Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

80

Hmmmm pelan2 aja bacanya

.

.

.

Tadi, Ara sengaja memperlambat acara makannya, kemudian memaksa membasuh peralatan bekas makan malam walau Bibi Liu sudah melarang. Setelahnya, ia juga mengajak Yoongi menyesap teh hangat di halaman belakang, membicarakan banyak hal yang sebenarnya tidak penting. Lihat, kali ini Ara sedang menunjuk-nunjuk langit membicarakan tentang rasi bintang sementara Yoongi sejak tadi memperhatikan saja bagaimana gadis itu bertingkah.

Ada satu dua hal yang menggelitik hati Yoongi, dari bagaimana cara bibir Ara tak berhenti berbicara dan tertawa dengan seringai yang tidak mencapai mata, dari bagaimana binar bulatnya berkedip terlalu cepat. Pria itu sangat tahu jika sang istri sedang dilanda gugup yang luar biasa.

Merasa sudah cukup meladeni tingkah sang istri, Yoongi mengulas senyum sebelum beranjak dari duduk seraya mengulurkan tangannya.

"A-ahjussi?" cicit Ara dengan nada bertanya. Dia yang sejak tadi membicarakan tentang rasi bintang tiba-tiba terkesiap kala menatap uluran tangan sang suami, hati kecilnya tahu bahwa sudah saatnya dan tak ada gunanya terus mengulur waktu.

Mau tak mau Yoongi kembali menyaksikan bagaimana gadis itu menelan salivanya lamat saat tangan mereka akhirnya bertaut dengan Ara ikut berdiri.

"Queen, bukankah aku sudah bilang tadi jika aku menginginkanmu?" ucap Yoongi blak-blakan.

Dan tak membiarkan gadis itu menjawab, Yoongi tiba-tiba saja menggerakkan tangannya, membiarkan tubuh mereka berbentur tak berjarak dan mulai memberikan ciuman penuh hasrat. Terkesan buru-buru, tetapi kemudian berubah lembut dan begitu dalam sehingga Ara tak kuasa menolak meski risi karena mereka melakukannya di ruang terbuka.

Entah untuk berapa lama keduanya tersesat, kepala mereka bergerak ke kiri dan kanan seolah terus penasaran untuk menggali kenikmatan pada gerakan intens dalam tautan bibir, hingga kegiatan itu dengan terpaksa harus terhenti tatkala pasokan oksigen di antara kedunya menipis.

"Ahjussi kita sedang di taman belakang," ucap Ara tersengal saat kewarasannya kembali. Tangannya mulai sibuk ingin melepaskan tangan Yoongi yang mendekap tubuhnya erat, "kalau Bibi Liu melihat bagaimana?" tanyanya khawatir.

Terlihat, Yoongi hanya tertawa sebelum berbisik, "Bibi Liu tadi izin keluar kalau kau lupa."

"Uh huh!" pekik Ara, terlalu bingung untuk bereaksi yang mana karena Yoongi kini membenamkan wajah pada lekukan lehernya, di mana otak gadis itu kembali berkabut tatkala merasakan klaim demi klaim yang Yoongi daratkan dalam setiap kecupan di sana.

"Ah ... jussi ...," rengek Ara menggigit bibir bawahnya, antara nikmat dan takut jika Bibi Liu akan datang kapan saja di sana sementara tubuhnya berdesir hebat akan rangsangan memabukkan itu.

"Ahjussi ...," rengekan kedua dari Ara akhirnya berhasil menghentikan apa yang sedang Yoongi lakukan.

"Baiklah, kalau kau khawatir, kita lanjutkan di kamar kalau begitu."

Ara mengangguk saja, mengikuti ke arah mana Yoongi menuntun tubuhnya.

Cuaca malam ini cerah, di mana langit tanpa awan sedang menghamparkan ribuan bintang yang kerlipnya kalah cepat dari degup jantung Ara yang menggila. Tidak ada celah untuk kabur dan gadis itu menguatkan diri saja, toh Yoongi suaminya, sudah berjanji akan membuat ia bahagia bahkan sudah berkali-kali menyatakan kesungguhan cintanya. Jadi apa yang harus Ara khawatirkan lagi?

Kamar yang mereka tempati cukup nyaman, ranjang besar yang berada di tengah ruangan tampak bagus dan tidak berdecit saat Yoongi memeriksanya tadi siang saat Ara tertidur. Untuk urusan itu, tentu Yoongi sudah mengaturnya dengan sempurna. Bagaimana Bibi Liu yang selepas makan malam meminta izin keluar beralasan ingin bertemu teman-temannya, jelas ada keterlibatan Yoongi di sana. Tak di Busan, di Daegu pun jadi, begitu pikir Yoongi.

Lalu, dari cara bagaimana Yoongi mengunci pintu kamar dan memutar tubuhnya dengan tatapan intens tertuju pada Ara, dari cara bagaimana dia berjalan mendekat dengan senyum mengembang. Tanpa Ara sadari, tubuhnya sudah memantul lembut di atas ranjang dengan Yoongi kembali menciumnya begitu dalam, tubuh pria itu mengungkung Ara yang berdesir hebat di bawahnya, merasa bahwa apa yang sedang dia lakukan itu adalah benar walau berkali-kali perasaan janggal itu tebersit.

Ara dengan trauma masa kecilnya, Ara yang tersesat dengan perasaan cintanya pada Jimin dan Ara yang begitu bermasalah dengan rasa percaya terhadap laki-laki, kini benar-benar memasrahkan diri pada gempuran sentuhan Yoongi. Ya, pria yang seiring waktu mulai dia cintai dengan sangat.

Mata Ara terpejam, mengikuti saja bagaimana Yoongi memeta tubuhnya dengan sentuhan lembut di balik pakaian yang ia kenakan, sementara pria itu membuktikan tongue technology-nya lewat ciuman mendesak yang benar-benar membuat Ara terbuai tanpa bisa berpikir jernih.

"Hmmph ...," hanya kata itu yang mampu Ara ucapkan tatkala tatapan mata mereka bertaut dalam napas memburu, sedikit tidak rela kala sentuhan seduktif itu terhenti.

"Queen, jangan takut ok? Aku akan melakukannya selembut mungkin."

Ara mengangguk, memberi izin tatkala pria di atasnya mulai menyingkap baju yang ia pakai dan kembali membubuhkan banyak ciuman di sana.

Ini benar, sungguh sangat benar, kala desiran hebat itu membuat tubuh Ara menggeliat panas, pun dengan kewarasannya yang perlahan hilang. Dia mau Yoongi, dia menginginkan pria itu menghancurkannya dalam kenikmatan asing yang baru dia rasakan saat ini.

"Ahjussi, ja-jangan berhenti ...."

Senyum Yoongi semakin lebar, sungguh senang tatkala Ara juga menginginkannya. Maka tak ada alasan untuk berlama-lama, dengan piawai tangannya berhasil melepaskan pakaian atas sang gadis dan menyisakan panty peach berenda.

"Ah, peach berenda," ucap Yoongi dalam tawa lirih yang mau tak mau mengingatkannya pada Yuta.

Hingga di satu titik, tatapannya tertuju pada sesuatu.

***

Jadi, apa ada yang salah?

Rencana untuk bersatu dalam desah dan keringat malam ini gagal, saat akhirnya dia harus pergi ke apotek terdekat membeli pembalut dengan sayap yang jelas Yoongi tidak mengerti sama sekali.

Ara menangis, merasa bersalah karena tidak mengetahui kalau dia sedang datang bulan dan tangisnya semakin hebat saat sang suami menuntaskannya sendiri di kamar mandi dengan lenguh yang terdengar seperti derita.

Tentu saja ini bukan salah Ara, Yoongi sampai berusaha menyakinkan sang istri kalau dia tak apa-apa walau otaknya jadi pusing setengah mati.

Kembali pada Yoongi yang masih terjaga lewat tengah malam ini, berusaha menutup mata tetapi tak bisa juga. Satu tangannya mengusap lembut kepala sang istri yang tertidur nyaman dengan satu tangannya dijadikan bantal.

Satu pertanyaan besar terbentuk dalam otaknya saat ini, tentang kegiatan mereka yang beberapa kali harus tertunda, terlebih janji pada Bora yang masih belum juga terealisasi. Apa ini karena semesta tak merestui atau karena perasaan Ara masih begitu kuat pada Jimin? Yoongi benar-benar tak bisa mengenyahkan rasa cemburunya pada pemuda itu. Selain karena fakta bahwa Jimin dan Ara bukan saudara kandung telah jelas adanya, ucapan Ara siang tadi semakin memperbesar rasa curiganya.

Pandangannya tertuju pada jam dinding berisik di tengah ruangan, tatapannya gusar, pokoknya Yoongi kesal saja saat ini, terlebih asumsi-asumsi negatif yang terbangun di peta otaknya semakin malam semakin membuatnya senewen saja.

Bahkan dulu saja, Ara tak peduli pada norma dan aturan sosial dengan berani mencintai Jimin. Lalu bagaimana sekarang? Saat tak ada hal yang menjadi penghalang? Jujur saja, Yoongi merasa khawatir, takut jika Ara akan membuka kembali hatinya pada pemuda itu, apalagi Yoongi juga mengetahui jika Jimin sepertinya mencintai istrinya juga.

Yoongi bisa melawan semua pria yang mendekati orang tercinta, tetapi akan tetap kalah jika orang itu adalah Jimin-orang yang dicintai Ara. Mungkin satu-satunya cara adalah membantu Jimin untuk bisa cepat menikahi Yuna, tetapi Jimin pasti curiga jika ia bicara secara terus terang tentang hal itu, dan yang mungkin paling menyebalkan jika ada kemungkinan Jimin akan mempunyai kesempatan untuk membuka hatinya kembali untuk Ara.

Astaga, pikiran macam apa ini?

"Queen, jangan tinggalkan aku. Kau sungguh sangat mencintaiku kan? Ucapan aku juga mencintaimu dari bibirmu itu benar-benar untukku saja, kan?" Yoongi berbisik pelan, tepat di depan wajah Ara yang tenang dalam tidurnya, "baru kali ini aku sebegini rumitnya dalam mencintai. Hal sekecil itu harusnya bisa kutanyakan dengan jelas, tetapi jika jawabannya nanti menyakitkan, apa aku bisa menerimanya? Apa aku bisa melepasmu untuk orang yang kau cintai?"

Yoongi tiba-tiba saja melebarkan mata, memukul bibirnya kesal. "Enak saja! Tidak tidak. Biarpun kau mencintai Poseidon sekalipun, aku akan keringkan laut jika dia berani mendekatimu!"

Ara mengerang, sedikit terganggu dengan suara Yoongi yang menggebu-gebu dan hiperbola itu. Namun tak lama, Ara kembali terlelap saat merasakan tepukan halus berulang kali di punggungnya. Alam bawah sadarnya bergerak, membuat Ara merapatkan diri pada tubuh Yoongi yang terasa sangat hangat. "Ahjussi, dingin."

Baru saja Yoongi merasa kesal, bersungut-sungut dan hampir membuat keributan akibat pikiran bodohnya sendiri, sekarang pria itu justru tersenyum malu, memerah dari pipi sampai telinga. Astaga! Mantra apa yang dipakai Ara untuk membuatnya sedemikian lemah begini?

"Sayang, kau benar-benar mencintaiku kan?" bisik Yoongi, mengeratkan pelukan, meletakkan dagunya pada puncak kepala Ara. "Jika jawabannya tidak, jangan dijawab, diam saja dan aku akan menganggap kau mencintaiku. Tidak peduli bahkan jika Jimin memenuhi seluruh hatimu, maka aku akan membayar mahal dokter terbaik untuk mengganti hatimu dengan yang baru, dan akan aku isi semua dengan namaku saja."

"Ahjussi, kau berisik," ucap Ara mengerang protes.

"Aku sedang kesal! Sudah tidur saja!" balas Yoongi tak peduli.

"Tidak akan bisa tidur jika kau terus menggerutu," ujar Ara dengan suara serak. "Kenapa kau tidak tidur?" imbuhnya, kali ini membuka matanya sedikit.

"Kan aku sudah berkata, kalau aku sedang kesal!"

"Apa masih kesal karena tidak jadi?" tanya Ara mendongakkan kepala, menerima saja ciuman di kening dari pria yang sedari tadi menggerutu kesal itu.

"Ya sedikit, tapi tidak masalah, tapi ya aku masih kesal," ucap Yoongi jujur dengan jawaban berbelit seperti wanita sedang PMS, "andai kau tahu kalau aku tak bisa tenang kalau rencana membuat adik untuk Bora diundur terus ...."

Mata Ara sekarang terbuka sempurna, kembali merasa bersalah. "Maafkan aku, Ahjussi. Ini benar-benar diluar kuasaku. Hanya tiga hari, menstruasiku tidak pernah lama."

Ara hendak membetulkan posisinya dengan melepaskan pelukan dari tubuh sang pria, tetapi Yoongi menahan tangannya, menggerutu lagi.

"Aku akan semakin kesal kalau kau berani melepaskan pelukanmu? Kau sendiri yang memeluk, tega sekali kalau tiba-tiba melepaskan!"

"Ya sudah tidak jadi." Ara mengalah, toh tubuh Yoongi terlalu hangat untuk ia lepaskan. "Ahjussi, ayo tidur. Besok pagi kita harus pulang ke Seoul."

"Bukankah aku bilang kalau aku kesal?!"

"Kau akan lelah jika terus terjaga," jawab Ara berusaha sabar.

"Biar saja! Aku sudah lelah secara jiwa dan raga karena tidak jadi terus!"

Ara mengembuskan napas panjang sebelum menyahut, "Kau bilang mencintaiku, tapi tidak bisa menunggu sama sekali. Tiga hari lagi, aku akan menjadi milikmu seutuhnya."

Yoongi terdiam, agak tersentil hatinya. "Tidak akan minta maaf. Tetap kau yang salah!"

"Ya sudah, aku yang minta maaf," ucap Ara tersenyum, sebenarnya gadis itu benar-benar merasa bersalah dengan keadaan ini.

"Queen, kau mencintaiku kan?" ucap Yoongi lebih kepada tuduhan alih-alih pertanyaan.

"Apa yang kau tanyakan? Ahjussi, kau sepertinya lelah, tidur saja ya?"

Yoongi mendesah lelah, sedikit banyak merasa tak puas dengan jawaban Ara, tetapi ia memilih diam saja, takut sendiri jika jawaban Ara aku mencintai Jimin oppa. Ah, itu akan menyakiti hati dan harga dirinya sebagai seorang pria.

"Tidurlah, aku akan menepuk punggungmu lagi."

Ara mendesah pelan. "Baiklah, padahal tadinya aku ingin menciummu sepanjang malam, tapi kau malah inginnya dipeluk saja. Oke, aku tidur."

Mendengar pernyataan seperti itu, tentu saja Yoongi tak tinggal diam. Secepat kilat tubuh Ara dia dorong seraya membubuhkan ciuman-ciuman panasnya. Ara tertawa dan menerima saja perlakuan pria itu.

Sepanjang malam, siapa takut? Dari pada dia kesal terus kan?

Ara yang mengira jika Yoongi kesal karena gagal unboxing, tidak mengetahui jika pria itu tengah merasa rendah diri dan cemburu pada Lim Jimin.

==================

"Eomma!" Bora berteriak menyambut kedatangan kedua orang tuanya, tak peduli pada makan siangnya yang baru setengah ia habiskan.

Ara sendiri tertawa, merendahkan tubuh untuk membalas pelukan si buntalan lemak. Dengan gemas ia menciumi pipi Bora, membuat gadis kecil itu terkekeh senang.

"Eomma sangat merindukanmu, rubah kecilku."

"Eomma, mana adikku?" tagih Bora dengan semangat, wajahnya ceria dengan kedua sudut bibir terangkat lebar.

"Hah?" ucap Ara mengerjap, lantas jadi salah tingkah sendiri, mencoba menoleh pada Yoongi, tetapi sang suami justru melewatinya begitu saja, tak mau membantu sama sekali. Sialan!

"Adik tidak bisa jadi begitu saja hanya dalam beberapa hari, rubah kecil."

"Aku tau kok, tapi apa dia sudah ada di perut Eomma?"

Ara pusing sendiri jadinya. Bagaimana ya cara terbaik menjawab pertanyaan ini pada gadis kecil yang belum bisa dikatakan cukup umur, tetapi tidak juga memberi harapan yang akhirnya pasti akan menyakiti Bora juga nanti.

"Eomma kenapa diam?"

"Ah, doakan saja, oke. Agar Tuhan segera menitipkan adik bayi di perut Eomma." Ara bicara sepelan mungkin, tetapi Yoongi yang duduk di kursi makan menyahut sengit.

"Tuhan tidak akan pernah mengabulkan kalau manusia tidak berusaha!"

Oh, mulut sialan! Sudah tidak mau membantu, masih juga membuat rumit dirinya yang tengah berusaha keras memberi pengertian pada sangat putri. Mungkin begitu maki Ara sekarang yang terpancar pada delikan matanya yang tajam.

Ara menghela napas sabar, berdiri lalu menggandeng tangan Bora untuk kembali ke meja makan. Semoga jika Ara bisa mengalihkan fokus Bora, maka gadis ini akan melupakan pertanyaan seputar peradikan ini.

"Wah, masakan Go Imo sangat enak. Ayo lanjutkan makannya."

Bora tertawa kecil, mengangguk dan menurut untuk kembali duduk. "Eomma, lelah tidak? Boleh suapi aku tidak? Yuna eomma selalu menyuapiku, tapi aku selalu saja ingat Eomma."

"Tentu saja boleh!" jawab Ara riang. "Tapi Sayang, jika sedang bersama Yuna Eomma, kau tidak boleh membicarakan bagaimana Eomma selama ini merawatmu ya?"

"Kenapa?"

"Yuna eomma nanti sedih. Kau tidak mau kan Yuna eomma sedih dan pergi lagi?"

Mata Bora melebar, otak kecilnya seolah langsung tersetrum dan tubuhnya meremang seketika. Benar bahwa Yuna baru saja datang ke hidupnya, tetapi kenyataan bahwa Yuna adalah ibu kandung yang selama ini dia rindukan, tentu mempunyai tempat spesial di dalam hatinya.

"Aku mengerti."

"Anak pintar," puji Ara mulai menyuapi Bora.

Ara heran melihat Yoongi diam saja, tetapi tetap duduk di meja makan. "Ahjussi, kau mau makan?"

"Tidak."

"Lalu kenapa masih di sini?"

"Memang kau mau aku di mana? Di Sungai Amazon? Berenang dengan piranha dan belut listrik?!"

Dijawab sengit begitu, Ara tentu saja merasa terkejut. Padahal tadi malam benar-benar bercumbu semalaman lho, kenapa masih kesal saja. Sepertinya Ara yang tengah datang bulan, tetapi kenapa justru Yoongi yang begitu sensitif dari kemarin. Mau tidak mau di kondisi perut sakit dan psikis berubah karena hormonnya yang naik, Ara ikut merasa kesal juga jadinya.

"Ya kalau kau mau berenang di sungai Amazon silakan saja! Pergi sana!"

"Kau mengusirku?!"

Bora menoleh ke kanan dan kiri, bingung dengan tingkah kedua orang tuanya. "Appa dan Eomma kenapa?"

"Tidak ada!" jawab keduanya bersamaan dengan nada suara yang naik.

Mendengar ia seolah dibentak, berganti Bora yang terkejut karena ulah kekanakan keduanya. "Kenapa Eomma dan Appa membentakku?" tanyanya sedih.

Ara langsung menatap sengit pada Yoongi, menyalahkan pria itu yang membuat mood-nya berantakan. Ara membuang pandangan, kesal pada Yoongi dengan mulut menggerutu tanpa suara.

"Eomma, apa aku nakal karena minta disuapi? Apa Eomma lelah?"

Mati sajalah untuk Ara. Bagaimana suara sedih Bora langsung membuatnya merasa amat bersalah. Namun, rasa bersalahnya pada Bora justru meningkatkan rasa kesalnya pada Yoongi.

Ara memejamkan mata, menarik napas beberapa kali guna menenangkan diri. Di saat merasa sudah lebih baik, Ara beralih pada Bora yang matanya berkaca-kaca. Dengan lembut Ara mengusap rambut anaknya itu, mencium sayang pipi berlemak Bora.

"Maaf ya, Eomma mungkin lelah, tapi Bora bukan anak nakal karena minta disuapi. Ayo kita makan lagi," ujar Ara ceria.

"Oke!" Bora kembali merasa senang, menerima lagi suapan dari Ara.

Yoongi mengusap kepala anaknya, membuat Bora menoleh, menatapnya heran. "Maaf."

"Tidak!"

"Kenapa?" tanya Yoongi tak terima. "Eomma dimaafkan, kenapa Appa tidak?"

"Appa tidak termaafkan karena berbohong! Katanya jika aku tidak ikut ke Busan, Appa akan membawakan adik bayi untukku, tapi kata Eomma adik bayi belum jadi! Appa bohong!"

Yoongi meringis, menatap sesal pada Bora. Beralih pada Ara, menatapnya untuk meminta bantuan agar gadis itu mau membantu menyelamatkan situasi, tetapi yang terjadi justru Ara menatapnya dengan tatapan menyalahkan, lalu membuang muka dengan wajah tak senang. Sial!

"Jadi Appa ... kapan aku punya adik bayi?" rengek Bora, mengguncang lengan ayahnya.

Yoongi sialan! Gara-gara mulut sialanmu itu, aku yakin hidupku akan terus dihantui masalah peradikan ini!

=====================

JANGAN HUJAT AKU YAAAA... KABUUURRRR

Tomboh misuh, silakan ... Tp kalo kasar aku hapus

PERCAYALAH APA YANG AKU LAKUKAN ADA ALASANNYA HEHE

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro