4
)❥❥❥ 𝓗𝓪𝓹𝓹𝔂 𝓡𝓮𝓪𝓭𝓲𝓷𝓰 ❥❥❥(
"Oppa menyukai gadis yang manis dan lembut," monolog Ara di depan lemari yang terbuka, tangannya menyusuri deretan pakaian yang tertata rapi, bingung harus memakai yang mana.
"Manis ... dan lembut ... ck pakai yang mana ya. Ini jelek, ini juga jelek. Ih, ini lebih jelek lagi!"
Sejak pukul tiga pagi dirinya terjaga dan sudah dua jam lebih gadis itu mematut diri, bergonta-ganti pakaian dan riasan yang hendak ia kenakan.
Hari ini akhirnya tiba, hari yang sudah tiga tahun ini selalu dia nantikan. Hari kepulangan Jimin. Ah, diingatkan tentang itu, dadanya terus saja berdesir tak sabar ingin segera bertemu. Dari sejak seminggu yang lalu ia bahkan selalu memikirkan hal apa saja yang akan ia lakukan nanti jika sang kakak kesayangan pulang.
"Aku harus memakai sesuatu yang feminim, tapi yang mana ya?" Tangannya terus menelusuri deretan pakaian dalam lemarinya, lantas menarik satu cardigan berwarna lilac setelah sebelumnya mengenakan dress floral selutut, "aih, ini terlihat tua," ucapnya seraya menggeleng disertai decakan.
Ia merasa kesal karena pakaian yang sejak tiga hari lalu ia siapkan harus terbakar setrikaan panas yang ia lupa matikan. Ini pasti gara-gara titisan siluman rubah itu, dia jadi kena sial terus.
Mata bulatnya kini menatap pantulan diri, pasrah sajalah dengan dress hitam selutut yang dipadankan jaket jeans lamanya. "Jadi diri sendiri sajalah. Memangnya ada wanita lain yang bisa membuat oppa tertarik selain aku?" monolognya sembari berputar menilik tubuhnya yang sudah berbalut busana itu.
Setelah menyemprotkan parfum sebagai pelengkap penampilan, Ara bisa mendengar aktivitas di dapur yang selama tiga tahun ini tak ada. Suara desis dari tumisan bawang yang berdifusi dengan udara, tercium harum sampai ke dalam kamarnya. Hal itu tanpa sadar membuat Ara tersenyum tipis. Mungkin sang ibu ingin membuat impresi terbaik untuk Jimin yang pulang nanti.
Ada rasa tak nyaman bahwa ia merasa dicurangi. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar untuk ia menahan rasa kesepian akan kasih sayang dari sang ibu. Namun, ia juga tak mau menyempitkan pemikiran dengan terus merasa marah akan keadaan. Ibunya yang biasa bekerja, menyempatkan satu hari untuk si sulung yang akhirnya kembali pulang ke rumah. Ia tidak boleh merasa iri lagi. Bukankah ia sudah berjanji pada sang kakak untuk menjadi anak baik dan tidak menyusahkan ibu mereka?
Setelah mengembuskan napas besar dan menarik paksa senyumnya, Ara ke luar kamar, terpaku sebentar untuk menatap pemandangan sang ibu yang tengah sibuk di dapur. Ara mengedip beberapa kali ketika rasa ingin menangis itu datang. Bahwa benar ia rindu akan suasana rumah yang seperti ini.
Berjalan ke arah dapur setelah menenangkan hatinya yang berdenyut sejak tadi, Ara menghampiri sang Ibu di dapur. "Pagi! Wah Eomma masak apa? Kelihatannya lezat sekali."
Wanita paruh baya itu menoleh, sedikit terkejut dengan kehadiran sang putri yang tiba-tiba, tetapi lantas tersenyum. "Kau sudah bangun, Eomma membuat nasi goreng kimchi dan kimbap."
"Wow itu kesukaanku dan oppa. Hm ... oppa pernah berkata saat video call tempo hari, kalau dia sangat merindukan masakan Eomma, syukurlah karena sekarang Eomma menyempatkan diri untuk memasak," celoteh Ara sambil mengesat piring yang baru saja dicuci dengan lap, sementara tanpa ia sadari sang ibu tengah menatapnya saksama.
"Ra-ya ...."
"Mn?"
"Maaf," ucap sang ibu masih dengan mata yang memaku pandangan pada wajah gadis itu.
"Eh?"
"Karena sibuk bekerja dan tidak memperhatikanmu selama tiga tahun ini ... Eomma minta maaf."
"Eh? A ... itu ... tidak apa-apa," jawab Ara sekilas menatap sang ibu sebelum kembali mengalihkan pandangan pada piring basah yang masih ada di genggamannya, diam-diam cengkeramannya pada piring menguat. Ah, sebenarnya Ara tak ingin bersikap emosional seperti ini, tetapi perkataan sang ibu jelas mencubit lubuk hatinya, menguarkan memori-memori acak yang pernah ia kecap dulu dan itu rasanya masih saja menyakitkan.
"Maafkan, Eomma. Hari ini Eomma baru sadar, kau sudah tumbuh sebesar dan secantik ini. Eomma benar-benar merasa gagal karena melewatkan banyak hal tentangmu."
Ara terkekeh dan berusaha menampilkan raut cerianya kembali. "Eomma tidak salah apa-apa, dan yang seharusnya minta maaf itu aku karena selalu merepotkan. Kau bekerja keras untukku dan oppa, bagaimana mungkin kami menuntut banyak hal padamu, Eomma."
Bagaimana mungkin Ara bisa membenci sang ibu karena ketiadaan perannya selama ini? Ada kalanya ia merasa begitu kesepian dan tak diinginkan. Namun, semua itu bukan menjadi alasan untuknya membenci wanita yang telah melahirkannya itu. Jika ia mengalami banyak waktu sulit, bukan berarti sang ibu tidak, bukan? Sejak dulu, bagaimana suara tangisan wanita paruh baya itu masih terus terngiang sampai sekarang, dan hal itu ... adalah hal yang paling menyakitkan untuknya.
"Ra ya, terima kasih karena sudah tumbuh besar dan sehat."
Bagaimana sebuah pelukan itu akhirnya melingkupi tubuh, Ara tak lagi bisa menahan air mata yang ia tahan sejak tadi. Dengan tangan kecilnya, ia membalas erat pelukan sang ibu lalu menangis semakin keras. Rasa rindu yang selalu ia tahan dengan baik selama ini, akhirnya pecah di dalam pelukan wanita yang nyatanya selalu ia rindukan.
"Aku merindukan Eomma."
***
"Apa pesawatnya mogok?" Ucapan sang ibu membuat Ara yang sejak tadi berdiri di sampingnya langsung menoleh kaget. Heh! Bukankah itu sangat seram? Bagaimana mungkin pesawat terbang sampai mogok? Bengkel mana yang buka jasa servis pesawat di angkasa sana?
"Eomma, mana mungkin pesawat mogok? Pesawat akan jatuh kalau sampai mesinnya mogok." Jawaban Ara justru dihadiahi jitakan keras.
"Bagaimana mungkin kau mendoakan pesawat oppa-mu jatuh, hah?!"
Ara menggeleng heboh, mengibaskan kedua tangannya di depan dada. "Eih, aku tidak mendoakan. Hanya meluruskan apa yang Eomma ucapkan tadi. Lagi pula petugas bandara sudah memberitahu kalau pesawat oppa delay beberapa jam karena lalu lintas pesawat sedang ramai."
Sang ibu akhirnya mengangguk dan kembali menatap ke arah depan. "Ah, macet rupanya."
Ara langsung melebarkan mata. Ia akan mengatakan sesuatu, tapi tak jadi. Terserah sajalah mau dikatakan apa, asal sang ibu tenang.
Namun, jika boleh jujur, sebenarnya justru Ara yang merasa tidak tenang. Ia bahkan kini kesal karena jadwal kedatangan pesawat harus mundur, padahal ia sudah sangat ingin bertemu dengan Jimin. Berulang kali ia menatap ke arah FIDS (Flight Information Display System) dan jam tangannya bergantian. Entah sudah ke berapa kali ia menghela napas besar disertai dengan decakan.
Lalu, bagaimana suara berisik dari para penjemput penumpang akhirnya terdengar, Ara merasakan dadanya semakin bergemuruh hebat. Ia menatap satu per satu orang yang keluar dari pintu bandara itu, menggigiti bibir bawahnya resah dengan kaki mengetuk lantai dengan tidak sabaran.
"Ra-ya, itu Jimin!" seru sang ibu sambil menunjuk ke arah depan.
Ara sampai lupa bernapas saat menemukan sosok Jimin yang berjalan ke luar bersama penumpang lain. Ia terlalu sibuk menatap pribadi yang tengah tersenyum hangat itu, sampai mengabaikan detak jantungnya yang sangat berisik. Tanpa sadar setetes air matanya jatuh, membasahi pipi putihnya bersama satu teriakan keras. "Jimin Oppa! Princess-mu di sini!"
Sangat tidak sabar Ara melompat-lompat saat menanti Jimin mendekat. Ia terus bergerak gelisah seolah jarak lima meter itu jauh sekali. Pipinya bahkan sudah pegal karena tersenyum terlalu lebar, dan ketika sosok dengan setelan hitam itu akhirnya berdiri di hadapannya, Ara langsung memeluk Jimin sangat erat, erat sekali. Ia bahkan menggerakkan tubuhnya ke kanan dan kiri saking senangnya.
"Jimin Oppa! Aku merindukanmu!" ucapnya dengan lantang.
"Oppa juga merindukanmu, Ra-ya."
"Bohong!"
"Tidak kok, Oppa sungguh sangat merindukan princess kecil ini," jawab Jimin sambil melepaskan pelukan, dengan gemas ia mencubit hidung Ara yang langsung mengerang sakit.
"Ah, sakit, Oppa!"
"Apa kau nakal? Apa kau menyusahkan Eomma?" tanya Jimin yang kini berganti memeluk hangat tubuh ibunya.
"Eh, tentu saja tidak!" jawab Ara dengan cepat, "tanya saja Eomma. Aku selalu belajar dengan baik dan tidak pernah mengeluh apa pun."
Sang ibu tentu merasa tercubit hatinya. Ara tak mengatakan hal buruk tentangnya, padahal wanita itu tahu bagaimana tidak adilnya ia selama ini pada si bungsu. "Adikmu sangat pintar. Dia tidak menyusahkan Eomma sama sekali. Sekarang kita pulang ya. Eomma sudah memasak nasi goreng kimchi dan kimbap untukmu."
Masih dengan senyuman lebar, Jimin mengangguk dan menggamit lengan ibunya. Sementara satu tangannya yang lain menggandeng tangan Ara. Namun ia berhenti karena adiknya tak juga berjalan. Ia berbalik dan menaikkan alis bingung.
"Kenapa?"
"Gendong!"
"Aigo! Anak ini." Tanpa perasaan, kepalanya kembali dipukul sang ibu. Ara menjerit, melebih-lebihkan sakitnya agar sang kakak kasihan.
"Oppa, aduh kepalaku pusing. Aku mau pingsan! Aku tidak bisa berjalan! Aduh! Eomma jahat sekali. Dia bahkan menyiksaku begitu Oppa kembali. Oppa ... cepat gendong aku!"
Mendengar rentetan ucapan anak gadisnya itu sang ibu hanya bisa mendengkus keras dan menggelengkan kepala. Namun, berbeda dengan Jimin yang tertawa lalu berbalik badan dan langsung berjongkok.
"Ayo naik, Oppa akan menggendongmu sampai depan."
Ara bertepuk tangan dengan sangat keras. Ia merasa teramat senang karena Jimin mau mengabulkan permintannya, tapi ia langsung merengut saat sang ibu bicara lagi.
"Jimin-ah jangan turuti adikmu. Kau pasti lelah setelah penerbangan jauh, lagi pula adikmu itu sekarang jauh lebih berat. Mungkin lebih berat dari dua karung besar gandum."
"Eomma, aku anak pungut, ya? Kejam sekali membandingkan aku dengan karung gandum," ucap Ara sambil merengut.
Jimin memutar kepalanya untuk menatap sang adik lalu tersenyum. "Jadi naik tidak?"
Ara menggeleng. "Tidak!" ucapnya merajuk.
"Jangan merajuk, ayo naik. Eomma hanya bercanda kok."
Setelah menghela napas panjang, akhirnya Ara naik ke punggung Jimin untuk kemudian di gendong ke luar area bandara, sementara sang ibu mendorong koper besar kakaknya itu.
"Eomma, kau berbohong," kata Jimin tiba-tiba.
"Bohong apa?" tanya sang ibu yang juga mewakilkan Ara.
"Eomma bilang Ara lebih berat dari dua karung gandum. Aih, ini bahkan lebih berat dari lima karung besar gandum!"
"Yak, Oppa!" teriak Ara tak terima. Ia bahkan menggoyangkan badannya brutal sampai membuat Jimin hampir jatuh bersamanya. "Aku tidak seberat itu, tahu!"
Jimin tertawa bersama sang ibu saat mendengar rengekan Ara. Ia lalu menepuk pantat adiknya sekali agar diam. "Jangan bergerak terus. Kau berat, nanti kita jatuh."
"Biar! Oppa jahat sekali!"
"Oppa baik tuh. Buktinya mau menggendong lima karung gandum begini."
Ara mendengkus jengkel. "Huh! Masih mengatai! Turunkan aku!"
"Tidak mau. Oppa tidak akan menurunkan princess ini. Nanti dia lelah berjalan." Ucapan Jimin membuat Ara terdiam lalu mengulum senyum malu.
Sekecil apa pun itu, asal Jimin Oppa, sungguh membuat dunia Ara berwarna merah jambu.
"Oppa manis sekali. Semoga nanti dapat jodoh yang secantik aku," ucap Ara yang berharap sang kakak mengerti isyarat darinya. Bahwa ia tengah berdoa semoga mereka bisa bersama dan semoga Jimin mengamini doanya.
"Jodoh Oppa tentu saja secantik Ara. Kau akan tahu saat ia datang nanti," sahut Jimin dan itu membuat Ara langsung terdiam.
"Kau sudah punya kekasih Jim?" tanya sang ibu yang langsung diangguki sang pria.
"Mn, tapi dia baru datang tiga bulan lagi karena harus menyelesaikan beberapa pekerjaannya di sana Eomma."
Percakapan keduanya berlanjut, tetapi tidak ada yang menyadari kalau sosok Ara kini seolah tengah hilang nyawanya. Dunia merah jambunya yang baru saja kembali, sekonyong-konyong berganti warna menjadi abu-abu. Ia kehilangan akal karena kenyataan bahwa yang dicintai kembali dengan kabar mengerikan itu, Jimin sudah punya kekasih!
Bangsat! Rubah mana yang berani mengambil hati Jimin Oppa-ku?
***
So far gimana? Udah keliatan seru belom?
Vote yuk
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro