24
Judul Part aku ganti nomor...untuk menghindari penumpukan pembaca di satu part yang judulnya menjurus ke arah wleo wleo (istilah siapa ini ya hahaha). Entah kenapa kalau ada judulnya apalagi ada tanda ++ membludak banget astaga hahaha
Yuk kencengin lagi votementnya
.
.
.
Happy Reading
.
.
.
Pada hari itu Ara tak mungkin menghabiskan waktu di apartemen Yoongi, kendati tempat itu nyaman dan membuatnya lupa akan kelesah yang sejak kemarin menggelayuti hatinya. Terlebih sikap lembut duda itu tadi malam membuat Ara merasa menemukan sosok nyaman lain, selain sang kakak.
Ah, tentu saja gadis itu tak boleh terbuai karena tadi pagi sikap pria itu sudah kembali seperti semula, mengatainya kerbau karena bangun siang.
Ara kali ini benar-benar berniat untuk menyesaikan masalahnya dengan sang kakak, toh sang ibu, walau sudah lebih perhatian sejak Jimin kembali ke Korea, tetap saja dia tak pernah sibuk menanyakan perihal Ara yang tidak pulang ke rumah, jangankan telepon, lewat pesan pun tidak sama sekali. Sudahlah, toh Ara tidak berharap juga.
Ia sudah keluar dari apartemen Yoongi sejak satu jam yang lalu setelah izin pada Go imo jika ia akan pulang. Kenyatannya, Ara tak langsung menuju rumah, tapi lebih dulu mampir ke salah satu supermarket yang jaraknya tak terlalu jauh dari halte bus. Gadis itu ingin berbelanja bahan makanan untuk membuatkan makan malam ibu dan kakaknya, sekaligus nanti akan menjelaskan rencana pernikahan yang pasti rumit ini. Selain karena sangat mendadak, ia juga masih sekolah dan sebentar lagi lulus, pasti ada pertanyaan kenapa dia harus terburu-buru, dan yang pasti jawabannya bukan untuk menghindari Jimin yang akan segera menikahi kekasihnya itu.
Ini sudah jam dua siang, ia keluar dari area supermarket dengan satu kantong penuh bahan masakan. Ara sudah akan berjalan pulang, tetapi ia tertarik saat di ujung jalan terlihat sangat ramai dengan banyak banner sebuah festival. Ah, sudah lama ia tak melihat pagelaran festival, pasti ada banyak penjual pernak-pernik dan makanan, Ara memutuskan untuk ke sana lebih dulu.
Ara sampai di gerbang buatan festival, dengan senang hati menerima selebaran yang diberikan oleh para pekerja di sana. Namun, ia justru tersenyum singkat dan menggelengkan kepala melihat sosok yang ia kenal tengah ikut menyebarkan selebaran. Dia sedang sial atau apa harus bertemu Hyunjin di sini.
"Hei!" panggil Ara sambil menepuk bahu Hyunjin yang langsung menoleh padanya, tersenyum polos seolah tak bersalah karena ketahuan membolos.
"Wah, apa ini tukang bolos yang ketahuan tukang bolos lainnya?"
Sindiran itu hanya ditanggapi dengkusan remeh oleh Ara, ia lebih memilih untuk menarik satu selebaran di tangan Hyunjin, membacanya singkat lalu mengembalikannya lagi.
"Kau membolos kelas Shin ssaem lagi? Benar-benar mau tidak lulus rupanya."
"Terima kasih untuk perhatiannya," jawab Hyunjin lalu tertawa melihat wajah Ara yang mencebik.
"Siapa yang perhatian, aku hanya mengingatkanmu, jika kau membolos lagi, Shin ssaem akan benar-benar memberimu nilai merah untuk seluruh hasil ujian pelajarannya."
"Aku masih harus menghabiskan selebaran ini, kau mau membantu atau hanya mengomel?"
Ara menarik separuh selebaran milik Hyunjin, lalu berdiri di samping temannya itu dan mulai ikut membagikan kepada orang yang lewat.
"Kau dapat berapa Won untuk pekerjaan ini?"
"Lumayan untuk membeli kado pernikahanmu," jawab pemuda itu santai.
Ara menoleh cepat, melebarkan mata menatap Hyunjin dengan degupan jantung berlebih. Sial, bagaimana temannya ini bisa tahu?
"Ka-kau—"
"Kenapa bisa tahu?" sela Hyunjin cepat, "beritanya heboh sekali tadi pagi, tapi tidak ada lagi yang berani bicara buruk tentangmu di grup sekolah. Semua diblokir dengan ancaman dikeluarkan dari sekolah jika berani mem-bully calon istri pemilik sekolah yang baru. Wah Lim Ara, kau benar-benar sesuatu."
"Diam!"
"Kenapa? Aku benar, kan? Kau bilang bukan sugar baby, eh tetapi benar juga, kau kan calon istrinya. Bagaimana kau menaklukkan hati CEO Min? Kau menjebaknya atau mengancam untuk bunuh diri?"
Ara mendengkus, menatap sengit pada Hyunjin yang baru mengejeknya. Namun, ia tak tahu kenapa meskipun kesal, tapi dia tak marah dengan ucapan Hyunjin tersebut. Ara lebih memilih mengabaikan ucapan temannya itu dan tetap membantu menghabiskan selebaran di tangannya.
"Mau ke kafe sana?" tanya Hyunjin setelah hampir satu jam akhirnya selebaran yang harus ia bagikan habis, itu tak terlepas dari parasnya yang tampan dan senyumnya yang terkesan nakal tetapi manis sekali itu.
"Traktir."
"Hoh, Nyonya Min meminta traktiran anak sekolah yang bahkan harus susah payah bekerja paruh waktu? Wah, ini benar-benar sesuatu yang melanggar norma sosial bukan?"
Tangan Ara begitu ringan saat memukul bagian belakang kepala Hyunjin yang sekarang justru tertawa keras, menarik tangannya agar berjalan lebih cepat.
"Ayo!"
"Jangan menarik tanganku bodoh!"
"Kakimu pendek sekali, jika tidak aku tarik, mungkin kau akan sampai kafe besok pagi. Hehe."
"Bodoh."
Toh demikian pun Ara tetap merasa senang saat memasuki kafe yang terlihat masih baru itu, ia bahkan membuka mulut lebar saat melihat aksen unik dari bagian dalam kafe. Sangat manis, tapi juga estetik, sangat pas untuk berkencan. Eh? Lalu kenapa Hyunjin mengajaknya kemari alih-alih jajan di pinggir jalan?
"Jin-ah, kau sedang mengajakku kencan atau bagaimana?" tanya Ara setelah duduk berhadapan dengan Hyunjin di meja dekat jendela yang memperlihatkan pemandangan taman yang ramai. Ia meletakkan kantong belanjanya di samping meja.
"Ih, percaya diri sekali calon Nyonya Min ini."
"Di sini jelas harganya pasti jauh lebih mahal dari jajan di pinggir jalan, kan? Apa kalau memang sedang ingin mengajakku kencan? Jangan bilang kau juga menyukaiku. Aduh!"
Ara memegangi kepalanya yang baru saja dipukul Hyunjin dengan buku menu, sakit sih tidak terlalu, tapi ujung menu itu sedikit masuk ke matanya hingga ia mengaduh tadi.
"Kenapa memukulku sih!" ujar Ara tak terima.
"Biar kau tidak berpikir aneh-aneh, Lim Ara. Bagaimana bisa kau menuduhku menyukaimu hanya karena aku mengajakmu ke kafe ini?"
"Siapa yang tahu?"
"Ish, kau bukan tipeku, jadi jangan mengada-ada."
"Lalu tipemu seperti apa? Yang berkumis dan berjakun?"
"Kalau iya?"
Ara terkejut, terpaku sebentar sebelum Hyunjin kembali memukulnya dengan buku menu milik kafe, menertawakan dirinya dengan lepas.
"Bodoh! Ada apa dengan ekspresimu itu?"
"Kau benar-benar suka lelaki?"
"Yak! Aku hanya bercanda, bodoh!"
Ara menggaruk pelipisnya, agaknya masih shock juga, tapi hanya bisa menatap Hyunjin tanpa bisa mengatakan apa pun. Ia jadi terlihat seperti orang bodoh sekarang.
"Kau benar-benar masih suka wanita kan?"
"Hei, tentu saja! Kau ini polos atau benar-benar bodoh sih!"
"Lalu kenapa mengajakku kemari kalau bukan karena menyukaiku?"
"Aku hanya ingin meminta traktir padamu, sebagai budi baik sebelum pernikahan. Hehe."
Ara mendengkus keras, menendang kaki Hyunjin di bawah meja. "Aku tidak punya uang."
"Bohong! Kau bahkan membeli bahan masakan yang mahal. Aku melihat daging kualitas bagus di dalam sana, jadi pasti kau baru diberi uang oleh tuan CEO itu kan?"
"Ya sudah, tapi tidak ada lain kali!"
Hyunjin tertawa, memamerkan bentuk bibirnya yang membentuk bulan sabit saat tersenyum, dan itu sangat manis. Ara harusnya bisa menaruh hati pada sosok jahil ini, tapi seolah kebodohan memang nama tengahnya karena ia harus terjebak pada perasaan tak bermoralnya pada Jimin seorang.
"Kenapa kau membolos?" tanya Ara setelah memesan beberapa makanan dan minuman untuk mereka berdua.
"Apa tadi kau melihatku sedang memancing ikan?"
"Ya aku tahu kau bekerja paruh waktu, tapi untuk apa?"
"Kau sendiri kan bekerja paruh waktu, itu untuk apa? Mencari amal?"
Ara memejamkan mata, menarik napas panjang karena pusing sendiri jika Hyunjin sudah mode super gila begini.
"Jin-ah, aku bekerja paruh waktu setelah pulang sekolah atau saat libur akhir pekan, tidak sampai membolos sekolah sepertimu begini. Lagi pula, sebelumnya kau tidak pernah bekerja paruh waktu."
"Cerewet sekali."
"Jawab!"
Hyunjin berjengit, kaget saat Ara memukul meja di hadapannya. "Aduh, galak!"
"Jin-ah, kau sudah baik padaku, aku hanya ingin tahu kenapa kau membolos sekolah hanya untuk bekerja paruh waktu."
"Hanya ingin tau tak akan bisa membantu masalah, Lim Ara. Sudahlah, bahas yang lain saja."
"Ok, aku pulang saja kalau begitu."
"Hei, kau sudah memesan, siapa yang akan membayar nanti?" Hyunjin menarik tangan Ara agar kembali duduk.
"Kau mau cerita atau tidak?"
"Ih, tidak cerita juga tidak akan merugikanmu kan?"
Ara menyilangkan tangan di depan dada, diam dan hanya memandang datar pada Hyunjin yang bertele-tele dari tadi. Sebenarnya ia juga bukan orang yang suka ikut campur pada urusan orang lain, ia adalah pribadi yang sangat cuek, tapi setelah kejadian di atap sekolah tempo hari lalu, Ara tahu bahwa di balik tawa cerianya, Hyunjin menyimpan banyak luka yang selalu ia pendam sendirian, membiarkan orang lain selalu salah paham akan dirinya, dan Ara entah mengapa, ia sangat ingin menjadi teman berbagi kelesah untuk Hyunjin.
"Baiklah, jangan memadangku begitu."
"Apa aku tak bisa menjadi temanmu?" tanya Ara.
Hyunjin sendiri terlihat menarik napas, memainkan sumpit yang ada di atas meja. "Eomma-ku mengusirku dari rumah, dia bilang tidak mau mengurusku lagi, bahkan tidak mau membayar uang sekolahku."
Ara jelas sangat terkejut, ia bahkan sampai memajukan duduknya hanya untuk melihat wajah Hyunjin yang menunduk. "Kenapa?"
"Ayah tiriku pulang dalam keadaan mabuk lalu memukuli eomma di depan mataku, dan aku balas memukuli pria sampah bau got itu sampai hampir mati. Ya, lalu aku diusir dari rumah."
"Apa eomma-mu gila?"
Hyunjin terkekeh, menaikkan pandangan dan melihat Ara yang tengah berkaca-kaca. Ia melebarkan senyumnya, mengangguk pelan seolah mengatakan bahwa ia tak apa-apa.
"Lalu kau tinggal di mana sekarang? Masih di rumah Jungwoo?"
"Beberapa hari ini iya, tapi aku sungguh tak enak jika terus merepotkan Jungwoo dan orang tuanya, jadi sekarang aku merepotkan di rumah Jaemin. Hehe."
Entah Ara kini sedang terkekeh lucu atau miris dengan kehidupan Hyunjin yang terkesan berat sekali, di titik ini Ara membandingkan dengan kehidupannya sendiri, dan ia masih sangat bersyukur karena punya ibu dan kakak yang luar biasa dalam menyayanginya.
"Jin-ah, tapi kau tidak bisa membolos kelas Shin ssaem lagi, atau kau akan benar-benar tidak lulus ujian."
"Biar saja, lulus atau tidak, itu hanya perkara selembar kertas, tak penting juga karena aku juga tak akan kuliah."
"Kenapa?" tanya Ara terkejut.
"Kuliah butuh biaya besar, sedangkan aku juga harus mulai belajar membiayai hidupku sendiri, kau kira uang dari mana jika harus kuliah juga?"
"Mau kuberi solusi tidak?"
"Apa?"
"Jadi simpanan sugar daddy ... mau?"
"Yak, Lim Ara! Aku ini normal tahu! Bagaimana bisa kau bilang mau jadi temanku malah menjerumuskanku begini, hah?!"
Ara tertawa, tak merasa bersalah sama sekali bahkan saat Hyunjin terus memakinya. "Aku kan hanya memberi solusi."
"Solusi gila, sugar daddy katamu, kalau sugar mommy aku mau!"
"Bodoh!" maki Ara lalu tertawa.
Keduanya tak punya solusi untuk masalah masing-masing, tapi siang itu baik Ara dan Hyunjin seolah punya semangat baru untuk menghadapi masalah yang tengah mereka hadapi. Dari obrolan tak berguna disertai banyak makian dan kata kasar ... Ara dan Hyunjin memulai kisah pertemanan mereka.
"Jin-ah?"
"Apa?"
"Menurutmu bagaimana aku harus bicara pada eomma dan oppa tentang rencana pernikahanku?"
Hyunjin diam cukup lama, membiarkan menu tambahan mereka disajikan seorang pelayan di meja. Lalu setelah pelayan itu pergi, Hyunjin menjawab santai, "katakan saja kau sudah hamil, mereka pasti langsung setuju."
Ara yang mendapat jawaban demikian jelas saja langsung tak bisa berkata-kata, rasanya percuma saja membahas masalah dengan Hyunjin.
"Aku menyesal mengajakmu berteman."
Hyunjin tertawa, mendorong piring kue berisi kacang merah ke depan Ara. "Bukankah memang itu yang terjadi?"
"Maksudmu?"
"Kau sedang hamil anaknya CEO itu kan, jadi terburu-buru ingin menikah?"
Ara menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi, mengela napas panjang dan menatap malas pada Hyunjin. "Kau tidak mau mati saja? Hah?!"
"Aku kan hanya bertanya," ucap Hyunjin polos.
"Itu menuduh bodoh!"
"Orang bilang wanita hamil itu mood-nya mudah berubah, dan kau dari tadi meledak-ledak berisik, jadi sepertinya iya."
"Oh Hyunjin! Aku tidak hamil!" teriak Ara kesal, memantik tawa keras dari Hyunjin.
"Haha, maaf. Hei, jangan cemberut, kau jadi lebih jelek dari sebelumnya."
"Aku semakin menyesal sekarang mengajakmu berteman." Ara menggumam, memijit keningnya yang tiba-tiba berdenyut nyeri, ia pusing sekarang.
"Ra-ya?"
"Mn?"
"Meskipun kebohongan itu terkesan mudah untuk menyelesaikan masalah, tapi kau harus tahu bahwa kejujuran adalah solusi terbaik."
Ara mendongak, menatap Hyunjin yang kini fokus pada makanannya. Ia lalu menurunkan pandangan, tersenyum tipis akhirnya. Bisakah ia jujur pada Jimin tentang perasaannya, bisakah ia menanggung semua akibat dari kejujurannya nanti?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro