Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12

Komen yang banyak ya
.
.
.

)❥❥❥ 𝓗𝓪𝓹𝓹𝔂 𝓡𝓮𝓪𝓭𝓲𝓷𝓰 ❥❥❥(

Sudah seminggu ini Ara kerap kali dihinggapi kesialan, dan hal tersebut tampaknya belum akan berakhir. Siang tadi  Park ssaem selaku wali kelasnya memanggil ke ruang guru, menanyakan tentang dirinya yang tidak masuk sekolah tanpa surat keterangan kemarin.

"Lim Ara kau ini sudah tingkat akhir, bukannya giat belajar untuk suneung (ujian masuk universitas) nanti, malah malas-malasan. Mau jadi apa kau, eoh?"

Mau jadi istri seorang CEO, batin Ara asal.

Namun, alih-alih menjawab seperti itu Ara hanya menunduk lantas berkata dengan jujur bahwa dia terlambat bangun dan tidak mungkin pergi ke sekolah, cuaca buruk hari sebelumnya membuat dia terkena flu. Atas kebohongannya perihal flu tersebut Ara diganjar hukuman membersihkan WC, uh menyebalkan sekali.

Rasanya percuma Ara mengumpat dan menggerutu saat menggosok lantai WC berwarna abu-abu itu. Jam makan siang hampir habis dan Park ssaem baru saja membebaskannya lima menit sebelum jam istirahat itu berakhir.

Lelah, kesal dan lapar membuat wajahnya tertekuk masam.
Sialan! Lima menit lagi ini, memangnya aku tidak boleh makan siang ya?

Kalian percaya quote, semua akan indah pada waktunya? Mungkin ini sejenis  kelonggaran dari kesialan bertubi-tubi yang Ara dapatkan. Seorang siswa laki-laki mendekat, menepuk pundaknya dan menyapa ceria.

"Annyeong, Noona!" Itu Jisung, lelaki imut yang tergabung dalam kelab basket, dia cukup populer di kalangan para siswi, "aku lihat kau baru dibebaskan dari hukuman membersihkan WC oleh Park ssaem ya?" Siswa lelaki itu berkata dengan nada turut berduka cita melihat Ara yang tampak kelelahan, "mn ... terimalah ini, aku sengaja tak memakannya untukmu." Lelaki itu menyodorkan kotak makanan setelah membuka tutupnya.

"Wow kimbap," seru Ara antusias, tangannya langsung mengambil dua potong lalu memasukan makanan itu di kedalam mulutnya, "hmm ... enak sekali," ucap Ara dengan mulut penuh. Pokoknya dalam waktu lima menit ini dia harus makan banyak, agar otaknya bisa dipakai berpikir karena akan ada kuis matematika di jam selanjutnya.

Jisung tersenyum, tampak senang Ara menyukai makanannya, lantas berpikir mungkin ini saat yang tepat untuk mengatakan sesuatu. "Noona, akhir pekan ini kau ada waktu tidak?"  tanya Jisung malu-malu dan  pertanyaan tersebut sukses membuat Ara menghentikan kunyahannya.

Aneh, itulah kata yang terbesit dalam otak Ara. Jika ada Bora yang akhir-akhir ini selalu ingin menempel padanya, maka orang pertama yang seperti itu adalah Jisung. Padahal Jika ditilik ke belakang, awal mula dia bisa dekat dengan adik kelasnya ini hanya karena saat itu Jisung dipermainkan oleh Hyunjin–teman seangkatan Ara.

Tidak kok, Jisung tidak sampai di-bully saat itu. Hyunjin itu memang pribadi yang sangat jahil dan melihat adik kelas manis nan pemalu seperti Jisung, jiwa isengnya saat itu seolah menyala.
Ara juga sebenarnya tak berniat menolong. Dia hanya kasihan melihat Jisung yang hampir menangis karena ulah Hyunjin, jadi terpaksa Ara ikut campur dengan memukul kepala Hyunjin menggunakan nampan makanannya yang belum terisi.

Hyunjin tak marah saat itu, ia hanya balas memukul Ara dengan sendok, dan sekarang pun sikap mereka ya biasa saja. Benar-benar bukan hal yang besar, tapi tak tau kenapa sejak saat ia berkata, Hei, kau! Jangan menunduk dan diam saja kalau ada yang jahil padamu! Tidak peduli dia senior atau siapa pun, kau tak boleh hanya diam saja begitu! Mengerti? Jisung seolah melihat Ara sebagai Dewi penolong sekaligus cinta pertamanya.

Jisung dulu memang tak sekeren dan sepopuler sekarang ini. Dulu dia hanya murid kelas sepuluh pemalu yang kerap kali menjadi sumber kejahilan banyak orang. Namun, sejak libur kenaikan kelas, Jisung kembali dengan hal yang baru. Pubertas menamparnya begitu keras, entah siapa yang mengubahnya menjadi seperti itu, pokoknya tampan sekali. Namun satu hal, sejak saat itu Jisung memang selalu ingin berada dekat-dekat dengan Ara.

"Kau mengajakku kencan?" tanya Ara tanpa basa-basi, masih dengan mulut penuh kimbap.

Pemuda itu tersenyum, menggaruk belakang kepalanya malu-malu.
"Yak, Jisung-ah! Ada banyak gadis yang mengantre ingin menjadi pacarmu. Mereka bahkan rela melakukan apa pun untuk mendapat perhatian darimu. Apa kau tidak lelah terus mendekatiku? Bukankah aku sudah berulang kali berkata agar kau tak berharap padaku, bukan?" Ara sampai menyeburkan beberapa remahan kimbap yang tengah dikunyahnya.

Ia kesal karena usahanya mati-matian ingin terlihat cantik di depan Jimin, tetapi malah mendatangkan beberapa orang siswa yang kerap kali mendekat. Sementara sang kakak justru lebih memilih siluman rubah yang bahkan namanya tidak mau Ara ingat sampai kapan pun. Bayangkan betapa sialnya gadis itu saat ini!

Sebenarnya Ara itu pribadi yang cukup humble, tapi seolah sudah menjadi rahasia umum jika dirinya memang terkesan menutup diri. Gadis itu selalu membatasi atau langsung memblok setiap teman lelaki yang terlihat ingin mendekati. Pokoknya, yang dia lihat hanya Jimin, tidak ada yang sebaik pangerannya, karena semua lelaki di dunia ini—selain Jimin–mempunyai kemungkinan besar untuk bersikap buruk seperti sang ayah. Trauma masa kecil itu membuat Ara memiliki kewaspadaan yang tinggi agar tak lagi terluka.

"A-aku hanya ingin mengajakmu jalan-jalan, Noona. Bukan kencan kok," jawab Jisung gelagapan.

"Awas saja kalau kau nanti sampai menyatakan cinta padaku. Pokoknya aku tolak sekarang juga."

"Ya, baiklah." Sedikit perih, lelaki itu mengangguk dan menyetujuinya walau cintanya tertolak bahkan sebelum dia menyatakan,  setidaknya Jisung harus tau kenapa kakak kelas kesayangannya itu seperti tidak pernah mau dekat dengan lelaki mana pun. Apa mungkin noona ... ah tidak, tidak. Tidak mungkin kan, kalau noona itu ....

"Ok, akhir pekan bertemu di Lotte, kalau kau ingin mengajakku pergi, lebih baik kita nonton," ucap Ara tanpa sadar telah memotong pemikiran liar Jisung.

"Ok, kol."

Bel tanda berakhirnya jam istirahat berbunyi, Ara bersyukur karena perutnya jadi kenyang gara-gara kimbap dari Jisung. Ara tak peduli walau beberapa kali dia mendapati tatapan tak ramah dari para siswi yang barang kali masuk dalam jajaran pemuja lelaki itu. Sungguh, bahkan jika satu atau semua para pemuja Jisung itu mendatangi dan merundungnya, Ara akan dengan senang hati berkata,

Ambil saja, kuberikan gratis asal jangan berebut. Jisung itu masih perjaka, nanti kalian bisa cap cip cup untuk memilih siapa yang akan membuka segel keperjakaannya.

Dasar Ara bodoh!

***

Hari yang melelahkan, bahkan pada saat matahari sudah menampakkan sinar terakhirnya, Ara baru mengemasi buku-bukunya dan hanya berpindah kelas ke lantai dua. Ada pelajaran tambahan untuk suneung nanti dan sepertinya dia akan pulang pukul sembilan malam, hari ini.

Hal ini mungkin cukup bagus, mengingat waktu bertemu dengan Jimin menjadi lebih sedikit karena walaupun mereka sudah berpelukan–dengan Ara yang sialannya masih berdebar aneh–untuk bersikap manja seperti dulu rasanya masih terasa canggung. Taukah Jimin bahwa Ara merasa dikhianati?

Malam beranjak pekat, bulan pun sudah bergerak sedikit ke atas. Ara tak mengerti kenapa menjadi seorang pelajar di Korea Selatan ini sangat berat sekali. Otak mereka terlalu banyak dijejali oleh berbagai macam pelajaran dan itu terkadang membuatnya sangat kelelahan.

Lima ... empat ... tiga ... dua ... satu!

Akhirnya Ara bisa bernapas lega, hitungan mundur tadi untuk suara bel penanda berakhirnya pelajaran tambahan dari Park ssaem. Guru itu terus saja mencecarnya dengan berbagai pertanyaan seolah Ara memang harus diperlakukan seperti itu karena berani membolos kemarin.

Gadis itu berjalan lunglai merasa kelelahan sekali dengan berbagai bilangan x dan y yang sejak dulu susah sekali ditemukan.

"Noona!" Kembali Ara harus mengembuskan napas kala mendengar panggilan tersebut. Itu Jisung, kenapa laki-laki itu belum pulang sih?

Pemuda itu menghampiri dengan senyum cerahnya. "Yak Jisung-ah, kenapa kau belum pulang juga?"

"Aku ada pertandingan dua minggu lagi, jadi hari ini latihan."

"Oh ...."

"Noona, aku antar kau pulang ya."

"Ah tidak usah, aku—"

Tiiiit ... tiiit ....

Lampu dari sebuah sedan mewah menyoroti keduanya, kemudian pribadi dengan kemeja putih tampak keluar dari sana. Ara termangu, seperti gerakan pahlawan dalam film yang keluar untuk menyelamatkan bumi, Yoongi kenapa terlihat keren sekali. Oh, Ara mungkin benar-benar kelelahan sekarang.

"Ikut aku!"

Ara yang masih terpaku melihat kedatangan Yoongi sampai tidak bisa berkata-kata. Ia bahkan seolah tidak mengerti dengan ucapan sang pria yang tiba-tiba saja menyeretnya dengan menarik tas yang ia pakai, menjauh dari Jisung yang sama terkejut. Baru ketika Yoongi membuka pintu dan memasukkannya dengan tanpa perasaan ke dalam mobil, Ara mengedip dan sadar situasi. Bajingan, apa ia mau diculik!

Lalu ketika Yoongi masuk ke dalam mobil dan Jisung menggedor kaca di sisinya, Ara jadi bingung mau mengurusi yang mana dulu. Namun, melihat wajah khawatir Jisung ia berusaha menurunkan kaca mobil, tapi gagal.

"Yak, Tuan Arogan! Turunkan kaca mobilnya!"

"Tidak! Kau harus ikut aku sekarang!"
Ara berdecak keras dan memukul kepala Yoongi tanpa sopan. "Kubilang buka, bodoh! Kau menyeretku seenaknya dan membuat kehebohan! Temanku sedang sangat khawatir sekarang!"

"Apa kau memang sekasar ini, eoh? Bagaimana mungkinBora ingin mempunyai ibu tak punya tata krama seperti ini," gerutu Yoongi, tapi tetap menekan tombol yang membuat kaca mobil di sebelah Ara terbuka.

"Noona, kau baik-baik saja? Jangan khawatir, aku akan panggil petugas keamanan atau polisi untuk menangkap Ahjussi ini." Jisung terlihat panik, membuat Ara tak tega juga akhirnya. Yoongi memang benar-benar bajingan.

"Sung-ah, kau tak perlu khawatir. Dia bukan orang jahat meskipun terlihat kriminal. Aku ada urusan sebentar dengannya, jadi sekarang kau pulang saja, oke? Besok kita bertemu lagi di sekolah."

Jisung masih terlihat khawatir, tapi dia mulai melunak dan mengangguk. Membiarkan kaca itu naik lalu menutup, menatap mobil mahal itu perlahan melaju untuk pergi meninggalkan area sekolah.

"Ara noona benar-benar tidak apa-apa, 'kan? Pria tadi terlihat kaya, apa gosip itu benar?"

Sementara di dalam mobil, Ara melemparkan punggungnya untuk bersandar di kursi samping kemudi. Ia menatap tanpa minat ke jalanan yang mulai lengang, menghela napas panjang karena usahanya menghindari Bora dan Yoongi kenapa sia-sia begini.

Bertemu lagi dan lagi, Ara merasa benar-benar menjadi pribadi yang penuh kesialan.

"Tuan Arogan, sekarang ada apa lagi?"

"Bora membutuhkanmu," jawab Yoongi fokus pada jalan menuju apartemennya.

"Tidak bisakah kau mengurusi anakmu sendiri? Aku benar-benar lelah seharian dan ingin segera pulang lalu tidur, besok aku masih harus sekolah."

"Jika aku bisa, kau pikir aku rela menunggu lama sampai kedinginan untuk membawamu begini?"

Mendengar jawaban ketus Yoongi, kali ini sepertinya Ara benar-benar kelelahan karena biasanya gadis itu punya banyak tenaga untuk membalas, tapi sekarang ia justru diam dan perlahan matanya terpejam. Ara tertidur di dalam mobil Yoongi yang masih melaju tenang.

Yoongi yang tak mendengar sahutan, menoleh sebentar dan mendapati Ara tertidur dengan menyandar pada pintu mobil. Gadis itu memeluk tubuhnya sendiri, terlihat sangat rapuh ketika tertidur. Pria itu lalu mengalihkan pandangan dan berusaha tak peduli. Ia lalu kembali menoleh saat suara Ara terdengar, gadis itu mengigau.

"Appa ... bogoshipoyo."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro