34
Day 3 encore sangat emosional sekali yaaaa hiks
.
.
.
Yoongi telah selesai membersihkan diri, mengganti bajunya dengan pakaian tidur, lantas menatap Ara dengan beberapa kali berdecak. Dia tidak habis pikir, bagaimana gadis itu bisa tertidur pulas dengan gaun pengantin yang masih melekat pada tubuhnya? Apakah itu nyaman? Tidak gatal? Bahkan riasannya pun masih menempel sempurna di sana.
"Astaga kenapa jorok sekali, sih?" ucap Yoongi lirih, sembari mencondongkan tubuhnya menatap wajah Ara yang tertidur pulas. Pribadi yang senantiasa cerewet itu terlihat polos, bahkan keberisikannya seolah teredam oleh senyum tipis yang mengisyaratkan betapa nyamannya tubuh berbalut gaun pengantin itu bergelung di atas sofa. "Lim Ara, bangunlah kau harus mengganti bajumu. Hei! Lim Ara, ayo bangun!"
"Eung ...." Sebuah erangan terdengar dari mulut si gadis, tetapi bukannya bangun, tepukan tangan Yoongi pada lengannya justru membawa gadis itu semakin pulas.
"Oh astaga bagaimana bisa aku mempunyai istri pemalas seperti ini sih? Hei Lim Ara ayo ganti baju dan bersihkan wajahmu!" Kali ini Yoongi menarik lengan gadis itu cukup keras hingga tubuh berbalut gaun pengantin itu tergeser dari tempatnya bergelung.
"Aaahhh! Omo! Ada apa?!" teriak Ara mengerjap-ngerjapkan mata sambil memicing silau.
"Ganti baju dan bersihkan wajahmu dulu, baru tidur."
"Ahjussi, aku ngantuk ...."
"Yak! Tapi kalau tidak dibersihkan nanti wajahmu berjerawat tau."
Ara menggerutu sebal, sebelum akhirnya berdiri tetapi dengan mata kembali terpejam. "Tadi aku mencarimu, tapi kulihat kau sedang galau di balkon. Aku butuh pakaian." Ara kemudian mengucek matanya malas seraya mempertahankan posisi berdirinya agar tidak oleng.
"Kau tak membawa pakaianmu?"
"Masih di dalam koper di luar. Aku tak mau berdebat dengan Bora tentang masalah peradikan itu. Aku lelah, Ahjussi." Ara baru saja akan kembali merebahkan diri di atas sofa, jika saja Yoongi tidak menahannya.
Ara menguap lebar, kini mulai terjaga meski belum sepenuhnya, ikut berdiri di belakang Yoongi yang kali ini mengembuskan napas panjang kala menatap lemari milik sang mantan istri.
Mengetahui Yoongi seperti menerawang jauh, Ara mencoba mengatakan sesuatu. "Mn ... Ahjussi, aku sebaiknya mengambil koperku saja di depan. Aku ngantuk dan tak ada waktu untuk menonton kegalauanmu ini."
"Tidak, itu tidak perlu. Kau benar, Bora pasti belum tidur dan akan berisik kalau mendapatimu ke luar kamar. Lagi pula, siapa juga yang galau?"
"Tapi ... aku bersungguh-sungguh. Aku tidak enak hati kalau harus memakai pakaian milik istrimu lagi, sementara kau terlihat ...." Ara menjeda ucapannya guna melihat ekspresi yang diperlihatkan Yoongi sebelum melanjutkan, "biar aku memakai gaun ini sajalah, ini nyaman kok." Ara sudah berbalik badan sebelum bagian belakang gaunnya ditarik sang pria seperti kucing.
"Hei, yak! Ahjussi!"
Tanpa banyak kata Yoongi membalikkan tubuh Ara, bersejajarkan diri guna menatap sang gadis. "Kau sudah jadi istriku kalau kau lupa. Seharusnya aku tak menyimpan pakaian-pakaian Yuna lagi. Besok aku akan membereskannya. Pilihlah pakaian yang kau suka untuk tidur, maaf karena aku belum mempersiapkan pakaian untukmu."
Setelah mengatakan hal tersebut, pria itu segera berlalu. Ah, entahlah, Ara bahkan melihat bagaimana manik hitam Yoongi kembali mengembun, terlihat sekali bahwa pria itu sedang meredam kecamuk hatinya. Ara jadi ingat bagaimana pria itu memanggil sang mantan begitu putus asa di balkon tadi. Mau tak mau Ara kini ikut-ikutan mengembuskan napas panjang juga, merasa bersalah.
Berusaha tidak memakai baju milik Yuna yang sangat mencolok, Ara menyahut satu stel pakaian tidur berwarna pastel dan mulai membuka gaun pengantinnya.
Pertama-tama, Ara mulai mengangkat tangan guna meraih kepala resleting gaunnya. Gadis itu mendengkus karena merasa kesulitan, sampai-sampai ia membawa tubuhnya ke dekat cermin guna melihat posisi kepala resleting tersebut.
Ah, sial! Setelah berjibaku selama lima belas menit hanya untuk membuka gaunnya, Ara menyerah dan berharap Yoongi tidak berpikiran yang aneh-aneh jika gadis itu meminta bantuan.
Yoongi sudah kembali ke balkon saat Ara menghampirinya canggung. "Ahjussi ...." panggil Ara lirih.
Tidak seperti tadi, kali ini Yoongi langsung mengalihkan atensinya dan mengernyit kala melihat Ara masih mengenakan gaun pengantin itu. "Kau belum menggantinya?"
"Aku ...." Gadis itu menunduk, bingung harus berkata apa, tetapi kalau tidak jujur, dia tidak akan bisa mengganti gaun tersebut. "Mmm ... itu ... a-aku kesulitan membuka resletingnya, bisakah kau membantuku? Tapi demi Tuhan aku tidak sedang menggodamu, Ahjussi."
Yoongi tampak diam sejenak, menatap Ara dalam kernyitan samar, lantas membawa dirinya masuk ke dalam kamar, membalikkan tubuh Ara untuk mulai membuka gaun tersebut.
"Tu-tunggu Ahjussi, kau harus memejamkan mata saat membukanya. Ini bahaya dan aku takut kau menganggapku tengah menggodamu dan itu menyalahi perjanjian kita bukan. Aku hanya butuh kau menurunkan kepala resletingnya dan setelahnya berbalik."
"Iya baik, sekarang berhentilah berbicara dan biarkan aku membantumu." Yoongi bahkan tak berpikir bahwa itu adalah sebuah masalah besar, tetapi saat jemarinya menyentuh kepala resleting dan menurunkannya, sebuah reminisensi sembilan tahun silam segera menyergapnya.
"Oppa, bisakah kau membuka resletingnya untukku? Ini susah sekali dibuka." Yuna membalikkan badannya setelah sebelumnya tersenyum menggoda.
"Mana sini biar aku yang buka."
"Tapi jangan macam-macam ya, kehamilanku masih muda tidak boleh sering-sering ditengok."
Yoongi tertawa."Kalau begitu jangan menggodaku dengan senyuman melemahkanmu itu dong, Sayang." Pria yang kala itu masih berumur belasan tahun itu memeluk tubuh sang istri dan mengelus perutnya yang belum terlalu terlihat besar. "Tapi ... tentu saja aku akan menjaga kalian dengan baik, aku berjanji."
Sudut bibir Yoongi terangkat ke atas dengan pelupuk yang kembali mengembun, lupa menyadari bahwa yang berada di hadapannya kini adalah gadis lain. Bagaimanapun semua kenangan tentang Yuna adalah hal menyenangkan sekaligus menyakitkan baginya.
"Sudah?"
Pertanyaan Ara tersebut membuat Yoongi kembali tersadar. "Oh! Ya! Sudah." Pria itu segera berbalik, berusaha menyamarkan degupnya yang mendadak bertalu kencang. Mau tak mau pria itu telah sukses menatap punggung mulus Ara yang efeknya ternyata tidak baik sama sekali bagi jantung.
Beruntung, gadis itu segera berlari ke dalam walk in closet dan sejurus kemudian, Yoongi mendapati Ara memakai pakaian Yuna lagi, dan hebatnya gadis itu memakai pakaian favorit Yuna.
"Ahjussi, semoga kau tak keberatan jika aku memakai pakaian yang ini?" tanya Ara meminta izin. Gadis itu sengaja memilih pakaian tertutup dan tidak terlalu bagus–celana panjang dengan motif kotak-kotak merah muda dengan atasan polos berwarna senada. Menurut Ara pakaian itu tidak terlalu bagus, dan akan keterlaluan jika dirinya memilih pakaian yang masih bagus karena hal itu pasti melampaui batasnya sebagai pendatang baru ilegal dalam hidup Yoongi.
"Oh!" Mau tak mau ya otak Yoongi kembali ber-travelling ke masa lalu. Kenapa saat ini Ara sangat meresahkan sekali? Kenapa juga dia harus mengenakan pakaian favorit Yuna. Namun, tak mungkin juga dia melarang sang gadis memakainya karena dia juga tadi memperbolehkan Ara memilih yang mana saja, "ya terserah kau saja."
Astaga, kenapa semua yang terjadi nyaris sama? Istrinya juga dulu tak mau membersihkan wajah karena terlalu lelah setelah resepsi. Ini akan menjadi buruk jika semua tentang Ara hanya akan mengingatkannya pada sang istri yang kini entah di mana. Yoongi tak mau terjebak pada permainan ini, apalagi dengan bayang-bayang sang istri di sana, karena itu akan menjadi sangat tidak adil untuk Lim Ara sendiri.
Yoongi memilih merebahkan diri, tak mau ambil pusing lagi perkara Ara yang langsung tidur tanpa cuci muka lebih dulu. Ia lalu menerawang jauh, memikirkan banyak hal sebelum akhirnya jatuh tertidur dengan satu ucapan terakhir sebelum alam mimpi mengambil alih kesadarannya.
"Na-ya, aku merindukanmu."
***
Satu malam telah terlewati dengan baik oleh Ara, bahkan pertanyaan Bora tentang apa adiknya sudah jadi atau belum juga bisa ia jawab dengan enteng, Ara menjawab santai, "Adiknya masih diolah, jadi jangan terus bertanya karena adikmu nanti tidak mau datang karena bosan mendengar rengekan kakaknya."
Voila! Bora langsung menutup mulut dan lebih memilih bermain dengan Ara di dalam kamarnya. Hari ini ia libur, Yoongi juga libur dengan alasan tak mungkin juga pengantin baru tiba-tiba saja masuk kantor tanpa mengambil cuti. Bisa curiga nanti, tapi yang menyebalkan adalah, dari pagi setelah sarapan Yoongi terus saja berkutat dengan laptopnya. Mengerjakan apa Ara juga tak tau, ah lebih tepatnya tak mau tau.
"Eomma, temani aku tidur siang ya?" pinta Bora dengan manis setelah seharian bermain dengan Ara.
"Siap! Sekarang cuci muka dan gosok gigi, jangan lupa cuci kaki. Kau mau dibacakan cerita lagi?"
Penuh semangat Bora mengangguk, berlari ke arah kamar mandi untuk mengerjakan apa yang disuruh Ara. Ia benar-benar ingin menjadi anak yang manis dan penurut karena Ara sudah mau menjadi eomma-nya. Besok ia akan pamer pada semua temannya—terutama Jessica--bahkan jika dibolehkan, Bora akan pamer bahwa eomma-nya masih sangat cantik dari pada eomma teman-temannya.
Ara sendiri sudah berbaring di atas ranjang, menunggu anak sambungnya itu kembali ke kamar. Ponselnya bergetar pelan, menandakan ada pesan masuk di sana. Dari Jisung, yang menanyakan kemana ia hari ini, kenapa membolos dan kekhawatiran tentang jika ia sakit.
Aku baik-baik saja, besok bertemu di sekolah!
Begitu balasan singkat Ara, lalu meletakkan kembali ponselnya saat Bora sudah naik ke atas ranjang dengan motif kartun itu. Ara mengulurkan tangan, membiarkan Bora memakainya sebagai pengganti bantal. Ini sangat manis, dulu sekali ia sangat mendambakan hal sepele ini dari sang ibu, tapi hanya berakhir kecewa karena ibunya tak pernah lagi ada untuk dirinya. Ah, lupakan kesedihan, jika memang ia begitu tak beruntung di masa kecil, maka biarkan Ara memberikan hal yang ia impikan pada Bora-- mendapat kasih sayang Ibu.
Mungkin karena terlalu lelah, belum juga buku cerita itu habis Bora sudah tertidur lelap. Ara sebenarnya juga ingin memejamkan mata, tetapi entah kenapa tak bisa. Jadi setelah meletakkan kepala Bora dengan hati-hati ke atas bantal, ia perlahan keluar dari kamar anaknya untuk kembali ke kamar Yoongi. Mungkin membuat pria itu sakit kepala bisa membuatnya tertidur nanti.
"Ahjussi."
Yoongi yang tengah sibuk hanya mendengung, tangannya tetap sibuk mengetik dan membolak-balik berkas bergantian. Duduk di atas ranjang, dengan kacamata baca yang bertengger di hidung, Ara sampai lupa bernapas karena tampilan sederhana itu kenapa dampaknya luar biasa sekali untuk kesehatan jantung.
"Kenapa?"
"Hah? Oh, tidak ada." Ara tidak jadi membuat Yoongi sakit kepala, karena nyatanya ia kini yang sedang pusing. Aroma Yoongi, ditambah sosok itu tengah serius dengan pekerjaan, adalah definisi membunuh tanpa menyentuh.
Ara berbalik, berniat kabur saja dari pada canggung berduaan di dalam kamar. Ia akan menonton televisi sambil memakan camilan atau apa pun di luar. Namun, belum juga Ara sampai ke pintu, suara Yoongi membuatnya membatalkan niat.
"Di mana Bora?"
"Sedang tidur siang."
"Kemarilah."
Ara menggeruru dalam hati, mau menolak mendekat nanti dikira ia ada apa-apa meskipun iya. Akhirnya dengan enggan ia mendekat, berdiri di sisi ranjang menanti apa yang Yoongi mau darinya.
"Aku sedang mempersiapkan beasiswa, kau punya rekomendasi selain ini?"
Ara menatap layar laptop milik Yoongi yang menampilkan deretan nama dan jurusan serta kelas masing-masing. Ada banyak yang ia tahu sudah terdaftar di sana, sebagian lainnya ia tak kenal karena adik tingkat atau memang anak itu jarang bergaul.
"Itu sudah dua ratus lebih, memang Ahjussi mau memberi beasiswa berapa banyak?"
"Lima ratus siswa mungkin."
Ara tersedak ludah sendiri, terbatuk hebat memukuli dadanya. Yoongi segera berdiri, mengulurkan gelas berisi air putih yang ada di meja samping ranjang, membantu gadis itu meminumnya.
"Ahjussi kau gila ya!"
"Aku hanya membantumu minum, kenapa mengataiku gila?" tanya Yoongi polos.
"Aish bukan itu! Lima ratus siswa kau bilang? Kau mau bangkrut atau bagaimana? Kau tau tidak berapa banyak siswa di sekolahku?"
"Bangkrut apa, beasiswa itu bukan dari kantong pribadi, tapi dari yayasan karena sekolahmu itu sekarang sudah menjadi bagian dari yayasan milikku. Aku memberikan banyak beasiswa karena orang kaya akan semakin berlomba memberikan bantuan agar mereka terlihat dermawan. Apa yang salah dari itu?"
Mendengar jawaban panjang Yoongi membuat Ara terkekeh malu. "Hehe, kukira dari uangmu sendiri."
"Apa hidupmu hanya seputar uang?" tanya Yoongi tak percaya, ia bahkan mendengkus, lalu kembali duduk di atas ranjang, memangku laptopnya lagi.
"Tentu saja iya!"
"Bodoh!"
Ara tak marah atas makian itu, berbalik badan ingin keluar kamar karena merasa tak bisa membantu. Ia memang kenal banyak teman, tapi bagaimana ia bisa tahu siapa saja yang berhak mendapat beasiswa?
Namun, saat ia akan membuka pintu, Ara langsung ingat satu orang dan berlari ke arah Yoongi lagi.
"Ahjussi! Tambahkan Hyunjin di sana! Hyunjin!"
Ara berteriak heboh, membuat Yoongi mengernyitkan dahi karena merasa tingkah Ara berlebihan sekali. Toh Yoongi tetap di tempat, lalu kenapa pula yang tadinya Ara seolah tak mau tau, sekarang justru sangat bersemangat.
"Hyunjin?"
"Ya, Oh Hyunjin! Kelasnya sama denganku, tambahkan namanya, kalau perlu beri dia sepuluh beasiswa sekaligus."
"Kau gila ya?"
"Apa sih? Aku hanya ingin kau menambahkan satu nama dari delapan ratus beasiswa yang tersisa!" ujar Ara sewot. Ia merasa dalam situasi genting karena ingin membantu Hyunjin, tetapi malah dikatai.
"Siapa Hyunjin itu?" tanya Yoongi yang nada suaranya berubah tanpa disadari.
"Temanku, kan sudah aku bilang kalau kami satu kelas."
"Lalu kenapa kau bicara dengan nada mendesak begitu. Apa benar dia hanya temanmu? Aku tak mau hanya karena kau sudah menjadi istriku, kau jadi seenaknya memberikan fasilitas pada temanmu. Beasiswa ini hanya untuk murid berprestasi dan tidak mampu, lalu temanmu itu masuk kategori mana?"
Ara berpikir sebentar, jika berprestasi tentu saja sangat tidak mungkin, Hyunjin meskipun tampan, tapi bodohnya tidak usah diragukan. Salah sendiri malas sekali belajar. Lalu jika kurang mampu, orang tua Hyunjin itu termasuk mampu, hanya saja kan Hyunjin sudah diusir, lalu bagaimana mengatakan pada Yoongi tentang itu. Nanti malah dikira Hyunjin berandalan dan tak pantas mendapat beasiswa ini. Padahal jika Hyunjin dapat, minimal temannya itu tak perlu menghabiskan waktu sekolahnya dengan bekerja paruh waktu untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sekolahnya.
"Lim Ara?" panggil Yoongi karena sedari tadi Ara hanya diam dan melamun.
"Apa?"
"Hyunjin itu benar temanmu atau apa?"
Ara mengedip beberapa kali, agaknya bingung dengan maksud terselubung yang bisa ia rasakan dari pertanyaan Yoongi itu.
"Kalau kau mengira dia pacarku atau apa, kau salah besar. Selama ini yang aku suka hanya Jimin oppa, meskipun banyak yang ingin berpacaran denganku!"
"Lalu Hyunjin ini siapa?"
"Astaga, dia temanku!" kesal Ara karena seolah dituduh. "Argh, kalau kau tidak mau memberinya beasiswa juga tak apa, aku yang akan membantunya!"
Mendengar itu Yoongi semakin bertambah curiganya. "Kau sekarang istriku, jadi jangan macam-macam diluar sana!"
"Apa sih! Ahjussi, kau tidak sedang cemburu kan?"
Yoongi terkekeh tak percaya, mendorong tubuh Ara menjauh. "Kau gila?"
"Lalu apa? Sudah ah, aku mau keluar saja, kau sangat aneh, aku jadi pusing sekarang!"
"Lim Ara aku belum selesai bicara!"
Brak!
Pintu lebih dulu ditutup kasar oleh Ara yang sedang kesal, meninggalkan Yoongi yang bertanya-tanya. Apa benar ia cemburu? Ah mana mungkin, dia hanya gadis sampah bukan?
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro