88
Part sebelumnya petjah ih komennya buanyak. Yang gak pernah muncul, akhirnya pada muncul. Thanks ya.
Yuk ah jangan pelit votenya
110 vote please NO DRAMA
.
.
.
Entah kesepakatan dari mana, tetapi baik Jimin maupun Ara, keduanya sama-sama menyembunyikan masalah itu dari Minkyung begitu mereka tiba di apartemen.
Tak ada kata-kata penenang untuk masing-masing, justru sang pemuda meninggalkan gadis itu sendirian, sementara ia mengunci diri di dalam kamar. Bukannya Jimin jahat, tetapi sebelum menenangkan adiknya, dia butuh meredakan emosinya juga, dan Ara mencoba mengerti akan hal itu.
Tubuh gadis itu langsung merosot di atas lantai tatkala pintu kamarnya berdebum lirih. Berada di ruangan itu sendirian, nyatanya membawa luka dalam diri Ara semakin terasa sakit. Ia tak bisa menghentikan tangisan, hampir gila karena otaknya bekerja terlalu keras.
Di satu sisi dia amat terkhianati, tetapi di sisi yang lainnya seolah ada bisikan yang mengatakan bahwa dia tidak boleh terluka. Sejak awal, pernikahannya itu hanyalah sebuah kesepakatan di atas kertas. Yoongi mencintai Yuna, kisah mereka belum selesai, dan Ara sendiri datang ke dalam kehidupan Yoongi karena tak ingin Jimin mengetahui perasaan cintanya.
Semua memang sudah berada di tempat yang seharusnya, bukan? Tetapi kenapa rasanya begitu menyakitkan? Apa yang sedang aku ratapi? Air mata mana lagi yang harus aku keluarkan agar hati ini terasa lebih baik? Keluh kesah seperti apa lagi yang harus aku selipkan dalam tetesan tangis agar diri ini merasa lebih baik? Kenapa aku harus merasakan sakit seperti ini? Aku kenapa? Apa karena aku terlalu takut ditinggalkan sendiri?
Gadis itu terus saja memukul dada guna menghalau sesak, terguncang hebat dan terus menyalahkan diri sendiri. Ara bingung, ia bahkan memegang kepalanya yang terasa berdenyut sakit sementara bibir bawahnya ia gigit keras guna menahan tangisnya. Ara masih punya kesadaran bahwa di apartemen ini ada Minkyung dan tak mau wanita itu khawatir.
Lalu, ketika bel apartemen berbunyi, entah firasat dari mana, Ara tau bahwa itu Yoongi yang datang. Tak ingin membuat sang ibu berpikiran berat, Ara segera mengesat wajahnya yang basah, menenangkan diri beberapa detik sebelum keluar dari kamar.
Di depan pintu, sudah ada Jimin yang bersitegang dengan Yoongi, saling sengit berusaha mengontrol suara masing-masing agar tidak sampai terdengar oleh sang ibu, tetapi bahkan ketika Jimin dan Yoongi sudah saling berbisik, toh Minkyung tetap menghampiri karena suara bel tadi.
"Oh, Nak Yoongi?"
Jadi, siapa pemenang Oscar tahun ini? Bisakah Jimin dan Yoongi mendapatkannya?
Dengan senyuman seolah dunia mereka baik-baik saja, Yoongi mendekat, memberikan bungkukkan sopan seperti biasa pada Minkyung dengan menanyakan kabar ibu mertuanya hari ini. Lalu ketika Minkyung bertanya kenapa datang pagi-pagi, Minkyung baru menyadari keberadaan Ara yang sejak tadi diam di depan pintu kamarnya.
"Ra-ya, kapan kau datang? Kemarin Jimin mengatakan jika kau terjebak di tempat amal. Eomma sampai khawatir, kau baik-baik saja?"
Ara mendekat, membiarkan Minkyung memandangnya heran. Dengan wajah sembab dan memerah, Ara menguap lebar, berpura-pura baru saja bangun tidur agar sang ibu tidak curiga atau bertanya macam-macam. Jujur saja, Ara pun akan sangat malas menjelaskannya.
"Aku baik Eomma, aku tiba tadi pagi. Aku pulang bersama petugas kebersihan, tetapi karena petugas itu tidak lewat daerah apartemen Yoongi Oppa, jadi aku minta turun di sini. Dia datang untuk menjemputku."
Jimin langsung terperangah mendengar alasan yang Ara kemukakan. Demi Tuhan dia tidak rela jika adiknya harus kembali dengan Yoongi sekarang. "Kau bisa tinggal jika masih merindukan Eomma, Ra-ya. Yoongi bisa kembali besok atau lusa, kau tentu kelelahan sehabis perjalanan jauh, apalagi sampai ikut petugas kebersihan segala."
Ara mengerti nada tidak senang kakaknya itu, tetapi ia lebih memilih pergi karena jika tetap berada di apartemen Jimin ini, pasti dia akan terus terjebak untuk bertemu Yoongi. Maka ia menatap penuh arti pada sang kakak, seolah mengatakan bahwa dia akan baik-baik saja.
"Benar, tinggal saja dulu di sini, kau pasti lelah." Satu tangan Minkyung membelai lengan Ara lembut sementara satu tangannya menyangga kruk yang menopang tubuh.
Ara menggeleng lemah seraya tersenyum tipis, lalu tanpa permisi memeluk tubuh Minkyung. "Eomma, nanti aku akan kembali. Sekarang aku harus pulang."
Minkyung meski tak begitu dekat dengan Ara, tetapi sebagai seorang ibu ia bisa merasakan ada hal tak mengenakkan yang tengah dialami anak gadisnya itu. Namun, karena Yoongi masih berdiri di sana, Minkyung segan untuk bertanya macam-macam, apalagi jika ternyata tebakannya salah, entah apa yang akan dipikirkan Yoongi nanti.
"Baiklah. Sering-seringlah mampir, Eomma kadang merasa kesepian dan merindukanmu."
Ara melepaskan pelukan dengan tidak rela, bahkan tanpa sadar menghela napas besar walau tertutupi oleh senyuman palsunya. Ara lalu masuk kembali ke dalam kamar, diikuti Jimin yang tanpa basa-basi menentang keputusannya.
"Kau tidak perlu pergi!" ujar Jimin dengan nada rendah, "Oppa akan mengatakan pada eomma jika kau berubah pikiran."
Ara yang tengah memasukkan ponselnya ke dalam tas berbalik badan, menghadap tepat pada kakaknya yang terlihat begitu benci dengan keadaan saat ini.
"Oppa, tolong jaga eomma. Sebisa mungkin selesaikanlah masalah Oppa dan Yuna eonnie di luar. Aku juga akan segera menyelesaikan masalahku dengan Yoongi oppa."
"Kau tidak baik-baik saja Ra-ya?" tanya Jimin khawatir, dan Ara dengan jujur menggeleng.
"Tentu aku tidak, tetapi jika aku diam di sini, aku juga tidak sanggup jika eomma harus ikut memikirkanku. Eomma dan appa sedang dalam upaya kembali bersama, aku tidak mau mereka terganggu dengan masalah kita Oppa, kumohon."
Jimin terlihat menghela napas panjang sebelum menimpali. "Berjanjilah kau akan menghubungiku jika merasa sudah tidak sanggup."
Ara mengangguk dengan cepat, berbohong karena tak mungkin ia mengganggu Jimin, karena jelas kakaknya itu tengah mengalami sakit hati yang sama. Ara akan berusaha keras untuk menanggung segala kelesahnya seorang diri, sebisa mungkin tanpa mengganggu orang lain karena masalahnya ini.
"Oppa, aku pergi."
Ara berlalu dari kamar setelah memberikan satu pelukan pada Jimin. Di depan dia masih sempat berpamitan pada Minkyung, sebelum berlalu pergi lebih dulu. Ia tak membiarkan Yoongi menggandeng tangannya seperti biasa, bahkan selama di dalam lift dan berjalan di lorong lantai bawah, Ara menjaga jarak, begitu jauh seolah tubuhnya akan terbakar jika mendekat pada pria itu.
Hingga sampai mereka berhenti tepat di depan pintu keluar apartemen, Ara memaku, enggan ikut Yoongi untuk mengambil mobilnya yang terparkir sedikit jauh. Yoongi yang paham akan hal itu, memilih mengalah.
"Tunggu sebentar di sinu, aku akan mengambil mobil." Yoongi berujar, tetapi Ara terlihat sangat enggan untuk sekadar menjawab, karena sungguh, gadis itu tengah menahan tangis dan emosinya sendiri.
Tak sampai lima menit waktu yang dibutuhkan Yoongi untuk mengambil mobil dan mengarahkannya tepat ke tempat Ara tadi berdiri, dan tentu saja sang gadis sudah tidak ada di sana. Yoongi bahkan sampai membanting pintu mobilnya, mencari ke sana kemari keberadaan sang istri yang tiba-tiba saja lenyap. Lalu ketika pandangannya jatuh pada pos penjaga, Yoongi tak menunggu waktu lama untuk bertanya.
"Dia baru saja pergi dengan taksi yang menurunkan penghuni apartemen lantai tiga, Tuan. Mungkin Tuan masih bisa menyusulnya."
"Apa kau melihat nomor polisi mobil itu?" tanya Yoongi cepat, tetapi penjaga itu menggelengkan kepala karena tak melihatnya dengan jelas. "Tolong perlihatkan CCTV, aku butuh nomor taksi itu karena istriku sedang sakit."
Pergi jauh, itulah yang Ara pikirkan.
Duduk diam dalam taksi, menerawang jauh pada jalanan kota yang mulai padat. Hatinya terasa kosong, tetapi juga sangat sesak hingga tenggorokannya seolah tercekik hebat. Ara tak bisa menangis di tempat umum, dia butuh tempat untuk mengeluarkan kembali air matanya.
"Pak, turunkan aku di halte depan," pinta Ara pada sopir setelah taksi itu berjalan tanpa tujuan selama tiga puluh menit.
Halte itu tak pernah ia singgahi, tetapi sangat lebih baik dari pada ditemukan Yoongi sekarang. Ara butuh menjauh, butuh waktu sendiri untuk menenangkan hatinya yang terluka, dan tepat di depan halte yang sepi itu, Ara berdiri memaku, memandang riak Sungai Han di depannya.
Apa yang akan terjadi jika aku pergi? Apakah akan ada yang merasa kehilangan? Adakah yang menangisi kepergianku? Adakah yang masih mengingat namaku?
Tatapan Ara kini kembali tertuju pada sungai di depannya dengan tangan meremat pada sisi besi pembatas di sana. Otaknya berisik, dipenuhi dengan berbagai pertanyaan acak.
Apakah kalau aku melompat ke sungai, aku akan mengalami kematian yang mudah? Atau aku tetap harus menjalani hidup sialan ini sampai aku benar-benar mati? Lalu, jika mati bukan jawabannya, pada siapa aku harus pergi? Aku tak mempunyai banyak teman dekat untuk membagi tangis dan sakit ini?
Ara kembali menarik napas panjang, dan saat itulah sudut matanya tak sengaja melihat sebuah iklan yang memamerkan wajah Hyunjin.
Ah, pemuda bodoh itu sudah mendapatkan kehidupan yang lebih baik rupanya. Bisakah dia membantuku saat ini?
Ara lalu memutuskan untuk mengundi nasib karena dia tak tau pemuda tengil itu ada di Korea atau tidak.
"Halo ibu peri," jawab Hyunjin di ujung telepon tepat setelah panggilan itu menyambung di dering pertama.
"Kau ada di mana?"
"Di hotel di Gangnam, ada apa? Merindukanku?"
"Aku butuh teman, ingin menangis," jawab Ara jujur, suaranya terdengar tercicit kecil.
Hyunjin di ujung telepon tidak langsung menjawab, lebih dulu diam beberapa detik sebelum bertanya, "perlu aku jemput?"
Ara menggeleng tanpa sadar. "Kirimkan saja alamat hotelnya juga nomor kamarmu. Aku akan ke sana sendiri."
"Baiklah, aku tunggu."
Ara segera mencari taksi lain ketika pesan dari Hyunjin sampai. Butuh waktu hampir satu jam karena jarak hotel tempat pemuda itu menginap ternyata cukup jauh, tetapi tak mengapa, Ara tak protes atau mengeluh, dalam hati ia justru merasakan sedikit rasa lega, setidaknya dia punya tempat hari ini dan tidak perlu meloncat ke Sungai Han untuk mengakhiri hidup.
Turun dari taksi, Ara tak perlu bersusah payah bertanya pada resepsionis. Dia langsung naik ke lantai dua belas di mana Hyunjin menginap, dan ketika sampai di depan kamar yang dituju, Ara menekan bel satu kali, dan pemuda itu sepertinya memang tengah menunggunya, karena ia langsung membukakan pintu.
Tanpa bertanya apa pun ia langsung mempersilakan Ara masuk.
Di sana ada beberapa orang termasuk manajer Hyunjin yang ia temui saat menjemput pemuda itu di Busan. Ara menunduk sopan, lalu merasa tak enak saat mendengar percakapan mereka.
"Satu jam lagi aku jemput, tak ada alasan untuk menunda pekerjaanmu!"
"Ya, Noona. Terima kasih karena sudah memundurkan jadwalku hari ini."
Sunny tak menjawab, tetapi meminta semua orang pergi dari kamar itu, meninggalkan Hyunjin berdua saja dengan Ara. Dan ketika akhirnya mereka hanya berdua, gadis itu mendekat.
"Maaf karena mengganggu waktumu, aku bisa pergi jika kau sangat sibuk."
Hyunjin berbalik, tertawa kecil dan menarik tangan Ara untuk mengikutinya masuk ke dalam kamar. "Jangan dipikirkan, aku memang sedang sangat lelah karena jadwal yang padat. Beruntung kau menelepon, aku jadi punya waktu luang lebih untuk istirahat. Kau butuh tempat menangis 'kan? Silakan."
Ara melihat tempat yang ditunjuk Hyunjin, itu kamar mandi hotel. Mata Ara menatap lekat pada Hyunjin, seolah bertanya apa pemuda itu benar-benar memintanya untuk menangis di sana? Apa dia serius untuk itu, tidak bisakah Hyunjin memeluknya misalkan?
"Maafkan aku Li Ara, aku tidak pandai menenangkan, kau bisa menangis di dalam kamar mandi sepuasnya, aku akan menunggumu di luar." Kali ini tidak ada nada becanda seperti biasa, pemuda itu terlihat sungguh-sungguh dengan apa yang dia ucapkan.
Ara masih tidak beranjak, tetapi dia tiba-tiba saja terkekeh, entah apa dari sikap Hyunjin yang lucu, tetapi ada di sudut hatinya yang merasa sedikit lega hanya karena keberadaan Hyunjin yang mengatakan akan setia menunggunya sampai selesai menangis.
"Kau tidak mau bertanya kenapa?" tanya Ara penasaran, dan Hyunjin menggeleng ringan.
"Jika kau ingin, kau bisa mengatakannya, tetapi jika tidak, simpan saja dan puaskan hatimu untuk menangis. Kadang orang tidak butuh ucapan, tetapi lebih butuh dimengerti tanpa bicara apa pun. Entah kau termasuk yang mana, tapi melihat wajahmu yang kacau, kau bisa bersandar pada tembok dan menangis, atau jika ingin lebih dramatis, nyalakan saja kran shower dan menangis di bawahnya."
Ara meletakkan tasnya di atas ranjang yang penuh dengan barang. Temannya itu sepertinya memang tengah sibuk untuk persiapan bekerja, tetapi melihat Hyunjin yang meluangkan waktu untuknya, Ara tak akan berbasa-basi lagi, dia segera masuk ke dalam kamar mandi hotel, menutupnya perlahan.
"Aku janji tidak akan masuk, tetapi jangan kunci pintunya," pinta Hyunjin dengan satu tangan yang menghalangi.
"Aku tidak akan berbuat macam-macam," ujar Ara mengerti kekhawatiran pemuda itu.
"Aku punya banyak ketakutan, Lim Ara, tolong jangan kunci pintunya."
Ara mengalah, berakhir hanya menutup pintu tanpa menguncinya, dan dari dalam kamar mandi, Ara bicara pada Hyunjin yang ternyata duduk bersandar di baliknya.
"Jin-ah," panggil Ara, merosot di balik pintu kamar mandi, tangannya memegang lemah pada pintu, seolah menyandarkan hidupnya di sana.
"Mn."
"Kau tidak akan pergi kan?" tanya Ara dengan suara bergetar.
"Aku akan main game di sini, menangislah."
Perintah itu seperti mantra paling ampuh bagi Ara. Gadis itu langsung saja menangis dengan keras, meluapkan kembali tangisannya yang belum usai. Dengan putus asa dia tersedu-sedu, memanggil nama Hyunjin berulang kali. Dia ingin mengadu bahwa hatinya sangat sakit, tetapi yang terjadi hanyalah erangan di antara tangisan Ara yang menjadi-jadi.
"Jin-ah, rasanya sakit sekali. Tolong aku."
Di luar kamar mandi, Hyunjin tetap memainkan game-nya, tak peduli bahkan saat permainan itu terus saja game over, Hyunjin hanya butuh pengalihan agar tak terlihat saat matanya memerah dan ingin ikut menangis. Dalam hal apa pun, Hyunjin tak mau terlihat peduli, tetapi Ara adalah pengecualian. Karena hanya gadis itu yang ada di saat terburuknya, ada balas budi panjang yang dipikul Hyunjin untuk segala kebaikan sang gadis yang dulu diberikan secara percuma.
Ra-ya, sebenarnya seberapa besar rasa sakitmu itu? Kenapa rasanya aku ikut terluka hanya dengan mendengar tangisanmu?
===============
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro