74
Target masih 100 v0te ... dan banyakin komen yuk... kalo masih males komen at least di ujung agak komentarin part ini gimanaaa gitu di hati kalian wkwkwk, No next-next-kan yah.
Bagi yang suka komen banyak2 kalian tetap ter-luv and ter-debest, sehat-sehat yaaa.
Part panjang
Happy Reading and happy weekend
.
.
.
Yoongi tidak tau apa yang kurang dalam dirinya bersikap selama ini. Benar bahwa dia pernah mencoreng kehormatan keluarga saat mengabarkan telah menghamili seorang gadis. Namun setelah itu, Yoongi benar-benar menjaga sikapnya. Dia mengalami pergolakan batin yang sangat besar bersama tanggung jawab yang saat itu beralih ke pundaknya. Menjadi seorang suami, calon ayah serta mempersiapkan diri memimpin perusahaan.
Sejak saat itu sikap Yoongi cenderung berubah, dia tidak lagi menjadi anak manja yang bersikap seenaknya. Dia tidak pernah sekali pun meninggikan suara kala kedua orang tuanya memprotes banyak hal.
Namun, rasanya kali ini berbeda, setelah meminta izin pada Ara dan Bora untuk pergi ke luar, beralasan ada satu pekerjaan penting yang harus segera diselesaikan. Yoongi segera memacu roda empatnya menuju rumah utama. Bagaimanapun masalah yang menggantung beberapa hari ini harus segera dia selesaikan, setidaknya dia harus tau mengenai alasan di balik sikap So Eun yang dengan tega menghancurkan keluarga kecilnya.
Tanpa Yoongi sadari tangannya menutup pintu mobil kelewat kencang, dan segera menuntun tungkainya tergesa menuju pintu depan rumah utama. Waktu masih menunjukkan pukul sembilan malam dan seperti yang Yoongi ketahui, kebiasaan orang tuanya pada jam itu adalah meminum teh hangat di ruang keluarga.
Sesuai dugaan, kedua orang tuanya memang sedang duduk santai di ruang keluarga. Terdengar tawa lepas So Eun di sana, rupanya mereka tengah menonton acara komedi pada saluran lokal.
"Yoon-ah, kau datang!" seru So Eun, senyumnya mengembang lantas segera bangkit untuk menyambut sang anak.
"Mana cucu cantikku, dia tidak datang bersamamu?" tanya Jihoon menatap sekeliling mencari presensi Bora. Keduanya bahkan tidak menyadari tatapan dingin Yoongi yang sejak tadi berdiri sembari mengepalkan tangannya.
"Ah sayang sekali padahal aku sangat merindukan Bora," sesal So Eun dan kali ini sedikit mengernyit kala menelisik ekspresi Yoongi.
Pria itu bahkan tak habis pikir, bagaimana So Eun bisa mengatakan hal tersebut tanpa kendala. Pernyataan yang dilontarkan So Eun sukses membuat Yoongi meradang.
Rindu katanya, apa dia tidak sadar jika apa yang dilakukannya selama ini sangat melukai Bora?
"Ada apa?" tanya So Eun penuh antisipasi dalam intonasi rendah. Kali ini wanita paruh baya itu memaku menunggu apa yang akan dikemukan Yoongi dengan wajah seperti itu.
"Aku tidak tau harus memulai dari mana, tetapi apa yang aku rasakan ini melampaui rasa kecewa, Eomma. Tidakkah selama ini kau melihat bagaimana usahaku? Apakah kesalahan yang kubuat pada kalian sama sekali tidak pantas untuk mendapatkan pengampunan?"
Mata So Eun menyipit dengan tengkuk sedikit meremang. "Tentang apakah semua ini, Yoon?"
"Tentang kau yang membohongi Yuna bahwa anak kami meninggal dunia saat dilahirkan, Eomma." Yoongi mendengkus kasar, tersenyum remeh dengan beberapa kali menggeleng kasar, "aku bahkan tidak percaya seorang wanita bermartabat sepertimu melakukan hal rendah seperti itu."
So eun jelas merasa terkejut. Hal yang bertahun-tahun ia simpan rapat kini diketahui oleh anak semata wayangnya. "Eomma tidak mengerti apa yang tengah kau bicarakan, Yoon. Bagaimana mungkin Eomma melakukan seperti hal itu?"
Yoongi jelas merasa semakin kecewa atas sikap tak berdosa yang ditunjukkan oleh sang ibu. Mungkin jika So Eun lebih memilih jujur, setidaknya Yoongi tak akan semakin terluka seperti ini. Tatapannya yang semula dingin, kini penuh luka seolah singa dalam dirinya tengah digores begitu dalam dan tersayat perih. Yoongi sangat menghormati sang ibu, begitu tulus menyayangi dan memberikan segala hal yang ia mampu untuknya, tetapi apa yang ia dapat kini?
Dengan perasaan kesal, marah, juga berbalut kekecewaan yang teramat besar, Yoongi melampiaskan amarahnya dengan melemparkan guci besar kesayangan sang ibu seraya berteriak, hingga suara tinggi sang ayah membuatnya berhenti.
"Min Yoongi, perhatikan sikapmu!"
Yoongi terkekeh remeh, menatap sang ayah dengan pedih. Min Jihoon adalah panutannya, super hero yang akan selalu ia tinggikan dengan penuh rasa hormat. Namun kali ini, hanya kali ini saja ia akan melampiaskan amarahnya.
"Appa ... Aku selalu menjaga sikapku dengan baik, menurut dengan apa yang kalian harapkan padaku. Pernahkah aku mengeluh?" tanya Yoongi dengan sedih, sebentar kemudian tatapannya kembali menajam, penuh kekecewaan ia menaikkan nada suaranya, "TAPI APA YANG AKU DAPAT APPA? KENAPA EOMMA BEGITU TEGA MEMISAHKAN AKU DAN YUNA. MEMISAHKAN SEORANG IBU DAN ANAK YANG BARU IA LAHIRKAN?! APA KESALAHAN KAMI BENAR-BENAR TAK BISA DIMAAFKAN?!"
Jihoon tertegun, agaknya mulai mengerti apa yang tengah dirasakan anaknya. Ia tahu sejak lama, tetapi tetap diam karena menurutnya hal itu tak akan berdampak baik meski anak dan cucunya pasti mengalami masa yang sulit.
Sementara So Eun justru masih kukuh akan pendiriannya. Ia menatap angkuh, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Itu bukan kesalahanmu, Yoon, tetapi kesalahan wanita rendahan itu karena berani merayumu bahkan sampai hamil saat kalian bahkan belum lulus sekolah."
"Yuna bukan wanita rendahan, Eomma," ujar Yoongi dengan geraham bergemelatuk. Jelas ia masih sebisa mungkin meredam emosinya agar tak sampai melukai sang ibu.
"Bukan wanita rendahan katamu?" tanya So Eun tak percaya, "jika dia wanita baik-baik, bagaimana bisa dia menyerahkan kehormatannya padamu? Tidakkah matamu bisa terbuka bahwa dia hanya memanfaatkan cinta butamu padanya? Wanita itu tau betapa kayanya ayahmu, jadi menjebakmu tentu adalah cara paling ampuh untuk digunakan bukan? Lalu ada apa dengan sikapmu ini? Kenapa menyalahkan Eomma? Eomma justru membuatmu terbebas dari benalu itu, membuatnya pergi setelah menerima banyak uang dari Eomma, menjijikkan!"
"Eomma tau Yuna tengah bersedih karena tipuanmu. Di sisi lain ayahnya tengah sakit dan butuh banyak uang. Selain menerima tipuan uang yang kau berikan, Yuna bahkan tidak pernah meminta apa pun dariku. Dia tidak pernah mengeluh bahkan ketika aku menghancurkan masa depannya saat itu. Tidakkah Eomma merasa buruk? Tidakkah Eomma merasa jahat karena melakukan hal itu?"
"Eomma hanya melakukan apa yang seharusnya."
Yoongi tiba-tiba saja tertawa, begitu kencang hingga siapa pun tahu bahwa pria itu tengah terluka. Dengan langkah lambat ia mendekat ke arah sang ibu tanpa melepaskan tatapannya yang begitu menyedihkan.
"Yang seharusnya ya?" tanya Yoongi ketika sudah akan mendekat, tapi harus terhalang karena Min Jihoon lebih dulu memblokir jalannya, berdiri di tengah-tengah ia dan ibunya.
"Ini sudah lama berlalu, tenangkan dirimu dan lupakan semua. Kau sudah menikah dengan Lim Ara, jalani saja semua seperti sebelumnya." Ucapan Min Jihoon itu tentu saja membuat hati Yoongi seolah semakin teremat. Sebagai seorang anak, tentu patuh adalah kewajiban, tetapi bukankah Yoongi punya hak untuk marah dan kecewa?
"Appa ... Yuna dan aku sama-sama terluka karena ulah Eomma, banyak waktu berat yang telah kami lewati dalam kebingungan dan kebohongan, tetapi apa Appa tau siapa yang paling terluka karena sikap egois Eomma? Dia cucu Appa. Anakku ... Bora yang harus menanggung banyak luka di usianya yang sangat kecil ...." Yoongi menjeda ucapannya, mengesat air mata yang tiba-tiba saja tak tertahankan sebelum melanjutkan.
"Lim Ara, tahukah Appa kenapa aku menikahi gadis itu? Semua karena Bora, Appa. Dia merindukan sosok ibu yang ia kira telah mati karena kebohongan Eomma. Bora harus menelan semua cacian teman-temannya karena tak punya ibu. Bora juga yang kini harus kebingungan dengan semua fakta bahwa ibunya masih hidup dan harus pula menerima kenyataan rumit dengan kapasitas otaknya sebagai anak-anak. Melihat anakku terluka, kebingungan dan bahkan harus menangis, lalu bagaimana caraku menenangkan diri? Apa Appa akan baik-baik saja ketika aku terluka? Bukankah Appa pernah membuang anjing kesayanganku karena saat itu tidak sengaja menggigit tanganku sampai berdarah? Sekarang coba Appa katakan padaku, bagaimana caraku menenangkan diri dan melupakan semua perbuatan Eomma pada keluarga kecilku?"
Mendapat pertanyaan dengan nada sedih dan putus asa dari putranya, tentu saja Jihoon seolah tengah menelan batu besar yang kini tersangkut di tenggorokannya. Hanya tatapan kasihan yang bisa ia berikan. Karena bagaimanapun, So Eun adalah istrinya, maka kesalahan sekecil apa pun tetaplah menjadi tanggung jawabnya.
"Atas nama Eomma-mu, Appa meminta ampunanmu, Nak."
So Eun terkejut, menaikkan nada suaranya tanpa sadar. "Yeobo!"
"Diam!" bentak Jihoon tanpa berbalik.
Bagaikan api yang tiba-tiba di siram segelas air, mau tak mau amarah Yoongi perlahan mereda mendengar permintaan maaf ayahnya. Belum lagi melihat tatapan penuh sesal dari sang ayah, Yoongi tidak seburuk itu untuk terus meluapkan emosinya.
"Kau sudah dewasa sekarang. Tidak lagi membutuhkan arahan Appa untuk melakukan sesuatu. Maaf untuk sikap diam Appa terhadap Eomma-mu selama ini, karena saat itu Appa beranggapan bahwa kau belum cukup dewasa untuk berumah tangga. Ditambah mantan istrimu saat itu masih sama-sama belia, Appa hanya ingin memberikan kesempatan pada kalian berdua untuk meraih masa depan yang lebih baik. Appa lupa memikirkan perasaanmu dan Bora, itu kesalahan Appa. Bisakah kau memaafkan pria tua ini?"
Benar bahwa Yoongi sudah lebih matang secara usia dan pemikiran, tetapi ia tetaplah anak dari kedua orang tua di hadapannya. Dengan sedih ia menunduk, menitikkan kembali sebulir air mata untuk kemudian ia usap dengan kasar.
"Appa ... maafkan aku."
Jihoon mendekat, memeluk anaknya dengan erat. Pria itu bahkan masih cukup tenaga untuk menerima beban tubuh Yoongi yang tengah menyandarkan separuh bobot tubuh pada dirinya. Jihoon menepuk beberapa kali bahu Yoongi, membisikkan kata maaf dan sayang secara berulang agar anaknya bisa merasa lebih baik. Ia hanya punya satu putra, dan merasa buruk karena telah salah mengambil sikap hingga Yoongi harus menangis saat ini.
"Maafkan Appa dan Eomma, Nak. Ah, apakah Yuna kembali ke Korea?"
Yoongi hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Sampaikan juga permintaan maaf kami pada Yuna dan Bora. Sekarang pulanglah, biar Appa yang memberi pengertian pada Eomma-mu."
Yoongi menurut, setelah lebih lega ia melepaskan pelukan sang ayah dan berbalik badan untuk pulang ke apartemennya tanpa mengucapkan apa pun lagi. Perasaannya sudah lebih baik meskipun sikap sang ibu terlihat tidak ada penyesalan. Biarlah, Yoongi hanya akan fokus pada anaknya kini.
Jihoon membiarkan Yoongi pergi meskipun tanpa pamit. Ia tahu benar bagaimana watak sang putra, jadi sikap Yoongi kali ini tentu bukan karena kekurang ajaran, tetapi masa di mana ia butuh sendiri sampai nanti mulai bisa menerima semua dengan lebih baik. Jihoon lalu berbalik ketika terusik dengan ucapan istrinya.
"Apa yang kau lakukan, Yeobo! Bagaimana bisa kau memintakan maaf pada wanita rendahan yang sudah merusak masa depan anak kita! Aku bahkan tidak sudi menyebut namanya, dan kau malah bersikap seenaknya!"
Jihoon terdiam sebentar, menarik napas dan menatap tepat ke dalam mata sang istri. "Apa kau ingin kehilangan putra kesayanganmu itu?" tanyanya yang membuat So Eun tentu terkejut.
"A-apa?"
"So-ya ... waktu berlalu begitu cepat, anak kita sudah tumbuh dewasa dan matang. Tidakkah tadi kau melihat raut wajah Yoongi yang penuh luka? Pernahkah dia bersikap seperti itu setelah satu kesalahan yang sudah ia coba tebus? Satu kesalahannya saat itu adalah mencintai dengan salah, So-ya. Yoongi salah jalan dengan merusak masa depan seorang gadis. Kau seharusnya bangga dengan dirimu. Yoongi tumbuh dengan pribadi yang bertanggung jawab karena didikanmu, bukan?"
Jihoon lalu memutar tubuh So Eun agar melihat semua kekacauan yang dibuat Yoongi hingga membuat ruangan ini sangat berantakan. "Coba kau lihat. Bahkan setelah semua kekacauan ini, apa Yoongi melukaimu? Dia menaikkan suara hanya padaku meskipun tahu jika kau yang salah. Menurutmu karena apa? Tentu karena Yoongi amat menyayangi dan menghormatimu sebagai ibunya.
Dulu sekali, ketika aku membantunya bersiap untuk pernikahannya, Yoongi pernah bercerita alasan dia mencintai Yuna adalah karena gadis itu sangat mirip denganmu. Senyumnya, sikapnya, Yoongi berkata bahwa dia kini punya dua malaikat, Yuna ... dan juga kau, ibunya."
So Eun bukanlah sosok yang jahat, Jihoon tahu itu. Istrinya hanya terlalu menyayangi sang putra, merasa amat khawatir ketika Yoongi harus mendapat istri yang tak sesuai kriterianya. Sebagai seorang Ibu, So Eun hanya tak ingin istri Yoongi nanti lalai dan tidak mengurus Yoongi sebaik dirinya. So Eun juga takut jika pasangan sang putra semata wayang nanti justru menjadi boomerang yang justru membuat karir dan masa depan Yoongi menjadi hancur. Alasan yang sama itulah, yang menjadi sebab ketidaksukaannya pada Lim Ara yang menurutnya sangat tak layak.
"Yeobo ... apa aku ibu yang sangat jahat? Apa Yoongi akan membenciku?"
Jihoon tersenyum, memeluk tubuh istrinya dengan lembut. "Jika sikapmu masih tak berubah, tidak menutup kemungkinan kau akan kehilangan putra yang sangat kau cintai itu. Berikan Yoongi dan juga dirimu sedikit waktu. Jika sudah lebih baik, datanglah pada anakmu, peluk dan minta maaf padanya. Apa kau mengerti?"
"Maafkan aku," ucap So Eun penuh penyesalan, "apa Yoongi akan memaafkanku?"
"Tentu, tetapi pastikan ini yang terakhir, So-ya. Perhatikan sikapmu dan perbaiki agar Yoongi dan Bora tidak terluka. Aku mengatakan ini agar kau tidak terus menunjukkan sikap tak suka pada Lim Ara. Sekarang gadis itu adalah menantu kita, jika menurutmu dia tidak layak, maka sudah kewajibanmu untuk membuat gadis itu menjadi lebih baik. Kau mertuanya, kau yang harus membantunya untuk mempersiapkan diri sebagai pasangan bagi putra kita."
So Eun menangis dengan keras, tetapi ia mengerti dan memahami ucapan Jihoon barusan. Dengan bersungguh-sungguh ia bertekad. "Aku akan berubah, aku janji."
=======
Barangkali jika ditanya kapan saat paling bahagia dalam hidupnya berlangsung, Yuna akan mengatakan dengan lantang bahwa itu adalah hari ini. Kabar yang baru saja dibawa Lim Ara, sungguh seperti angin lembut di tengah kegersangan hati akibat masalah rumit yang tengah terjadi. Hampir setiap malam ia merindu, lidahnya bahkan sering gatal karena ingin mengungkap kebenaran pada Bora bahwa ia adalah ibu kandung dari gadis kecil itu. Yuna terus berpikir, bagaimana caranya agar bisa menyelesaikan masalah tanpa melukai sang putri.
"Benarkah? Lim Ara ... Bora benar-benar sudah mengetahui semua dan tetap mau menemuiku?" tanyanya sekali lagi untuk memastikan.
Bahkan, sebuah pertanyaan sempat terbesit di otak Yuna. Apakah Lim Ara itu seorang penyihir, atau peri baik hati yang sesungguhnya?
Bagi Ara, pertanyaan berulang Yuna ini tak membuatnya jengkel sama sekali. Ia bahkan ikut terharu melihat mata sang wanita yang memancarkan kebahagiaan luar biasa itu.
"Ya, Eonnie. Bora ingin bertemu Eomma-nya ini." Ara tersentak ke belakang setelah mengatakan hal yang sama untuk ke delapan kalinya ini. Tubuhnya terhuyung karena pelukan tiba-tiba yang diberikan Yuna. Begitu erat, sangat penuh rasa syukur.
"Ra-ya, terima kasih, benar-benar terima kasih."
Ara membalas pelukan Yuna dengan lembut. Lorong rumah sakit cukup sepi, tak banyak yang berlalu lalang hingga mereka bisa membagi rasa dengan lebih tenang.
"Eonnie, aku tak bisa mengatakan semua kebenarannya pada Bora. Dia masih terlalu kecil untuk mengerti masa lalu orang tuanya. Lagi pula, bagaimanapun juga dia tetap neneknya. Bora akan semakin terluka jika mengetahuinya. Jadi Eonnie ... tolong maafkan aku dan jangan membuka semua rahasia ini ya?"
"Mn, aku tidak akan mengatakannya. Aku berjanji." Yuna melepaskan pelukan, menatap wajah Ara dengan senyuman di wajahnya yang basah akan air mata bahagia. "Terima kasih."
"Eonnie, berhentilah berterima kasih. Mungkin sebentar lagi kepalaku akan sebesar banteng dan leherku nanti bisa patah karenanya," ujar Ara berusaha mencairkan suasana. Itu berhasil karena kini Yuna tertawa ringan, lebih lepas dari pada sebelumnya.
"Tapi aku masih takut, Ra-ya. Bagaimana jika nanti dia marah, bagaimana jika Bora membenciku karena meninggalkannya selama bertahun-tahun."
"Eonnie, ini bukan hanya berat untukmu saja, tetapi Bora juga mengalami masa kecil yang lebih berat lagi. Dia selalu dirundung karena tidak mempunyai ibu. Bertahun-tahun dia hidup dengan beban mental itu. Bora mungkin akan marah dan Eonnie harus mendengarkannya tanpa membantah atau membela diri. Eonnie melahirkan anak yang pintar dan punya perasaan yang lembut, dia tidak akan membencimu. Eonnie percaya kan?"
Yuna mengangguk patuh berulang kali. Bahagia dalam hatinya masihlah menggebu dan ingin segera bertemu dengan anaknya. "Di mana Bora sekarang?"
"Ada di mobil, aku turun lebih dulu untuk memberitahu Eonnie tentang hal ini agar bisa mempersiapkan diri untuk menenangkan Bora jika dia nanti marah atau menangis. Jika Eonnie sudah siap, aku akan meminta Yoongi oppa untuk membawanya kemari."
"Ya, aku sudah siap. Tolong katakan untuk membawa Bora sekarang. Aku ingin memeluk anakku, ingin mendengar dia memanggilku Eomma."
Ara tersenyum tipis, sedikit miris melihat Yuna yang kembali menangis penuh haru. Dalam angannya, tentu ia bisa membayangkan betapa besar rasa sakit yang harus ditanggung Yuna karena telah dibohongi selama ini. Anak yang ia kira telah mati, ternyata masih hidup dan ia tak bisa langsung mendekat karena takut akan melukai Bora.
"Aku akan menelepon Yoongi oppa, Eonnie tunggu sebentar ya?"
Yuna kembali mengangguk. "Ah, aku akan ke kamar mandi. Wajahku pasti sangat kacau sekarang, aku tidak mau Bora melihat wajahku yang seperti ini."
"Ya, Bora pasti mau melihat Eomma-nya dalam keadaan terbaik untuk dia marahi nanti."
Yuna terkekeh, berjalan menjauh untuk menuju kamar mandi di ujung lorong. Sementara Ara tengah menghubungi Yoongi untuk membawa Bora masuk. Ruang VIP di samping kamar rawat ibunya, telah disewa Yoongi sebelum mereka berangkat tadi. Sebenarnya Yoongi memikirkan beberapa opsi untuk mempertemukan Yuna dan Bora sebagai seorang ibu dan anak. Lalu berakhir memilih tetap di rumah sakit saja, takut jika Yuna atau Bora tidak terlalu bebas jika di apartemen atau di restoran. Lagi pula Ara harus menjaga ibunya hari ini.
***
Ara berdiri di ambang pintu bersama Yoongi di sampingnya. Keduanya tengah menatap Yuna yang tengah memeluk Bora setelah anak itu tadi menangis hebat. Bora tidak marah, nada suaranya tidak naik meski terlihat jengkel saat menceritakan perihal harinya yang berat karena dianggap tak punya ibu. Ara menghela napas panjang, bersyukur karena masalah ini bisa selesai dengan baik. Bora benar-benar anak yang luar biasa.
"Ahjussi, ayo kita keluar. Yuna Eonnie dan Bora sudah melewati waktu yang sangat sulit, mereka pasti butuh ruang lebih privasi untuk bisa saling berbagi kasih sayang."
Yoongi menundukkan pandangan, ikut menghela napas lalu mengangguk. Sekali lagi ia melihat Bora yang masih enggan melepaskan pelukan pada Yuna. Tak bisa dipungkiri bahwa ia tengah berandai-andai. Jika sang ibu tidak berbuat hal seburuk itu, mungkin ia kini tengah bergabung dengan anak dan istrinya. Saling bercanda dan berbagi bahagia. Bukankah itu sangat indah untuk terjadi?
Ara yang tak juga mendapat jawaban, mendongak, menatap Yoongi yang tengah fokus pada Yuna dan Bora. Melalui tatapan lelaki itu saja, Ara bisa langsung tahu apa yang tengah dipikirkan Yoongi. Pikiran buruk itu kembali, bahwa sebab ia menikah dengan Yoongi adalah karena Bora yang membutuhkan ibu. Lalu kini setelah Yuna telah kembali dan Bora pun telah menerima Yuna sebagai Ibunya. Lalu untuk apa lagi dia ada di antara keluarga kecil mereka? Ara merasa seperti benalu yang sangat mengganggu.
Gadis itu mengembuskan napas pelan tetapi panjang, sedikit miris sebenarnya. Lantas dalam diam Ara memutuskan berbalik seorang diri, menarik kenop pintu berniat untuk keluar ruangan. Meski ada rasa mengganjal yang begitu tak nyaman, Ara akan memberikan ruang sebebas mungkin untuk Yoongi dan Yuna kembali bersama-sama.
Namun saat semua pikiran buruk itu terus memenuhi pikirannya, Ara terkejut karena Yoongi kini tengah berjalan di sampingnya, menggenggam tangannya erat.
"Terima kasih karena sudah memberikan kebahagiaan pada Bora. Kau sangat luar biasa karena mampu membuat Bora mengerti dan menerima ibunya tanpa membuatnya terpuruk."
Ara tersenyum, ikut menggenggam tangan Yoongi. "Kasih sayang yang telah diberikan Bora untukku, tidak sebanding dengan semua ini. Bora anak yang sangat pintar, jadi ini bukan hanya karena aku, tetapi karena dirinya sendiri, Ahjussi."
Saat akan membuka pintu ruang rawat ibunya, Ara berhenti saat mendengar suara Jimin memanggilnya.
"Oppa, kau datang," ucap Ara saat melihat kakaknya itu datang ke rumah sakit masih pagi sekali.
"Maaf kemarin aku tidak bisa datang kemari, pekerjaanku sedang banyak sekali. Aku akan mengantar Yuna pulang, nanti malam biar aku yang menunggu ibu. Apa Yuna di dalam?" tanya Jimin beruntun.
"Oppa tidak perlu kemari kalau sedang sibuk. Malam ini aku akan menunggu Eomma di sini. sekolahku sudah selesai, jadi aku punya waktu lebih dari pada Oppa."
"Kau akan kelelahan, Ra-ya. Pulang saja, oke."
Yoongi kali ini angkat bicara sebelum Ara menjawab. "Aku akan menemani Ara menjaga Eommonim. Kau pulanglah bersama Yuna, bawa Bora juga bersama kalian. Hari ini, mungkin Bora butuh lebih banyak waktu bersama ibunya."
Jimin melebarkan mata, terkejut sekaligus merasa bahagia mendengar kabar ini. "Bora sudah tahu jika Yuna ibunya?!" tanya Jimin dengan nada menuntut.
"Ya, mereka sekarang ada di ruangan sebelah," jawab Ara dengan senyum mengembang.
"Apa kau benar-benar tidak apa-apa jika aku tidak kemari nanti malam?"
Ara mengangguk menyakinkan. "Oppa, Yuna Eonnie pasti juga butuh pelukan dan dukungan lebih. Ini masa yang sangat istimewa untuknya, jadi Oppa harus ada di samping Eonnie. Oke?"
Kali ini Jimin yang mengangguk, akan segera berlalu, tetapi Yoongi lebih dulu memanggilnya.
"Tolong jaga anakku, jika Bora masih ingin bersama Eomma-nya, aku akan meminta izin pada gurunya."
"Ya, aku akan menjaga Bora untuk kalian."
Yoongi kali ini membiarkan Jimin berlalu ke ruangan sebelah. Lalu beralih fokus saat Jimin sudah masuk ke dalam.
"Kenapa tidak masuk?" tanya Yoongi saat Ara hanya diam menatapnya.
"Aku hanya sedang menunggu Ahjussi pergi."
"Kau mengusirku?" tanya Yoongi tak percaya.
"Memangnya Ahjussi benar-benar akan menemaniku menjaga Eomma?" tanya Ara polos.
Yoongi mendengkus kasar, memukul kening Ara tanpa ampun, hingga membuat gadis itu menjerit tertahan. Dengan nelangsa Ara memegangi dahinya yang berdenyut sakit.
"Ahjussi, ini sakit!"
"Bodoh!"
"Yak! Siapa yang kau katai bodoh?!" ujar Ara tak terima.
"Memang siapa lagi yang bodoh di antara kita jika bukan dirimu, bodoh!"
"Ahjussi! Apa kau ini punya kepribadian ganda atau bagaimana? Tadi kau bersikap manis dan sekarang menyebalkan lagi!"
"Dari pada aku, bukankah kau yang lebih menyebalkan, Lim Ara?"
"Memang aku menyebalkan kenapa?! Aku hanya bertanya, tapi Ahjussi malah memukul keningku. Ini sakit!" omel Ara, tetapi langsung terdiam saat Yoongi tiba-tiba saja mengusap keningnya dengan lembut. Ara tidak bisa menahan detak jantungnya yang menggila. Ia bahkan sudah berdoa agar Yoongi tak menyadari hal itu.
"Hei, kenapa wajahmu memerah? Sepertinya aku hanya memukul keningmu, tapi kenapa pipimu ikut memerah?"
Ara memegang kedua pipinya dengan panik, matanya membulat dan mengatupkan bibirnya rapat. Yoongi yang melihatnya bisa langsung menebak, jika gadis berisik di hadapannya ini pasti tengah tersipu akan tindakan sepelenya barusan. Belum lagi lorong yang sepi ini, Yoongi bisa mendengar detak jantung Ara cepat sekali.
"Apa kau salah tingkah karena sentuhan kecilku?" tanya Yoongi mendekat. Mengulurkan tangan, memenjarakan Ara di antara dirinya dan pintu.
"T-tidak kok." Ara sudah mirip cicak yang menempel di dinding. Dia bahkan kini hanya bisa menunduk, menatap lantai rumah sakit karena takut akan kesehatan jantungnya.
"Benarkah?" tanya Yoongi dengan nada rendah. "Mulai hari ini Bora akan banyak menghabiskan waktu dan menginap di tempat Yuna. Jika kau keberatan aku menemanimu di sini, maka aku akan pulang dan berdua saja dengan Go Imo di apartemen. Haruskah begitu?"
Dengan panik Ara mendongak, menahan napas saat wajah Yoongi ternyata sangat dekat dengannya.
"Bagaimana? Aku harus berdua di apartemen dengan Go Imo, atau berdua denganmu menjaga Eommonim?"
Sialan! Yoongi sialan! Maki Ara dalam hati.
Menurunkan semua egonya, Ara memegang ujung lengan kemeja Yoongi. "Di sini saja. Temani aku, Ahjussi. Um ... tetapi sepertinya kau juga belum menceritakan tentang kunjunganmu ke rumah utama tadi malam. Wajahmu memang selintas seperti biasa saja, tetapi aku tau, di sini ...." Ara menempelkan tangannya di dada Yoongi, "pasti terasa berat bukan?"
Lagi-lagi Yoongi harus dibuat kagum oleh gadis delapan belas tahun ini. Kepekaannya, ketulusannya, dan kasih sayangnya secara perlahan membawa Yoongi pada romansa merah muda yang semakin tak tertahankan.
"Saranghae, Lim Ara."
.
.
.
3650 kata nih part ini... Puas kan bacanya? Apa masih kurang?
16 September 23
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro