Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

91

MasyaAllah udah goal lageeh ... aku mengetik bagai quda buat kalian nih (emang quda bisa ngetik?)

KEEP VOTE, KEEP GACOR

110 VOTE ONLY
.
.
.
)❥❥❥ 𝓗𝓪𝓹𝓹𝔂 𝓡𝓮𝓪𝓭𝓲𝓷𝓰 ❥❥❥(



Yuta berdiri di depan ruangan Yoongi, terlihat amat miris juga kasihan melihat sosok yang berstatus sebagai pemimpin perusahaan itu. Jika bukan karena kemarin dia kebetulan bertemu Bora yang tengah bersedih di depan minimarket sendirian, tentu Yuta tak akan tau apa yang terjadi pada Min Yoongi. Dia akan berpikir bahwa Yoongi tengah menggapai bahagia bersama keluarga kecilnya.

Yuta akhirnya masuk ke dalam ruangan, padahal sejak tadi Yoongi sudah mempersilakannya. Bukan karena Yuta tak mendengar, tetapi lebih kepada menyiapkan mental, sekiranya apa yang harus ia lakukan demi menjawab kebingungan Bora, kenapa ayahnya sekarang sangat jarang pulang, juga Ara eomma yang tak pernah lagi menemani dirinya, hingga dia harus dititipkan pada Yuna eomma-nya dan yang paling membuat miris adalah, Bora terus menyalahkan diri sendiri, mencoba mengingat kenakalan apa lagi yang dia perbuat hingga membuat orang tuanya menghiraukan dirinya, Yuta tak bisa diam saja untuk itu.

"Ada apa? Mengajak minum lagi? Aku tidak bisa, pekerjaan sangat banyak," ujar Yoongi saat Yuta baru saja duduk.

"Hyung, pekerjaanmu ini, sejak kapan menjadi lebih penting dari Bora? Kenapa kau tidak pulang dan bermain dengannya?"

Yoongi menghentikan gerakan jemarinya pada laptop sesaat, lalu kembali tak acuh dengan berusaha fokus pada layar elektroniknya. "Kau bicara apa, hm?"

"Hyung, kemarin aku bertemu Bora di depan minimarket. Tempat itu sangat jauh dari apartemenmu, dan aku secara tak sengaja melihatnya duduk sendirian di sana. Bora bilang dia lari dari apartemen karena mencari eomma-nya. Hyung, apa kau tau kemarin dia kabur lagi? Apa yang terjadi dengan Nona Peach Berenda?"

Kali ini Yoongi menghentikan gerakan jarinya, secara acak mencari ponselnya yang tadi ia letakkan di meja, tetapi sekarang benda pipih itu lenyap tertutup tumpukan kertas. Yoongi gusar karena tak juga menemukan, dengan kesal dia membanting telepon yang biasa terhubung dengan Pak Kwon.

"Sialan! Dimana ponselku!"

Yuta menyaksikan kegusaran Yoongi yang berlebihan, dengan pelan ia membalik beberapa kertas dan berhasil menemukan ponsel mahal itu, lalu memberikannya pada Yoongi.

"Hyung," panggil Yuta, tetapi Yoongi justru membentaknya dengan nada tinggi.

"Diamlah! Aku harus menelepon Go imo dan Yuna agar menjaga Bora dengan benar! Bagaimana mereka bisa sangat teledor begitu!"

Yuta menyandarkan punggungnya, menatap penuh makna pada Yoongi yang kini marah-marah di telepon. Dua kali panggilan, dan Yoongi masih terus saja marah. Yuta tak pandai menilai situasi, tetapi dia paham bahwa Yoongi tengah menahan gejolak emosinya yang tak bisa tersampaikan.

Yoongi akhirnya selesai menelepon, berakhir dia menghempaskan punggungnya dengan kasar, menghela napas besar berulang kali.

"Pergilah jika tidak ada yang penting. Kepalaku sedang sakit sekali. Terima kasih untuk informasimu, aku sudah meminta Go imo dan Yuna menjaga Bora dengan baik. Anak itu benar-benar merepotkan semua orang. Kabur ke sana kemari sendirian, entah siapa yang mengajarinya!"

"Kau," ujar Yuta tanpa takut, membuat Yoongi sampai terdiam selama beberapa detik.

"Omong kosong! Kau seolah memahami Bora, padahal kau sangat jarang bertemu dengannya."

"Aku memang tak begitu memahami anakmu, Hyung, tapi aku sangat memahami dirimu. Saat ini, bukankah kau tengah lari dari masalahmu? Apa tebakanku benar?"

Yoongi menatap tajam pada Yuta, benci ketika pemuda itu mampu menebak pikirannya. Yoongi tak ingin ada orang yang memandang kasihan pada dirinya, apalagi menghakimi perpisahannya dengan Ara.

"Pergilah!"

"Aku datang bukan hanya untuk itu, Hyung."

Yoongi meskipun tak acuh, tetapi tetap menjawab pertanyaan Yuta. Yoongi tak bisa menghiraukan pemuda itu, karena Yoongi sudah menganggap Yuta selayaknya adik sendiri.

"Katakan, lalu pergi. Aku tidak punya waktu untuk bermain denganmu."

"Jika tak punya waktu bermain denganku, bisakah kau meluangkan sedikit waktumu untuk pulang dan bermain dengan Bora?" balas Yuta tanpa gentar, tak peduli pada tatapan tajam Yoongi yang seolah bisa melubangi kepalanya.

"Kuperingatkan untuk menjaga batasanmu, Kim Yuta!" tekan Yoongi dengan nada rendah, penuh ancaman dan rasa tak suka teritorialnya disentuh seperti ini.

Yuta terkekeh remeh, menertawakan kebodohan Yoongi yang secara terang membuka masalahnya secara perlahan. Ia memajukan posisi duduknya, menyilangkan kedua lengannya di atas meja.

"Kau tentu tahu betapa bencinya aku mengurusi urusan orang lain," jawab Yuta tak acuh, "aku tidak tahu apa masalahmu dan Lim Ara, Hyung, tetapi yang jelas, ini bukan salah Bora bukan?"

Yoongi tertegun di situ, otaknya terasa kosong untuk sekadar menimpali pertanyaan Yuta yang teramat mudah untuk ia jawab, dan melihat Yoongi hanya diam, Yuta melanjutkan bicaranya.

"Lalu kenapa kau begitu tak acuh dengan kesedihan anakmu itu? Apa menyayangi ibu sambungnya dengan sangat besar menjadi kesalahan fatal yang membuatnya harus bersedih? Bora bahkan begitu putus asa ketika menanyakan hal itu padaku, kira-kira kenakalan apa yang dia perbuat sampai eomma-nya itu pergi. Apa kau tak bisa melihat bahwa Bora yang sangat terluka karena berada di antara masalahmu dan Nona Peach berenda?"

Kesadaran Yoongi perlahan kembali, kali ini emosinya yang sejak tadi menggebu tiba-tiba saja seperti menguap bersama embusan angin dari penyejuk ruangan. Yoongi terlihat begitu lemah ketika amarahnya lenyap seperti itu.

"Aku melakukan kesalahan fatal dan Ara memutuskan pergi dariku. Ara tak mau memaafkanku dan memilih untuk bahagia dengan pria yang dia cintai."

Yuta mengangguk, entah paham entah merasa tak peduli, yang jelas dia datang kemari harus membawa sedikit harapan bagi Bora. Yuta suka menjahili Bora, tetapi sangat tidak senang ketika gadis kecil itu terlihat sedih apalagi sampai menangis.

"Hyung, aku tidak akan bertanya apa kesalahanmu dan masalah seperti apa yang membuat istrimu sampai pergi, tapi Hyung, kenapa kau menyerah begitu mudah? Kau mengajariku untuk berjuang demi Jessica noona, dan kau malah melepaskan Ara dengan mudah?"

"Masalah ini tak sama Yuta-ya. Kesalahanku sangat fatal dan aku tak bisa bersaing dengan orang yang dia cintai."

Yuta mengedikkan bahunya tak acuh. "Menjadi tak berguna, itu juga kesalahan fatal bagi Jessica noona yang menginginkan pria mapan sepertimu bukan? Kau juga tahu bagaimana Jessica noona berulang kali menolakku, tapi aku mencintainya, dan karena aku mencintainya, aku tak mau menyerah pada keegoisan Jessica noona. Harusnya kau juga begitu bukan?"

Ditanya seperti itu, Yoongi kembali kehilangan kata-kata, dia hanya diam, memutar bolpoinnya dengan gerakan acak. Tangannya kembali membuka ponsel, melihat pesan yang sama yang telah dia lihat ratusan kali. Di sana, Ara mengatakan siap untuk memberikan adik pada Bora, tepat di malam ketika dia tidur dengan Yuna dalam keadaan mabuk. Hati Yoongi kembali terasa berdenyut, karena ketika Ara sudah siap memberikan seluruh hidupnya, Yoongi justru merusak segalanya.

"Hyung, tidakkah kau berpikir, mungkin saja sekarang Ara sedang menunggumu untuk meminta maaf padanya dengan benar, lalu menjelaskan semua secara perlahan-lahan agar dia bisa menerima kesalahanmu dan memaafkan segalanya. Hyung, Ara pergi mungkin bukan untuk menjauh darimu. Dia mungkin hanya butuh waktu untuk sendiri."

Yoongi menghempaskan kembali punggungnya pada sandaran kursi kebesaran miliknya, dengan lelah dia kembali menghela napas besar, menatap mata Yuta lekat. "Ara mengajukan cerai, apa mungkin dia hanya merajuk seperti yang kau bilang? Bagaimana jika dia memang membenciku dan tak mau kembali?"

Yuta tertawa, menunjuk wajah Yoongi dengan kurang ajar. "Lihat pengecut ini. Apa dia Min Yoongi yang sama dengan yang selalu mengangkat dagunya tinggi, apa dia Min Yoongi yang sama yang membuat Jessica noona tergila-gila?"

"Bicara tentang Jessica, aku sudah tahu apa yang telah dia lakukan pada Ara."

"Aku tak akan bertanya kau tahu dari mana dan apa saja yang kau ketahui, tetapi yang jelas, Jessica noona benar-benar menyesal karena bertingkah murahan dengan membahayakan nyawa orang lain. Dia tidak meminta maaf, tetapi kau harus yakin jika Jessica noona tak akan pernah melakukan hal bodoh itu lagi."

"Kau harus menjamin dengan lehermu!" ancam Yoongi pada Yuta yang hanya tersenyum miring.

"Untuk cintaku pada Jessica noona, kuserahkan leherku padamu," ujar Yuta main-main, tapi terselip keteguhan hati di sana. "Jadi Hyung, kau masih akan di sini mengurusi pekerjaan, atau menemui Ara dan memintanya memaafkan dirimu? Jika kau terlalu egois untuk merendahkan harga dirimu sebagai laki-laki, bisakah kau melakukannya dengan menjual harga dirimu sebagai seorang ayah? Demi Bora, bisakah kau melakukannya?"

Yoongi terpaku sejenak, mengangguk dua kali sebelum menatap Yuta dengan senyuman lebar. Dia seolah telah dikirimkan seorang malaikat berbentuk iblis seperti Yuta. Jika Ara tak mau menemuinya, bukankah Yoongi bisa membawa nama Bora sebagai alasan?

"Yuta-ya, terima kasih!"

Yoongi langsung mengambil jas miliknya, memakainya dengan terburu-buru, tetapi masih sempat memukul kepala Yuta karena merasa berterima kasih. "Aku akan mentraktirmu wine paling mahal setelah aku kembali dari tempat Ara!"

"Kau berjanji!" teriak Yuta karena Yoongi sudah meluncur lari keluar dari ruangan kerjanya, meninggalkan Yuta yang bingung sendiri akhirnya. "Ah, sepertinya aku jago menjadi pakar cinta, apa aku buka praktek konsultasi pernikahan saja ya? Ah tidak tidak, uangnya kecil, Jessica noona tak akan suka dengan uang recehan."

Sementara Yoongi melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, tak sampai satu jam mobil super mahalnya sudah terparkir rapi di depan apartemen Jimin. Yoongi tak sabar untuk berjalan, dia berlari dengan tergesa-gesa, menaiki tangga karena tak sabar menunggu pintu lift yang masih naik ke lantai atas. Lalu ketika ia akhirnya sampai di depan unit apartemen Jimin, tangannya begitu lihai memencet bel berkali-kali, mungkin lupa jika tindakannya akan membuat orang yang ada di dalam merasa risi dan terganggu.

Cukup lama pintu baru terbuka, menampilkan sosok Minkyung yang terseok-seok dengan kruk penyangga tubuh yang dia pakai.

"Oh, menantu, kau datang?" sapa Minkyung dengan senyuman lebar. "Masuklah."

Yoongi menurut untuk masuk, tetapi dia tak mau untuk duduk. Dengan tergesa-gesa Yoongi bertanya dimana Ara pada Minkyung karena ia ingin menemuinya.

"Ara? Bukankah dia pergi ke luar negeri karena kau memintanya untuk melanjutkan kuliah di sana?"

Yoongi tersentak kaget, terdiam beberapa saat sebelum bisa merespons ucapan Minkyung. "Luar negeri? Di mana?"

"Kenapa bertanya pada Eomma, bukankah kau yang mengirimnya ke sana? Ada apa Nak Yoongi, apa Ara berbohong?"

"Aku tidak ...," respons Yoongi kebingungan.

"Anak itu, bagaimana bisa dia membohongi Eomma-nya ini. Kenapa dia pergi tanpa sepengetahuanmu dan meninggalkan tugasnya sebagai istri dan ibu? Oh astaga, apa yang terjadi dengan kalian?"

Dari dalam kamar ujung, Jimin keluar menghampiri keributan yang terdengar. Dia baru tidur beberapa jam karena harus menyelesaikan pekerjaan yang dia bawa pulang kemarin malam, dan melihat kehadiran Yoongi, membuat amarah Jimin memuncak sampai wajahnya memerah.

"Keluar dari sini!" tekan Jimin, menarik kerah kemeja mahal Yoongi agar keluar dari apartemennya.

"Jim, apa yang kau lakukan!" teriak Minkyung histeris, takut jika anaknya melukai Yoongi yang notabene adalah suami adiknya.

"Aku akan menjelaskannya nanti padamu. Eomma bisa kembali ke kamar untuk bersiap, appa akan datang sebentar lagi."

"Ta-tapi--"

"Eomma, tolong."

Maka Minkyung bergerak pelan untuk masuk ke dalam kamar, menyiapkan barang-barangnya untuk dibawa ke Busan, karena dia telah memaafkan Sangjun dan bersedia untuk kembali dan menghabiskan hari tua mereka di perkebunan strawberry milik pria itu di Busan. Minkyung awalnya menolak meninggalkan Jimin, tetapi Jimin berjanji akan sering berkunjung ke sana, hanya agar Minkyung mau kembali pada ayahnya. Minkyung tak pernah bisa menolak permintaan Jimin.

Sementara kini, Jimin sungguh ingin menghajar Yoongi, tetapi akalnya masih berfungi, ingat jika Ara melarangnya menyakiti Yoongi. Agak menyebalkan, tetapi Jimin selalu menepati janjinya, apalagi itu tentang Ara.

"Enyah dari sini!"

"Di mana Ara?!" tanya Yoongi tak peduli pada kemarahan Jimin. Dia hanya ingin menemui Ara, rasanya sangat sesak ketika mengetahui Ara pergi jauh tanpa sepengetahuannya.

"Kau pikir aku akan memberi tahumu?"

"Katakan! Bagaimanapun dia istriku!"

"Kau yang mematahkan hatinya, Tuan Min Yoongi. Harusnya kau sangat memahami dengan baik jika adikku itu tak sama seperti gadis yang biasa kau singgahi. Sejak kecil dia menanggung banyak luka, tapi bukan berarti dia kenal akan semua sakitnya. Hatinya begitu rapuh, mudah hancur apalagi dengan pengkhianatan yang kau lakukan di depan matanya sendiri."

"Aku tak sengaja melakukannya, aku mabuk saat itu!" teriak Yoongi dengan frustasi. "Katakan dimana Ara!"

"Dia mencari bahagianya, menghabiskan masa mudanya dengan melihat dunia baru yang lebih baik. Bukankah kau telah gagal membawa bahagia yang dia harapkan, lalu kenapa kau harus mempertanyakan keberadaannya? Min Yoongi yang terhormat, tidakkah kau sangat jahat sekali?" tanya Jimin dengan nada sarkas.

"Aku menyesal," ujar Yoongi putus asa. "Kumohon katakan kemana Ara pergi. Aku ingin meminta maaf padanya, Bora sangat merindukannya."

"Aku tak peduli atas penyesalanmu dan kerinduan anakmu. Bukankah Yuna sudah kembali dan kalian memiliki kesempatan untuk membangun rumah tangga kecil kalian yang manis. Pergilah, jangan sia-siakan kepergian adikku dengan tampang menyedihkan seolah kau adalah korban di sini. Aku muak melihat wajahmu."

Yoongi menatap wajah Jimin, mengisyaratkan penyesalan luar biasa karena jelas jika Jimin juga terluka di sini. Kecerobohannya, bukan hanya menyakiti Ara tetapi juga Jimin yang sudah merencakan pernikahan dengan Yuna. Kedua kalinya jatuh ke lantai, tepat di depan Jimin yang langsung mundur dua langkah.

"Maafkan aku. Ini semua kesalahanku. Jika memang kau tak mau mengatakan di mana Ara, jika memang Ara pergi untuk mencari kebahagiaan yang tak bisa aku berikan, maka aku tak akan memaksa lebih jauh. Tapi kumohon, ampuni Yuna kali ini. Ampuni karena kami bertindak bodoh malam itu. Kisah kami benar-benar sudah berakhir, Yuna sangat mencintaimu Jim, seperti halnya aku mencintai Ara."

Jimin termangu di tempat, cukup merasa oksigen di sekitarnya tiba-tiba menghilang atas ucapan Yoongi barusan. Benarkah apa yang Yoongi katakan, atau itu hanya kalimat yang sudah mereka rencakan untuk mempermainkan perasaannya. Yuna ... benarkah dia masih wanita yang sama, ataukah sudah berubah karena pertemuannya dengan Yoongi dan Bora? Jimin tak bisa berpikir dengan benar saat ini.

========

Di taman kota dekat sekolah Bora, Ara tengah duduk berdua dengan gadis kecil itu, ditemani dua cup es krim besar rasa cokelat dan strawberry. Siang ini cuaca cukup terik, membawa rasa lapar dan haus secara bersamaan, juga satu rasa lain bernama rindu bagi Bora yang sejak tadi tak juga melepaskan tangan ibunya.

Bora sangat merindukan Ara, hampir dua minggu mereka tidak bertemu, entah karena alasan apa, yang pasti Bora sampai menangis ketika dijemput Ara tadi. Hampir merengek, tapi ingat jika dia nakal maka Ara tak akan suka.

"Eomma, ini enak!" seru Bora antusias, mungkin es krimnya bertambah nikmat karena sudah bertemu dengan Ara.

"Benarkah? Kau mau lagi?"

Bora menggeleng, tahu aturan bahwa dia belum makan siang dan Ara tak pernah suka jika dia tak menghabiskan makan siangnya karena terlalu banyak makan camilan dan es krim.

"Ini sudah sangat besar, nanti aku tidak bisa menghabiskan makan siangku, Eomma."

Ara tersenyum, gemas sendiri. "Anak pintar, bagaimana sekolahmu? Apa Jessica nakal lagi?"

"Tidak! Bahkan sekarang aku bisa mengejeknya karena cuma punya satu Eomma, sedangkan aku punya dua," ujar Bora lalu memamerkan giginya ketika tertawa, "Eomma, dua minggu ini appa tidak asyik. Dia selalu sibuk, Eomma harus memarahinya ya?"

Ara hanya mengangguk, tak berniat menanggapi lebih lanjut. Ara lebih senang untuk melihat Bora menghabiskan es krimnya, terlihat lucu dan menggemaskan terlebih saat pipi gadis kecil itu bergerak-gerak saat mengunyah.

"Apa selama ini kau makan dengan baik?" tanya Ara, menghapus lelehan es krim di sudut bibir Bora yang kini mengangguk antusias.

"Tentu saja. Yuna eomma sangat pandai memasak, aku selalu jadi anak baik dan menghabiskan makanan dengan syukur seperti yang Eomma ajarkan."

Dari situ hati kecil Ara seolah tercubit. Dia bahkan harus mengalihkan pandangan ketika rasa panas menjalar di matanya, Ara ingin menangis jika mengingat ini kesempatan terakhirnya untuk bersama rubah kecil yang selalu menyayangi dan menurut padanya. Bahkan ketika Yuna kembali, Bora tetap menempel padanya, tak pernah sekalipun terlihat tak membutuhkan atau bahkan melupakan apa yang Ara ajarkan. Ara benar-benar merasa senang sekaligus sedih saat ini.

"Bora-ya, Eomma ingin mengatakan sesuatu," ujar Ara setelah bisa menenangkan diri.

"Apa itu?"

Ara terlihat menarik napas panjang sebelum mengatakannya, mencoba menguatkan hati. "Sebentar lagi Eomma akan pergi jauh untuk melanjutkan belajar."

Senyum lebar di wajah Bora menghilang, termasuk minatnya pada es krim yang sangat dia senangi. Mata kecil nan jernih itu perlahan berkaca-kaca, lalu tanpa aba-aba mengalirkan tetes bening yang membasahi wajahnya.

"Eomma ... apa aku nakal lagi?" tanya Bora penuh kesedihan. Baru saja dia bertemu setelah dua minggu, tetapi Ara justru mengabarkan akan pergi jauh, Bora merasa sangat tak terima dengan kabar itu, tetapi juga tak mau terlalu keras karena takut jika Ara akan membencinya jika dia bersikap nakal.

"Tidak, bukan begitu," ujar Ara panik, semakin merasa bersalah ketika Bora tiba-tiba saja memeluknya dengan erat setelah membiarkan cup es krimnya meluncur jatuh ke tanah. Ara memejamkan mata, menghela napas panjang, membalas pelukan Bora dengan sangat erat. "Sayang, kau tidak nakal, sungguh."

"Lalu kenapa Eomma ingin meninggalkanku?" tanya Bora disela tangisannya yang semakin keras. Si rubah kecil bahkan sampai tersedak oleh tangisannya sendiri, tetapi tetap tidak bisa berhenti menangis. "Eomma, jangan tinggalkan aku, kumohon."

Ara tak memiliki ide apa pun untuk membuat Bora berhenti menangis, berakhir dia hanya terus memeluk Bora, menciumi anak sambungnya itu dengan penuh afeksi. Cukup lama, hampir lima belas menit ketika Bora akhirnya mau melepaskan pelukannya secara tidak rela. Gadis kecil itu bahkan terus memegangi tangan Ara, takut jika dia lepaskan maka Ara akan segera pergi.

"Bora sayang, tolong dengarkan Eomma dulu ya?"

Bora menggeleng, tak mau menatap Ara sama sekali. "Aku janji tidak akan nakal. Jangan pergi, Eomma."

"Sayang, lihat Eomma."

Perlahan Bora menaikkan pandangan, ingin menangis lagi saat tatapan Ara begitu intens padanya.

"Kau menyayangi Eomma bukan?" tanya Ara, dan Bora langsung mengangguk berulang kali, "kalau begitu dengarkan Eomma sebentar saja, oke?"

Kali ini Bora menurut untuk menahan tangisannya, berusaha mendengarkan apa yang akan dikatakan Ara meskipun gadis kecil itu merasa takut kehilangan.

"Kalau memang rubah kecil ini sangat menyayangi Eomma, harusnya tidak menangis seperti ini. Eomma akan pergi bukan karena tidak menyayangimu lagi atau bahkan karena kau nakal. Bora-ya, kau anak yang sangat pintar dan baik. Betapa beruntungnya Eomma karena mempunyai anak secantik dirimu."

Bora menghapus wajahnya yang basah, mengesat air mata yang masih terus menetes. "Lalu kenapa Eomma akan pergi? Tidak bisakah Eomma mengajakku saja?"

"Eomma sangat ingin mengajakmu, tapi bagaimana nanti dengan appa dan Yuna eomma. Mereka pasti sedih jika harus jauh dari anak kesayangan mereka ini kan?"

"Lalu apa Eomma tidak sedih jika jauh dariku?"

Pertanyaan Bora tadi membuat Ara tersenyum lembut, amat senang dengan kepintaran Bora saat menanggapi sesuatu. "Sangat sedih, tapi Eomma pergi karena harus menata masa depan."

"Tidak bisa dilakukan di dekat Bora saja?" tanya Bora semakin terdengar sedih.

"Tidak bisa, Sayang. Tempat yang akan Eomma tuju, memiliki banyak hal yang Eomma butuhkan untuk masa depan nanti."

"Apa akan lama?" tanya Bora mulai luluh.

"Eomma tidak tau, tapi Eomma pasti akan merindukan rubah kecil Eomma ini." Ara kembali memeluk Bora sebentar, sekadar memberikan afeksi bahwa Ara sangat menyayangi anaknya itu.

"Tetapi ... Eomma akan pulang kan?"

Dengan sangat berat hati Ara mengangguk, mengiyakan saja agar Bora tak terlalu rewel untuk melepaskannya pergi.

"Eomma ... akan pulang kan?" tanya Bora sekali lagi, dan Ara harus menarik napas panjang, menahan detak jantungnya yang sangat tak nyaman.

"Ya, Eomma akan pulang untuk Bora."

"Janji?" Bora mengulurkan jari kelingkingnya, meminta Ara menautkan jarinya juga, dan Ara melakukannya dengan hati yang perih.

Bora menghapus kasar air matanya, tersenyum kecil untuk Ara. Sedangkan bagi Ara sendiri, biarlah ketidakjelasan tentang masa depannya menjadi mimpi manis bagi si rubah kecil. Semoga dengan berjalannya waktu, anak sambungnya itu akan melupakan semua yang Ara ucapkan siang ini.

"Eomma akan pergi kemana? Apa nanti aku masih bisa berlari untuk menemuimu? Kemarin aku mencari Eomma, menunggu lama di depan minimarket dulu itu, tetapi Eomma tidak datang, dan aku bertemu dengan Yuta samchon dan dia membawaku pulang."

Ara tak langsung menjawab, lebih dulu menundukkan pandangan dan menggigit bibir bawahnya. "Jangan ke sana lagi, apalagi kabur dari rumah. Appa pasti khawatir, Sayang."

"Memangnya, Eomma tidak akan ada di sana lagi?" tanya Bora dan Ara mengiyakan.

"Jadi jangan berlari kabur untuk menemui Eomma di sana. Kau harus berjanji untuk belajar dengan baik, menurut apa kata Appa dan Yuna eomma. Apa bisa?"

Bora mengangguk dengan semangat. Otak kecilnya hanya bisa menangkap, jika dia melakukan apa yang Ara minta, maka Ara akan cepat pulang nanti. "Aku janji!"

"Terima kasih untuk menuruti permintaan Eomma. Bora sayang mulai sekarang, kau harus menurut pada Yuna eomma dan appa ya. Eomma tidak bisa lagi menemanimu bermain dan mengerjakan tugas. Jika appa sedang sibuk, hubungi saja Yuna eomma. Kau dulu pernah bilang, Yuna eomma sangat pandai bercerita kan?"

"Ya, aku mengerti."

Ara kembali memeluk Bora dengan erat. Kali ini tak lagi menahan air matanya yang menetes di pipi. Lebih dari apa pun, Bora adalah bagian penting dari hidupnya, pun pernikahannya dengan Yoongi terjadi juga karena rubah kecil yang tak henti menunjukkan apa itu cinta tulus pada dirinya.

Setelah menghapus air mata, Ara melepaskan pelukan, berusaha tersenyum lembut kala menatap mata Bora yang berbinar cerah.

"Sekarang pulang dengan Jimin samchon ya. Yuna eomma pasti sudah panik mencarimu. Katakan pada Yuna eomma, jika bukan kau yang nakal tapi Ara eomma karena mengajakmu makan es krim tanpa meminta izin padanya."

Bora hanya mengangguk, berdiri dan memakai tasnya dibantu Ara. "Yuna eomma tak akan marah. Um ... apa Eomma tak mau mengantarku pulang? Tidak akan bertemu appa? Apa dia nakal pada Eomma?

"Maaf, tapi Eomma tidak bisa."

Jimin yang sejak awal duduk di kursi taman tak jauh dari posisi Ara dan Bora segera mendekat, tau jika Ara sudah selesai menemui anak sambungnya. Pemuda itu berdiri di samping Ara, menerima tangan kecil Bora untuk dia gandeng. Tadi Ara yang memintanya membawa Bora ke taman karena ingin bertemu untuk terakhir kali katanya.

Ara merendahkan tubuh, sejajar dengan tubuh Bora. "Bora sayang, makan yang banyak ya, jangan lupa makan sayur. Berjanjilah untuk terus sehat dan menjaga appa. Appa sering melewatkan makan ketika bekerja, kau bisa kan untuk memintanya makan teratur?"

"Ya, Eomma."

Ara kembali memeluk Bora, rasanya tak pernah cukup waktu terakhir yang dia punya ini. Ara merasa sangat berat, hampir menyerah untuk pergi karena tak mau jauh dari rubah kecil itu. "Ingat ini dengan baik, Eomma sangat menyayangimu. Eomma sangat menyayangimu."

"Aku juga sangat menyayangi Eomma. Eomma cepat pulang ya, aku akan menunggu Eomma tanpa mengeluh atau rewel pada Yuna eomma dan appa."

Ara melepaskan pelukan dengan tidak rela, menciumi seluruh wajah Bora sambil menangis pilu. "Eomma akan sangat merindukanmu, rubah kecil."

Bora terkekeh ketika merasa wajahnya geli karena diciumi Ara seperti kebiasaan ibu sambungnya itu. Lalu dia terpaku saat merasakan benda kecil terselip di rambutnya. Bora ingin melepaskannya agar tahu apa yang diberikan Ara untuknya, tetapi Ara mencegahnya.

"Itu jepit rambut kesayangan Eomma. Jaga baik-baik saja, kau sangat cantik dengan jepit rambut itu."

Maka Bora hanya bisa mengangguk patuh, mengusap halus jepitan rambut kecil di rambutnya, memberikan kasih sayang pada benda yang diberikan Ara, seolah itu adalah benda paling berharga untuknya. "Aku berjanji akan menjaganya dengan baik, Eomma."

Setelahnya Ara segera berdiri, menguatkan hati untuk melepaskan Bora yang akan diantar Jimin untuk pulang.

"Aku akan mengantar Bora sekarang. Kau tunggulah sebentar, aku akan mengantarmu nanti," ujar Jimin dan Ara mengangguk patuh.

"Ya, Oppa. Aku akan menunggumu."

Jimin mendekat, memeluk Ara untuk berbisik agar Bora tak mendengarkan pembicaraan mereka. "Sekarang kembalilah dulu. Jangan ceroboh. Kemarin Yoongi datang ke apartemen untuk mencarimu. Aku tutup mulut, mengatakan kau sudah pergi."

Ara mengangguk, membiarkan Jimin melepaskan pelukan. Ara kembali ingin menggapai Bora ketika anaknya itu sudah dalam gandengan tangan Jimin. Rasanya berat, berat sekali untuk berpisah dengannya.

"Dadah, Eomma!" seru Bora dengan ceria, tetapi Ara justru merasa hatinya remuk seketika. Perpisahan yang tak pernah ia harapkan, harus terjadi hari ini. Takdir yang mempertemukan dirinya dan Bora, terasa begitu jahat mencekik lehernya.

Ara terjatuh ke tanah ketika bayangan Bora sudah menghilang di sudut taman, menangis pilu membiarkan segala rasa sakit karena harus berpisah dengan gadis kecil itu. Ara terus saja menangis, sampai sebuah tangan meremas lembut bahunya.

"Berhenti menangis, ayo pergi."

.

.

.

Berdua lagi ... Otw duda lagi ... Huhuhu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro