75
Target vote tetap 100, klo ada salah marga or nama kabarin...ini baru bangun ih udah ada gedor update. Dah kyk cinderella aja nih update
.
.
.
Ara lega, tatkala melihat bahwa kehidupan dia dan orang-orang sekitarnya mulai membaik. Hari ini Minkyung pulang ke rumah setelah hampir satu bulan menjalani perawatan di rumah sakit. Dua kali kontrol kembali dan gips yang melingkari kakinya bisa ditanggalkan. Tawa Minkyung begitu lepas, terlihat raut bahagia atas beban hati yang telah sirna. Jimin juga berniat akan segera menikahi Yuna ketika sang ibu sudah benar-benar sembuh nanti, dan tentang Ara ... Minkyung sadar bahwa ia telah berlaku tidak adil pada anak itu. Lalu jika ia tetap bersikap canggung, selalu berpikir buruk tentang Ara, tentu hal itu tak dapat dimaafkan lagi.
Ara sudah berbesar hati, berusaha berulang kali meminta maaf dan juga telah melakukan tugasnya sebagai seorang putri. Di tengah kesibukan Jimin, Dialah yang selalu menjaganya di rumah sakit. Tak pernah mengeluh meski gurat lelah di wajah anaknya itu begitu kentara. Maka kini, Minkyung ingin membuka lembaran baru dengan hati yang baru, yang lebih luas seperti hati putrinya. Biar saja jika memang Ara adalah anak sang suami dengan selingkuhannya, memangnya kenapa? Apa seseorang yang bisa dipanggil anak itu, jika terlahir dari rahimnya sendiri? Setidaknya, itulah ujar Yoongi pada suatu hari saat dia ikut menjaga Minkyung di rumah sakit.
"Astaga, cucuku tertidur. Dia pasti lelah sekali karena neneknya ini sangat merepotkan," ujar Minkyung dari atas tempat tidurnya.
Ara yang tengah memangku Bora, tersenyum. Anaknya benar-benar tertidur tanpa melepaskan tautan tangan Yuna yang duduk di sebelahnya. Sepertinya Bora sudah mulai terbiasa dengan dua ibu. Rubah kecil itu bahkan tidak segan-segan memonopoli keduanya jika sedang ingin dimanja. Hal itu kadang membuat Yoongi sebagai ayah mendengkus kesal karena merasa tidak dibutuhkan lagi.
"Eomma, aku akan menidurkan Bora di kamarku," pamit Ara pada ibunya.
"Ya, tidurkan dia, Ra-ya. Kalian harus tetap di sini untuk makan malam."
"Kami tidak akan kemana-mana, Eommonim." Yoongi segera mendekat, mengambil Bora dari pangkuan Ara. "Biar aku yang menggendongnya ke kamar."
Yuna melepaskan tangan Bora dengan tidak rela, padahal banyak waktu yang telah ia habiskan dengan anaknya itu karena Ara memaksa untuk lebih banyak waktu merawat ibunya dan ia ditugaskan menjaga Bora, sekalian agar hubungan keduanya semakin dekat, tetapi tetap saja, delapan tahun yang telah ia lewatkan bersama Bora, tentu tak semudah itu pudar hanya dalam waktu hampir satu bulan ini.
"Eomma, istirahatlah. Dokter berkata Eomma harus banyak istirahat agar cepat pulih." Jimin membenarkan selimut ibunya setelah dengan lembut membaringkan tubuh Minkyung.
"Ya, Eomma janji akan segera sembuh. Eomma sudah tidak sabar ingin melihat kalian menikah, Jim."
Jimin tersenyum, mencium pipi Minkyung dengan sayang. "Ya, setelah Eomma sembuh, aku akan segera menikah dengan Yuna."
Yuna berjalan mendekat, menggenggam lembut tangan Minkyung. "Eommonim, maaf karena masa laluku, dan terima kasih karena tetap mau menerimaku sebagai calon istri Jimin."
"Kau tidak perlu minta maaf atau berterima kasih. Semua orang punya takdirnya masing-masing. Justru aku yang seharusnya berterima kasih padamu, Na-ya. Kau telah menjaga anakku selama di Amerika, memberikannya begitu banyak perhatian yang tidak bisa aku berikan secara langsung."
"Jimin yang selalu menjagaku, Eommonim. Aku hanya merepotkannya saja selama di sana."
"Aigoo," sela Jimin, "apa ini yang namanya persekongkolan? Eomma bahkan tak pernah lagi menatapku ketika bicara pada Yuna. Aih, aku jadi takut kalau nanti Yuna benar-benar sudah menjadi menantumu, Eomma hanya akan menyayangi Yuna."
"Bicara apa anak bodoh ini!" ujar Minkyung memukul lengan Jimin lalu tertawa.
"Nah lihat, Eomma memukulku karena Yuna!" ucap Jimin pura-pura merajuk. Lalu ia justru berteriak karena Yuna mencubit lengannya. "Yak! Kalian berdua benar-benar!"
"Berlebihan sekali!" kesal Yuna lalu mengubah raut wajahnya lebih lembut kepada Minkyung. "Eommonim, aku akan ke dapur untuk menyiapkan beberapa menu ringan untuk Bora."
"Kau tidak perlu repot-repot, Na-ya. Jimin dan Yoongi sudah memesan banyak makanan tadi. Istirahatlah di kamar Jimin, biar Jimin tidur di kamar mandi."
"Yak! Eomma!"
Minkyung tertawa melihat anak lelakinya merajuk, membiarkan saja saat Jimin ikut keluar bersama Yuna. Setelah pintu tertutup ia menghela napas panjang, merasa seperti hidup kembali setelah melepas beban yang selama bertahun-tahun ia simpan dalam hati.
***
Yoongi menidurkan Bora di atas ranjang sempit milik Ara. Dengan lembut ia menepuk lengan atas anaknya agar kembali tenang karena tadi sempat terusik. Ia baru mengalihkan fokus saat mendengar pintu tertutup.
"Kenapa kembali? Kau bilang ingin membuatkan teh untukku?"
Ara tersenyum canggung. "Umm ... Yuna eonnie dan oppa sedang bermesraan di dapur. Aku segan mendekat karena takut mengganggu."
Yoongi terlihat tersenyum tipis. "Kau segan atau takut sakit hati, hm?" tanya Yoongi, bangkit untuk duduk dan menatap Ara yang kini justru mendengkus lirih.
"Lihat lidahmu itu! Bicara sembarangan! Oppa sudah menemukan kebahagiaannya, bagaimana mungkin aku sakit hati!"
"Benar tidak sakit hati?" goda Yoongi menelisik wajah sang istri setelah mengikis jarak.
Ara diam beberapa saat, lalu tiba-tiba saja tertawa pelan. "Sedikit."
"Kukira kau sudah bisa menghapus perasaanmu pada kakakmu itu, ternyata!"
Ara tentu mengerti dengan nada suara Yoongi yang kentara sekali ketidaksukaannya. "Huh, kau kira semudah itu? Ahjussi, kau bahkan butuh waktu delapan tahun untuk bisa mengendalikan perasaanmu pada Yuna eonnie, dan aku yakin, kau pasti masih memiliki perasaan padanya meski hanya sedikit."
"Omong kosong," ucap Yoongi lebih cepat dari dugaannya sendiri, matanya mengerjap jelas tak suka dengan apa yang dikemukakan Ara.
Ara tidak mau berdebat lagi. Selain tak mau membuat Yoongi semakin berpikiran aneh, ia juga sekarang tidak mau menyakiti diri sendiri dengan pikiran negatif. Ara bahkan sering mendoktrin dirinya, bahwa Yuna hanyalah masa lalu Yoongi dan ia pantas untuk bahagia tatkala melihat perubahan sikap Yoongi yang kini jauh lebih bisa mengungkapkan isi hatinya. Termasuk kecemburuannya sekarang ini.
Jadi , Ara lebih memilih untuk duduk di depan meja, beralaskan bantal duduk dan mulai melihat-lihat apa saja yang ia tinggalkan saat pindah ke apartemen Yoongi. Satu objek kecil sangat menarik perhatiannya, tergeletak manis di atas kotak kaca, tepat di samping tempat pensil miliknya.
"Sedang apa?" tanya Yoongi yang ikut duduk di belakang Ara, memeluk gadis itu tanpa permisi.
"Tidak boleh ada sentuhan tanpa izin. Ahjussi, kau melanggar perjanjian."
"Aku akan segera membakar surat perjanjian itu," ujar Yoongi masa bodo, ia lebih tertarik pada benda yang ada di tangan istrinya itu. "Jepit rambut?"
"Mn."
Merasa janggal, kenapa jepit rambut kecil saja bisa menarik semua perhatian Ara, Yoongi kembali cemburu. Gadis itu bahkan hanya mendengung tanpa mengalihkan pandangan padanya. Padahal jelas-jelas mereka jarang memiliki waktu berdua seperti ini, dan kini Ara justru lebih fokus pada jepitan rambut jelek itu ketimbang dia yang tampan sempurna itu.
"Jelek," komentarnya dengan nada ketus.
"Kau kenapa lagi, Ahjussi?"
"Buang saja, aku bisa membelikanmu yang jauh lebih mahal."
"Enak saja! Aku bahkan mengira ini sudah hilang, beruntung oppa membawanya kembali. Ini hanya tersisa satu, kau tau!" balas Ara tak kalah kesal.
"Memangnya itu dari siapa sampai kau tidak memperhatikanku hanya demi jepit rambut jelek itu, eoh?"
"Ahjussi, ini pemberian appa-ku."
Lidah Yoongi langsung terasa kebas saja. Ia bahkan merutuki diri sendiri karena begitu kekanakan karena takut jika Ara mempunyai minat lain yang bisa mengalahkan dirinya.
"Maaf," ucap Yoongi merapatkan pelukan. Ia bahkan semakin lancang karena berani mencium pipi Ara.
"Ahjussi, kau benar-benar melanggar banyak peraturan yang kita buat."
"Aku akan membayar kompensasinya nanti. Setelah itu aku akan membuat surat perjanjian lain."
Hati Ara tercubit begitu mendengar penuturan sang suami tersebut. Ia kira perasaan Yoongi mulai tulus, ternyata tak lebih dari kontrak baru. "Kontrak baru ya?" tanya Ara lirih.
"Ya," jawab Yoongi, "kontrak baru dengan tempo seumur hidup bersamaku. Kau mau kan?"
Kalian tau rasanya geli bukan? Begitulah yang kini dirasakan Ara di dalam perutnya. Senyumnya mengembang, menunduk malu tanpa berani menjawab.
"Hei, kenapa diam? Kau tidak mau?"
Ara berdeham canggung, merasakan pipinya yang tiba-tiba saja terasa panas. "Aku akan memikirkannya dulu. Kali ini seumur hidup, tentu aku harus memikirkan poin penting yang menguntungkanku, bukan?"
"Kau boleh menghabiskan seribu lembar kertas untuk menulis semua permintaanmu, aku akan mengabulkannya."
Ara tertawa pelan, tanpa sengaja mendongak dan Yoongi langsung mencium keningnya. Hal itu tentu sangat menyenangkan bagi gadis itu. Sepertinya memberi satu kesempatan pada dirinya dan Yoongi untuk saling mendekat lebih intim tidak ada salahnya juga. Toh Yuna juga meyakinkan bahwa ia tak akan kembali pada Yoongi karena akan tetap menikah dengan Jimin.
"Ahjussi, kau pandai sekali bersilat lidah."
"Aku lebih pandai menggunakan lidahku untuk hal lain. Kau mau mencoba?" tanya Yoongi mesum.
"Tidak tahu malu!"
"Kenapa harus malu, kau istriku. Aku sudah mengucapkan sumpahku di hadapan pendeta."
"Kita masih di dalam kontrak lima tahun, aku belum mengatakan iya untuk kontrak seumur hidup yang kau ajukan."
Yoongi tertawa rendah, suaranya terasa sampai di dalam jantung Ara. "Aku pastikan kau akan segera mengatakan iya. Kau tau, pesonaku itu tak mudah untuk ditolak."
"Percaya diri sekali!"
"Tentu saja. Min Yoongi, siapa yang tak akan bertekuk lutut padaku, mn?"
Ara mendengkus, tetapi dalam hati membenarkan juga tentang hal itu. Dia bahkan sudah terjerat duda beranak satu ini sejak lama, tetapi harus kalah dengan ego karena tak ingin jatuh pada pria yang masih terkurung dalam masa lalunya. Namun kini, Ara akan mulai membuka hatinya untuk Yoongi.
Keduanya lalu saling diam dalam posisi yang sama, hanya saling memberikan kehangatan lewat tangan yang pria itu lingkarkan di tubuh Ara. Cukup lama, sampai gadis itu membuka topik lebih dulu.
"Ahjussi."
"Mn?"
"Beberapa hari ini aku terus memikirkan hal ini. Pertemuanku dengan Bora bukan hanya tentang anak itu yang membutuhkan kasih sayang seorang ibu, tetapi karena nasib kami yang terbilang mirip. Bukan hanya Bora yang butuh kasih sayang, ternyata aku pun juga membutuhkannya dari kalian berdua. Sejak kecil aku membenci appa karena telah meninggalkan keluarga kami, tetapi beberapa malam ini ... entah mengapa aku sangat merindukannya. Seperti kisah Bora yang ternyata tak seburuk itu, aku mempunyai angan-angan, jika aku bertemu appa dan bertanya tentang alasan dia meninggalkan kami, apa aku akan merasa lebih baik, atau justru lebih buruk?"
"Kau tidak akan menemukan jawabannya jika tidak bertemu dengannya."
Ara mengangguk setuju. "Tapi oppa tidak tau di mana appa, dan aku juga tidak mungkin bertanya pada eomma."
"Kau mau bertemu dengan appa-mu?"
"Ya. Apa Ahjussi mau membantuku mencari dia?"
Yoongi diam beberapa saat, menatap wajah Ara dari samping. "Jika nanti harapanmu saat ini berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada, apa kau akan baik-baik saja?"
"Jika memang appa pergi karena tak menyayangi keluarga kami, aku akan menangis di pelukan Ahjussi."
Yoongi tersenyum, mengaitkan anak rambut Ara ke belakang telinga. "Janji?"
"Mn. Jadi Ahjussi mau membantuku, kan?"
"Tentu! Segalanya untukmu My Queen."
Ah panggilan Queen itu terdengar kembali dan rasanya hal tersebut cukup bagi Ara untuk benar-benar membuka hatinya untuk Yoongi.
=====
Hari yang terasa cukup lama, Min Yoongi melangkahkan kaki berbalut celana hitam panjangnya dengan berat. Ia baru bisa pulang ke rumah pada waktu larut begini karena harus lembur di kantor. Apartemennya sudah gelap, jelas jika semua orang pasti sudah tidur, ini sudah jam sebelas lebih dua puluh menit. Kesibukan lainnya di jam kerja, membuat Yoongi harus rela lembur untuk menyelesaikan pekerjaan yang tertunda. Yoongi merasa tak masalah tentang itu, hanya saja dia memang tidak lagi punya tenaga lebih hari ini.
Tangannya membuka pintu kamar dengan lesu, menghela napas panjang saat melihat Ara yang tengah berbaring santai di sofa dengan toples berisi camilan di atas perut. Gadis itu tengah fokus pada ponselnya, entah menonton apa karena Ara tiba-tiba tertawa. Yoongi menggelengkan kepala, tersenyum tipis sedikit miris melihat banyak sampah makanan dan minuman ringan yang berserakan di karpet, tepat di bawah sofa itu.
"Oh, Ahjussi. Kau sudah pulang?" tanya Ara tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel.
Melihat hal tersebut tentu saja Yoongi hampir menjatuhkan rahangnya. Apa-apaan sikap istrinya barusan itu, berniat bertanya atau hanya basa-basi? Ara bahkan tak mau repot menoleh atau memberikan senyum manis untuknya. Mulut gadis itu sibuk mengunyah, dengan mata begitu fokus dan tak beranjak dari acara berbaringnya.
"Kenapa belum tidur?" tanya Yoongi melepaskan dasi yang terasa mencekik lehernya. Ia menghela napas, menanti jawaban Ara yang ternyata tak juga menjawab. Yoongi mengalah, setelah melepaskan kemeja kerjanya dan menyisakan kaos putih berlengan pendek, ia melangkah mendekat ke sofa, duduk di lantai hanya untuk mengusap rambut Ara yang ternyata ... oh, kusut sekali dan berminyak!
"Seharian kau tidak mandi ya?" tuduh Yoongi.
"Hemat air, Ahjussi. Demi keselamatan bumi dari kekurangan air di masa depan, aku memutuskan untuk mengurangi jatah mandiku. Mungkin dua atau tiga kali seminggu sudah cukup. Aduh!" teriak Ara tiba-tiba karena Yoongi menjepit hidungnya dengan keras. "Ahjussi, sakit!"
"Tak peduli kau mau sakit atau apa," ujar Yoongi kesal, "pemikiran dari mana kalau tidak mandi bisa menyelamatkan bumi. Bilang saja kau malas!"
"Itu tau," jawab Ara santai, mengambil lagi kue kering yang tadi dibuatkan Go imo untuknya. "Kau tidak mandi?"
"Ayo mandi bersamaku," ajak Yoongi, tetapi Ara justru mendengkus.
"Mati sajalah!"
Yoongi terkekeh, mencubit pipi Ara yang ternyata lebih berlemak sekarang. Setau Yoongi, Ara sangat menjaga berat badannya, bahkan tidak mau terlalu banyak mengkonsumsi makanan ringan karena takut gemuk, katanya.
"Pipimu berkembang seperti kue mandu, kenyal begini kau makan apa saja, Sayang?"
Ara merasa risi dengan tangan Yoongi yang terus mencubiti pipinya. Ia menghempaskan tangan sang pria begitu saja. "Kau mau mengataiku gendut, Ahjussi?!"
"Tidak, hanya ingin bilang sepertinya hidupmu lebih bebas sekarang. Dulu bahkan kau tak pernah mau makan camilan terlalu banyak. Bahkan kau terus membatasi makan malammu. Aku akan sangat senang jika kau mengatakan bahwa hidupmu menjadi lebih bahagia ... itu karena aku, Queen."
Ara tersipu, menunduk dan mematikan ponselnya. Ia beralih untuk duduk, menatap Yoongi yang masih setia duduk di bawah lalu Ara tersenyum lembut. Tangan kecilnya menggenggam tangan besar Yoongi, melihat perbedaan ukuran dan warna kulit keduanya yang ternyata terlihat cocok sekali. Cincin di tangan Yoongi bersinar karena pantulan lampu, Ara menyentuh bagian atasnya dan senyumannya semakin lebar.
Yoongi mendongak, ikut tersenyum dan membiarkan saja apa yang dilakukan Ara pada tangannya. "Kenapa tersenyum lebar sekali?"
"Ahjussi, cincin ini sudah ada sejak hari pernikahan kita, tapi kenapa baru sekarang aku merasa cincin ini lain?"
"Lain bagaimana?"
"Lebih indah. Menurutmu kenapa bisa seperti itu?" tanya Ara memiringkan kepalanya, mengusap lembut rahang tegas Yoongi.
Yoongi menunduk malu, tidak mungkin dia tidak tahu jika Ara tengah ingin berkata manis, tetapi ia benar-benar merasa tidak kuat jika gadis berisik ini bersikap manis. Wajah tegasnya sangat tak sesuai dengan hatinya yang selembut pantat bayi.
"Memang kenapa?" tanya Yoongi akhirnya, mengulum bibir berusaha menahan senyumannya.
"Tidak tau, mungkin saja Ahjussi sudah menjual yang lama dan mengganti dengan yang baru. Jadi ini terlihat berbeda." Jawaban Ara jelas meruntuhkan semua ekspetasinya, membuat Yoongi langsung mendekat dan menggelitiki perut Ara sampai gadis itu tertawa begitu keras, hampir jatuh ke lantai jika Yoongi tidak sigap menahan tubuhnya.
"Katakan yang benar, kalau tidak aku tidak akan melepaskanmu!"
Ara berusaha mengelak, menggoyangkan tubuhnya ke kanan dan kiri agar tangan Yoongi tidak terus menggelitiki perutnya. Ia merasa sangat geli, perutnya bahkan sudah mulai kaku dan Ara juga mulai lelah tertawa. Ia bahkan sampai menangis saking kerasnya tertawa.
"Ahjussi, aduh! Ampuni aku, aku menyerah! Agh! Geli sekali!"
Mungkin karena fokusnya hanya pada perutnya yang geli, Ara sampai tidak sadar dengan posisinya saat ini, di mana Yoongi tengah menindihnya di atas sofa.
"Katakan dengan benar!" tuntut Yoongi.
"Oke, oke!"
Yoongi akhirnya menghentikan tangannya, menatap Ara yang terengah-engah di bawahnya karena terlalu banyak tertawa. Yoongi merapikan rambut Ara ketika dilihatnya gadis itu sangat terganggu dengan rambutnya yang menempel di wajah. Lalu dia terkejut sendiri akhirnya. Wajah Ara yang merah dan basah, masih terengah-engah dengan senyuman lebar ketika menatapnya. Astaga, singa dalam diri Yoongi serasa ingin melompat keluar dan menerjang gadis ini.
"Ahjussi," panggil Ara yang membuat angan-angan mesum Yoongi tentang gadis itu buyar.
"Ya?"
"Ahjussi benar, aku lebih merasa bebas sekarang. Ahjussi boleh merasa senang, karena aku memang merasa sangat bahagia karenamu. Terlalu banyak waktu yang aku habiskan hanya untuk mencintai Jimin oppa dengan salah. Aku tidak pernah merasa dicintai dengan tulus sebelum bertemu denganmu. Semua teman-teman lelakiku, yang terus saja berisik dengan pernyataan cintanya, aku sama sekali tidak merasakan apa pun dari perhatian mereka selama ini, tetapi Ahjussi berbeda. Bahkan hanya melihat tatapanmu padaku, aku tau Ahjussi mencintaiku begitu besar. Apa aku benar?"
Yoongi memaki Ara dalam hati. Bagaimana mulut sialan itu begitu manis ketika berucap? Sial! Yoongi bisa merasakan pipinya memanas, pasti sudah memerah sekarang. Yoongi bahkan tidak bisa menyembunyikan senyumannya.
Ara mengulurkan tangannya, mengusap pipi Yoongi yang masih betah berada di atasnya-- menjaga sedikit jarak dengan menyangga lengan kekarnya agar tak sampai menimpa dirinya. "Pipimu sudah memerah, Ahjussi."
Yoongi mengangguk, memejamkan mata guna menikmati sapuan lembut tangan Ara di pipinya. Itu sangat nyaman. "Aku mencintaimu."
"Apa Ahjussi sudah bisa melupakan Yuna eonnie?"
"Tidak."
"Ha? Tidak?" tanya Ara dengan sedih.
"Aku tidak mungkin melupakan ibu dari anakku, Queen. Namun yang perlu kau tahu ... di dalam hatiku, entah sejak kapan posisi Yuna sudah tergantikan olehmu."
"Benarkah?" tanya Ara lagi, penuh harap agar keyakinan dalam dirinya bisa tumbuh semakin besar.
"Ya," jawab Yoongi tegas. "Lalu bagaimana denganmu, apa kau masih mencintai kakakmu?"
Kali ini Ara diam, tidak bisa memastikan hal itu dengan benar. Jika lupa, maka Ara masihlah gadis delapan belas tahun yang tidak punya pengalaman hidup tentang cinta. Masa remajanya habis untuk mencintai Jimin, dan jika sekarang ditanya, meski gadis itu sudah mengikhlaskan Jimin menikah dengan Yuna, tetap saja Ara masih merasa bingung dengan perasaannya sendiri.
"Aku tidak tahu."
Yoongi tersenyum maklum, mencium kening Ara lembut. "Tidak apa-apa. Jika kau masih bingung atau bahkan masih mencintai kakakmu itu, maka aku akan membuatmu berpaling padaku secepatnya, hingga kau bahkan tak akan mau lepas dariku. Pegang janjiku."
"Ahjussi, kau dulu sangat menyebalkan. Aku bahkan tak bisa membayangkan kau bisa semanis ini. Ah, bagaimana ini. Sepertinya aku benar-benar bisa luluh dalam waktu dekat jika kau terus seperti ini."
"Kenapa begitu?"
"Jika boleh jujur, bahkan dengan sikapmu yang sangat menyebalkan itu, perlahan-lahan ada ruang lain di hatiku. 'Khusus Min Yoongi' tertulis di sana."
"Berhenti bicara manis, Lim Ara! Mulutmu berbahaya sekali."
Ara jelas tertawa, mendongak hingga lehernya terpampang di depan wajah Yoongi yang langsung merunduk untuk mengecup lehernya. Ara tersentak, merasakan seolah ada aliran listrik ditubuhnya. Matanya bahkan terbuka lebar, beberapa saat sampai lupa bernapas. Apa yang baru saja dilakukan Yoongi?
Yoongi sendiri kini mulai menunduk, mengendus perpotongan leher Ara, naik hingga ke telinga, berbisik di sana, "kau sangat cantik ketika tertawa, Sayang. Teruslah tertawa, karena aku membenci tangisanmu. Aku berjanji akan terus membuatmu bahagia. Aku mencintaimu."
Ara bisa merasakan lidah Yoongi di kulitnya. Ara bahkan bisa merasakan sesuatu dalam dirinya tengah meminta sentuhan Yoongi yang lebih intim lagi. Hanya saja ... trauma masa kecilnya tidak membiarkan Ara menerima semua perlakuan Yoongi ini. Ada rasa takut yang sangat besar ketika bayangan pertengkaran orang tuanya begitu nyata di depan matanya. Ara benar-benar belum siap menyerahkan tubuhnya.
"Ahjussi, tolong berhenti," ucapnya dengan nada bergetar, siap untuk menangis.
Yoongi seolah tuli, tangannya bahkan sudah masuk ke dalam kaos rumah yang di kenakan Ara, mengusap seduktif. "Aku mencintaimu, Lim Ara."
Napas Ara mulai memburu. Antara nafsunya yang mulai bangkit dan rasa trauma yang mendominasi, ia benar-benar kacau, dan ketika Yoongi ingin melepaskan pakaian yang ia kenakan, ketukan brutal di pintu membuat Ara sangat bersyukur.
"Eomma! Buka pintunya!" teriak Bora sambil menangis.
"Ahjussi, minggir!" Ara mendorong tubuh besar Yoongi hingga pria itu oleng dan jatuh ke karpet dengan debuman kuat. Ingin menyalahkan Bora karena mengganggu kegiatannya juga tak mungkin, akhirnya ia berdiri, menghela napas dan mengikuti Ara yang tengah membuka pintu.
Ara sendiri sangat bersyukur atas kehadiran Bora. Jika tidak, mungkin ia sudah diperkosa oleh Min Yoongi mesum itu. Ara mewanti-wanti dirinya sendiri agar tidak terjebak dalam situasi intim yang membuat keinginan Yoongi menyalurkan hasrat tidak terjadi.
"Hei, rubah kecil, kau kenapa? Mimpi buruk?" tanya Ara, merendahkan tubuh agar sejajar dengan Bora yang masih menangis memeluk bonekanya.
Bora mengangguk, tanpa permisi langsung memeluk tubuh Ara dengan erat. "Eomma, jangan tinggalkan aku."
"Eomma di sini. Jangan menangis anak baik, hm? Kau mau tidur ditemani Eomma?"
Yoongi yang mendengar pertanyaan Ara itu jelas terkejut. "Ya, Lim Ara. Kita belum selesai."
"Aku ingin tidur dengan Eomma." Isak Bora dengan pipi memerah.
Lalu Yoongi bisa apa selain membiarkan Ara yang kini berjalan cepat menuju kamar anaknya, meninggalkan dia dalam kondisi mengenaskan begini. Sudah lelah, harus pula menguras tenaga di kamar mandi. Min Yoongi, kau mungkin harus lebih banyak berderma agar dihindarkan dari kesialan!
Ketika Yoongi sudah akan menutup pintu, ia tiba-tiba ingat sesuatu. "Oh, aku lupa memberi tahu, Ara!"
====
3366 kataaaaaaa
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro