Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

81

Target vote 110 karena aku liat aktif readersnya banyak. Semoga bisa ya
.
.
.

Jika pada seorang perempuan pra menstruasi sindrom bisa dikatakan sebagai fase di mana pergolakan emosi bercampur baur di dalam diri, di mana hal tersebut terkadang menjadi inti dari salah paham karena sering kali seorang perempuan itu mengedepankan emosinya. Maka, bisa dikatakan Ara tengah bingung menghadapi sikap Yoongi.

Ara hampir muak rasanya melihat sikap sang suami yang terus saja marah-marah tidak jelas. Dalam hati ia terus mencibir, masa hanya karena belum bisa berhubungan badan, Yoongi bisa menjengkelkan seperti itu, atau ada hal lain juga yang menjadi alasan?
Ara tidak tau. Namun, setiap kali ia bertanya alasan Yoongi bersikap menyebalkan, pria itu hanya menjawab pikir saja sendiri aku pusing, bagaimana Ara tidak semakin merasa jengkel pada akhirnya. Apa Yoongi kira Ara itu seorang cenayang yang bisa mengetahui pikiran orang lain, gila memang. Padahal tadi malam Ara membiarkan sang suami mencumbu dirinya.

Seperti halnya saat ini, di mana Ara baru saja merebahkan diri di atas sofa kamar setelah menemani Bora bermain seharian, hingga gadis kecil itu akhirnya mau tertidur. Kini Yoongi sudah berkacak pinggang di hadapannya, menatap Ara sengit penuh tuduhan seolah ia adalah tersangka kasus perselingkuhan, padahal pria itu baru saja pulang bekerja.

"Ahjussi, kau sudah pulang?" tanya Ara bangun dari posisi tidurannya.

"Kau lihatnya sudah atau belum!" jawab Yoongi dengan nada ketus.

Ara mengerutkan kening, memicing kesal pada Yoongi lalu kembali berbaring di sofa, malas menanggapi sikap sang suami yang menyebalkan seperti itu. Ara lebih memilih untuk kembali sibuk dengan ponselnya, menjelajah internet sambil menunggu kantuknya datang. Namun, ucapan Yoongi yang sekilas berlalu membuatnya terkejut sendiri.

"Oh, jadi sekarang sudah tidak mau tidur seranjang denganku? Lihat saja, besok akan kubakar sofa jelek itu!" sarkasnya.

Ara segera mengikuti langkah Yoongi yang berjalan ke kamar mandi, memiringkan kepala dan beralih menatap sofa yang ia tiduri. Min Yoongi benar-benar gila, sofa beludru sebagus ini dia bilang jelek? Wah, sepertinya otak Ahjussi pindah ke pantat!

Ara menghela napas panjang, menurunkan egonya sedikit. Jika terus seperti ini, mungkin rambut Ara akan rontok karena terus berpikir mengenai perubahan sikap Yoongi padanya. Dari pada terus menebak, bukankah lebih baik untuk bertanya.

"Benar lebih baik aku bertanya, jika sudah aku tanya baik-baik ahjussi masih seperti itu, aku akan benturkan kepala batunya itu ke tembok! Siapa tau jika kepalanya terguncang dia akan kembali normal." Ara bermonolog, tersenyum dan segera keluar dari kamar untuk menyiapkan teh dan camilan. Ini sudah jam sembilan malam, Yoongi pasti sudah makan di kantor, begitu pikir Ara.

Hanya butuh dua puluh menit untuk Ara menyiapkan teh hangat dengan campuran lemon dan madu untuk Yoongi dan dirinya, ditambah kue jahe di toples kecil. Ara berharap ini cukup untuk teman mereka bicara malam ini. Jika memang ia ada kesalahan tak disengaja yang membuat Yoongi marah, maka Ara sudah menyiapkan hati untuk meminta maaf secara tulus, tetapi jika alasannya hanya karena ia yang belum bisa menyerahkan diri sepenuhnya, maka Ara akan menghajar Yoongi saat itu juga.

Ara masuk kembali ke dalam kamar dengan nampan di tangan. Berjalan pelan, menghampiri Yoongi yang tengah berbaring memunggungi dirinya.

"Ahjussi, aku membawakan teh hangat untukmu." Ara memulai percakapan, tetapi tak ada respons sedikitpun dari Yoongi, membuat gadis itu mengerucutkan bibir, memutar otak untuk mencari cara lain.

Ara menghela napas, mengalah sekali lagi dan memutar arah di mana Yoongi menghadap, tetapi saat ia meletakkan nampan, Yoongi secara sengaja berbalik badan dan memunggungi dirinya lagi. Ara menghela napas jengkel, hampir menjambak rambut Yoongi karena merasa kesabarannya mulai habis.

"Ahjussi, aku tau kau belum tidur!"

"Memang belum."

"Yak! Berhentilah bersikap kekanakan dan bicara yang benar padaku! Apa kau tidak lelah bersikap menyebalkan seperti itu terus, eoh?!" ujar Ara dengan nada luar biasa kesal. Namun, ia sampai mundur selangkah karena Yoongi tiba-tiba saja bangun dari posisinya, duduk dengan picingan sengit saat menatap.

"Kenapa kau menaikkan nada suaramu?! Bagaimana kalau Bora terbangun karena suaramu itu?!"

Wah wah, lihat bajingan ini! Dia juga berteriak, berani sekali bicara begitu padaku!

"Ahjussi, suaramu justru lebih keras dariku."

Yoongi membuang muka, tak mau mengakui kesalahan. Rasa kesal pada diri sendiri karena tak mampu mengatasi rasa cemburu, membuat Yoongi tak bisa berpikir logis. Yoongi bahkan tak mau repot menoleh pada Ara yang kini raut wajahnya berubah sedih, pria itu memilih untuk kembali berbaring memunggungi Ara yang masih setia berdiri di tempatnya.

"Ahjussi, setidaknya jika aku memang melakukan kesalahan, bicaralah. Aku tidak akan bisa memahami isi pikiranmu jika kau tidak kau bicara dan terus sinis padaku."

"Tidak ada, tidurlah, sudah malam."

"Ahjussi, aku menyiapkan teh hangat dan kue jahe kesukaanmu. Ayo kita bicara sebentar sebelum tidur." Ara masih berusaha membujuk, meskipun dalam hatinya sudah dipenuhi banyak pemikiran buruk. Rasa mulai nyaman dan percaya pada Yoongi, membuat Ara menaruh harapan besar untuk akhirnya bisa bahagia. Tak apa berkorban sedikit seperti sekarang, Ara bisa mengorbankan banyak hal untuk orang yang ia sayang.

"Aku lelah dan butuh istirahat."

Berulang kali mendapat penolakan membuat Ara merasa lelah sendiri. Hatinya tiba-tiba saja sakit ketika membayangkan ucapan cinta Yoongi hanyalah candaan belaka sementara ia terlanjur memiliki perasaan lebih-- meskipun Ara belum yakin sepenuhnya, tetapi gadis itu bisa memastikan dengan baik, jika Yoongi telah memiliki tempat spesial di hatinya.

"Ahjussi ... kau berkata akan menjadi alasanku untuk bahagia. Kau juga berjanji akan selalu memastikanku untuk selalu tersenyum. Apa memang seperti ini caranya?" tanya Ara menggelengkan kepala, menarik napas panjang, menahan rasa ingin menangis yang begitu kuat. "Ahjussi, aku tidak bisa tersenyum jika kau terus saja marah seperti ini. Bagaimana caraku untuk memperbaiki diri jika kau terus menolak bicara. Aku benar-benar tidak tau apa kesalahanku sampai kau semarah ini."

Yoongi termenung, hatinya serasa tercubit nyeri. Ia akan membuka suara, tetapi justru bingung tentang apa yang akan ia ucapkan. Sejak rasa cemburunya muncul dan membesar seiring waktu, Yoongi terkurung dalam rasa cemburunya itu.

"Ahjussi ... kau ... apakah kau marah karena aku menstruasi? Apa ucapan cinta yang terus kau ucapkan padaku semata hanya untuk bisa mencicipi tubuhku? Ahjussi, harusnya aku memang tidak menaruh kepercayaan pada seseorang, maaf ... karena sepertinya aku telah salah berharap padamu. Tidurlah, selamat malam."

Yoongi yang mendengar langkah kaki Ara menjauh, segera bangun dari ranjang untuk mengejar gadis itu. Sebelum pribadi itu mencapai pintu, Yoongi segera membalik tubuh Ara, memeluknya dengan sangat erat, tidak peduli jika ia terus saja memberontak dalam pelukannya.

"Ahjussi lepaskan aku!" teriak Ara teredam di dada Yoongi.

"Tidak! Maafkan aku, maaf."

"Lepas Ahjussi," rengek Ara putus asa.

"Maaf, jangan marah Sayang. Aku minta maaf karena bersikap kekanakan. Kau mau bicara kan, ayo kita bicara," ujar Yoongi panik, tanpa sadar makin mengeratkan pelukan, tak peduli pada Ara yang kini terbatuk.

Tubuh Ara memang kecil, tetapi di situasi tak menguntungkan seperti ini, tenaganya bisa berkali lipat lebih besar. Alhasil, setelah mengumpulkan sisa tenaga yang ada akibat sesak dalam pelukan Yoongi, Ara berhasil mendorong Yoongi sampai mundur beberapa langkah dan pelukan terlepas secara otomatis.

"Yak! Kita tidak akan bisa bicara jika kau memelukku seperti itu, eoh!"

"Kenapa?" tanya Yoongi sedih. Jika tadi di pikirannya hanya rasa cemburu, kini ia mulai panik, takut jika Ara membenci dirinya.

"Pelukanmu terlalu erat, Ahjussi! Kau mau membunuhku atau bagaimana?!"

Rasa khawatir yang dirasakan Yoongi hilang begitu saja. Yoongi tersenyum, tak merasa bersalah akibat pelukannya yang terlampau erat, tetapi ia dengan setulus hati meminta maaf.

"Maafkan aku."

"Tidak!" jawab Ara angkuh.

"Kenapa lagi sekarang?" tanya Yoongi sedikit merengek, tidak ingat jika ia adalah pria dewasa nan mapan, jika sudah berhubungan dengan Ara, akal sehatnya bisa tiba-tiba lenyap.

"Katakan dulu kenapa kau marah, baru aku akan memaafkanmu!"

Yoongi tersenyum, kembali mendekat dan memeluk Ara, kali ini lebih lembut disertai ciuman manis pada kening sang gadis. "Baiklah, ayo bicara di atas ranjang. Teh panas, kue jahe dan pelukan Lim Ara, sepertinya kombinasi yang sangat pas untuk menghilangkan kebodohanku."

Setelah mengetahui sebuah fakta dalam kisah keluarganya, tentu saja Ara dapat menyimpulkan bahwa komunikasi yang baik adalah salah satu kunci sukses sebuah rumah tangga. Gadis itu mendengarkan dengan baik setiap kata yang keluar dari bilah tebal pria yang kini duduk di hadapannya itu. Tak ada tawa mengejek darinya, Ara mencoba memahami kesalahpahaman yang terjadi pada diri sang suami akibat dari ucapannya tempo hari lalu di Daegu, tentang Ara yang mengatakan bahwa ia dan Jimin bukan saudara kandung, Yoongi salah mengerti tawanya saat itu.

Bohong jika Ara mengatakan perasaannya pada Jimin sudah tidak ada, tetapi ada sebuah kebenaran lain yang tak dapat Ara tampik mengenai Yoongi, kebenaran bahwa pria itu telah mempunyai tempat istimewa di hatinya, dan kedua tempat bagi mereka itu tak bisa dibandingkan satu sama lain. Entahlah, Ara sendiri masih meraba isi hatinya untuk masalah itu.

"Maaf karena tidak rasional dan kekanakan. Aku benar-benar menyebalkan jika sudah cemburu. Maafkan aku, Queen, kau boleh menertawakan kebodohanku sekarang," ucap Yoongi pasrah, tatapannya sendu tetapi sangat tulus.

Ara ikut tersenyum ketika Yoongi mengakhiri ceritanya dengan senyum penuh sesalnya. Namun bukannya tertawa Ara justru mengikis jarak mereka, lantas memeluk tubuh Yoongi yang jauh lebih besar darinya, berusaha menyalurkan kehangatan yang ia punya, juga rasa cintanya yang seolah tak sampai pada pria itu.

"Ahjussi apa kau mendengarnya?" tanya Ara, "detak jantungku setiap kau memelukku, apa kau tidak menyadarinya? Bukankah itu berisik sekali?"

Yoongi mengangguk dalam pelukan Ara, tangannya begitu apik melingkar pada pinggang sempit gadis itu. "Ya, itu selalu berisik."

Ara melepaskan pelukan, kembali menghadap pria itu dengan binar dan senyuman tulus. "Lalu apa yang membuatmu meragukanku, Ahjussi? Apa pikiranmu sesempit itu, sampai menafsirkan kita yang belum pernah melakukannya sebagai penolakan pada cintamu? Apa nilai cintamu hanya seharga pertukaran keringat dan desahan saja?" Oh astaga, Ara sampai bergidik sendiri kala mengucapkan sesuatu yang begitu intim tersebut.

Yoongi kemudian meraih telapak tangan Ara, menautkan jemari mereka, dan menarik napas panjang sebelum menjawab, "Tidak munafik jika aku sangat menginginkan tubuhmu, Sayang. Ketika mencintaimu, aku menjadi begitu serakah. Tidak ingin berbagi apa pun dengan orang lain, dan ketika kau tidak bisa menjawab pertanyaanku tentang apa kau mencintaiku, atau masih mencintai kakakmu itu, perlahan aku menyadari bahwa hatimu telah terbagi lebih dulu untuk Jimin, maka yang ada di pikiranku adalah harus memiliki tubuhmu sepenuhnya untukku, agar setidaknya kelesahku ini sedikit terangkat." Yoongi menunduk, kini merasa bodoh karena benar telah berpikiran sesempit itu.

Ara tersenyum, sungguh ia sangat berusaha untuk mengerti posisi pria di hadapannya ini. "Ahjussi, ada banyak hal yang aku simpan sendiri, selain tak ingin orang lain terbebani akan masalahku, aku juga tidak bisa membiarkan orang lain ikut campur dalam masalahku yang rumit, tetapi aku telah memutuskan untuk membuka hati padamu, jadi kuharap kau akan benar-benar menepati janjimu untuk membuatku bahagia."

"Katakanlah, aku akan mendengarkan." Yoongi menyamankan posisi duduknya, dengan sorot yang tidak pernah lepas dari wajah gadis itu. Ranjang besar menjadi saksi, semoga hubungan mereka akan memiliki kemajuan jika saling terbuka seperti ini.

Ara menghela napas besar lebih dulu, merenungi beberapa hal tentang masa lalunya. "Ahjussi, kau tentu sudah tau bagaimana sulitnya aku melewati masa kecilku. Meskipun tidak bisa menebak dengan pasti, tentu kau bisa menebak apa yang terjadi pada anak kecil yang harus menyaksikan orang tuanya bertengkar lalu salah satunya tak pernah ada lagi di dalam lingkup keluarganya. Dulu ... Sangjun appa adalah super hero bagiku, pria terhebat dan terkeren, sosok cinta pertama bagi anak perempuannya ini. Sangjun appa adalah sosok yang hangat, dan keluargaku adalah keluarga sempurna bersama Jimin oppa dan Minkyung eomma. Memori masa kecilku tidak terlalu jelas, tetapi aku ingat bahwa kami berempat sering tertawa bersama. Rumah kecil tempat kami tinggal, terasa sangat hangat dan nyaman." Ara kemudian menyahut cangkir tehnya, membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja terasas kering sebelum melanjutkan.

"Lalu entah apa yang terjadi, appa dan eomma menjadi sering sekali bertengkar. Eomma yang akan menangis, dan appa yang akan pergi dari rumah setelah bertengkar. Saat itu aku hanya bisa ketakutan dan bersembunyi di bawah kolong tempat tidur, menangis dan berharap itu hanyalah satu dari mimpi buruk yang belum pernah aku alami. Mulai detik itu, satu-satunya tangan yang akan menarikku keluar dari kolong tempat tidur, yang akan memeluk dan menenangkanku hanyalah Jimin oppa. Oppa akan selalu berkata, 'jangan takut, peluk oppa saja', dan aku akan mulai tenang setelahnya."

Ara kembali merenung, memastikan ingatannya sebelum kembali memulai cerita, "Benar! Saat itu hanya ada Jimin oppa untukku karena eomma dan appa akan sibuk bertengkar dan melupakan keberadaan kami anak-anaknya. Ahjussi, Jimin oppa bukan hanya sekadar kakak untukku. Jimin oppa ... menggantikan peran appa dan eomma agar aku bisa tumbuh dengan baik. Oppa akan rela bolos sekolah hanya demi menonton pertunjukan yang harusnya dihadiri oleh orang tua masing-masing-- seperti Bora juga kan. Namun saat itu, benar-benar hanya ada Jimin oppa untukku bergantung. Bahkan ketika akhirnya appa benar-benar pergi, aku bisa bertahan untuk terus kuat hanya dengan Jimin oppa saja karena eomma juga ikut 'pergi'. Jimin oppa secara perlahan telah menggantikan figur cinta pertama seorang ayah dan panutan seorang ibu bagiku."

Tanpa Ara sadari, bulir bening sudah menganak sungai di kedua pipinya sejak tadi. "Sebagai kakak beradik, baik aku atau Jimin oppa seolah hanya punya satu sama lain untuk menggantungkan hidup. Kami berbagi apa pun berdua. Kasih sayang, cerita, tawa dan air mata. Jimin oppa selalu ada untukku, tapi semakin dewasa, aku justru begitu lancang mencintainya, dan kini jika kau bertanya apa aku masih mencintai Jimin oppa atau tidak, maka alasan aku mencintaiku Jimin oppa-lah yang menjadi alasan rumit bagiku untuk menghapus nama oppa dari hatiku. Ahjussi, aku mencintai Jimin oppa dengan sulit, lalu katakan bagaimana caraku untuk melupakan perasaanku padanya dengan mudah?"

Yoongi menghela napas panjang, menatap sang gadis dengan sorot bergetar sebelum kembali membenamkan tubuh mungil itu ke dalam dekapannya. "Maaf karena dulu mengolok cintamu pada Jimin tanpa bertanya atau mencari tau. Meskipun jika dulu aku tau alasanmu ini tetaplah menjijikkan, tetapi setidaknya aku akan lebih mengerti dan memahaminu, Queen. Maafkan aku."

Ara hanya tersenyum, mendongak dan mencuri satu kecupan di dagu Yoongi. Ara bisa merasakan hatinya terasa lapang setelah bisa menceritakan hal ini. Tidak ada solusi atau cara mengatasi cintanya pada Jimin, tetapi setidaknya hal yang ia simpan sejak lama, kini keluar melalui ucapan dan rasanya sangat lega.

"Lalu bagaimana denganku? Jika dibandingkan dengan Jimin, apakah aku punya lebih banyak cinta darimu?" tanya Yoongi setelah saling diam.

Ara terkekeh sebentar, menatap jauh pada dinding di mana televisi besar menggantung di sana. Gadis itu kembali memastikan bagaimana perasaannya yang sebenarnya.

"Aku tidak tau, Ahjussi. Cintaku pada Jimin oppa memang belum hilang, tetapi rasa cintamu seolah membuat ruang sendiri di hati dan pikiranku tanpa aku sadari. Bukankah aku juga sering berkata kalau aku mencintaimu?"

"Tidak apa-apa, itu tugasku untuk membuat ruang lebih besar di hatimu dengan cinta yang aku punya. Lalu setelah sangat besar, aku akan memastikan nama Jimin bukan lagi pria yang kau cintai."

"Ahjussi, mungkin itu sangat sulit. Kau mungkin butuh waktu lama untuk membuatku melepas seluruh bayang-bayang Jimin Oppa."

Yoongi melonggarkan pelukan, untuk sekadar memberikan senyuman terbaik. Yoongi hanya ingin Ara yakin jika ucapannya sungguh-sungguh dan berharap Ara merasakan kesungguhannya itu.

"Asal kau berjanji untuk bisa lepas, meskipun sangat perlahan, aku tidak akan lelah untuk membuatmu menyadari bahwa hanya aku yang pantas untukmu."

Ara tersenyum, menunduk sedikit saat perasaan takut tiba-tiba muncul. "Kau tahu Ahjussi?"

"Apa?"

"Sesuatu yang berlebihan itu tak pernah baik. Janji yang kau buat di Daegu bahkan hampir kau ingkari jika aku tidak berusaha membujukmu bicara, dan sekarang kau kembali berujar begitu manis seperti madu, tapi aku tiba-tiba takut."

Yoongi mengerutkan kening, tak begitu memahami ucapan Ara yang sengaja dipotong barusan. "Apa maksudmu? Kenapa justru takut?"

"Entahlah," jawab Ara mengembuskan napas panjang, tak tau kenapa hatinya seperti tengah kelelahan, padahal masalahnya telah usai. "Aku tidak pernah bisa mempercayai siapa pun selain Jimin oppa. Alasan aku selalu menolak ajakan kencan teman-temanku dan tak punya banyak teman dekat juga karena rasa tak percaya itu. Aku selalu merasa takut jika orang-orang yang tengah tersenyum padaku, tenyata menyimpan bara luka besar yang siap mereka lemparkan padaku. Aku memiliki kekhawatiran berlebihan akan disakiti jika percaya pada mereka, dan sekarang ... ketakutan itu juga aku rasakan saat kau bicara manis."

"Lim Ara, aku berjanji--" Yoongi terdiam karena ucapannya tiba-tiba dipotong oleh Ara.

"Ahjussi bisakah kau berhenti menjanjikan banyak hal? Bisakah kau bicara manis dan tunjukkan saja padaku apa itu bahagia yang akan kau berikan untukku. Aku tidak bercanda ketika aku bilang aku merasa ketakutanku kembali. Ahjussi, kau hanya perlu membuatku merasa nyaman dan percaya, bukan untuk terus memegang janji yang kau sendiri pun mungkin akan kewalahan nantinya, ok?"

Kali ini Yoongi lebih berbesar hati, ia tak banyak membantah karena dia sudah mulai mengerti pola pikir gadis ini. Ara mempunyai banyak luka sebelumnya, mempercayakan hidup sepenuhnya, tentu akan sangat sulit dilakukan gadis itu. Ara benar, dia hanya perlu melakukan banyak usaha, bukan banyak janji dan ucapan manis, memastikan jika semua hal baik yang ia rencankan untuk Ara terjadi dan berusaha keras untuk membawa bahagia, guna mengganti semua kesedihan dan trauma masa lalu seorang Lim Ara.

"Queen, aku tidak akan berjanji lagi, tapi kau harus terus menuntut banyak bahagia dariku. Agar kau percaya, betapa besar cintaku untukmu, Sayang. Ragukan aku sepuasmu, dan lihat sendiri bagaimana caraku meyakinkanmu."

Ara tersenyum mendengarnya. Perlahan ia merapatkan pelukan, meletakkan kepalanya tepat di dada kiri Yoongi yang detaknya terdengar sangat berisik. Akibat trauma masa kecilnya, Ara kehilangan banyak kepercayaan pada dunia. Hidupnya seolah dikutuk oleh Dewa, membuat Ara menjadi ketakutan dan selalu bersikap waspada pada semua hal. Ara menjadi pribadi yang biasa memendam segala rasa yang ia punya, baik suka, benci atau pun tangisannya.

Dulu ia punya Jimin untuk membuka diri, dan sekarang Ara mempunyai Min Yoongi tempatnya menyandarkan hati dan pikiran. Perlahan Ara mulai belajar membuka diri, mulai berusaha untuk percaya pada dunia bahwa hidupnya pun berharga. Ara sangat berharap, semua janji Yoongi tak akan menyakitinya di kemudian hari. Karena sesungguhnya Ara sudah sangat lelah menghadapi setiap masalah yang membelit lehernya sejak kecil.

Untuk pertama kalinya dan sebagai langkah awal ia mulai membuka hati pada pria di hadapannya ini, Ara memberanikan diri untuk memulai sebuah ciuman. Ciuman yang dengan secara sadar dia lakukan pada sosok yang akan menjadi pelindungnya.

Ahjussi, tolong jangan khianati kepercayaan yang aku berikan padamu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro