13
Bebas loh kalau mau bereaksi sama isi ceritanya. Biar ga krik krik gitu
.
.
.
Roda empat yang dikemudikan Yoongi berhenti, bersamaan dengan Ara yang kemudian terbangun karena getar ponsel dalam sakunya. Nama Pangeran Oppa terpampang pada layarnya dan gadis itu harus menarik napas panjang.
Berpikir keras, alasan apa lagi yang akan dia katakan pada Jimin kali ini.
"Ini oppa-ku, coba kau pikir, aku harus beralasan apa lagi sekarang, eoh?" Ara mengangkat ponselnya, memperlihatkan layar benda pipih itu ke depan wajah Yoongi.
"Bilang saja kau menginap di rumah temanmu," jawab Yoongi tanpa kendala seraya melepaskan seat belt yang melingkari tubuhnya.
Ara berdecih. "Enteng sekali bicaramu, oppa-ku itu sangat protektif tau, apalagi Princess-nya tak pulang dan malam-malam malah bersama duda tua sepertimu."
"Berisik, jawab saja langsung atau mau aku menjawabnya untukmu?" Pria itu malah menekan tombol hijaunya dan Ara seketika terkesiap, kesal juga melihat jingkatan bahu si duda yang tanpa dosa.
Diawali dengan dehaman, Ara mulai berbicara, "Yeoboseyo Oppa, a-aku hari ini banyak tugas dan akan menginap di rumah Areum. Maaf baru mengabarimu ini aku baru sampai di rumah Areum," ucap Ara dengan intonasi manis yang Yoongi perhatikan dengan ekspresi jijik. Menurutnya bagaimana bisa gadis berisik itu bermanis-manis pada kakak yang diam-diam dicintainya itu. Ish menjijikan.
Ara mengangguk, mengaitkan anak rambut ke telinganya seraya tersenyum tipis. "Tentu saja aku punya teman bernama Areum. Oke, kalau Oppa tidak percaya, sebentar aku panggilkan Areum."
Seketika Ara menangkup ponselnya dengan tangan agar Jimin tidak mendengar apa yang hendak ia bicarakan. "Aku tak mau tau, kau harus bersuara seperti seorang gadis," ucap Ara pada Yoongi yang kali ini membelalak.
"Areum-ah! Areum-ah!" panggilnya pura-pura, lantas menyodorkan benda pipih miliknya ke telinga Yoongi, "Oppa-ku ingin berbicara denganmu."
Awas kau gadis sampah!
Seketika suara bass Yoongi berubah menjadi sedikit kemayu kala pria itu berkata halo pada Jimin di seberang sana.
"Yeoboseyo," cicit Yoongi lirih berharap suara wanitanya bisa meyakinkan kakak gadis sampah itu, sementara matanya memicing tajam jelas kesal karena diberi tugas mendadak seperti ini.
"Yeoboseyo, apa ini Areum temannya Ara?"
"Ya Oppa, ini Areum. Kami banyak tugas, kuharap Oppa tidak keberatan jika Ara menginap di rumahku."
"Baiklah, semoga adikku tidak terlalu merepotkan."
"Tidak apa-apa Oppa, terima kasih sudah mengizinkan."
Yoongi langsung memberikan ponsel itu pada Ara setelah mendengar kata terima kasih dari Jimin.
"Ra-ya, kau yakin itu suara perempuan? Kau tidak sedang berbohong kan pada Oppa?" tanya Jimin di ujung telepon sana.
"Apa maksud Oppa, suara Areum memang seperti itu, kok. Sedikit seperti waria memang." Ara menyengir, melirik Yoongi yang kali ini memutar bola matanya malas, "oke baik, besok aku janji pulang ke rumah. Terima kasih Oppa."
Ara segera menutup teleponnya dan tertawa. "Kau tau, suara wanitamu itu lucu sekali."
"Bukan waktunya untuk bermain-main. Ayo ke atas."
Ara hanya mendecih remeh saat melihat Yoongi bersikap dingin dengan tangan memegang pintu mobil dan keluar dari sana.
Dalam perjalanan, Ara akhirnya mulai berpikir tentang alasan pria itu sampai mencarinya sampai ke sekolah. Bukankah Ara tidak pernah mengatakan di mana sekolahnya? Apa pria itu benar-benar berkeliling untuk mencarinya?
"Hei, Tuan arogan, apa yang membuatmu sampai repot-repot mencariku sampai ke sekolah?" tanya Ara sedikit berlari-lari kecil saat mengikuti langkah cepat Yoongi.
"Kau akan tau nanti."
Raut pria itu terlihat khawatir terlebih saat dirinya menerima panggilan dari Go imo. "Ya Go imo, sebentar lagi kami sampai. Ya, Ara bersamaku."
Tak ingin bertanya lebih lanjut karena Ara yakin tak akan mendapatkan jawaban yang memuaskan, gadis itu memilih mendahului dengan berlari ke arah unit milik pria itu. Ah, sial karena saat sampai di depan pintu, Ara lupa jika ia tidak tau pin bilah kayu apartemen tersebut. Ara jadi menyesal sudah menghabiskan tenaga untuk lari-lari.
Saat pintu terbuka, Go imo menyambut kedatangan keduanya, tampak kelelahan. Ara sampai menaikkan alisnya karena terkejut.
"Bagaimana keadaannya Go imo?" tanya Yoongi khawatir.
"Panasnya masih naik turun, tapi Nona Bora tetap tidak mau minum obat apalagi makan, ingin menunggu Nona Ara katanya.
Hati Ara mencelus mendengar penuturan Go Imo. Ia sampai berpikir, bagaimana buntalan lemak itu sampai sakit dan tak mau makan atau minum obat hanya karena dirinya. Sepenting apa dia untuk anak itu?
"Aku mohon padamu Ara-ssi, temui Bora."
Kali ini Ara dapat melihat kedua manik yang menatapnya itu berkaca-kaca, Go imo tampak menaruh harapan besar padanya. Astaga, kalau begini ceritanya Ara mana tega, mau bersikap masa bodoh pun rasanya tidak mungkin, karena saat gadis itu membuka pintu kamar, dia segera dihadapkan oleh Bora yang tengah berbaring lemah.
Melihat Bora tidurnya gelisah dengan kompresan menghiasi kening, tanpa sadar Ara menitikkan air mata. Ia menangkup tangan kecil itu, merasa menyesal karena mengabaikannya.
"Nona Bora tak mau makan dari kemarin, katanya ingin menunggu Eomma-nya saja," terang Go imo, suaranya terdengar bergetar penuh haru. Ikut sakit karena gadis kecil yang ia rawat sejak bayi ternyata benar-benar mengharapkan kehadiran seorang ibu di sisinya.
"Bora-ya, ini a-aku ... Eomma ... hei rubah kecil, bangunlah, Eomma sudah datang untuk Bora," ucap Ara. Demi Tuhan hatinya ikut sakit melihat keadaan anak kecil yang biasa ceria itu terlihat begitu lemah.
Mendengar suara familier yang sejak seminggu ini menjadi suara paling favorit baginya, lamat-lamat mata bulat anak itu terbuka, terlihat sayu tetapi binarnya berubah antusias.
"Eomma?" lirih gadis itu sambil berusaha melebarkan matanya. Bora mengulurkan tangan untuk menyentuh wajah di hadapannya. "Ini benar-benar Eomma, kan? Eomma akhirnya datang! Yeay!"
Ara membantu Bora yang ingin bangun untuk duduk. Ia bisa merasakan suhu anak itu benar-benar panas. "Mn, ini Eomma." Angguknya tersenyum manis.
Tanpa menunggu lama, Bora segera memeluk tubuh Ara, senyumnya melebar dan melupakan rasa tak nyaman yang ia rasakan karena sakit. "Eomma! Aku sakit! Badanku panas dan terus saja bermimpi buruk. Eomma jangan pergi lagi, temani aku ya. Aku janji akan menjadi anak yang baik dan menurut, tapi jangan pergi."
Sialan! Kenapa perasaan ini sangat tidak asing bagiku? Saat appa pergi, saat oppa pergi, aku hampir meneriakkan semua yang ada di otakku, tapi saat itu aku hanya menangis tanpa bisa mengatakan semuanya, tetapi kenapa anak ini bisa mengutarakannya? Air mata ini ... kenapa susah sekali aku tahan?
Ara mengusap lembut rambut Bora lantas melepaskan tautan tangan gadis itu dan membungkukkan tubuh untuk menatapnya. "Eomma masih sekolah, Bora. Jadi Eomma sangat sibuk sampai tidak bisa menemuimu. Kata Go imo kau sakit, tapi tidak mau makan dan minum obat ya? Hei, itu nakal. Kau membuat Appa dan Go imo khawatir."
Gadis kecil itu mengangguk sebelum menunduk, menyesal. "Mianhae, Eomma."
"Tidak! Kau harus minta maaf pada Appa dan Go imo, Sayang."
Bora mengedip dan menatap mata Ara yang kini mengangguk padanya. Ia lalu beralih pada Ayah dan Go imo yang tengah berdiri di dekat pintu. Dengan pelan ia berdiri dan sedikit membungkukkan badannya. "Mianhae Appa. Mianhae Go Imo."
Yoongi berjalan mendekat ke arah Bora dan memeluk anaknya dengan sayang. "Appa sangat cemas, lain kali tidak boleh mogok makan lagi ya?"
"Baik Appa!"
Go imo ke luar kamar setelah memastikan gadis kecilnya itu lebih baik. Ia merasa senang karena kehadiran Ara berdampak sangat baik untuk Bora, sementara Yoongi menempatkan dirinya pada sofa yang terletak di dekat pintu.
Bora kembali duduk dengan senyuman lebar. "Eomma, aku sudah jadi anak yang baik, 'kan?"
"Tentu saja belum! Kau masih nakal dan Eomma tidak suka anak nakal!"
Mata Bora kembali berkaca-kaca dan senyumannya memudar. "Apa Eomma akan meninggalkanku lagi?"
"Asal kau jadi anak yang baik dan penurut, Eomma janji tidak akan pergi."
"Benarkah?"
"Mn?"
"Aku janji akan menjadi anak yang baik dan penurut!" ucap Bora kembali bersemangat, lantas mengacungkan jari kelingkingnnya untuk ditautkan dengan milik Ara.
"Oke, anak baik! Jadi sekarang mau makan?" tanya Ara dengan senyuman lebar dan Bora mengangguk patuh dengan senyum yang tak kalah lebarnya. "Mau Eomma suapi?"
Otak kecil Bora bekerja. Disuapi eomma, bukankah itu salah satu impian besarnya? Namun, gadis itu juga berpikir kembali, bukankah ia berjanji menjadi anak baik dan penurut. Jika ia disuapi, apa ia masih jadi anak yang baik? Kalau merepotkan bagaimana? Gadis kecil itu takut jika Ara kembali pergi dan tak kembali.
"Eomma, jika aku mau disuapi, apa aku merepotkan Eomma?"
"Ish, tentu saja tidak Rubah Kecil, menyuapimu bukan hal merepotkan, yang merepotkan itu jika harus mengurusi Appa-mu. Dia kan cerewet, bawel lagi. Huh, aku bisa botak dalam seminggu kalau berurusan dengannya." Ara menyahut piring di atas nakas dan mulai menyuapi Bora. Ia terus saja bicara agar fokus anak itu teralih. Membicarakan banyak hal, termasuk semua ketidaksukaannya pada Yoongi yang masih ada di sana.
Bora tertawa mendengar keluhan Ara. Ia mengangguk semangat bahkan jika itu menjelekkan sang ayah. Gadis kecil itu patuh menerima setiap suapan Ara dan mengunyahnya dengan benar. Sesekali akan menimpali apa yang Ara katakan.
Yoongi menggelengkan kepala, tapi tetap diam saja mendengar dua orang di atas ranjang itu tengah membicarakannya. Ia sebenarnya tak habis pikir, bagaimana sang anak bisa menyukai si gadis sampah itu sampai sebegitunya. Apa konsekuensinya jika dia sampai menikahi gadis itu demi Bora. Bagaimana kalau dia menjadi anak tak bermoral seperti Ara jika besar nanti. Yoongi sampai bergidik ngeri.
Namun, yang utama saat ini adalah kesehatan sang anak, bagaimana lahapnya Bora menerima suapan demi suapan hingga makanan yang ada dipiring itu tandas, bagaimana celotehan ceria sang anak yang akhirnya bersedia meminum obat pereda demam. Yoongi tersenyum dan bersyukur untuk hari ini.
"Eomma tidur di sini kan? Tidak akan pergi lagi saat aku tidur, 'kan?" tanya Bora dan Ara mengangguk.
"Ya, Eomma akan tidur di sini malam ini."
"Di kamarku saja ya, jangan di kamar Appa. Aku ingin memeluk Eomma."
Ara sampai berdeham kikuk mendengar penuturan polos anak itu. Ia menggaruk pelipisnya yang tidak gatal dan mencubit pipi berlemak Bora.
"Tentu saja di kamar Bora. Kamar Appa-mu seram seperti rumah hantu, Eomma tak tahan di sana. Hei, tapi kau harus istirahat ya. Janji pada Eomma kalau besok harus pintar makannya dan minum obat dengan baik agar cepat sembuh, oke?"
Bora mengangguk semangat dan segera merebahkan diri, menarik selimut lalu tangan Ara agar ikut berbaring.
Ara melirik Yoongi yang sedari tadi memperhatikan, dengan sengit ia memicing dan mengusir pria itu tanpa suara. Pergi sana!
Lalu, setelah waktu menunjukkan pukul satu pagi, saat Bora sudah tertidur nyenyak dengan demam yang sudah turun. Ara ke luar kamar dan mendapati Yoongi ternyata belum tidur. Pria itu tengah duduk di salah satu kursi meja bar dengan gelas di tangan.
Ara menghela napas panjang dan menghampiri, bermaksud untuk minum air putih. Ia juga mengingatkan dirinya untuk tak lagi ceroboh dengan meminum alkohol.
"Lim Ara, apa kau tak bisa memikirkan tawaranku yang tempo hari?" tanya Yoongi ketika menyadari kehadirannya.
"Yang mana?"
"Menikah kontrak."
"Apa?" ucap Ara ketus. Ia memium air di gelasnya lalu fokus pada Yoongi.
"Menikah denganku sampai Bora dewasa dan mulai mengerti. Apa kau mau?"
Ikut duduk di salah satu kursi meja bar, Ara menatap Yoongi lama. "Tidak!"
"Kau tidak kasihan pada Bora?"
"Lalu kau tidak kasihan padaku?" tanya Ara. "Tuan arogan, aku tahu kau kaya, tapi lihatlah aku ini bahkan masih sekolah. Lagi pula menikah itu bukan perkara main-main yang bisa ditenggat waktu dengan banyak penawaran. Kau tidak bisa mempermainkan pernikahan hanya karena anakmu rewel!"
"Apa kau tidak tahu situasinya bukan hanya Bora yang rewel. Anakku benar-benar membutuhkanmu, tidakkah kau bisa melihatnya?"
Ara menurunkan pandangan dan memainkan gelasnya yang kosong. "Aku tahu, tapi aku benar-benar tidak bisa menikah denganmu, Tuan arogan."
"Apa itu karena kakakmu?" tuduh Yoongi dengan nada suara dingin yang terkesan mencemooh. "Apa karena kau mencintai kakakmu itu, makanya kau tak mau menikah denganku?"
Ara mengedipkan mata beberapa kali, mengerti arah pembicaraan ini. "Itu bukan urusanmu," jawabnya berusaha tak terpancing.
"Mencintai kakakmu sendiri, apa kau tidak merasa jijik? Apa kau tidak pernah berpikir untuk mencintai teman sekolahmu saja dari pada berfantasi dengan kakakmu itu? Lim Ara, apa kau pernah berpikir betapa rendahnya dirimu itu?!" Cemooh Yoongi mendecih remeh.
"Menjijikkan, ya?" tanya Ara dengan menggenggam erat gelasnya. Ia tersenyum miring dan menatap Yoongi tanpa takut. "Perasaanku ini ... memang apa urusannya denganmu, Tuan Min Yoongi yang terhormat?"
Yoongi menatap mata Ara yang memerah, tapi ia hanya diam seolah kehilangan kata.
"Jika memang kau menganggapku serendah itu, kenapa juga kau harus menawarkan pernikahan lelucon denganku? Apa kau tak takut jika anakmu nanti terdampak olehku?"
"Lim Ara, apa kau tengah menentangku?"
"Tentu saja aku menentang. Ini hidupku, milikku. Seburuk atau serendah apa pun martabatku di matamu, itu tak ada artinya untukku. Kau tau apa tentang hidupku? Tidak ada, bukan? Jadi jangan bicara konyol yang hanya akan aku tertawakan nantinya!"
Kini berganti Yoongi yang tersenyum miring. Ia punya rencana lain untuk gadis ini. "Jadi kau berencana untuk terus mencintai kakakmu?"
"Itu bukan urusanmu!"
"Memang, tapi aku hanya penasaran, bagaimana respons kakakmu jika tau adiknya ini begitu tak bermoral karena berani mencintainya. Menurutmu ... apa pandangan kakakmu nanti padamu? Mn?"
"Kau berencana untuk memberitahunya?" tanya Ara dengan gusar.
"Jadi kau tak berencana memberitahunya?"
Ara benar-benar tak sepintar itu untuk bermain kata. Ia juga tak punya pengalaman untuk menghadapi situasi sulit seperti ini. Hal itu yang kini membuatnya terdiam dan menggigit bibir bawahnya dengan gelisah.
Yoongi yang mulai merasa unggul, kini melipat tangannya di depan dada dengan angkuh. "Lim Ara! Ini tawaran terakhir dariku. Jika kau berani menolaknya lagi kali ini, berdoa saja agar kakakmu tak terlalu membencimu."
Min Yoongi! Kau memang bajingan!
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro