49
Halo, di hari kemerdekaan ini saya mau sedikit buat onar hehe.
Vote dan komen sebanyak2nya ya nanti diusahakan double maleman.
Makasih banget buat yang jarang muncul tp akhirnya banyak yg komen dan vote di part sebelumnya. Sehat selalu kalian.
.
.
.
"Oh ya? Bora sudah ingin punya adik ya?" tanya Minkyung yang segera direspons oleh anggukan bersemangat dari si gadis kecil, sementara Yoongi sibuk memberikan air putih pada Ara yang masih terbatuk-batuk dan mengusap punggungnya lembut.
"Mn, tapi ... Eomma berkata aku tidak boleh sering menanyakannya biar adik bayi segera datang," ucap Bora, dia kaget dan merasa bersalah karena sang ibu sampai tersedak mendengar perkataannya tadi.
Entahlah, barang kali wajah Ara yang tersedak barusan sudah merah seperti kepiting rebus saja. Dia tidak menduga bahwa Bora membawa masalah peradikan ini ke meja makan.
"Memangnya Bora ingin punya berapa adik?" tanya Jimin menambahkan daftar panjang konversasi tersebut.
Sebenarnya hati pemuda itu sedikit perih kala bahasan ini menyeruak. Dia tak dapat membayangkan bagaimana adik kecil kesayangannya yang manja itu harus menyerahkan tubuh pada seorang duda seperti Yoongi.
Dalam peta otaknya, Jimin bahkan membayangkan bagaimana princess-nya menjerit kesakitan saat Yoongi berada di atasnya dengan tawa menggelegar seperti pejahat.
Jimin menggeleng, mencoba menghapus pemikiran yang tidak-tidak itu. Namun, hal yang mendasarinya cukup kuat, terlebih konversasi yang dibangunnya bersama Yoongi tempo hari saat pria itu memintanya restu untuk menikahi Ara, seolah menyiratkan kalau mereka melakukan pernikahan ini secara paksa. Yoongi demi sang anak dan Ara demi menghentikan rasa cinta terlarangnya pada Jimin.
Apakah Ara benar-benar seterpaksa itu? Kenapa Jimin beranggapan seolah gadis itu menjual kesuciannya pada seorang om-om mesum?
"Aku ingin dua adik, lelaki dan perempuan," cicit Bora lugu.
"Bora yang sabar ya, Appa dan Eomma memang sedang berusaha." Ini lagi, Yoongi malah menambahi kebohongannya, membuat Ara semakin canggung.
Apa-apaan sih dia, janji macam apa itu? Aku ini masih tersegel sempurna, belum di-unboxing, bagaimana mungkin ada seorang bayi yang on the way ke rahimku. Dasar bodoh!
Bora menatap Ara yang sejak tadi tidak mengucapkan apa pun selain tersedak hebat, dan dalam otak kecilnya dia bahkan takut jika ibunya itu tengah marah.
"Eomma, maafkan aku karena mengatakan perihal adik ini, aku janji tidak akan membicarakannya lagi," ucap Bora takut-takut terlihat jelas dia menyesal.
Mendengar hal tersebut, tentu sifat keibuan Ara muncul. Bagaimana mungkin sih dia marah hanya karena hal tersebut, dia hanya marah pada dirinya sendiri karena ikut menjadi bagian dari kebohongan besar yang diciptakan ayah dari gadis kecil ini.
Oh Tuhan, Ara sampai menggerakkaan tangannya heboh saking tidak nyamannya. "Tidak apa-apa Sayang, Eomma hanya kaget saja dan Eomma minta maaf karena adiknya belum juga datang."
Bora menunduk tampak kacau dan merasa bersalah. Entah kenapa akhir-akhir ini dia sering merasa sendu kalau menyangkut semua hal tentang sang ibu. Dia sangat takut kehilangan Ara dan tidak mau ibunya itu merasa sedih dan memutuskan untuk pergi meninggalkannya. Bora harus menjadi anak baik.
"Bora harus sering berdoa pada Tuhan untuk memintanya," imbuh Minkyung merasa kasihan karena raut gadis kecil itu mendadak sedih. Sebenarnya, tentu dia khawatir jika Ara hamil diusia semuda ini, ada banyak kasus terkait masalah kesehatan yang dia baca jika seorang wanita hamil di usia kurang dari dua puluh tahun, terlebih Ara juga masih sekolah. Minkyung berharap Yoongi dapat bersikap bijak terhadap Ara dan Bora mengenai masalah ini.
"Nah, Eomma setuju dengan Oehalmeoni. Sekarang Bora makan yang banyak ya," seru Ara seraya memindahkan sepotong daging dari galbitang yang ada di mangkoknya ke mangkok Bora. Seketika wajah bulat gadis kecil itu menjadi cerah, setelah tau dengan pasti bahwa sang ibu tidak marah kepadanya.
"Terima kasih Eomma."
Ara mengangguk lantas beradu pandang dengan Yoongi, keduanya seolah sepakat untuk membicarakan hal ini lebih jauh. Bagaimanapun, dari cara Bora yang begitu berhati-hati dalam bersikap saat dihadapkan dengan berbagai hal menyangkut Ara, membuat gadis itu tidak nyaman sama sekali. Bora terlihat sangat takut kehilangan Ara dan hal tersebut di luar kuasanya. Ara khawatir bila waktunya tiba nanti untuk meninggalkan semua karena perjanjian mereka sudah berakhir, Bora akan terluka begitu dalam.
Makan malam berlangsung tanpa kendala, masakan yang dibuat Minkyung sukses membuat keempat orang yang mengelilingi meja tersebut menambah porsi makanan mereka. Yoongi bahkan terang-terangan memuji masakan ibu mertuanya tersebut.
Ara pun begitu menikmati waktu bersama itu hingga di satu waktu, Jimin membahas tipis-tipis tentang presensi sang kekasih yang masih berada di Amerika.
"Dia ternyata masih ada pekerjaan hingga tiga bulan ke depan, jadi rencana melamarnya aku undur." Jimin dan Minkyung bahkan terang-terangan membahas hal itu, pun dengan Yoongi yang sesekali ikut menimpali, berbeda dengan Ara yang dalam sekejap berubah mengatupkan bibirnya. Rasa enak masakan Minkyung tiba-tiba saja terasa hambar.
***
Minkyung dan Bora sudah memasuki kamar, sedangkan Ara dan Jimin memilih mencuci piring kotor sisa makan malam.
Sebelumnya Ara bahkan dibuat pusing karena Jimin dan Yoongi tampak berebut posisi siapa yang akan membantu Ara bersih-bersih, untunglah dering ponsel milik Yoongi menghentikan perdebatan tak berfaedah tersebut dan si pria kini tampak duduk di sudut ruangan dengan laptop menyala di depannya, serius.
Ara tampak merebahkan diri di atas sofa, menyalakan televisi dan mulai memindahkan saluran, mencari acara yang menurutnya seru. Sudut matanya beralih pada Yoongi, memperhatikan bagaimana seriusnya sang suami yang sesekali membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidungnya.
Dari perkataan Yoongi di telepon yang sedikit banyak terdengar di telinga Ara tanpa berniat mencuri dengar, sepertinya ada laporan mendesak terkait hasil pertemuan dengan calon investor dari Amerika yang tempo hari itu. Ara berharap semoga kabar baik akan segera diterima suaminya tersebut.
Tanpa Ara sadari, Jimin sudah bergabung di atas sofa, kedua tangannya menggenggam satu kaleng bir dan susu pisang yang kemudian dia sodorkan kepada Ara.
"Boleh yang itu tidak?" tawar Ara menunjuk kaleng bir di genggaman Jimin.
"Jangan coba-coba."
"Aku sudah menikah lho," sergah Ara.
"Tapi belum cukup umur untuk mabuk," timpal Jimin jelas tidak mau mengalah pada permintaan sang adik kesayangan. Tak ingin Ara bertambah aneh dia langsung membuka kaleng bir tersebut dan menenggaknya nyaris habis.
"Uh pelit," cebik Ara.
Jimin mengusak pucuk kepala Ara sebelum ikut merebahkan punggungnya di atas sofa. Gadis itu tak banyak bicara dan Jimin tau dengan pasti karena apa.
"Bagaimana sekolahmu?" Jimin mencoba memecah sepi, menolehkan kepalanya sedikit untuk melihat Ara yang terpaku dengan tatapan kosong ke arah televisi, "Ra-ya?" panggil Jimin lagi kali ini menempelkan kalem bir dingin yang digenggamnya ke pipi Ara dan sukses membuat gadis itu memekik.
"Yak! Apa sih Oppa?" Gadis itu mengusap pipinya yang dingin lantas mendelik ke arah Jimin yang terkekeh geli.
"Habisnya melamun sih, Oppa tadi bertanya bagaimana sekolahmu?"
"Oh, baik. Aku tidak mengambil hagwon--les tambahan persiapan masuk perguruan tinggi--karena sibuk mengurusi rumah tangga juga, tapi selama ini nilaiku bagus. Yoongi Oppa juga berniat memanggil guru les mulai minggu depan.
Jimin tampak mengerutkan keningnya, tidak setuju. "Apa kau tidak akan melanjutkan pendidikanmu?"
"Aku ingin, tapi aku sudah tidak punya cita-cita sekarang," ucap Ara sedikit memelankan intonasinya. Ara yakin, Jimin tidak ingin ia menyebutkan cita-cita konyolnya kembali, yang sayangnya sampai hari ini pun masih sama, menjadi princess-nya pangeran Jimin.
Jimin memaku, Ara pun terlihat mengembuskan napas berat seraya menundukkan kepalanya. Tatapan Jimin begitu rumit, dia bahkan tidak tau perasaan apa yang sedang ia rasakan pada gadis di dekatnya itu.
Mereka tak menyadari sejak tadi Yoongi sudah menutup laptopnya dan menatap interaksi kedua kakak beradik itu dengan rahang mengerat.
Apa-apaan mereka itu.
========
"Jimin-ssi! Kau punya minuman?" seru Yoongi tiba-tiba, menempatkan diri di antara Ara dan Jimin, memaksa keduanya bergeser.
"Astaga!" protes Ara, beringsut karena Yoongi benar-benar memaksakan tubuhnya di antara mereka.
Menampilkan wajah polos tak merasa bersalah, Yoongi menolehkan kepala ke arah Ara dan berkata penuh semangat, "Queen, pertemuanku tempo hari dengan investor dari Amerika itu berjalan baik, dan sepertinya minggu depan kami sudah menandatangani kontrak."
"Oh ya? Selamat," jawab Ara tulus, dia ikut senang sesuai dengan doanya beberapa saat lalu ketika melihat Yoongi sibuk berkutat dengan laptopnya."
"Queen, kau mau apa?"
"Hah?"
"Kau mau hadiah apa dariku?"
Ara merespons dengan membolakan matanya jelas merasa aneh dengan pertanyaan yang dilontarkan Yoongi.
"Hadiah?"
"Iya hadiah." Kali ini Yoongi terang-terangan memosisikan diri menghadap Ara tanpa peduli Jimin merasa sempit atau bagaimana, pokoknya semoga pemuda itu pindah tempat duduk, "kita bahkan belum sempat bulan madu, 'kan? Mau ke mana? Kau tinggal sebut saja."
Jimin terdengar mendengkus. Tidak habis pikir kenapa Yoongi bersikap seperti ini. Sebagai sesama pria, Jimin dapat menarik kesimpulan bahwa suami dari adiknya ini sedang cemburu. Terlebih pada bagian terlucu, bagaimana Yoongi memanggil Ara dengan sebutan queen jelas karena ingin mengunggulinya karena memanggil sang adik dengan sebutan princess.
Ara tampak menggerakkan bola matanya, menatap punggung Jimin yang menjauh ke arah dapur. "Aku bahkan sedang menghadapi ujian, orang-orang sibuk dengan hagwon, masa kau mau mengajakku bulan madu," tutur Ara kini dia sengaja membesarkan suaranya agar terdengar oleh sang kakak bahwa dia tidak suka dengan gagasan Yoongi.
"Ya karena Bora 'kan sudah meminta adik." Yoongi tau dengan pasti jika Jimin sudah meninggalkan tempat itu, jadi dia sengaja sedikit meninggikan suaranya agar pemuda itu mendengar apa yang tengah mereka bicarakan.
"Ahjussi, apa-apaan sih?" Desis Ara setengah berbisik.
"Apa?" Yoongi kembali berujar, "kau ingin ke pantai? Ke mana? Hawaii? Bali? Maldives atau ke mana?"
Aduh, sejak kapan Ara berkata ingin ke pantai sih. Lagi pula, Ara juga tidak tau apa maksud di balik sikap manis suami abal-abalnya ini?
"Aku tidak punya minuman mahal, hanya soju, kau tidak keberatan?"
Tiba-tiba suara Jimin memutus konversasi suami istri tersebut. Pemuda itu membawa sepuluh botol soju dalam pelukannya seolah tidak terganggu sedikit pun atas konversasi romantis yang baru saja di dengarnya.
"Tidak masalah. Aku punya toleransi alkohol yang cukup tinggi," ucap Yoongi angkuh.
"Jangan bilang kalian akan mabuk bersama," potong Ara, menatap gelas yang baru saja disodorkan Jimin ke arah Yoongi. Dia tidak mau jadi penonton saja karena umurnya belum legal. Namun jika mengingat cairan yang dulu ditenggaknya di hadapan Yoongi tempo hari, jelas membuat gadis itu trauma. Kalau sampai dia meracau bagaimana?
Walau sang kakak sudah mengetahui perasaan terlarangnya dan Ara sudah sepakat mengakhirinya pada konversasi mendalam di hari pernikahannya tempo hari.
Namun, jika Jimin tau bahwa rasa itu belum hilang, bisa kacau semua sandiwara yang tengah dibangunnya bersama Yoongi. Ara menggeleng brutal, pokoknya kalau sampai dia mabuk dan meracau tidak jelas di hadapan sang kakak lalu membangunkan ibunya dan Bora, itu akan menjadi kisah paling horor yang terjadi dalam hidupnya.
"Kau mau menjadi wasit?" Jimin bertanya di balik pintu lemari es yang baru saja dia buka guna membawa soju non alkohol untuk Ara.
"Eh? Jadi benar mau ada lomba minum?" tanya Ara mengerjap bodoh menatap Jimin dan Yoongi bergantian.
"Sepertinya seru," balas Yoongi terkekeh, jelas tak takut jika Jimin mengajaknya adu kekuatan dalam toleransi alkohol.
Untuk beberapa saat Ara terdiam, cukup bingung dengan apa yang akan dilakukan kedua pria itu, untuk apa? Apa faedahnya mengadu toleransi alkohol?
Jimin sudah menyimpan sebotol soju non alkohol di depan Ara, dan menarik bangku kecil agar dia dapat duduk berhadapan dengan Yoongi yang kini menyilangkan kakinya angkuh. Senyum remeh sejak tadi tersungging di wajah pria itu.
Entahlah, sejak pertama kali bertemu dengan Yoongi, Jimin tidak memiliki sedikitpun rasa suka terhadap sikap pria tersebut. Tatapannya terlalu angkuh dan menurutnya jelas bukan tipekal pria idaman Ara sama sekali. Barang kali wajah dan kekayaannyalah yang dapat menutup kekurangannya tersebut.
Kedua pria itu kini saling berhadapan, saling tatap dengan sorot seolah ingin saling mengalahkan. Ara bahkan sempat berpikir andai saja keduanya memiliki kekuatan super dan sorot laser, barang kali mereka sekarang tengah saling melelehkan.
"Ra-ya, coba kau tuangkan sojunya ke dalam gelas kami," pinta Jimin tanpa sedikitpun mengalihkan pandangan dari Yoongi. Merasa tak punya pilihan, gadis itu menurutinya saja.
Keduanya lantas segera menenggak habis minuman tersebut, lalu mulai giliran Yoongi yang menyuruh Ara menuangkan cairan itu.
"Astaga, kalian ini menyuruhku jadi wasit atau pelayan sih?" gerutu Ara, tetapi untunglah panggilan sang ibu di ambang pintu kamarnya membuat Ara bisa terbebas dari posisi tersebut.
"Ya Eomma, ada apa?" tanya Ara, dia memilih untuk secepatnya mendekat pada si pemanggil daripada terus berada di ruang keluarga bersama dua pria bebal.
"Eomma ingin berbincang denganmu."
Ara mengangguk, lantas masuk ke dalam kamar sang ibu sebelum menatap kedua pria itu di ruang keluarga.
Mereka akan baik-baik saja 'kan kalau ditinggal? Ah sudahlah toh mereka sudah dewasa.
"Wah, oppa membelikan Eomma ranjang baru? Itu bagus sekali," seru Ara saat melihat ranjang besar di mana Bora sudah tertidur begitu lelapnya.
"Iya dan karena terjadi kesalahan dalam pengiriman, ranjang baru untuk kamarmu jadi belum datang. Maafkan, kami sangat kurang persiapan menyambut keluargamu di sini."
"Tidak apa-apa kok Eomma, aku ikut senang karena tempat ini jauh lebih baik dari tempat tinggal kita yang sebelumnya," sahut Ara setengah berbisik karena kali ini dia mendaratkan tangannya, mengusap kepala Bora lembut.
"Anak cantik itu manis sekali. Sebelum tidur dia banyak bercerita tentangmu, terlihat sekali dia sangat menyayangi dan takut kehilanganmu."
Ara mengangguk dengan hati menghangat. "Bora memang semanis itu dan aku sangat menyayanginya."
"Kau bahagia?" tanya Minkyung tiba-tiba dan sukses membuat Ara mengarahkan seluruh atensinya pada sang ibu.
"Tentu."
"Bagaimana dengan Nak Yoongi? Apa dia memperlakukanmu dengan baik?"
"Tentu saja Eomma, dia sangat baik, seorang suami dan ayah yang baik."
"Kau mencintainya?"
Dalam hati, Ara sampai menggerutu, ini sang ibu kenapa malah menginterogasinya seperti ini? Kalau masalah cinta, tentu saja Ara tidak mencintainya.
Ara tersenyum sebelum menimpali. "Memangnya apa yang akan membuatku tidak mencintai Yoongi oppa, Eomma lihat sendiri kan? Dia itu sangat sempurna. Tampan, kaya raya, mempunyai anak yang cantik dan penurut. Aku bahkan sampai sekarang terkadang masih suka berpikir, kenapa dia memilihku untuk jadi istrinya. Anak sekolah berisik sepertiku, kenapa dia mau denganku?"
"Alasannya karena gadis kecil ini, 'kan?" ucap sang ibu yang membuat Ara mengerjap lugu.
"Y-ya awalnya mungkin seperti itu, tetapi pada akhirnya kami saling mencintai, Eomma. Kau tidak perlu khawatir."
Minkyung terlihat berpikir jauh, menatap Ara seolah sedang membaca pikiran sang anak yang memang selalu terlihat bagai buku terbuka itu.
"Ra-ya, kenapa kau berbohong padaku dan kakakmu," ucap Minkyung lirih.
"Eh? Maksud Eomma?"
"Bora bilang padaku, kau bertemu dengannya baru beberapa bulan lalu, kau menolongnya dari usaha penculikan. Kenapa berbohong pada kami tentang kau yang mengenal Min Yoongi selama tiga tahun? Ibu jadi mengkhawatirkanmu, Nak."
Astaga, kenapa rubah kecil ini malah menceritakan semuanya? Bodoh kau Lim Ara, kenapa Bora tidak di-briefing dulu sebelumnya datang kemari untuk menghindari hal-hal hal seperti ini. Astaga! Aku harus bagaimana? Karena siapa pun tidak akan menduga kalau eomma mengajaknya tidur di sini.
Ara terdiam cukup lama, jelas tidak dapat menutupi keterkejutannya karena keadaan ini tentu di luar perhitungan. Dia tidak menyangka kalau sang ibu akan mengajak Bora tidur di kamarnya.
Setelah berpikir, gadis itu lantas menjawab, "Umm ... maafkan aku jika ada kebohongan perihal selama apa kami sudah saling mengenal. Pada awalnya mungkin memang seperti itu, gadis kecil ini yang menginginkanku menjadi Eomma-nya, dan Eomma juga sudah melihatnya sendiri bagaimana dia terlihat sangat menyayangiku. Aku tidak bisa mengabaikan perasaan, bagaimana seseorang begitu menganggap keberadaanku, menginginkanku. Bora ... mengingatkanku pada diri sendiri."
Ara tidak bermaksud menghakimi hilangnya presensi sang ibu selama ini. Dia tidak bermaksud menyakiti wanita itu dengan ucapannya. Namun sepertinya apa yang baru saja dia utarakan sangat tepat sasaran.
Ucapan tersebut sudah kadung terlempar dan dia harus melihat sang ibu menunduk dengan air mata membasahi pipi.
"Maafkan aku Ra-ya. Karena membiarkanmu sendiri selama itu."
Ara membolakan mata, jelas tidak bermaksud seperti ini. "Aku tidak apa-apa Eomma, semua baik-baik saja, kami saling mencintai sekarang. Yoongi oppa bahkan mengajakku berbulan madu."
Hati Ara bahkan seolah mencelus ke dasar perut sangat mengatakannya. Bulan madu? Memangnya apa yang dilakukan pasangan yang berbulan madu? Otaknya langsung saja ber-travelling ria saat bayangan roti sobek dan dua biji kenari milik Yoongi terpeta di sana.
Sialan! Kenapa aku jadi mesum begini!
"Apa kau bersungguh-sungguh akan memprogram anak di umur semuda ini? Apa suamimu tidak pernah memakai pengaman? Kau terlalu muda untuk hamil, Ra-ya. Eomma khawatir."
Ara tidak tau sudah semerah apa wajahnya mendengar bahasan tentang pengaman dan kehamilan ini. Atmosfer di kamar itu mendadak saja terasa panas.
Sementara di ruang keluarga, kedua pria itu tengah berbagi informasi mengenai Ara, merasa saling unggul satu sama lain untuk menentukan siapa yang paling mengenal sang gadis.
Hingga seseorang membahas tentang 34B yang membuat salah satunya terdiam.
Sialan! umpat salah satunya.
.
.
.
Hayoloh siapa yang bilang 34B, kalian ngerti ga jokesnya?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro