali panjang, tidurnya pun mulai nyenyak setiap malam tanpa terganggu mimpi buruk. Ara juga sudah bisa makan dengan baik, lambungnya sembuh, tak lagi memuntahkan setiap makanan yang masuk ke perutnya. Inti dari semuanya ... Ara berhasil sembuh dari depresi yang dia alami.
Dua tahun waktu yang dia perlukan, ketika akhirnya dokter Tanaka Yoshinori memanggil Hyunjin untuk datang ke Kitashiobara. Dokter muda itu ingin mengabarkan mengenai perkembangan Ara, bahwa gadis itu telah sembuh dari depresinya. Ara tak lagi membutuhkan obat penenang dan telah mampu berdamai dengan masa lalunya. Dokter Yoshi menjelaskan, jika perselingkuhan yang dilakukan mantan suami Ara adalah pemicu dari segala trauma masa lalu yang dia pendam selama ini.
Gadis itu sudah memiliki masalah mental sejak kecil, tetapi terus menahannya karena tak ada yang menyadari bahwa dia membutuhkan bantuan psikiater. Ara punya trauma besar pada kebahagiaan dan merasa dirinya tak pantas untuk bahagia. Lalu ketika Ara bercerita pada dokter Yoshinori, saat itu dia mulai percaya bahwa kebahagiaan yang ditawarkan mantan suaminya nyata, justru harus kembali merasakan sakit yang luar biasa. Ara terkhianati dengan sangat buruk, gadis itu terhempas oleh harapannya sendiri pada trauma kebahagiaan yang dia harapkan. Trauma masa kecil itu meledak hebat, merenggut segala kewarasan yang dia punya, dan berakhir Ara harus menderita depresi, bisa dikatakan hampir gila.
Setelah dua tahun berlalu, Ara merasa memiliki hidup yang baru. Ara bisa meyakinkan hatinya, bahwa segala kepahitan hidup yang dia alami hanyalah mimpi buruk, kini dia sudah bisa bangun dari mimpi buruk itu, mampu berdamai dengan keadaan.
Sedangkan bagi Hyunjin, ketika kabar dari dokter Yoshinori itu sampai di telinganya, dia menangis begitu haru seraya memandangi Ara yang duduk di sampingnya. Usahanya berhasil, Ara menepati janjinya untuk sembuh dan tidak menyerah dengan mudah atas hidup. Hyunjin berhasil menyembuhkan Ara dan ia bangga akan hal itu.
"Kau sembuh!" ucap Hyunjin serak.
Ara menganggukkan kepalanya berulang kali, tersenyum penuh rasa terima kasih atas semua bantuan pemuda itu selama ini. Ketika ada jadwal kosong, bahkan saat waktu itu terasa sangat sempit, Hyunjin akan tetap datang ke klinik, tak peduli bahkan ketika dia tiba di sana sudah tengah malam, bahkan ia kerap kali harus bertindak hati-hati saat dirasa ada seseorang yang membuntutinya--orang suruhan Yoongi barangkali.
Hyunjin tak pernah mengeluh saat Sunny menjemputnya pagi-pagi sekali. Hyunjin hanya ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa Ara aman di sana, bahwa Ara masih bertahan hidup dan terus berjuang untuk sembuh. Hyunjin tak mau lalai seperti kejadian yang dialami kakaknya dulu.
"Terima kasih, Jin-ah. Terima kasih."
Ruangan dokter Yoshinori penuh suasana haru. Hal ini terasa sangat menyenangkan untuk sang dokter ketika pasien dan keluarganya terlihat bahagia karena bisa sembuh atas bantuannya.
Ara berdiri, membungkuk berulang kali pada dokter muda itu. "Terima kasih, Dokter. Terima kasih."
"Itu sudah tugasku, Ayeong-chan. Aku senang kau bisa sembuh. Keinginanmu untuk sembuhlah yang membantumu, aku hanya memberikan sedikit bantuan saja."
Ara menggeleng, tidak setuju dengan ucapan Dokter tampan itu. "Apa pun itu, Dokter yang sudah membantuku! Terima kasih."
"Onee san berkata kalau kau sangat baik dalam menulis cerita. Lanjutkan itu sebagai pengembangan diri setelah pulang dari klinik, jangan sia-siakan bakatmu ya." Dokter Yoshi merujuk pada kakak perempuannya--Tanaka Akio, yang membantu dokter Yoshi mengurus klinik mental itu.
Akio seperti kakak perempuan bagi Ara, yang akan selalu memastikan gadis itu baik-baik saja. Akio membantu pengembangan diri bagi setiap pasien, termasuk Ara yang ternyata sangat baik dalam literasi. Ara diberikan tumpukan kertas dan pewarna awalnya, sekadar pelepas emosi jika Ara sedang tidak stabil, tetapi gadis itu justru sering menulis, entah itu puisi atau cerita pendek ketika diperbolehkan duduk di dekat danau Inawashiro.
"Ya, aku akan mengingatnya dengan baik."
"Aku akan memberikan resep obat untukmu. Hanya sebagai jaga-jaga saja. Jika kau merasa tak membutuhkan obat penenang, kau tak perlu meminumnya. Bulan depan, datang kembali kemari untuk kontrol. Bisa dimengerti?"
Baik Ara dan Hyunjin mengangguk patuh, mendengarkan dengan baik setiap ucapan dokter Yoshinori. "Kami mengerti, Dokter. Kami akan datang bulan depan. Akan aku pastikan kondisi Ayeong akan baik-baik saja."
"Baiklah, kalian sepertinya sudah tidak sabar untuk pulang bukan?" tanya Dokter Yoshi menggoda, menuliskan resep di kertas kecil. "Ini resep untuk Nona Kwon Ayeong. Kalian bisa menebusnya di Tokyo, kebetulan obat yang aku pesan belum datang."
"Ya, Dokter, Tidak masalah." Hyunjin menerima resep itu, senyumnya tak luntur.
"Onee San sudah membantu mengemas barang-barangmu. Ayeong-chan, kau tentu mau mengucapkan kata perpisahan dengan Onee San bukan?"
Kali ini Ara mengangguk, menjabat uluran tangan dokter Yoshinori dengan semangat. "Dokter, aku akan bertemu Akio San lebih dulu. Sekali lagi terima kasih, selamat tinggal."
Ara keluar dari ruangan lebih dulu, setengah berlari untuk kembali ke ruangannya. Ketika dia masuk, kopernya sudah rapi menyandar pada dinding, selimut dan bantal yang dia gunakan untuk tidur, telah rapi terlipat padahal tadi dia tidak sempat merapikannya karena Hyunjin keburu datang. Akio masuk, membawa ramen buatan Nenek Kana. Ara langsung tahu, karena harum rempah yang dipakai Nenek Kana sangat khas.
"Akio San, aku sembuh! Dokter Yoshi memanggil Hyunjin untuk mengatakan itu. Semalaman aku tidak bisa tidur karena Dokter Yoshi berkata harus bertemu dengan Hyunjin. Kukira ada apa, ternyata untuk memberitahu jika aku sembuh. Aku sembuh!" Ara berujar penuh semangat, hampir menumpahkan ramen di atas nampan yang dibawa Akio.
"Aku tahu." Akio berujar lembut, duduk di atas lantai kayu, dan Ara langsung ikut duduk di dekatnya, menempel erat, hampir seperti memeluk wanita dengan raut penuh kasih itu.
"Aku sembuh," ujar Ara sekali lagi, dan Akio mengangguk, tertawa seraya mencubit hidung Ara.
"Makan dulu sebelum pulang, Nenek Kana memasak ramen ini khusus untukmu. Dia bahkan menambahkan banyak kaldu dan daging hari ini."
Ara menurut, memakan ramennya dengan penuh rasa syukur. Ara tak sabar untuk memberi tahu Jimin dan orang tuanya, tetapi dia akan menahan diri sampai di Tokyo saja. Sekarang dia hanya ingin menikmati ramen buatan Nenek Kana. Sebentar lagi dia akan pergi dari klinik tempatnya berobat dua tahun ini. Ara senang walau ada sedikir rasa tak rela ketika memikirkannya.
Akio menarik satu kardus berukuran sedang, menyodorkannya di depan Ara. "Ayeong-chan, ini kertas yang berisi tulisanmu. Kemarin malam ketika otoutosan mengatakan kau sudah sembuh, aku menyortir semua tulisanmu, mengurutkannya dengan cermat, memastikan semua yang penting sudah aku masukkan, dan membuang kertas yang tak penting. Ayeong-chan, kau sangat pandai menulis. Jika kau berkesempatan membuat buku, jangan lupa kirimi aku satu yang ada tanda tanganmu ya."
Ara hampir menangis karena haru, Akio pasti membutuhkan waktu semalaman untuk mengemas kertas-kertas berisi tulisannya ini. Ara tak bisa menahan diri untuk tak memeluk wanita itu dengan erat.
"Akio San, aku sepertinya akan menulis sesuai saran Dokter Yoshi, tetapi aku belum begitu pandai dalam pemakaian diksi, jadi mana mungkin bisa membuat sebuah buku. Namun atas semua itu aku tetap berterima kasih. Aku sangat bersyukur bisa mengenalmu, Akio San. Kau sangat baik, orang tua kalian pasti akan sangat senang memiliki anak yang telah membantu banyak orang untuk sembuh."
Akio hanya tersenyum, sedikit sedih karena harus kehilangan kedua orang tuanya beberapa tahun yang lalu. "Kami hanya melanjutkan mimpi orang tua kami, Ayeong-chan. Kami senang ketika orang yang datang kemari, bisa pergi dengan kesembuhan yang mereka inginkan."
Ara melepaskan pelukan, tepat ketika pintu kamarnya digeser dari luar oleh Sunny. "Ah, Eonnie! Kau juga datang!" pekik Ara senang, berdiri dan berganti memeluk Sunny.
"Memangnya aku bisa membiarkan Hyunjin pergi sendirian. Dia bisa mengacaukan banyak hal jika dilepasliarkan bukan?" ujar Sunny, melepaskan pelukan Ara, membungkuk sedikit pada Akio sebelum ikut duduk di lantai kayu.
Ara tertawa, lepas sekali mendengar ucapan Sunny. "Eonnie jahat sekali. Hyunjin mungkin akan merajuk jika mendengar kau menjelekkannya begitu," ujar Ara yang sudah duduk kembali.
"Biar saja," jawab Sunny tak acuh, beralih fokus pada kardus yang ada di tengah-tengah mereka. "Apa ini?"
"Tulisanku selama pemulihan. Akio San memberiku banyak waktu di danau Inawashiro, dan aku punya kesenangan baru di bidang menulis." Ara menjawab cepat setelah menelan ramennya yang mulai dingin.
"Ayeong-chan sangat baik dalam menulis. Akan sangat baik jika dia terus mengembangkan diri di bidang literasi." Akio ikut menjelaskan pada Sunny, memberikan satu lembar kertas yang paling atas.
Sunny membaca tulisan Ara, mengernyitkan dahi saat sampai di baris tengah. Sunny memandang Ara yang masih sibuk menghabiskan Ramennya, lalu beralih kembali pada kertas di tangannya.
Dua tahun ini, ternyata kau menyimpan cinta untuknya?
======
Tahun kelima setelah kepergian Ara, Bora masih tetap berpegang teguh pada janji sang ibu untuk pulang. Terkadang ada saat di mana dia sudah berada dititk jenuh, merasa marah karena Ara membohongi dirinya, merasa lelah menunggu dan ingin membenci ibunya itu, tetapi Bora tak bisa. Rubah kecil itu akan selalu kembali pada janji Ara untuk pulang yang entah kapan.
Kini dia telah masuk jenjang yang lebih tinggi, usianya tiga belas tahun bulan lalu, Jimin memberi sebuah sepatu dari Ara untuk hadiah ulang tahunnya. Sepatu itu sangat bagus, merek mahal dengan warna pink dan hijau lembut, dan Bora selalu memakai apa pun yang diberikan ibunya itu. Bahkan jepit rambut pemberian Ara sebelum pergi dulu, tersimpan manis dalam kotak pensilnya, karena entah kecerobohannya atau memang jepit kecil itu sudah sangat lama, bagian ujungnya sedikit bengkok, Bora merasa sedih, tak bisa menjaga pemberian ibunya dengan benar.
Bora ada di dalam kelasnya, menunggu sang guru datang, tetapi suasana kelas yang ramai membuatnya urung membuka buku untuk belajar lebih dulu. Di meja Hana, beberapa teman perempuannya berkumpul, sangat berisik ketika membicarakan suatu hal.
"Hana-ya, kalian sedang membicarakan apa?" tanya Bora yang mengambil posisi duduk tepat di belakangnya.
Gadis yang ditanya berbalik, menunjukkan sebuah buku dengan sampul biru langit yang cerah. "Lihat! Aku dapat buku ini setelah menunggu tiga bulan untuk cetakan keempatnya!" ujar Hana semangat, tetapi respons Bora justru biasa saja.
"Memang novel apa itu?"
Hana dan teman-temannya yang lain memandang Bora lelah, tapi bagaimanapun, Bora adalah teman mereka yang baik dan sangat dermawan, jadi Hana berbaik hati menjelaskan, meletakkan buku itu di meja.
"Aku sudah berulang kali menyuruhmu berhenti belajar terus, Bora-ya. Kau hanya tau buku pelajaran dan tak tau apa yang sedang trending di kalangan remaja baru-baru ini. Lihat, ini novel dari penulis Jepang, terbit dua tahun yang lalu, dan satu tahun belakangan, penerbit Korea membuat versi alih bahasanya! Kau harus membacanya, Bora-ya. Novel ini sangat keren, ada lebih dari tiga puluh negara yang menginginkan versi alih bahasa ke negera mereka. Kau tau Oh Hyunjin? Dia akan membintangi drama yang diadaptasi dari novel ini!"
Selama Hana berbicara, Bora hanya menatapnya, mengedip beberapa kali, tetapi tak memberi reaksi lebih karena selain tak mengerti, dia memang tak terlalu tertarik dengan hal lain selain menjadi anak yang baik dan pintar. Semua itu dia lakukan agar Ara bangga padanya.
"Aku tidak suka membaca novel," respons Bora singkat, tetapi mungkin Hana kelewat sayang pada Bora, tak mau gadis itu terus menjadi kutu buku yang menyebalkan, sehingga Hana langsung menjejalkan novel itu ke dalam tas gadis itu.
"Bawa saja, aku sudah beli lima cetak," ujar Hana lalu tersenyum. "Baca sampai halaman lima saja, jika tidak suka, besok kembalikan padaku!"
Bora hanya bisa mengalah, membiarkan saja novel yang entah apa judulnya itu kini berada di dalam tas sekolahnya. Bora lebih memilih membuka buku, mengambil alat tulis dan mulai belajar sembari menunggu gurunya datang. Namun, Bora lebih dulu menarik satu kertas, mencoret-coret di atas kertas kosong itu.
Eomma, hari ini tepat lima tahun. Bagaimana kabarmu? Tak ada yang spesial selain aku merindukanmu.
"Bora-ya, kau masih melakukannya?" tanya Jessica yang sempat melirik tindakannya.
"Ya." Bora menjawab singkat, melipat kertasnya dan meletakkannya bersama surat-surat yang lain pada kotak kecil yang selalu dia bawa di dalam tas sekolahnya.
"Eomma-mu sudah lima tahun pergi, apa dia akan kembali dan membaca semua surat pendekmu itu?" tanya Jessica lagi, tetapi Bora hanya mengedikkan bahunya tak acuh.
"Aku menulisnya bukan untuk dibaca eomma, tetapi karena aku ingin saja."
"Aku mengatakannya karena kasihan padamu. Kau seperti kerbau dungu karena terus menunggu eomma-mu kembali. Padahal aku sudah memberitahumu, jika appa dan eomma-mu sudah bercerai. Aku pernah mendengar eomma-ku membicarakannya hal itu."
Bora tak ingin merespons lebih, dia lebih memilih membaca bukunya dari pada menjawab Jessica yang tak juga berubah, tetap menjadi teman yang menyebalkan.
Eomma, Jessica menyebalkan!
***
Yoongi baru saja pulang bekerja ketika mendapati kamar anaknya masih menyala. Dia menatap jam tangan mahal yang melingkar apik di pergelangan tangannya, mengernyit heran karena biasanya Bora akan tidur sebelum jam sepuluh, tetapi saat ini sudah lewat jam sebelas. Apa Bora kembali ketiduran di meja saat belajar.
Pria itu melangkah pelan, membuka sedikit lebar pintu kamar Bora yang memang sejak awal tidak tertutup, dan alangkah terkejutnya Yoongi saat mendapati sang gadis kecil yang tengah menangis sesenggukan. Yoongi mendekat dengan cepat.
"Sayang! Apa yang terjadi? Kenapa kau menangis? Siapa yang mengganggumu? Katakan pada Appa!"
Bora langsung mengesat air matanya, membalik novel pemberian Hana yang telah selesai dia baca dalam tiga jam. Dia terkejut dengan kedatangan Yoongi yang tiba-tiba, apalagi ketahuan menangis tak jelas karena sebuah buku.
"Ah, Appa. Tidak, tidak ada yang menggangguku."
"Lalu kenapa kau menangis?" tanya Yoongi tak sabar.
"Aku baru selesai membaca sebuah novel pinjaman dari temanku." Bora kembali menghapus air matanya, kali ini mengeringkan wajahnya dengan tisu.
"Hanya karena novel? Lagi pula sejak kapan kau menyukai buku lain selain buku pelajaranmu?" tanya pria itu heran, tangannya terulur untuk melihat novel apa yang dibaca anaknya.
"Appa, buku itu memang sangat bagus. Penulisnya pintar membuat cerita, tetapi yang membuatku mau membacanya karena karakter di dalam novel itu bernama Queen. Aku jadi ingat pada Ara eomma, bukankah Appa dulu selalu memanggilnya Queen. Juga karakter anak kecil di dalam cerita ini, entah kenapa harus diberi nama panggilan Rubah Kecil. Besok aku akan bertanya pada temanku, alih bahasa dari penerbit Korea itu, benar atau tidak mengartikannya dari bahasa Jepang."
Yoongi melebarkan mata, buru-buru membaca judul yang tercetak indah dengan warna emas dan hitam Ahjussi's Queen
Mulutnya terbuka, hampir lupa bernapas hanya karena judul, novel tersebut langsung mengingatkannya pada Ara. Yoongi membalik sampul belakang, berharap nama Ara ada di sana, tetapi nihil, penulisnya bernama Akio. Yoongi tidak ingat pernah mengenal seseorang dengan nama itu sebelumnya, tetapi kenapa Yoongi merasa Akio itu adalah Ara. Apa dia terlalu merindukannya, atau Yoongi mulai putus asa sehingga segala hal selalu dia sangkut pautkan pada sosok yang telah hilang itu?
"Boleh Appa meminjamnya sebentar?" tanya Yoongi pada Bora yang langsung mengangguk.
"Appa ingin membacanya?"
"Ya, jika menarik."
Bora menyerahkan kotak tisu miliknya yang bergambar pororo, membuat Yoongi bingung akan hal itu.
"Untuk apa?" tanyanya tak mengerti.
"Persiapan jika Appa menangis."
"Appa ini seorang pria, mana mungkin menangis hanya karena sebuah cerita," ujar Yoongi tertawa tetapi toh tetap membawa kotak tisu itu. "Kau sudah selesai membacanya, bukan? Sekarang tidurlah, ini sudah sangat larut untukmu."
Bora menurut untuk segera naik ke atas ranjang, menerima ciuman selamat malam dari Yoongi, membiarkan ayahnya mematikan lampu kamar dan ia segera memejamkan mata. Bora kembali membuka mata ketika mendengar pintu kamar tertutup, dibantu cahaya kamar. Bora membuka ponsel yang jarang sekali dia gunakan selain untuk menghubungi ayah dan ibunya--Yuna. Bora membuka website yang tertera di sampul belakang buku sebagai penerbit dari Jepang. Tak lama buku yang dia cari ketemu, terletak di bagian paling atas sebagai buku novel paling laris terjual dua tahun belakangan.
Namun bukan itu fokusnya, Bora mencari siapa penulis novel itu, di mana di sana tertera nama Akio, tetapi Bora harus menelan kecewa karena tak ada foto penulis itu sama sekali.
Eomma, kukira itu kau.
Sementara di dalam kamar lain, Yoongi mulai membaca novel itu tanpa mengganti kemeja kerjanya lebih dulu. Ia duduk di atas sofa, membaca setiap lembar dengan fokus, tak peduli pada rasa lelahnya yang harus bekerja sampai malam. Bahkan pada lembar pertama, di mana penulis menulis dia ratu yang kesepian, Yoongi merasa akrab dengan tulisan itu. Di setiap kata yang dia baca, semakin banyak lembar yang berhasil di balik, Yoongi mempunyai keyakinan besar bahwa Ara-lah yang telah menulis novel ini.
Yoongi baru sampai di halaman dua belas, tetapi tisu yang diberikan Bora telah terpakai. Karakter Queen yang terus saja menyalak pada Rubah Besar yang dia panggil Ahjussi, membuat Yoongi menangis karena benar-benar merasakan rindu yang teramat besar pada Ara-nya. Semua kenangan di mana Ara akan selalu marah, melotot dan menaikkan suara padanya, membuat Yoongi memiliki harapan besar bahkan Akio adalah Ara-nya.
Lima tahun telah berlalu dengan pencariannya yang tak membuahkan hasil, semoga kali ini Tuhan berbaik hati padanya.
Akio, aku harus memastikan siapa dirimu sebenarnya!
.
.
.
Bonus
Dokter tamvan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro