Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

83

Dear  Readernim, maaf ya kalo di lapak ini aku bikin rules. Agar nyaman aja gitu nulisnya. Apalagi target votenya cepet banget terpenuhi. 

Mohon maaf kalo ada yang kesinggung dengan sikapku. 

Aku masih penulis kecil yang sangat butuh apresiasi dari kerja keras. 


Target tetap 110 ya, komen yang banyak yuk biar makin SEMANGAT AKU NULISNYA HEHE
.
.
.

Mata cantik Ara terlihat basah, siap menangis ketika membaca hasil test DNA yang tengah dipegangnya. Untuk beberapa hal ia merasa sangat lega, bahwa ia bukanlah anak dari hasil perselingkungan Sangjun dan ibunya. Namun di sisi lain, kenyataan bahwa ia bukan anak dari Sangjun dan Minkyung terasa amat menyedihkan juga. 

Entahlah, Ara benar-benar tak bisa menentukan perasaannya lebih condong kemana. Kesedihan dan rasa lega terasa berebutan menarik seluruh emosinya.

Masih di area bandara, ketika Ara begitu tak sabar untuk mengetahui hasil test yang telah dilakukan Sangjun, Ara hanya bisa menunduk, membungkukkan posisi duduknya, berusaha keras untuk tidak meremas kertas berlogo rumah sakit Busan itu. Ia bisa merasakan bahunya diusap lembut, bersama suara sang ayah yang ingin menenangkan dirinya.

"Sebentar Appa, biarkan emosiku stabil terlebih dahulu," pintanya lirih.

Ara tak mau diganggu, tetapi tidak menolak ketika tangan besar Yoongi mengenggam tangannya, justru Ara membalas tautan itu dengan sangat erat, seolah ingin menyampaikan kacaunya hati yang tengah ia alami. Ara butuh Yoongi, tetapi tidak butuh pelukannya saat ini. Baik Sangjun dan Yoongi berusaha mengerti bahwa itu tentu tidak mudah bagi Ara, dan membiarkan gadis itu mengontrol emosinya selama hampir satu jam menjadi pilihan mereka saat ini.

Lalu ketika Ara akhirnya tenang, bisa duduk dengan tegak meskipun disertai embusan napas berat berulang kali, barulah Sangjun memeluk putrinya, mengusap punggung sempit sang gadis dan membisikkan banyak kalimat penenang.

"Ini pasti sangat berat untukmu. Maafkan Appa karena bertahun-tahun pergi dan tidak menemani putri cantik Appa ini. Meskipun kau anak Yeongsan dan Sooyoung, kau tetap putriku, sejak Appa membawamu ke Seoul. Appa sangat menyayangimu, bukan hanya karena kau anak dari Sooyoung, tetapi karena kau adalah cantiknya Appa, dunia Appa. Maafkan Appa, Ra-ya."

Ara ingin sekali menangis, tetapi lakrimalisnya seolah kering, padahal matanya sudah sangat perih dan memerah. Dalam pikirannya, Ara hanya bingung, apa yang harus ditangisi karena semua telah berlalu, seperti mimpi buruk yang hilang saat kita terbangun di pagi hari. Ya, mungkin karena pemikiran itu Ara bisa bertahan sampai detik ini. Segala sakitnya, ia anggap tak pernah ada, meskipun bekasnya sangatlah terasa.

"Appa, aku baik-baik saja, dan tentu aku masihlah anak Appa. Sejak kecil yang aku tau hanya Sangjun appa dan Minkyung eomma. Kedua orang tua kandungku, pasti meninggalkanku sendirian agar bisa menjadi putrimu."

"Jika Sooyoung melihat kau tumbuh sekuat ini, betapa bangganya dia. Mungkin Sooyoung akan pamer pada seluruh dunia, bahwa dia punya seorang putri yang sangat cantik dan juga kuat."

Ara melepaskan pelukan, tersenyum lembut menggenggam kedua tangan besar Sangjun. "Appa, apa kau tidak ingin pamer pada dunia? Kau bilang aku putrimu, apa kau juga akan pamer pada semua orang bahwa kau memiliki putri yang cantik sepertiku?" tanya Ara berseloroh, tetapi bukannya Sangjun yang menjawab, justru Yoongi yang menyela lebih dulu.

"Tidak boleh! Jika Si Abeoji memamerkanmu pada dunia, mungkin aku harus mengurungmu di dalam rumah, tidak akan membiarkanmu dilihat oleh siapa pun."

Namun, bukannya merasa bangga atas sikap posesif Yoongi, Ara justru mencibir remeh disertai putaran mata malas. "Kau berlebihan sekali, Ahjussi. Memang aku secantik apa sampai kau berpikir aku akan diperebutkan banyak orang, eoh?"

"Tanya saja pada Si Abeoji, secantik apa dirimu."

Sangjun terkekeh melihat anak dan menantunya berdebat. Sikap galak Ara, tak bisa untuk Sangjun bandingkan dengan Sooyoung. Bagaimana Sooyoung bicara, memutar matanya ketika merasa tak tahan, mencibir bahkan berani memaki dirinya dulu. Itu benar-benar mirip, Ara menuruni hampir semua sifat Sooyoung, terkecuali mata Ara, Sangjun tak akan menampik, bahwa mata Ara sangat mirip ayahnya-- berwarna cerah, penuh ketulusan.

"Apa kalian akan terus berdebat, atau mengantar Appa ke rumah eomma kalian? Appa juga sangat merindukan Jimin."

Ara berdiri, menunjuk galak pada Yoongi. "Itu gara-gara Ahjussi! Appa jadi harus menunggu lama karena aku harus berdebat denganmu!"

"Yak! Siapa yang menghabiskan waktu satu jam hanya untuk diam saja sejak tadi, eoh?!" balas Yoongi tak terima.

"Tentu saja bukan aku, wle!" Ara berlalu dari hadapan Yoongi, menggandeng erat lengan Sangjun untuk keluar dari area bandara.

Yoongi memicing sengit, tapi kemudian senyumnya mengembang sempurna. Satu hal yang akan dia catat di dalam otaknya. Jika Ara terlihat bersedih, ajak saja berdebat!

***

Tiba di rumah Minkyung, sudah ada Yuna dan Jimin yang sedari tadi menunggu dengan tak sabar. Jimin sebenarnya ingin ikut menjemput, tapi entah kenapa Yoongi menyebalkan sekali, mengatakan agar dia di rumah saja, dan ketika sosok ayah yang telah lama pergi itu muncul di hadapannya. Seolah seluruh saraf di otak Jimin tiba-tiba kesemutan, hal itu membuatnya hanya bisa berdiri kaku alih-alih memeluk pria paruh baya itu.

Bukan hanya Ara yang terluka akibat perpisahan kedua orang tuanya yang tiba-tiba, tapi dia pun sama. Jimin merasakan sakit dan kehilangan yang sama, tetapi bahkan ketika dia ingin terpuruk, ada Ara yang harus ia kuatkan, ada ibu yang harus ia jaga perasaannya. Hal itu membuat Jimin memendam dalam-dalam semua rasa terluka yang menggores masa remajanya. Bagaimana suara teriakan sang ayah dan tangisan pilu sang ibu, saat itu tentu ia lebih mengerti dengan baik apa yang tengah terjadi dibandingkan dengan Ara yang masih sangat kecil.

Namun tetap saja, rasa terkhianati oleh kepergian sang ayah, nyatanya kalah telak oleh rasa rindu seorang putra pada sosok super hero pertama di hidupnya. Tahun-tahun yang telah terlewati, mengikis semua rasa bencinya, menguap bersama angin pada pertemuan pertama setelah dua belas tahun perpisahan. Jimin ... merindukan ayahnya.

Karena tahu Jimin tengah dalam kondisi tak baik, linglung dan mungkin tengah bergulat dengan semua emosi di hatinya, Sangjun mendekat, begitu pelan tanpa melepas pandangan pada anaknya yang kini tumbuh dewasa dan sangat tampan itu.

Jimin bahkan terlihat luar biasa menawan, matanya masih begitu jernih, sama seperti saat Jimin kecil dulu, dan tanpa perlu meminta izin, Sangjun lekas memeluk tubuh anaknya, mendekap erat penuh kerinduan seorang ayah yang dipaksa berpisah oleh keadaan. Semua kata sepertinya tak lagi berguna, penyesalan tak dibutuhkan lagi sekarang.

"Appa merindukanmu, Jimin-ie."

Emosi Jimin meledak hebat, membawa tangisan keras untuk melepaskan semua rasa yang sejak lama ia pendam. Jimin sudah dewasa secara usia dan  matang secara pemikiran, tetapi di dalam pelukan sang ayah, ia tak lebih dari bocah kecil yang tengah mengadu pada pahlawannya. Hatinya sakit sejak lama sekali, Jimin ingin menyampaikan itu pada ayahnya, ingin marah juga karena pria itu telah tega meninggalkannya selama ini. Namun, yang terjadi hanyalah Jimin yang menangis, mendekap erat tubuh tua sang ayah, takut jika ayahnya kembali pergi.

"Appa ...," ucapnya serak dengan bahu bergetar hebat.

Ara tersedu, mengesat air matanya dalam diam. Setelah mengetahui dengan pasti hasil test DNA, entah bagaimana seolah ada tembok besar tak kasat mata di antara dirinya dan keluarga itu. Meskipun ia berujar tetap menganggap mereka sebagai keluarga, tetapi Ara sendiri telah memberi batas jelas, bahwa dia hanyalah anak orang lain yang begitu beruntung bisa tumbuh di antara orang-orang baik itu. Dia tak bisa lagi melihat dengan cara pandang yang sama karena nyatanya ia hanyalah yatim piatu yang ditinggalkan sendirian.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Yoongi pelan, menggenggam tangan Ara khawatir.

"Tidak ada. Hanya terharu melihat Oppa bisa memeluk Appa lagi. Meskipun tidak pernah mengatakan apa pun, tapi Oppa tak akan membiarkanku berbicara buruk tentang Appa. Jimin Oppa sangat merindukan Appa."

Yoongi mengangguk, mengusak lembut rambut Ara. "Ayo kita masuk, di sini panas."

Ara merengut, memukul lengan Yoongi dengan keras. "Kau merusak momen sekali, Ahjussi!"

"Kenapa? Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Kau kan juga tidak suka terkena panas terlalu lama, nanti kalau belang pasti mengomel sepanjang hari."

"Aku tidak!"

"Tanyakan saja pada kaca di rumah yang sudah sangat lelah kau marahi."

Ara melepaskan pelukan dengan kasar, semakin merengut dan memberi jarak dengan Yoongi. Ara memilih untuk mendekat pada Yuna, menempel pada wanita itu dengan memeluk lengannya erat.

Yuna yang tiba-tiba merasa ada beban di lengannya tersenyum lembut pada Ara, mengusap lengan Ara penuh sayang. "Jimin pasti sangat merindukan Appa-nya. Aku baru pertama kali melihatnya menangis seperti itu."

Ara mengangguk, menyembunyikan diri di balik tubuh Yuna karena mulai terganggu dengan terik matahari yang seolah membakar kulitnya. "Ya, Oppa merindukan Appa."

Yuna menoleh melihat tingkah Ara yang sepertinya terganggu sesuatu. "Hei, kau kenapa?"

"Eonnie, panas sekali."

Yuna terkekeh, sementara Yoongi langsung menatap remeh pada Ara. Jika raut wajahnya bisa diungkapkan, mungkin akan seperti apa aku bilang!

Sangat beruntung bagi Ara karena Sangjun sudah melepaskan pelukannya pada Jimin yang masih tersedu-sedu. Sangjun menghapus air mata anaknya, terkekeh gemas padahal ia sendiri baru saja mengesat air matanya.

"Aigoo, berapa usia anak Appa ini eoh? Kau menangis keras sekali seperti anak kecil, apa kau tidak malu pada calon istrimu nanti?"

Jimin ikut terkekeh, menghapus sisa air matanya dengan punggung tangan, lalu segera menarik lengan Yuna agar mendekat padanya. "Appa, ini Yuna calon istriku."

"Annyeong, Paman." Yuna membungkuk hormat, tersenyum semanis mungkin untuk memberikan kesan terbaik bagi calon ayah mertuanya.

Sangjun kembali terkekeh, menoleh pada Ara dan menatap Yuna lagi. "Kau lebih cantik dari yang diceritakan Ara, Yuna-ya. Jika kau calon istri Jimin, berhenti memanggilku Paman. Kau harus memanggilku Abeoji, mengerti?"

Yuna mengangguk. "Baik, Abeoji."

"Appa, ayo kita masuk ke dalam. Yuna sudah memasak banyak makanan di apartemennya tadi. Semua tinggal ditata di meja." Jimin berujar ringan, tak melepaskan senyuman bahagianya.

"Apa eomma-mu tau Appa akan datang?" tanya Sangjun.

Yoongi mendekat, berbisik pelan, tetapi semua orang jaraknya tak jauh dan tentu mendengar bisikannya.

"Si Abeoji, eommonim sebenarnya menolak kedatanganmu. Jimin bahkan sampai berdebat cukup panjang dengannya, tetapi kau tidak perlu khawatir, kaki eommonim masih belum seratus persen sembuh, dia tidak akan bisa kabur lagi darimu. Kali ini kau harus berhasil, kami berempat akan berjaga di luar untuk mengantisipasi keadaan. Si Abeoji ... Fighting!"

Ara terpingkal di tempatnya, menganggap Yoongi bodoh sekali, tetapi toh Ara tidak mendebatnya, justru setuju-setuju saja dengan ucapan sang suami tadi. Melihat usaha Yoongi untuk membantu Ara agar kedua orang tuanya bisa kembali bersama, ada poin besar yang menambah rasa percayanya pada pria itu.

Ahjussi, terima kasih. Tolong tunggu sebentar lagi, aku akan berusaha keras untuk keluar dari masalah masa kecilku dan bisa menerimamu sepenuhnya. Ahjussi ... kurasa aku benar-benar sudah jatuh cinta padamu. 

=============

Minkyung pernah membayangkan bahwa momen ini akan datang, tetapi ia tidak pernah menyangka jika Sangjun kini benar-benar berdiri di hadapannya. Tampak jauh lebih tua, tubuhnya lebih besar dan banyak kerutan dari sejak terakhir kali mereka bertemu. Tidak bisa Minkyung tampik, bahwa ada rindu yang tak pernah hilang untuk Lim Sangjun—suaminya itu.

Seperti sebuah kaset rusak yang kembali berputar, banyak momen yang tiba-tiba saja berebut untuk mengambil alih seluruh atensinya. Momen itu tersendat-sendat, antara kenangan bahagia dan tangisan yang ribuan kali ia keluarkan. Minkyung hampir menangis, tubuhnya bergetar tetapi egonya melarang semua itu terjadi.

Wanita itu membuang wajah, enggan menatap lebih lama sang suami. Bukan karena benci, tetapi Minkyung tak mau sampai terlihat menyedihkan di depan Sangjun. Cukup lama ia meratap cinta dari pria yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk wanita lain, sekarang Minkyung hanya ingin hidup tenang bersama anak-anaknya.

"Untuk apa kau kemari. Pergilah!" ucapnya mendesis dalam nada rendah yang ditekan, Minkyung tengah menahan semua gejolak hatinya, tak ingin terlihat lemah sama sekali.

Sangjun mendekat, duduk di kursi yang berada di sisi ranjang, mengatur napas agar lebih tenang. Bohong jika Sangjun tak merasa gugup sekarang, berdiri di depan sosok wanita yang berulang kali ia sakiti, bagaimana mungkin ia baik-baik saja.

"Apa kabarmu, Kyung-ah."

Demi Tuhan, mendengar suara itu lagi membuat Minkyung merasakan gejolak hatinya seolah hampir meledak, membawa rasa panas di mata, hampir siap untuk menangis lagi.

"Pergi!" usir Minkyung lagi, lalu merasakan benda ringan ada di pangkuannya. Akibat gips pada kaki yang belum dilepas, Minkyung tak bisa lagi kabur dari situasi menjengkelkan ini.

"Bacalah, itu bukti yang seharusnya aku berikan padamu sejak dua belas tahun yang lalu, tapi kau bahkan tak memberikanku sedikit saja kesempatan ini. Sekarang bacalah untuk menghilangkan semua rasa curigamu padaku dan Sooyoung," ucap Sangjun lembut, dari nada bicaranya bahkan terdengar sangat lelah dengan semua keadaan itu.

Minkyung melirik sebentar pada kertas di pangkuannya, tetapi dengan tak acuh ia membuang semua itu tanpa membacanya. Sangjun yang melihatnya cukup terkejut, tetapi ia sudah bertekad untuk meluruskan semua kesalahpahaman yang berlarut-larut ini. Dengan sabar Sangjun memungut kertas berisi hasil test DNA dan surat kelahiran Ara itu, lalu kembali meletakkannya kembali ke pangkuan Minkyung, dan ketika wanita itu bersikeras ingin membuangnya lagi, Sangjun menahannya.

"Tidakkah kau merasa jahat, Kyung-ah. Ara mencariku sampai ke Busan, menekan semua rasa sedihnya, membuang semua rasa sakit akibat ketidakadilan yang dia terima selama belasan tahun. Tidak bisakah kau membuang egomu untuk putrimu itu?"

"Dia bukan anakku!" teriak Minkyung lalu menangis.

"Ara dan Jimin mungkin sedang menguping di luar, jangan naikkan nada suaramu, atau mereka yang akan kembali terluka akibat keegoisan orang tuanya."

Minkyung menghapus kasar air matanya, kembali membuang muka dengan enggan. "Pergi. Aku tidak ingin melihatmu!"

"Aku akan pergi setelah kau membaca itu--"

"Untuk apa?!" bentak Minkyung emosi, "kenapa aku harus membacanya, eoh?! Hanya untuk menunjukkan seberapa menyedihkankannya aku karena sudah salah sangka atas jati diri gadis itu?! Kau pikir aku tidak pernah memikirkan kemungkinan bahwa Ara memang bukan anakmu?! Ribuan kali aku menggigil karena rasa bersalah setiap memandang Ara, apa kau tahu itu, eoh?! Apa kau tahu rasa sesak yang menggerogoti hatiku setiap berada dekat dengan gadis itu?! Aku bahkan selalu menghindarinya! Bekerja siang malam hanya agar aku tak melihat keberadaannya yang akan semakin membuat aku menjadi ibu paling kejam di dunia ini, APA KAU TAHU SEMUA ITU?! KAU TIDAK TAHU APA PUN!"

Sangjun menatap sedih pada Minkyung, tetapi tak bisa berbuat apa pun selain berujar maafnya. "Maafkan aku, Kyung-ah."

"Aku tak pernah membenci Ara. Aku ... Membenci diriku sendiri."

"Kyung-ah," panggil Sangjun, menggenggam tangan istrinya lembut, kali ini tak ditolak oleh Minkyung.

"Aku mencintaimu sejak awal, begitu besar bahkan rela jika kau bahagia bersama Sooyoung. Kesalahanku adalah menyetujui permintaanmu untuk menikah denganku, padahal aku tahu jika duniamu hanya tentang Sooyoung. Apa kau tahu betapa menyedihkan diriku? Menjadi istri di bawah bayang-bayang cinta suaminya? Aku terus mengasihani diriku sendiri, dan rasa sesak di hatiku berkembang saat melihat Ara tumbuh dewasa. Kau merawat Ara dengan semua cinta yang kau punya, dan kau pikir aku tak tau jika kau selalu tersenyum melihat Ara karena anak itu tumbuh besar dan semakin mirip dengan Sooyoung? Kau kira aku bisa bertahan dengan masa lalumu itu, Jun-ah? Setelah kau pergi, hampir setiap malam aku mendatangi kamar Ara dengan pisau di tanganku, sangat sering aku ingin mengusir Ara agar tak terlihat dari pandanganku, tapi aku sadar ... Ara adalah putriku. Aku hampir gila karena menyadari betapa bodohnya aku sebagai wanita, istri dan ibu. Aku membencimu, aku membenci cintamu pada Sooyoung, dan benar-benar aku membenci diriku sendiri yang terus mencintaimu."

Sangjun mengeratkan genggaman tangannya, tak bisa berujar hal lain selain maaf yang ia ucapkan berulang kali. "Aku bersalah, Kyung-ah. Aku berpikir kau akan baik-baik saja selama aku tak lagi menyebut Sooyoung di rumah tangga kita. Aku bersalah karena mencintai wanita lain dan tak bisa memberikan semua cinta itu untukmu. Maaf, maafkan aku."

Minkyung memejamkan mata, menghapus lelehan air mata yang menganak sungai di pipinya dengan tangannya yang bebas dari genggakan Sangjun.

"Pergilah. Semua terasa lebih baik selama ini tanpamu. Aku merasa lebih bisa hidup dengan harga diri dari pada harus menjalani rumah tangga ini bersamamu."

Sangjun mencium halus punggung tangan Minkyung, mengusapnya dengan ibu jari. "Kyung-ah, aku memang mencintai Sooyoung tapi itu dulu, tak pernah sekali pun aku lupa diri jika kau adalah istriku, ibu dari anakku. Aku menyayangimu sebagai wanita hebat yang tak pernah lelah mendampingiku, si pria brengsek yang telah menyakitimu. Sudah dua belas tahun berlalu, cintaku pada Sooyoung sudah terkikis waktu oleh rasa bersalahku padamu, tapi kenyataan bahwa kau adalah istriku, tak pernah sekalipun lepas dari hatiku. Demi Jimin dan Ara, demi masa kecil anak-anak kita yang menderita karena keegoisan orang tuanya ini, bisakah kau mempertimbangkan kembali keputusanmu? Ayo kita kembali."

Sementara di luar, Jimin dan Ara hampir mendobrak pintu saat mendengar ibu mereka berteriak histeris tadi. Keduanya seperti lupa jika usia mereka bukan lagi anak-anak untuk menguping pembicaraan orang tua seperti saat ini.

"Oppa, ayo masuk." Ara sudah sangat tidak sabar, tetapi sejak tadi Jimin berkata tunggu dulu, "Oppa aku masuk sendiri ya?"

"Tunggu sebentar."

Nah kan, Ara benar-benar kesal sekarang. Dia sudah lelah menyerupai cicak yang menempel di pintu, lalu jantungnya hampir melompat saat ibunya tadi histeris. Bagaimanapun, Ara tak mau membuat ibunya bersedih. Jika pertemuan mereka hanya membuat sang ibu semakin tertekan, Ara tak akan memaksakan keinginan untuk kedua orang tuanya kembali bersama.

Sedangkan Yoongi yang baru selesai menerima telepon penting di luar, hampir meledak saat melihat pemandangan Ara yang begitu dekat dengan Jimin, berdua saja menempel di pintu kamar sang mertua. Jika lupa, Yoongi punya alergi tersendiri tentang kedekatan Ara dan Jimin. Rasa percaya diri seorang CEO muda Min Yoongi, hancur tak bersisa karena rasa cemburu pada sosok pemuda itu.

"Yak! Apa yang kalian lakukan?!"

Baik Jimin dan Ara terkejut bukan main atas teriakan tiba-tiba dari Yoongi. Karena rasa terkejut itu juga, kepala keduanya beradu dengan keras, menghasilkan ringisan menyedihkan dari Ara yang langsung mundur beberapa langkah, memegangi keningnya yang memerah.

"Ahjussi! Kau ini kenapa sih?!" teriak Ara tak terima.

"Ra-ya, appa dan eomma nanti mendengar teriakanmu." Jimin mengingatkan, membuat Ara menghela napas besar, memicing tajam pada Yoongi yang tak merasa bersalah.

"Kenapa kau menatapku begitu?" tanya Yoongi kesal. "Kau tidak berhak marah padaku, aku yang harusnya marah!"

"Kenapa kau harus marah?" tanya Jimin bingung. Ia tak tau jika dirinya adalah sumber kegelisahan Yoongi yang terus saja dicemburui dan dicurigai.

"Bukan urusanmu!" bentak Yoongi tanpa sadar, lalu langsung meringis saat Ara memukul lengannya dengan tanpa perasaan.

"Eomma dan Appa sedang bicara serius di dalam. Jangan berteriak atau tutup saja mulutmu itu selamanya!" geram Ara.

Yoongi tak bisa menjawab, justru lebih dulu disela Yuna yang datang dari dapur, masih menggunakan apron masaknya. Yoongi tanpa sadar menatap Yuna, mengingat kembali ada satu memori yang tak bisa ia lupakan, termasuk setiap penampilan Yuna dulu. Dengan canggung ia berdehem, mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Jimin-ie, sampai kapan kau akan menguping, eoh? Sejak tadi aku memintamu untuk membantuku, tapi kau tak datang juga. Apa aku perlu menggoreng telingamu dulu agar mendengarkanku?"

Jimin meringis, mengusap leher belakangnya canggung. Pria itu mendekat, menggandeng lengan Yuna agar kembali ke dapur. "Maafkan aku. Ayo aku bantu. Jagiya, saranghae."

"Saranghae-mu tak berlaku, aku masih kesal!"

Ara tersenyum menatap kakaknya dan Yuna, menganggap hubungan keduanya manis sekali. Mungkin sudah saatnya dia melepaskan Jimin untuk memilih kebahagiaannya bersama wanita yang ia pilih untuk menua bersama. Meskipun mereka sudah terbukti bukan saudara kandung, tetapi Ara merasa tak bisa kembali pada cintanya pada Jimin, salah satunya karena pria menyebalkan yang kini menatap sinis padanya.

"Apa?" tanya Ara bingung.

"Kau cemburu, 'kan?" tuduh Yoongi tanpa perasaan.

Ara mengedipkan matanya, bingung. "Cemburu? Karena apa?"

"Aku bisa melihat api cemburu di matamu saat melihat Jimin dan Yuna!" ucap Yoongi tanpa kendala.

Ara memutar bola matanya, malas menganggapi kecemburuan Yoongi yang kadang tak masuk akal. Melihat api cemburu katanya, Ara bahkan ingin memukul kepala Yoongi agar bisa melihat bagaimana tatapannya pada Yoongi kini berubah, lebih intim dan penuh cinta. Ah, Ara kesal sendiri rasanya, dengan mengentakkan kaki dia berlalu dari sana, berjalan menjauh menuju kamarnya.

"Yak! Aku belum selesai bicara!" teriak Yoongi yang langsung mendapat lemparan sandal rumah milik Ara.

"Telingamu minta digoreng juga, eoh?!" geram Ara, "jangan berteriak! Kau mengganggu eomma dan appa-ku!"

"Kalau begitu jangan tinggalkan aku?" rengek Yoongi yang membuat Ara geli sendiri.

"Ahjussi, aku hanya ke kamar, bukan pergi ke luar angkasa. Kau bisa mengikutiku kan?"

Yoongi menggaruk kepalanya yang tidak gatal, berjalan mendekat pada Ara, mengikutinya masuk ke dalam kamar kecil sang istri. "Kau mengajakku ke kamar siang-siang, memang tidak takut jika suaramu terdengar sampai luar? Eh memang sudah bersih, ya?"

"Hah? Apa maksudmu?" tanya Ara bingung, lalu semakin bingung saat Yoongi tersenyum aneh padanya.

"Kau mengajakku ke kamarmu, bukankah untuk membuat adik bagi Bora? Menstruasimu susah selesai?"

Ara melongo, telinga dan pipinya memerah karena malu. "Ahjussi kau mau mati eoh?!"

Yoongi terkekeh, merasa senang membuat Ara salah tingkah. Ia merebahkan diri di ranjang milik sang gadis, menumpu kepala dengan tangan dengan mata tak pernah lepas dari Ara.

"Tiga hari, ini sudah hari ketiga. Kau lupa?" ujar Yoongi menyeringai.

"Iya aku tak melupakan hal itu," jawab Ara dengan wajah yang masih merah, "ini hari ketiga darahnya keluar dan biasanya bersih malam nanti, mungkin aku akan siap besok."

Senyum Yoongi semakin lebar terlihat, dia bahkan menggerakkan tangan dan menyerukan yes penuh semangat. 

"Eh, ngomong-ngomong siap untuk apa?" godanya yang langsung mendapatkan bombastic side eyes dari Ara. 

"Shibal."

"Aku mencintaimu Lim Ara."

Gadis itu tak menjawab hanya menggerakkan bola matanya malas.

Merasa cukup menggoda sang istri, Yoongi mulai merebahkan diri. "Aku tak sabar besok, aku harus benar-benar mempersiapkan diri, kau juga ya Sayang. Nanti bangunkan aku jika makan malam siap, aku lelah sekali harus lembur beberapa hari ini."

Ara berdeham, lantas menatap kasihan pada Yoongi yang terlihat sangat lelah. Untuk membantunya, Yoongi bahkan meluangkan waktu sibuknya, menemani kemana pun dia pergi untuk mengetahui jati diri yang sebenarnya. Kemarin bahkan Ara menemukan Yoongi tertidur dengan wajah menempel di meja, di atas tumpukan berkas yang bukan main tebalnya. Dan untuk hari ini, Yoongi rela kembali meluangkan waktu, dia bilang tak ingin Ara nanti menangis sendirian.  Kenapa pria ini sangat manis.

Ara menatap pada Yoongi yang sepertinya langsung tertidur. Suaminya itu pasti sangat kelelahan, dan Ara merasa jahat karena masih membutuhkan banyak waktu untuk mempercayai Yoongi sepenuhnya.

Ahjussi, kau tidak akan membuatku terluka kan? Karena sepertinya cintaku semakin dalam padamu. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro