72
Tetap 100 vote ya targetnya
.
.
.
.Suara decit sepatu yang bersinggungan dengan permukaan konkrit di bawahnya terdengar menghiasi luasan lorong di lantai apartemen tersebut.
Sorot matahari pun sudah tampak meninggi tatkala mereka sampai pada bilah kayu dengan besi kromium bertuliskan no 3 itu.
Secara perlahan, Yoongi menurunkan Ara yang sejak tadi terpejam nyaman di punggungnya. Gurat lelah begitu kentara di wajah gadis itu, membuat sesuatu dalam hati Yoongi seolah tercubit keras.
"Bora sayang, sekarang bersihkan diri dulu dengan Go imo, dan jangan ganggu eomma dulu, oke? Eomma butuh istirahat karena sangat lelah menjaga oehalmeoni," ujarnya pada sang anak yang membantu membawakan tas Ara sampai ke dalam kamar. Bora mengangguk, sorotnya tampak berkilat seolah diberikan mandat maha penting. Ia bahkan tidak bersuara sama sekali, takut jika tidur sang ibu terganggu.
Yoongi merasa sungguh sangat beruntung mempunyai anak seperti Bora. Selain pandai, gadis kecilnya juga tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan mudah bersimpati akan sesuatu. Meskipun terlihat galak dan tak acuh, tetapi Bora telah lebih memahami banyak hal.
"Appa jaga eomma untukku ya. Aku janji tidak akan berisik agar eomma bisa istirahat," bisiknya.
Yoongi kembali tersenyum, sedikit merasa tidak nyaman ketika menyadari betapa sayangnya Bora pada Ara, sementara sekarang Yuna telah kembali. Ia masih bingung, bagaimana harus menyampaikan kebenaran ini pada anaknya nanti.
Dulu ia selalu mengharapkan kembalinya wanita itu, tetapi tentu tak ada skenario Ara di dalamnya. Namun kini semua berbeda, kondisi ini terasa sangat sulit untuknya. Di satu sisi ada Yuna yang masih ia damba, dan di sisi lain ada Ara yang tak bisa Yoongi tampik kebenarannya, bahwa ia mulai mencintai gadis berisik ini.
"Appa, aku akan keluar." Bora mendekat, mencium pipi dan memeluk pria itu, lantas melirik Ara berniat untuk mendekat juga, tetapi ia urungkan karena takut jika ciumannya nanti membuat sang ibu terbangun.
"Jangan lupa makan siang, Sayang. Appa mungkin akan sedikit terlambat untuk makan siang. Appa akan menunggu eomma bangun."
Bora mengangguk, mengancungkan jempulnya dan segera berlalu dari ruangan itu, tak lupa menutup pintu secara perlahan.
Setelah memastikan sang anak keluar dari kamar, Yoongi menghela napas panjang dan beralih fokus pada Ara yang masih lelap tertidur. Kali ini keningnya berkerut tajam, napas Ara juga sedikit berat, sepertinya tengah bermimpi buruk. Maka Yoongi mendekat, menempat diri duduk di samping sang gadis yang tertidur lalu mengusap keningnya dengan lembut.
Perlahan Ara kembali tenang, dan tanpa sadar menggenggam erat tangan Yoongi di wajahnya, memeluk posesif tangan itu seolah takut jika ia pergi.
Yoongi menarik satu sudut bibirnya, mengusap lembut rambut halus sang istri dengan tangannya yang bebas. Ia membiarkan saja tangan kirinya di peluk erat, tak peduli jika harus bertahan dalam posisi tak nyaman begini.
"Pasti sangat berat ya?" bisiknya dengan suara lirih. "Kenapa kau menyimpan semua sendiri, hm?"
Mengingat percakapan Ara dan ibunya tadi di rumah sakit, Yoongi menghela napas besar dan berat. Tentu ia tidak sengaja mendengar karena sebenarnya Yoongi memang ingin masuk ke dalam setelah selesai menerima telepon dari Pak Kwon yang menanyakan kedatangannya ke kantor, tapi urung ketika suara Ara mulai meninggi, disusul percakapan lain yang tentu saja membuatnya kaget.
Namun jika diingat kembali, sikap Minkyung selama ini memang sedikit janggal kepada Ara. Yoongi pikir itu mungkin hanya perasaannya saja, toh Ara tak pernah mengatakan apa pun atau membahas sesuatu tentang ibunya, dan kini ... Yoongi paham arti kecanggungan yang terpancar dari mata Minkyung, bahwa Ara bukan anak kandungnya. Lalu ketika tadi ia melihat respons yang ditunjukkan Minkyung lewat kaca di pintu, sepertinya Ara semakin terluka untuk itu.
Gadis berisik ini, yang selalu tersenyum seolah dunia baik-baik saja, ternyata menyimpan banyak duka yang tertutup rapi di dalamnya. Bahkan ketika Yuna kembali, Yoongi agak kecewa karena Ara terlihat biasa-biasa saja dan bahkan secara halus mendorongnya agar lebih mendekat pada Yuna. Apa yang sebenarnya sedang gadis itu lakukan? Benar bahwa perasaan Yoongi pada ibu kandung Bora itu masihlah ada, tetapi bukan berarti cintanya pada Ara main-main hingga gadis ini merespons harus demikian.
"Lim Ara, apa kau benar-benar tidak mempunyai rasa sedikitpun padaku?" tanya Yoongi pelan, dan ia cukup kaget saat bulu mata Ara bergetar pelan. "Tidurlah lagi."
Ara mengerjapkan mata lentiknya, agak membiasakan diri karena masih ingin tidur, tetapi terlanjur terbangun. Ia menguap, lalu kaget saat akan menutup mulutnya, karena ternyata satu tangannya tengah memeluk erat lengan kiri Yoongi.
"Astaga!" serunya lalu segera melepaskan tangan sang pria. "Maaf, Ahjussi. Aku tidak sadar."
"Aku sudah bilang tadi, kalau bahu dan lenganku dalam kondisi baik hari ini."
Diingatkan hal itu, Ara tak bisa untuk menahan diri.
"Ahjussi, kau mendengar semuanya?"
"Tidak semua, tetapi aku mendengar yang paling penting."
Ara menunduk, malu karena identitasnya ketahuan. Tak lama, Yoongi mengapit dagu sang gadis agar menatap matanya. Sebuah senyum Yoongi berikan, membuat Ara tak bisa untuk tak membalas senyuman itu, meskipun siapapun tahu bahwa senyuman Ara tak sampai pada matanya. Ia masihlah sangat tertekan.
"Terbiasa denganmu yang berisik, cerewet dan menyebalkan, ternyata sangat tidak nyaman melihatmu dengan wajah sedih begini. Lim Ara, aku tak akan menyuruhmu tersenyum, tak akan berkata bahwa semua akan baik-baik saja."
"Ahjussi ... aku ...."
"Dengarkan aku Lim Ara, jika hatimu tengah risau atas kehadiran Yuna saat ini, maka jauhkan pikiran apa pun yang membuatmu bersedih. Cukup ingat satu hal menangislah kalau dirasa semuanya sudah tak tertahankan. Aku ada di sini untukmu bersandar."
Bibir Ara mencebik ke bawah, matanya berkaca-kaca dan tanpa basa-basi menubrukkan dirinya pada tubuh Yoongi. Dengan rakus ia menghirup wangi tubuh Yoongi yang telah menggantikan rasa nyaman seorang Lim Jimin. Ara bahkan tak peduli jika punggung Yoongi sakit karena pelukannya terlampau erat. Ia sudah menahan semua sedih dan beban di hatinya. Menahan mati-matian air matanya agar tak menangis di depan orang lain dan berakhir menyusahkan mereka nanti.
Namun permintaan Yoongi baru saja, sungguh seperti mantra yang tak bisa ia tolak. Ara menangis sejadi-jadinya, meraung malang bahkan sampai tersedak air matanya sendiri.
"Ahjussi ...," panggilnya di sela tangis, tetapi Ara tak mampu bicara apa pun. Keran air matanya bocor, ia benar-benar hanya ingin menangis saat ini. Lalu bagaimana usapan lembut di punggung yang Ara terima, dengan bisikkan rendah yang menyapa telinga, Ara merasa sangat beruntung ada Yoongi saat ini di sisinya.
"Menangislah sepuasmu, jangan sisakan beban sedikit pun. Aku di sini, Sayang."
Ara mendengarnya. Panggilan sayang itu terasa seperti setetes air yang jatuh pada luka hatinya yang terbakar perih. Ada rasa bahagia, walau overthinking tentang pernikahan kontrak yang akan segera berakhir itu tak bisa ia hilangkan begitu saja.
Setelah mengetahui bahwa ia anak dari wanita jahat yang merusak kebahagiaan Minkyung, Ara menjadi semakin rendah diri. Bahwa ia begitu tak pantas, begitu buruk untuk sekadar mengharap cinta dari Yoongi. Masalah yang bertubi, fisik yang lemah karena tak nafsu makan dan kurang istirahat, Ara benar-benar ada pada titik terendahnya saat ini.
"Ahjussi, apa yang harus aku lakukan untuk memperbaiki semua yang telah aku rusak?"
======
Apa definisi dari sebuah ketenangan menurut versi kalian? Apakah melihat pemandangan indah dengan duduk di atas bukit dan menyeruput teh hangat mengepul di dalam cangkir yang terlingkar jemari? Atau mendongak ke atas langit bertabur bintang di kala malam hari? Ah, bagi seorang gadis seperti Ara, ketenangan itu tak muluk-muluk.
Rasa hangat dan nyaman dari pelukan seorang Min Yoongi, baginya sudah termasuk definisi dari ketenangan itu sendiri dan hal tersebut sukses membuatnya ingin berlama-lama memejamkan mata.
Namun sial, sejak tadi perutnya terus melilit meminta diisi sesuatu. Melewatkan waktu makan siang karena stress dan tekanan mental yang cukup menguras tenaga, kini tampaknya Ara kena batunya sendiri.
Perutnya mulai perih dan terasa mual membuat tubuhnya tidak nyaman sama sekali, lalu dengan enggan ia akhirnya membuka mata, mengerjap beberapa kali demi membiasakan cahaya yang menghunjam retinanya. Ara jelas tak menduga atas keterkejutannya saat itu, karena saat ia menggerakkan kepala, wajah tampan Yoongi tepat berada di depan mata.
Tanpa sadar pipinya memanas, yakin sekali jika rona merah pasti sudah menghiasi wajahnya. Ara tak akan bohong, jika Yoongi memang luar biasa tampan.
"Apa aku boleh membuka mata? Atau kau masih butuh waktu untuk mengagumi wajah tampanku?"
Ara sebenarnya merasa terkejut, hampir memalukan selayaknya pencuri yang baru ketahuan, tetapi perasaan itu lenyap begitu saja karena kata-kata narsis cenderung tak tahu diri yang diucapkan Yoongi.
Memang benar tampan kok, tetapi ketika Yoongi sendiri yang mengatakannya, rasanya Ara malas sekali mendengarnya.
Ara akan beranjak bangun, tapi sadar jika pinggangnya tengah dipeluk. Lengan itu memenjarakan tubuh kecilnya begitu erat menempel pada sang pria.
Gadis itu menggigit bibir bawahnya, merasa malu sekaligus berdebar dengan situasi ini. Tahu pasti jika Yoongi tadi sudah sangat sabar menunggunya selesai menangis, lalu Ara tertidur karena kelelahan. Argh, otak gadis itu jadi terasa macet karena tau dengan pasti juga bahwa rasa nyenyak yang ia rasakan adalah karena hangatnya pelukan seorang Min Yoongi.
"Wajahmu memerah, apa kau sakit?" tanya Yoongi mencoba mengulurkan tangan, tetapi Ara justru memukul tangannya dengan keras.
"Jangan sentuh!"
Yoongi mendengkus, hampir mendorong Ara karena kesal merasa perhatiannya tidak dihargai, tetapi senyumnya mengembang.
Melepaskan tangan dari pinggang sang gadis, Yoongi lalu tergesa bangun untuk duduk dan menarik dagu Ara agar menatap dirinya karena sedari tadi gadis itu menolak melihat ke arahnya.
Awalnya ia kira Ara marah karena ia berlaku kurang ajar dengan memeluknya ketika tidur, tetapi melihat sikap canggung yang jarang ditunjukkan Lim Ara itu, ia yakin bahwa istrinya sedang dilanda malu.
"Kubilang jangan pegang, Ahjussi!"
"Kau malu ya?" tuduh Yoongi, tak peduli jika Ara kembali memukul tangannya. Kali ini ia tak akan membiarkan Ara menatap ke arah lain selain dirinya.
"Tidak!"
"Lalu kenapa wajahmu merah?"
"Ya ingin merah saja!" panik Ara hingga menaikkan nada suaranya tanpa sengaja.
"Mana bisa begitu."
Astaga sebenarnya mereka ini sedang membicarakan apa sih. Ara jadi bingung harus merespons bagaimana. Lagi pula tidak mungkin kan dia mengakui semua karena dia merasa canggung di depan pria itu. Merasa tak bisa menghindar lagi, Ara ikut bangun untuk duduk, memaksa Yoongi melepas cekalan pada dagunya.
"Aku tidak malu, tuh," jawabnya tak acuh sembari menjingkatkan pundak.
"Lalu ini apa?" tuntut Yoongi, "berdebar-debar karena merasa bahagia berada dalam pelukanku, atau memikirkan sesuatu yang lebih intim dari pelukan? Aish, sayang sekali, harusnya aku melakukan lebih saat kau tertidur tadi." Nah kan si pria sudah merasa di atas angin kali ini.
"Yak! Kau mau mati, eoh! Apa-apaan ucapanmu itu! Dasar Ahjussi mesum!" amuk Ara dan mulai memukuli Yoongi dengan tenaga penuh, tetapi tak berlangsung lama karena ia bingung tatkala melihat reaksi Yoongi yang sama sekali tak menghindar dan malah tertawa lepas.
Selain karena terpesona akan aura bahagia yang tengah dipancarkan Yoongi, yang mana itu membuat pria di hadapannya jauh lebih tampan lagi. Ara takut juga jika pria itu sudah tidak waras. Mana ada orang dipukuli malah tertawa begitu.
"Kenapa? Kenapa berhenti?"
Nah ‘kan? Sepertinya benar jika Yoongi sudah tidak waras saat ini.
"Ahjussi, kau baik-baik saja?" tanya Ara mengulurkan tangan untuk menyentuh dahinya. Memeriksa siapa tahu tengah demam tinggi.
"Aku baik, Ra-ya."
"Lalu kenapa kau tertawa saat aku pukuli?"
Yoongi melepas tangan Ara dari dahinya, beralih menggenggam tangan kecil itu dengan kedua tangannya, lembut dan penuh afeksi. Yoongi juga tidak melewatkan untuk menatap indahnya netra sang gadis kala menyorot padanya lugu. Cantik! Begitu kata hati Yoongi saat ini.
"Ahjussi!" panggil Ara yang membuat atensi Yoongi kembali fokus.
"Aku tertawa karena aku senang."
"Kau senang aku pukuli?" tanya Ara tak percaya, lalu bingung karena Yoongi justru tertawa lagi. Masalah terbesar yang harus Ara hadapi adalah jantungnya. Organ di dada kirinya itu tak pernah baik-baik saja ketika melihat Yoongi tersenyum apalagi tertawa seperti ini. Bukan hanya tampan, Ara bahkan tak bisa mendeskripsikan bagaimana perasaannya.
"Aku senang karena kau tidak bersedih lagi Lim Ara," ujar Yoongi penuh perhatian. "Melihatmu tertekan, bersedih bahkan menangis seperti tadi, aku ikut merasa tidak baik-baik saja. Aku tak suka denganmu yang berisik, tapi ternyata aku sangat membenci wajahmu yang tengah menahan banyak beban. Aku merindukan senyumanmu."
Mata Ara bergerak acak, ingin menarik tangannya dari genggaman Yoongi demi menutup wajahnya yang terasa semakin panas, padahal ia yakin jika pendingin ruangan di dalam kamar ini masihlah berfungsi normal.
Lim Ara tiba-tiba merasa gugup, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, bahkan menelan ludah saja terasa berat untuknya.
"A-ahjussi," gugup Ara hingga terbata-bata.
Yoongi menggumam sebagai jawaban, kembali tersenyum hangat saat melihat rona merah semakin kentara di wajah sang gadis. Ia tidak ingat, sejak kapan tersenyum menjadi hobinya jika menyangkut Lim Ara.
Berbeda dengan Yoongi, Ara yang mendengar gumaman Yoongi barusan, di mana suara itu terdengar serak khas bangun tidur, berat dan dalam seolah tengah menggoda perutnya hingga terasa tergelitik sampai dada ikut berdesir. Kini gadis delapan belas tahun itu semakin sulit mengontrol detak jantungnya, dan sebagai pelampiasan Ara hanya bisa menggigit bibir bawahnya dengan kuat.
Lalu yang semakin membuatnya menggila adalah, bagaimana ibu jari Yoongi menyentuh bibir itu lembut bersama ucapan yang membuatnya ingin menyublim saja bersama pengharum ruangan.
"Jangan digigit, nanti berdarah."
Bisakah Ara menghilang saja? Tatapan Yoongi benar-benar sialan, kenapa juga barusan dia harus mendongak sih? Ara kesal, kesedihannya tertunda gara-gara Min Yoongi ini.
Di sisi lain, Yoongi sama gilanya. Melihat Ara yang mendongak dengan matanya yang sejernih rusa, bibir memerah karena baru saja digigit kuat, serta rambutnya yang acak-acakan, membuat sesuatu dalam dirinya seolah bangkit. Ada detak menggila yang tak bisa ia sembunyikan, entah Ara bisa mendengar atau tidak yang jelas refleksnya begitu cepat untuk mendekat, bersama ciuman bibir yang terkesan lembut, tetapi begitu menuntut.
Ara melebarkan mata, tubuhnya menegang kaku dan bingung harus bagaimana ketika bibir bawahnya dihisap seperti saat ini, yang bisa ia lakukan hanyalah mencengkeram erat sisi kemeja Yoongi. Ara tak peduli jika kemeja mahal itu akan kusut karena yang ada di pikirannya hanyalah menyalurkan rasa meledak yang berasal dari dadanya saat ini.
Bagi Yoongi sendiri, sungguh ia tak ingin mengakhiri ciuman pada bibir Ara yang menurutnya sangat manis itu, tetapi bunyi yang tiba-tiba mengganggu dari perut Ara, membuatnya harus menjauhkan diri dengan tidak rela. Agaknya dia sebal, tetapi justru tertawa lembut dan menyentuh pipi memerah Ara.
"Kau lapar."
Ara sendiri merasa amat bodoh, bingung harus berterima kasih atau memaki perutnya yang tiba-tiba berbunyi di waktu yang tidak tepat.
Dasar perut sialan!
====
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro