17
Nih satu lagi ya ... maaf yang keteteran bacanya karena fast update. Setelah ini alon2 ya hehe abisnya views jomplang banget sih. Maklum masih penulis kecil yang butuh support n mulung vote. Hehe.
Yuk berisik lagi yuukkk
.
.
.
Oh Hyunjin sedang memakan cokelat kecil di tangannya saat melihat presensi Ara yang berjalan lesu di sepanjang lorong. Tanpa pikir panjang ia segera menghampiri gadis itu.
"Oi! Lim Ara!"
Ara menoleh, terkejut akan kehadiran Hyunjin karena sedari tadi ia melamun. "Apa?" tanyanya ketus.
"Lemas sekali, masih berniat hidup, kan?" Pertanyaan Hyunjin itu membuat Ara menghela napas panjang, memilih mengabaikan temannya ini dan kembali berjalan lesu menuju ke kelasnya.
Namun, baru juga beberapa langkah, Ara berhenti dan otomatis Hyunjin juga ikut berhenti.
"Oh Hyunjin ...," ucap Ara serius
"Mn?"
"Sepertinya aku butuh sandaran," ucap Ara yang membuat Hyunjin terdiam beberapa saat, tampak berpikir kemudian segera menarik tangan Ara, menuntun gadis itu ke taman belakang sekolah.
Pemuda itu berhenti tepat di belakang gedung laboratorium kelas junior, melepaskan tangan Ara dan menunjuk tembok belakang laboratorium itu dengan wajah polos.
"Nah, silakan. Kau bebas bersandar di tembok ini."
Ara menatap tembok itu dengan pandangan lelah, lalu berganti menatap Hyunjin dan merasa semakin lelah saja rasanya. Si gila ini benar-benar menepati ucapannya untuk mencarikan tembok kokoh, sepertinya Ara saja yang berekspektasi terlalu tinggi.
"Bisa tidak bergeser agak ke sana?" tanya Ara lemah menunjuk bidang lain yang lebih bersih. "Setidaknya tidak di dekat bak sampah begini."
Hyunjin menoleh ke samping dan tertawa tanpa dosa menatap tumpukan sampah itu, menarik tangan Ara dan membawanya bergeser agak jauh.
"Hehe, maaf."
Tanpa memedulikan Hyunjin, Ara segera menempelkan kening ke tembok bersih di hadapannya. Ialu memejamkan mata, merasakan kepalanya yang berdenyut nyeri. Entah apa yang akan terjadi hari ini karena kemarin si duda tua arogan itu benar-benar tak mau menolongnya.
"Mau cokelat?" tawar Hyunjin dan Ara mengangguk, menerima saja cokelat kecil yang dibungkus kertas mahal itu dari tangan si pemuda. Namun, beberapa saat ia menyadari sesuatu dan menarik diri dari dinding untuk menatap temannya.
"Yak, Oh Hyunjin, kau dapat cokelat ini dari mana?"
Pemuda itu terlihat berpikir lama, mencoba mengingat. "Lee Jieon? Lee Jiean? Lee Eunju? Eunja? Ah aku lupa namanya."
Ekspresi Ara sudah makin masam saja. "Kau memberiku cokelat hasil rampokan?" tanyanya sambil mengacungkan cokelat sebesar bola mata itu, "kalau aku diare bagaimana, eoh?"
"Tidak merampok kok, dia punya banyak dan aku memintanya sedikit. Hei, itu tidak bisa dibilang merampok, tau!" protes pemuda itu tak terima.
"Lalu? Mencuri?"
"Enak saja, aku memintanya kok," ucap Hyunjin membela diri.
"Meminta dengan memaksa? Begitu, kan?" Ketus Ara mencebik.
"Tidak mau ya sudah! Sini!" Hyunjin hendak mengambil cokelat mahal itu dari tangan Ara, tapi Ara menjauhkan tangannya.
"Kau sudah memberikannya padaku!"
"Cih, begitu saja ribut sekali. Sok suci sekali."
Ara pura-pura tak mendengar, ia lebih dulu menghabiskan cokelat yang ternyata sangat enak itu. "Kau punya lagi?"
Sudut bibir Hyunjin berkedut mendengar ucapan Ara yang tak tahu diri begitu. Ia lalu memberikan satu cokelat lagi dengan sedikit kesal.
"Tadi saja menolak!"
"Siapa yang menolak, aku hanya bertanya. Cokelat ini enak, lagi pula kau bilang kan memintanya, bukan mencuri atau meminta dengan memaksa, jadi tak masalah dimakan."
"Hoh, pandai sekali bersilat lidah."
Sejenak Ara seolah lupa masalahnya, segera menghabiskan cokelat itu lalu memilih duduk bersandar pada tembok tanpa takut seragamnya kotor. Biar saja, dia benar-benar butuh sandaran sekarang. Ia juga membiarkan Hyunjin ikut duduk meskipun agak jauh darinya.
"Ra-ya, sebenarnya aku ingin meminjamkan bahu atau punggungku, tetapi jika ada yang melihat, mungkin reputasimu akan semakin buruk dan berita itu akan semakin menjadi-jadi. Selain itu, kau tahu kan banyak adik-adik kelas menggemaskan yang menjadi fans-ku juga."
Ara tersenyum mendengar penuturan Hyunjin, tak ingin menimpali pernyataan narsisme pemuda itu. Agaknya ia masih merasa bersyukur karena ada temannya yang jahil ini. Ia tak mungkin meminta bantuan Jisung, selain tak nyaman karena tau juniornya itu menaruh hati, ia hanya tak mau menambah masalah dengan penggemar Jisung sekarang ini.
"Ra-ya, kemarin kau dipanggil Park ssaem, kan?"
"Mn."
"Lalu?"
Menghela napas panjang dan memandang ke depan, Ara cemberut karena teringat kejadian kemarin. "Aku berkata akan mendatangkan pria di dalam foto itu untuk mengkonfirmasi pada pihak sekolah kalau aku tidak bersalah, tapi pria itu malah mengajukan syarat yang tidak manusiawi jika aku membutuhkan pertolongannya."
"Syarat tidak manusiawi? Apa dia meminta ginjal atau bola matamu?" tanya Hyunjin polos.
"Yak tidak begitu, bodoh! Ah, pokoknya sangat tidak manusiawi!"
"Lalu bagaimana? Kau menerima syaratnya?"
Ara menggeleng. "Tidak. Aku menolaknya."
"Jika ia tak datang, apa sekolah ini akan mengeluarkanmu?" tanya Hyunjin dan Ara kembali menggeleng.
"Aku tidak tau, mungkin pihak sekolah akan memanggil ibu atau kakakku. Aku takut, Jin-ah. Bagaimana jika eomma-ku sampai ikut berpikiran buruk seperti Jimin oppa."
"Kakakmu sudah tau masalah ini?"
"Berita di sekolah, dia tak tau, tapi dia pernah memergoki aku turun dari mobil pria itu dan menuduhku menjadi simpanan om-om. Aih, itu sangat menyakitkan, kau tau."
Hyunjin ikut menghela napas mendengar penuturan Ara tersebut. "Kakakmu tidak percaya padamu ya?"
"Begitulah, ngomong-ngomong Jin-ah, kenapa kau percaya padaku?"
"Lalu apa aku harus ikut menuduhmu?"
Ara mendengkus keras, tetapi kemudian tertawa entah karena ucapan Hyunjin atau ekspresi wajahnya ketika bicara.
"Hah, sudahlah. Ayo kita ke kelas!"
Hyunjin ikut berdiri, membiarkan Ara berjalan lebih dulu baru ikut mengekor di belakangnya. Sampai di depan laboratorium, ia melihat banyak murid yang bergerombol sambil berbisik, ah bukan berbisik jika ia masih bisa mendengarnya dari jarak ini.
Ada apa? Ara sampai ikut melongok penasaran.
Bukankah itu direktur Min San Group?
Untuk apa ia kemari?
Oh astaga? Meskipun sudah memiliki anak, tapi dia tampan sekali.
Ara ikut berhenti, menyaksikan keributan di lorong masuk itu. Ia mengernyitkan dahi, tapi lalu mengedikkan bahu tak peduli. Masih dengan malas ia berbalik untuk kembali berjalan ke kelas, sampai silabel yang mulai ia hapal itu menyapa rungunya.
"Lim Ara!"
***
Ara duduk di samping Yoongi yang menyilangkan kaki di sofa ruang kepala sekolah ini. Ingin rasanya ia menendang kaki itu agar lebih sopan ketika duduk, tetapi ia tahan karena kini di hadapannya sudah ada Park ssaem dan kepala sekolahnya, Kim Donghoon. Pria tua dengan rambut putih seluruhnya itu tampak antusias sejak melihat kedatangan Yoongi di kantornya.
"Ah, Jadi ternyata Tuan Min yang ada di dalam foto ini bersama murid kami?" tanya sang kepala sekolah dengan nada lembut.
"Mn." Pria itu mengangguk singkat tampak tak acuh.
Ara sampai melongo mendengar betapa tak sopannya Yoongi ketika menjawab. Pria itu bahkan tak mau repot menatap ke depan dan justru menyapu pandangan ke seluruh ruangan berukuran sedang tersebut.
"Jadi apa berita itu benar?" Kali ini Park ssaem yang bertanya, guru perfeksionis itu jelas tak dapat menangkap sinyal yang diperlihatkan sang kepala sekolah dengan baik.
"Berita yang mana? Lim Ara yang menjual dirinya atau aku yang menjadi sugar daddy-nya?" tanya Yoongi terkekeh yang segera diikuti tawa dari sang kepala sekolah.
Di tempatnya Ara bahkan mengerutkan dahi dan memiringkan kepala. Bukankah itu sama saja? Ini yang bodoh dia atau duda arogan ini sih?
"Tuan Min, bisakah Anda lebih serius dalam menjawab pertanyaan ini? Kami harus menentukan nasib salah satu siswi kami ini secepatnya," ucap Park ssaem, jelas terlihat tak suka dengan candaan garing sang duda.
Yoongi yang mendengar nada tak senang dari ucapan Park ssaem langsung menatap guru tersebut, menurunkan kaki dan menajamkan tatapannya.
"Berita itu tidak benar. Lim Ara tidak pernah menjual diri padaku, tidak tahu jika kepada pria kaya lainnya."
Ara menepuk dahinya dan menahan napas karena kesal. Ia pikir sikap Yoongi tadi akan lebih serius, tapi tetap saja ia seperti melempar boomerang dan berakhir mengenai batang lehernya.
"Ey, Park ssaem, jangan terlalu seriuslah. Suatu kehormatan sekolah kita bisa didatangi Tuan Min seperti ini." Sang kepala sekolah lantas menuangkan teh pada cangkir di hadapan Yoongi, bersikap luar biasa sopan. Hal itu tentu membuat Ara dan sang guru mengerutkan dahi.
Memangnya si duda ini siapa? Kenapa Kim Gyojang seonsangnim begitu menghormatinya?"
"Ta-tapi Gyojang seomsangnim—" ucap Park ssaem yang segera dipotong oleh sang kepala sekolah.
"Nona Lim Ara, apa itu benar? Kau menjual diri kepada pria kaya?" tanya pria tua berambut putih itu.
"I-itu tidak benar! Pria ini bicara seenaknya, Gyojang seonsangnim. Aku sungguh tidak melakukan hal tak bermoral yang bisa mencoreng nama sekolah. Aku berani bersumpah!"
Sang kepala sekolah dan Park ssaem saling pandang lalu beralih pada Ara dan Yoongi di depannya.
"Tuan Min, kami akan percaya pada ucapan Anda."
"Tentu saja harus percaya. Untuk apa juga aku harus repot kemari dan membatalkan rapat penting hanya untuk berbohong pada kalian."
"Ya itu benar, tentu saja," ucap kepala sekolah dengan tawa sungkan.
"Jadi apa kalian akan mengeluarkan Lim Ara dari sekolah?"
"Ah, kami harus menyelidiki kasus ini dengan benar, Tuan Min. Kasus seperti ini pernah terjadi dan sangat mencoreng nama sekolah kami, jadi kami harus sangat berhati-hati dan segera memanggil wali dari Lim Ara."
Mati sajalah, batin Ara merana. Ia tak bisa membayangkan jika ibu atau kakaknya datang, mungkin ia akan membuat keduanya sangat kecewa.
Yoongi menegakkan tubuhnya, menghela napas panjang dan berujar santai, "berapa harga sekolah ini?"
"Eh, apa?" Bukan hanya kepala sekolah yang merasa pendengarannya terganggu, Park ssaem bahkan memajukan kepalanya dan Ara tampak ikut bingung.
"Aku bertanya, berapa harga sekolah ini?"
Bibir Ara berkedut keras, mencibir dalam hati. Bisa-bisanya pria berengsek ini menanyakan harga sekolah seperti bertanya harga satu tusuk odeng!
"Tu-tuan Min kenapa bertanya harga sekolah kami?"
"Tentu saja untuk membelinya!" Jawaban Yoongi sukses membuat Ara hampir lupa bernapas. Agaknya gadis itu ingin menendang kepala Yoongi agar tak bercanda dalam situasi genting begini.
"Kenapa Anda ingin membeli sekolah kami?" tanya kepala sekolah, hal ini jelas membuatnya senang karena pihak yayasan yang kekurangan dana nyaris tak bisa menggaji para guru pada bulan berikutnya.
"Aku hanya malas mengurusi masalah sepele begini. Jika aku membeli sekolah ini, maka Lim Ara bisa bebas untuk bersekolah. Aku bisa menutup kasus ini dan menuntut setiap pihak yang berani menulis berita bohong tentangnya."
Park ssaem menatap Yoongi tak percaya. "Anda ingin membeli sekolah ini hanya untuk Lim Ara?"
"Tentu saja, aku akan melakukan apa pun untuk calon istriku. Bukan begitu, Sayang?" Yoongi bahkan menoleh, menatap Ara dan mengedipkan sebelah matanya.
Min Yoongi! Aku akan membunuhmu!
.
.
.
Ada yang suka karakter Hyunjin kayak aku gak? Hehe?
Mas duda semakin gencar mau ngawinin Ara, bukan karena bucin tapi kepaksa demi Bora bahagia.
Ditunggu kelanjutannya ya.
Fast updatenya udah dulu hehe
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro