Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2

)❥❥❥ 𝓗𝓪𝓹𝓹𝔂 𝓡𝓮𝓪𝓭𝓲𝓷𝓰 ❥❥❥(

"Aku berangkat!" teriak Ara pada ruangan kosong di belakang. Ia lantas tersenyum miris, memangnya apa yang dia harapkan pada keluarga kacau ini?

Setiap hari sang ibu pergi pagi sekali bahkan sebelum dia bangun. Rasanya, pertanyaan bagaimana harimu di malam hari hanya akan menjadi angan-angan saja bagi Ara. Semua dia telan sendiri, mau pahit atau manis siapa yang peduli? Oh, tentu saja hanya Jimin Oppa.

Ia menatap meja makan yang kosong lalu menyentuh perutnya dan mencebikkan bibir. Dia merasa lapar, tapi mau makan apa? Meja dan kursi? Ah sudahlah, seperti baru kali ini saja tidak ada sarapan untuknya.

Memakai sepatu di dekat pintu, Ara menatap pelukan jam di tangannya. Ini masih pagi, jarak sekolah sebenarnya tak dekat juga, tetapi karena bangun kepagian dan malas di rumah sendirian, dia memilih untuk berangkat sekarang.

"Berjalan kaki sepertinya asyik, lumayan menambah volume betis, kau harus semangat Lim Ara, ingat Oppa sebentar lagi pulang."

Setelah berjalan beberapa menit, mungkin keputusannya berjalan kaki ke sekolah pagi itu menjadi awal dari takdir lain yang mempertemukannya dengan seorang gadis kecil tengah duduk sendirian di depan minimarket yang masih tutup.

Penampilan gadis kecil itu cukup mencolok dengan seragam sekolah elite yang Ara tahu biaya pendidikannya cukup menggetarkan jiwa miskinnya.

Awalnya ia tak acuh dan berniat melewati, tetapi urung ketika sebuah ide brilian muncul.

Tersesat ya? Sepertinya anak orang kaya, kalau aku antar pulang ... mungkin aku akan dapat uang banyak. Otakmu terkadang cerdas Lim Ara, lumayan untuk membelikan oppa hadiah selamat datang saat pulang nanti.

Kedua sudut bibirnya terangkat seraya menggerakkan kedua tangannya di depan dada. "Annyeong," sapa Ara ceria, "kau tersesat ya?"

Si gadis kecil itu mendongak dan menatapnya sinis, lantas berucap yang membuat Ara langsung melongo.
"Tidak ada uang receh. Pergi!"

Astaga! Aku dikira gembel!

Ara mengerjap, menarik kerah bajunya sebelum mengendus diri sendiri. "Tidak bau kok, aku sudah mandi," monolognya lirih sebelum menatap si anak kecil seraya berdecak lalu mendengkus keras. "Anak kecil mulutnya tidak sopan sekali. Tidak pernah diajari eomma-mu sopan santun, ya?"

"Apa sih!" sahut gadis kecil itu sewot. "Eomma-ku sudah lama tidur di pemakaman, tahu! Bagaimana mau mengajariku!"

"Eh," sahut Ara sambil mengerjapkan mata. "Oh, anak piatu. Appa-mu masih hidup? Atau ikut tidur di pemakaman juga?"

Gadis kecil itu tak langsung menjawab, ia justru memicing semakin tajam. "Kenapa sih tanya-tanya? Maaf, sedang tidak membuka lowongan eomma tiri! Apalagi yang jelek sepertimu!"

"Aish, percaya diri sekali!" sahut Ara seolah lupa yang di depannya hanya seorang anak kecil. "Siapa juga yang mau menikah dengan Appa-mu. Sudah duda, punya anak sepertimu, duh, aku bisa mati muda!"

Si gadis kecil segera berdiri dan berkacak pinggang. Ia menatap tak suka pada gadis aneh yang terus saja mengganggunya itu. "Pergi?! Atau aku teriak penculik!" ancamnya.

Ara mendengkuskan tawa, kali ini kesal juga. "Yak! Benar-benar anak kecil mengerikan padahal aku hanya ingin membantu."

"Siapa juga yang minta tolong! Lagi pula aku tau jenis orang sepertimu. Pura-pura baik dan akan menolongku agar appa-ku memberimu imbalan, kan?"

Heh! Ternyata bukan anak kecil sembarangan.

Tak ingin harga dirinya hancur lebur, Ara maju selangkah, mendekatkan wajah ke depan gadis kecil itu seraya berbisik. "Di sini itu daerah yang rawan kejahatan, apalagi penjahat di sini suka dengan anak gendut sepertimu, kalau kau merasa hebat silakan saja." Ara mendramatisir intonasi suaranya seraya menepuk lembut pipi gembil gadis kecil itu.

Si anak kecil merengut dan mendengkus. "Aku tidak gendut!" teriaknya, lalu berjalan meninggalkan gadis aneh dengan pakaian sekolah yang tampak tidak populer itu karena kesal.

Namun, belum jauh ia melangkah, si anak kecil berhenti saat melihat beberapa pria jelek sedang mengamatinya dengan intens di mulut gang yang tidak jauh dari sana. Instingnya berjalan, dia tau bahwa orang-orang itu tengah berniat buruk padanya. Duh!

Sepertinya benar kata orang aneh itu. Para ahjussi itu terlihat tidak baik. Appa, tolong aku!

Si gadis kecil berusaha memasang wajah datar walau jantungnya bertalu kencang saat mencoba berjalan melewati mereka. Benar saja karena mereka langsung mendekat dan mengerubunginya dengan kekehan yang terlihat mengerikan. Hal itu membuat si gadis kecil gemetar, berusaha kabur, tapi gagal karena ia terus saja dihalangi.

"Hei, Nak. Kenapa sendirian, ikut Paman yuk, kita beli es krim."

Gadis itu menggeleng brutal, ingin berteriak, tapi tak ada suara yang keluar. Ia trauma dengan culik menculik begini. Walau masih kecil, ia sudah sangat kompeten dalam hal diculik. Yah, meskipun takutnya masih ada, tapi minimal ia paham situasi jika sekarang ia tak boleh ikut dengan orang tak dikenal.

"J-jangan," ucapnya lirih saat salah seorang dari mereka ingin menarik tangannya.

"Tidak apa-apa, nanti Paman antar ketemu eomma, ya?"

Anak itu mendongak. Ia berkedip beberapa kali yang membuat para preman itu bingung sendiri. Anak itu diam bukan karena apa, tapi ia langsung berpikir, mau dibunuh langsung dong kalau ketemu eomma? Aku kira mau diculik dulu, batinnya bingung.

"Yak!" teriak suara lantang seorang perempuan di belakang mereka.
Si gadis kecil itu ikut menoleh bersamaan dengan para pria yang mengerubunginya. Ia melebarkan mata saat melihat gadis berpakaian seragam sekolah yang tidak populer tadi itu datang menghampiri.
"Lepaskan dia!" teriak Ara, dari suaranya tidak terlihat sedikitpun bahwa gadis itu takut.

"Yak! Jangan ikut campur, pergi sekolah sana!" ujar salah seorang dari mereka yang terlihat tak senang dengan kehadiran Ara.

"Hah! Justru kalian yang jangan ikut campur urusanku!" balas Ara tak gentar.

"Maksudnya?" tanya pria yang lain.

"Dia itu anakku yang sedang merajuk, kalian tahu? Jadi sekarang pergi dan jangan ikut campur, ok?" Hal inilah yang terlintas dalam benak Ara, memang absurd mengatakan bahwa gadis kecil itu anaknya, tetapi coba saja dulu. Siapa tahu mereka percaya, kan.

Para pria itu saling pandang lalu tertawa. "Bisakah pakai otakmu dulu jika ingin bermain-main dengan kami, Nona? Kau itu masih SMA, kau melahirkan umur berapa, eoh?"

Ara tertawa remeh, menyibak rambut panjangnya dengan gaya angkuh. "Ini cuma cosplay, bodoh! Sorry to say, Aku memang awet muda sampai terlihat seperti gadis remaja begini."

Para preman itu terlihat ragu, tapi masih sulit percaya. "Coba lihat kartu pengenalmu!"

"Yak! Kalian ini siapa memangnya. Aku tak ada urusan dengan kalian!"

"Mau coba bohongi kami, hah!"

Ara mencoba memikirkan jalan keluar, tapi pertolongan datang lebih cepat karena si gadis kecil yang lebih dulu menghampirinya sambil berteriak, "Eomma!"

Ara mengerjapkan mata beberapa kali. Badannya terdorong sedikit saat tiba-tiba kakinya dipeluk gadis kecil itu. Tentu saja ia merasa sangat kaget karena dipanggil eomma, tapi dengan cepat ia sadar situasi dan menunduk lalu tersenyum. "Kitty anakku, come to Mama, jangan marah lagi ya, Sayang," ujarnya sambil memeluk anak itu.

Gadis itu terdengar mendesis galak di telinga Ara. "Dasar gila! Bagaimana bisa kau memanggilku dengan nama kucing begitu?"

Untuk beberapa saat, para pria itu melongo, tetapi langsung tersadar jika tengah dibohongi kedua gadis itu, mereka kemudian menatap Ara tajam dan mulai melangkah maju.

"Maafkan Eomma ya, Sayang. Habisnya Kitty tidak nurut sih. Masa setiap hari maunya makan lumpur terus."

Gadis kecil itu menghela napas panjang. Membiarkan saja tubuhnya digendong lalu dibawa lari oleh gadis aneh itu. Namun, ia yang tadinya takut terjatuh, otomatis langsung mengalungkan tangan di leher Ara.

Hingga saat itulah, rasanya ada hal janggal yang membuat dadanya menghangat. Dekapan si gadis aneh saat membawanya berlari itu terasa nyaman dan aman. Ia seolah dilindungi seorang ibu yang selama ini tidak ia kenal dan hal itu membuatnya tiba-tiba terisak.

"Hei, sudah jangan menangis Kitty. Bajuku nanti basah, awas kalau ada ingusnya ya," ucap Ara yang mulai melambatkan larinya lalu berhenti di dekat pos penjaga dekat sekolah.

Gadis itu ia turunkan di sana, sementara Ara berdiri berusaha menormalkan napasnya setelah berlari sambil menggendong gadis kecil itu. "Ya Tuhan, kau berat sekali! Banyak makan atau banyak dosa, sih?"

Tak seperti tadi, gadis kecil itu tak membalas galak atau memicing. Ia kini justru menatap Ara penuh damba. "Namaku Bora ... Eomma."

Jika dilihat dari bagaimana kata eomma terucap olehnya, Bora merasa lidahnya tergelitik hingga ia hanya bisa mengulum bibir karena malu. Ia tak mau tahu, gadis aneh ini harus jadi eomma-nya.

Ara yang mendengarnya langsung mendelik, lalu menepuk kening Bora tanpa ampun. "Penjahatnya sudah tidak ada. Berhenti main dramanya, bodoh!"

Bora yang merasa keningnya panas dengan sensasi berdenyut, kini justru berdiri lagi dengan tegak lalu tersenyum lebar sambil menatap Ara yang kini memasang pose waspada.

Apa anak ini mendadak gila?

"Kau kutinggal di sini, ya? Aku harus sekolah. Rumahmu di mana? Ingat nomor telepon appa-mu, tidak?" tanya Ara sambil masuk ke dalam pos jaga. Ia berniat meminta bantuan penjaga komplek untuk menemukan orang tua Bora. Gara-gara harus berurusan dengan bocah ini, ia jadi hampir terlambat masuk sekolah. Sial.

Namun, saat petugas keamanan menanyakan nama orang tuanya, Bora justru menunjuk Ara dengan senyum tipis. Ia menjawab dengan lantang, "dia Eomma-ku."

"Yak! Jangan mengada-ngada!" teriak Ara tak terima. Tangannya dengan lancang menunjuk gadis kecil itu, tapi tak lama karena Bora justru menunjukkan sikap manis dengan mata yang berbinar ketika menatapnya.

Penjaga pun bingung, tapi tetap berusaha menanyakan pertanyaan yang sama. "Rumahmu di mana, Nak? Nama appa-mu siapa?"

Bora justru menunduk dan mulai menangis, membuat semua orang jadi canggung sendiri akhirnya. "Bora janji tidak akan nakal. Tolong jangan buang Bora, Eomma."

Ara tak mampu menimpali, matanya melotot dengan mulut terbuka dan menutup. Ia hanya mampu berkedip saat tatapan penjaga pos itu begitu mengintimidasi dirinya, seolah ia adalah penjahat yang baru saja ketahuan. Ara ingin menangis saja rasanya, kesialan apa yang harus ia alami pagi ini gara-gara titisan rubah sialan ini? Sepertinya dia harus meralat kecemerlangan idenya demi tambahan uang saku untuk hadiah kepulangan Jimin oppa.

Bajingan cilik! Titisan siluman rubah sialan!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro