94
Yang Belum Follow, yuk follow
125 VOTE
(Sorry naik terus, butuh waktu buat ngetiknya darlings)
KEEP GACOR
STOK TISSUE MASIH ADA?
)❥❥❥ 𝓗𝓪𝓹𝓹𝔂 𝓡𝓮𝓪𝓭𝓲𝓷𝓰 ❥❥❥(
.
.
.
Yoongi mendesau lelah, mengusap wajahnya kasar. Telepon dari orang suruhan yang dia bayar mahal baru saja dia matikan dengan bantingan pada ponselnya. Dia meluapkan emosi karena hasil kerja orang itu tak sesuai dengan apa yang Yoongi harapkan, Ara masih belum bisa ditemukan.
Melalui jasa orang dalam pada kantor keimigrasian, tak ada nama Lim Ara dalam daftar keberangkatan ke luar negeri sampai detik ini, sedangkan untuk wilayah Korea, Yoongi telah memastikan sendiri jika gadis itu tak ada di manapun, termasuk rumah orang tuanya di Busan dan Daegu. Lalu kemana istrinya itu pergi? Yoongi merasa gagal, teramat terbenani akan rasa bersalah. Dia belum meminta maaf dengan benar, belum memberikan penjelasan bahwa yang terjadi malam itu hanya ketidaksengajaan. Namun, Ara seolah tak lagi peduli padanya, dia pergi entah kemana.
Tengah merasa suntuk dengan emosi tak stabil di dalam kamarnya, Bora masuk setelah mengetuk pintu kamar. Yoongi membiarkan sang anak mendekat, duduk tepat di sampingnya di atas ranjang.
"Appa, kau sudah makan?" tanya Bora.
"Sudah," jawab Yoongi berbohong. Bahkan sejak pagi sampai waktu makan malam yang sudah terlewat ini, Yoongi tak memedulikan perutnya yang sudah panas minta diisi sesuatu selain air dan alkohol.
"Appa, aku belum makan," ujar Bora sekali lagi, meminta atensi sang ayah yang menghilang entah kemana sejak kepergian Ara.
Yoongi menoleh pada anaknya, mengerutkan kening karena merasa tak senang. "Lalu kenapa kemari. Pergi ke Go imo, minta dia menyiapkan makan untukmu."
"Go imo sudah menyiapkan makan sejak tadi, tapi Appa tak juga keluar dari kamar setelah pulang kerja tadi sore. Appa, kau sekarang jarang pulang sebelum jam makan malam, aku bahkan tidak tau kapan Appa selalu pulang kerja karena sudah lebih dulu tidur. Jadi hari ini saat Appa pulang lebih awal, aku ingin sekali makan malam denganmu."
Yoongi memejamkan mata, merasa tercubit hatinya. Gadis kecil yang begitu dia sayang itu harus terabaikan karena rasa tersiksa kehilangan gadis yang dia cintai.
"Sayang, maaf karena sering mengabaikanmu akhir-akhir ini, tapi Appa benar-benar tak ingin makan sekarang. Sekarang keluarlah, makan dengan Go imo, ya?"
Bora menggeleng, menampilkan wajah memelasnya. "Tidak mau Appa. Kumohon, makan malam denganku, ya."
Yoongi menghela napas panjang sebelum akhirnya mengangguk, mengalah pada keinginan anaknya. Entah satu atau dua suap, barang kali dia akan memaksa diri demi Bora. "Ya, ayo kita makan."
Melihat sang ayah akhirnya menyetujui, gadis kecil itu berdiri dengan antusias. "Appa lelah kan? Tunggu sebentar ya, aku akan membawa makanannya kemari."
Yoongi belum sempat menghalangi Bora untuk membawa makanan ke kamar, tetapi anaknya itu telah berlari keluar, tak mau menunggu dirinya untuk pergi ke meja makan saja. Yoongi akhirnya hanya bisa duduk diam, menunggu dengan pikiran melayang entah ke mana. Jika ditanya, tentu jawabannya tetaplah Lim Ara, gadis berisik yang membuatnya hampir gila atas kepergiannya.
Kehilangan napsu makan secara drastis, kecanduan obat penenang saat merasa dadanya sangat sakit akibat menahan rindu, juga kecanduan obat tidur karena setiap malam rasa bersalah seolah menggerogoti kewarasannya. Yoongi hancur setelah kehilangan Lim Ara. Tak mampu untuk menjaga dirinya sendiri, tetapi tak bisa mengatakan pada dunia bahwa dia diambang kewarasan.
Sebagai seorang pemimpin perusahaan, tak mungkin bagi Yoongi melalaikan tugasnya. Ribuan karyawan bergantung hidup padanya, meminta hampir semua fokusnya untuk tetap bisa menjalankan perusahaan dengan baik.
Namun yang Yoongi mungkin lupa, dia juga adalah ayah dari seorang putri. Putri yang membutuhkan perhatiannya dan membutuhkan kasih sayangnya. Yoongi lalai menjaga Bora, sudah berniat melimpahkan hak asuh anaknya itu pada Yuna, tetapi Bora selalu saja menolak untuk dikirim ke rumah ibu kandungnya itu.
Menunggu hampir lima menit, dengan susah payah si gadis kecil masuk ke dalam kamar dengan sebuah nampan di tangan. Tak banyak yang dia bawa, hanya satu mangkok nasi, sup babi teratai jahe, kimchi dan manisan lobak pada piring kecil.
"Kenapa hanya membawa satu mangkok nasi?" tanya Yoongi bingung, tetapi sigap membantu Bora meletakkannya pada meja sebelum duduk berdua di atas sofa legendaris, tempat di mana Ara biasa tidur dulu.
"Umm ... sebenarnya aku sudah makan sejak tadi. Aku hanya ingin Appa makan," ujar Bora lalu tersenyum.
Yoongi hanya bisa kembali menghela napas panjang karena telah dibohongi anaknya sendiri, kesal tetapi tentu saja dia masih bisa mengendalikan diri untuk tak sembarangan memarahi sang putri.
"Appa sungguh tak mau makan Sayang. Bisakah kau mengerti ucapan Appa?" tanya Yoongi dengan nada tegas, dan Bora mengangguk saja.
"Appa, apa kau tau kenapa aku terus menolak tinggal bersama Yuna eomma?" tanya gadis kecil itu, Yoongi menggeleng, penasaran dengan kekeraskepalaan sang anak.
Yoongi mengusap lembut rambut Bora, tak lupa pipi halus yang baru dia sadari ternyata sudah berubah tirus. Yoongi jelas merasa bersalah karena tak memperhatikan anaknya dengan baik. "Bora-ya, harusnya kau menurut untuk tinggal dengan eomma-mu. Appa sedang tidak baik-baik saja, Sayang. Appa tidak bisa mengurusmu dengan baik saat ini."
"Jika aku tinggal bersama Yuna eomma, lalu siapa yang akan merawat Appa?" tanya Bora polos. "Appa ... aku sudah berjanji pada Ara eomma untuk memastikan Appa makan dengan baik. Ara eomma ingin agar aku dan Appa hidup dengan baik selama dia pergi. Jadi selama Ara eomma tidak ada, Appa tidak boleh nakal ya, nanti Ara eomma tidak mau pulang, oke?"
Yoongi hanya diam mendengar penuturan putri cantiknya itu, dadanya terlalu sesak untuk menimpali.
"Eomma Ara sedang menggapai cita-citanya kan? Jadi kita harus mendukungnya dengan cara tidak boleh nakal."
Entah dorongan dari mana, air mata Yoongi menetes begitu saja. Turun dengan perih membasahi kedua pipi yang segera dihapus tangan kecil Bora. Gadis kecil itu bahkan menegakkan badan, memeluk tubuh besar sang ayah dengan tangan kecil yang dia punya.
"Appa jangan menangis, sudahku katakan kalau Ara eomma tak suka anak yang nakal. Lihat aku, aku sudah pintar, tidak menangis lagi, mengerjakan tugas sekolahku dengan baik dan makan tanpa memilih. Aku juga tidak merepotkan Go imo dan Yuna eomma karena mau jadi anak yang baik. Appa, jangan menangis ya, sekarang makanlah. Jika Appa nakal, nanti kalau Ara eomma tidak mau pulang bagaimana?"
Bora memang tidak menangis, tetapi suara gadis kecil itu sudah bergetar hebat, mimik wajahnya jelek karena menahan tangisnya.
Dalam hati kecilnya, Bora sungguh merindukan Ara, tetapi bertahan untuk janjinya menjadi anak baik agar ibunya itu mau pulang, dan melihat sang ayah menangis, Bora sungguh ingin ikut menangis juga.
Yoongi balas memeluk tubuh kecil putrinya sangat erat. Tangisannya kini kian menjadi. Yoongi tergugu, tak malu bahkan ketika tubuhnya terguncang hebat. Ia meminta maaf pada Bora karena sudah membuatnya kian menderita akibat kehilangan Ara yang begitu dia sayang.
"Bora-ya, tolong maafkan Appa."
Bora cepat-cepat menghapus air mata yang mengalir di pipinya, takut jika Ara tau dia sudah menangis. Bora tak mau sampai Ara pergi terlalu lama karena dia belum bisa menjadi anak baik. Gadis kecil itu terus memeluk tubuh ayahnya yang masih menangis, mendesau kesal karena air matanya tak juga mau berhenti mengalir.
Eomma, aku tidak menangis. Mataku hanya perih, ini bukan air mata kok.
"Appa berhentilah menangis, kumohon," pinta Bora pilu, tersedak ludahnya sendiri karena pertahanannya runtuh.
Malam itu, kedua ayah dan anak itu menangis pilu, menginginkan hal yang sama yaitu kehadiran Ara di antara keduanya. Namun, baik Bora dan Yoongi amat mengerti, jika kepergian Ara tak akan cepat. Keduanya bisa merasakan, Ara akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk kembali, itu pun jika Ara masih memiliki belas kasihan pada mereka berdua.
Ia baru menyadari, jika Ara tak menjanjikan berapa lama akan pulang, dan hal itu membuat Bora sering terisak sendirian ketika akan tidur di malam hari, merindukan Ara yang biasanya akan membacakan cerita, memeluknya sampai dia tertidur.
Bora tak mengerti, otak kecilnya tidak dapat mencerna dengan benar tentang apa yang telah terjadi hingga membuat Ara harus pergi meninggalkan dirinya dan sang ayah. Apakah benar tentang Ara yang ingin menggapai cita-citanya? Tetapi apa cita-cita ibunya itu? Kenapa sang ayah sampai bersedih seperti ini? Apakah karena sang ayah nakal atau bahkan karena dirinya yang nakal?
Bora tak bisa untuk tak menyalahkan dirinya sendiri, berpikir bahwa dia telah nakal dan Ara pasti merasa tak senang dengan kenakalan yang Bora sendiri tak tau apa itu. Selama ini dia sudah berusaha menjadi anak yang baik, menurut apa pun yang Ara katakan, memakan apa pun yang Ara berikan. Bora tak pernah mengeluh, karena sungguh dia teramat senang memiliki ibu seperti Ara. Lalu setelah semua itu, kenapa Ara masih harus pergi? Apa Ara sudah tak menyayangi dirinya karena Yuna eomma telah kembali, atau karena dia memang sangat nakal?
Yoongi butuh waktu yang cukup lama untuk menangis, sampai dirinya sudah merasa cukup tenang dalam pelukan kecil yang diberikan sang putri. Yoongi kini melepaskan pelukannya, membiarkan Bora membantunya menghapus sisa air mata yang membasahi wajah.
"Appa, sudah ya, jangan menangis," ujar Bora terisak lirih.
Yoongi mengangguk, mengesat air matanya sendiri. Dengan lembut Yoongi tersenyum, mengusap wajah basah Bora.
"Appa, kita harus merahasiakan ini, ya. Appa jangan bilang pada Ara eomma kalau malam ini kita menangis. Aku janji pada Ara eomma untuk jadi anak baik, tetapi karena Appa menangis, aku jadi ikut menangis. Ini salah Appa!" Bora merajuk, merengut kesal karena ketahuan Yoongi menangis.
"Ya, ini salah Appa. Appa janji tak akan bilang eomma jika kita nakal malam ini."
Bora memberikan jari kelingkingnya, meminta Yoongi untuk berjanji, dan Yoongi tentu langsung menautkan jari kelingking miliknya. "Janji ya!"
"Ya, Appa berjanji."
Bora kembali duduk dengan benar di sofa, mengambil sumpit untuk mengambilkan daging untuk Yoongi. "Appa, makanlah."
Kali ini Yoongi merasa suasana hatinya sedikit lebih baik setelah bisa mengeluarkan sesak di hatinya dengan menangis. Tangannya mengambil alih sumpit di tangan Bora.
"Appa akan makan sendiri."
Bora hanya membiarkan, kini duduk memangku tangan, menemani ayahnya makan. Lalu ketika pemikiran itu kembali terbesit, Bora tak bisa menahan lidahnya untuk bertanya.
"Appa, eomma janji akan pulang, tapi aku lupa bertanya, berapa lama eomma akan pergi. Apa Appa tau kapan eomma akan pulang?"
Mendengar pertanyaan lugu sang anak, Yoongi sampai menghentikan kunyahannya. Yoongi merasa hatinya kembali teremas, bingung bagaimana menjawab pertanyaan Bora. Jangankan mengerti kapan Ara akan kembali, Yoongi bahkan tak punya kesempatan seperti Bora untuk bisa bertemu Ara pada kesempatan terakhir sebelum gadisnya itu pergi. Yoongi menghela napas, merasa dadanya sesak jika sudah berurusan dengan satu nama itu- Lim Ara.
Queen, bagaimana aku harus menjawab pertanyaan Bora? Kau menjanjikan untuk pulang padanya, tetapi bahkan tak memberikan kesempatan terakhir padaku. Bahkan jika kau hanya datang untuk memaki atau memukulku, harusnya kau melakukannya. Queen ... ini semua kesalahanku, tetapi tahukah kau jika Bora yang harus menanggung lebih banyak imbasnya?
Queen, tidak bisakah kau memberikan ampunan untukku? Apa kebencianmu padaku begitu besar hingga memberikanku hukuman seburuk ini. Queen, aku ... merindukanmu. Pulanglah, kumohon.
=====
Apakah penderitaan Ahjussi udah cukup?
Sesungguhnya, yang terkena imbas terhebat dari sebuah perceraian itu adalah ANAK
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro