11
Astaga bukan 30 komen ih tapi 30 orang komen... Terniat ya Kak @Galis16
Aku tuh sebenernya sedih karena mungkin kecepetan update pembacanya semakin berkurang. Apa karena emang kurang menarik ceritanya?
Dah nih ya aku update lagi buat pembaca setia.
)❥❥❥ 𝓗𝓪𝓹𝓹𝔂 𝓡𝓮𝓪𝓭𝓲𝓷𝓰 ❥❥❥(
"Op-Oppa."
"Pulang! Sekarang!"
Sialan! batin Ara nelangsa.
Ia masih butuh waktu bertemu dengan Jimin, butuh me time untuk menyenangkan hatinya yang tengah tak baik-baik saja. Namun, Tuhan agaknya tak suka dengan anak nakal yang suka membolos. Mungkin juga ini adalah karma karena telah menyia-nyiakan kerja keras sang Ibu yang telah membiayai sekolahnya, tapi Ara sadar, bahwa ia tak bisa terus kabur.
Oppa, apa aku harus mengakui perasaanku padamu sekarang? Ini sesak sekali, tapi aku takut kau akan marah. Bagaimana ini?
...
"Kau berjanji pada Oppa untuk menjadi anak yang baik. Lalu apa ini? Membolos dan bermain di mal, mau menonton film, lalu membeli popcorn untuk bersenang-senang? Apa kau tidak merasa bersalah pada eomma yang telah bekerja keras untuk membayar sekolahmu?"
Ara duduk di depan Jimin, menunduk dalam, tak berani menatap kakaknya itu. Rasa bersalah, gelisah dan segala hal rumit seolah membuatnya tak mempunyai daya.
"Lim Ara! Apa kau tak punya telinga?! Atau kau tiba-tiba saja tak punya mulut untuk bicara?"
Mendengar Jimin memanggilnya dengan nama lengkap, tentu saja membuat Ara semakin gelisah. Ia bahkan bisa merasakan matanya memanas dan siap menangis kapan saja. Perlahan ia mendongak, lalu bulir air mata itu benar-benar jatuh membasahi pipi.
"Maaf."
"Oppa tidak butuh maafmu, Ra-ya. Lagi pula jika kau ingin meminta maaf, maka kau harus melakukannya pada eomma. Secara tak langsung kau telah melukai segala kerja kerasnya. Kau mengerti?"
Ara tak langsung menjawab. Ia memandang Jimin lama sebelum berucap, "Oppa, aku hanya membolos sekali ini, tapi apa kau mengerti, jika tiga tahun ini eomma absen dalam hidupku? Apa Oppa juga tau, tiga tahun tanpa Oppa dan eomma itu menyakitkan sekali? Aku bangun sepagi mungkin, tapi eomma selalu tidak ada. Aku juga selalu tidur selarut mungkin, tapi eomma tetap tidak ada. Jika pun ada di rumah, sekali saja, bahkan sebentar saja, eomma tak pernah sekali pun menanyakan keadaanku. Tak pernah mau tau hariku sulit atau tidak. Oppa marah karena aku bolos sekolah, lalu kenapa Oppa tak marah karena eomma mengabaikanku tiga tahun ini?! Kenapa Oppa juga tak marah pada diri Oppa sendiri karena sudah meninggalkanku sendirian!"
"Lim Ara, kau juga tau bahwa eomma tak pernah ada di rumah bukan tanpa alasan. Eomma bekerja keras untuk kita berdua!"
"Aku tidak peduli! Apa terlalu sulit untuk Eomma sekadar bertanya keadaanku. Apa terlalu sulit untuknya sekadar menggoreng telur untuk sarapanku?! Apa terlalu sulit untuk eomma sekadar tersenyum padaku?!" suara Ara semakin meninggi di akhir. Sebenarnya ia tak benar-benar berniat untuk marah. Ia hanya tak tahu harus menjawab pertanyaan Jimin seperti apa, tapi yang pasti, semua yang ia ucapkan benar adanya.
Jimin menatap wajah menangis adiknya lamat. Sejak kecil Ara dipaksa memahami semua situasi sulit dengan otak kecilnya. Ia melanjutkan sekolah di luar negeri bukan tanpa tujuan, tapi membenarkan sikap adiknya yang berani membolos sekolah juga bukan hal yang benar. Adiknya berubah, apa benar karena dirinya dan sang ibu, atau karena hal lainnya?
"Ra-ya? Apa kau mengatakan ini semua agar Oppa tak memarahimu?"
Ara diam tak mau menjawab. Mendengar pertanyaan Jimin itu justru membuatnya lebih kesal lagi. Tak mau lebih lama lagi di ruang tamu, yang kemungkinan nanti mulutnya akan lebih tak terkontrol, Ara memilih untuk pergi dari sana. Tak peduli walaupun Jimin memanggilnya kembali karena dia belum selesai bicara.
Menutup pintu kamarnya dengan keras, Ara merosot di baliknya setelah memastikan mengunci. Ia tak mau diganggu dulu sekarang.
Oppa, maafkan aku.
Ara lalu menyeret tubuhnya agar bangun dan berbaring dengan benar di atas ranjang tanpa mengganti baju. Sebenarnya ia merasa sangat lengket, tapi untuk sekadar mandi, ia malas. Gadis itu bahkan tak menjawab saat Jimin mengetuk pintu dan memanggil namanya dengan penuh penyesalan, ia butuh ketenangan.
...
Ara bangun tidur dengan kepala berdenyut. Seingatnya tadi ia hanya ingin merebahkan diri lalu menangis, siapa yang tahu bahwa ia malah ketiduran, sial karena sepertinya mata Elmo-nya semakin besar. Gadis itu mengernyit saat bias terakhir matahari menembus jendela kamar. Cahayanya merah dan itu membuatnya memaksakan diri untuk bangun.
"Sudah sore, ya?"
Ia lalu bangun dari ranjang, mengambil handuk dan baju ganti untuk segera mandi. Badannya benar-benar terasa lengket dan tidak nyaman. Oh, ingatkan ia untuk minta maaf dengan benar pada Jimin nanti. Ara bahkan mengeluarkan kotak hadiah berisi hoodie couple yang belum sempat ia berikan pada sang kakak. Gadis itu tersenyum dan menganggukkan kepala saat mengiyakan pemikirannya itu.
Ia selesai mandi setengah jam kemudian, menengok ke kanan dan kiri yang ternyata masih sepi. Ibunya mungkin belum pulang, Jimin juga sepertinya ada di kamar karena Ara tadi mendengar suara tawa kakaknya. Entah sedang bicara dengan siapa.
Mengembuskan napas besar, Ara yang telah berganti pakaian dengan baju rumah segera membawa kotak hadiah berisi hoodie itu ke kamar kakaknya. Ia mengetuk pintu dua kali dengan cukup keras.
"Oppa, ini aku! Boleh aku masuk?"
"Masuklah, Oppa tidak mengunci pintunya!" sahut Jimin dari dalam kamar, dan Ara menurut untuk langsung membukanya.
Jimin ada di depan meja belajarnya dengan laptop yang menyala. Sepertinya sedang sibuk melakukan panggila video dengan seseorang, Ara tak bisa melihat jelas karena terhalang tubuh kakaknya.
"Kau sudah lebih baik?" tanya Jimin dan Ara menggangguk.
"Mn ... Oppa, untuk sikap dan perkataan kerasku tadi, aku minta maaf." Ara mengulurkan kotak itu pada Jimin. "Ini untukmu, hadiah selamat datang. Maaf terlambat. Aku lupa memberikannya pada Oppa kemarin."
Jimin tersenyum dan menerima kotak hadiah itu lalu mengusak lembut pucuk kepala sang adik, meletakkan kotak itu di sisi tubuhnya.
"Kemarilah, Oppa kenalkan pada kekasih Oppa, dia sangat ingin melihatmu."
Shibal saekiya! batin Ara murka!
Tanpa basa basi ia segera berbalik untuk meninggalkan kamar Jimin. Ia benci, kesal, marah pada siluman rubah yang telah mencuri cinta dan kasih sayang oppa-nya. Berarti yang ia dengar tadi adalah tawa Jimin dengan kekasihnya. Huh, mati saja! Ara kembali ke kamar dan menutup pintunya dengan bantingan yang lebih keras.
Jimin yang bingung dengan kelakuan sang adik, lambat paham situasi. Ia justru termangu karena sikap adiknya yang berbeda. Ara adalah adiknya yang manis dan baik. Ia yakin sikapnya tak pernah seburuk itu bahkan sampai dua kali membanting pintu dalam sehari. Lim Ara-nya juga akan sangat senang ketika ia mengenalkan pada teman-temannya dulu. Gadis itu akan tersenyum lebar dan bersikap manis, lalu kenapa Ara-nya berubah sekarang. Kenapa ia terlihat aneh sejak ia kembali? Apa dirinya benar-benar sudah menorehkan luka lain pada sang adik tanpa ia sadari? Apa kepergiannya membawa dampak lebih buruk pada Ara. Apa ia salah?
Semua pertanyaan dalam otaknya itu buyar saat suara sang kekasih terdengar memanggil.
"Jimin-ie, kau kenapa? Tadi berbicara dengan siapa?"
"Ah, tidak apa-apa. Itu tadi Ara, adikku sepertinya sedang tidak baik-baik saja. Dia terus terlihat tak senang seharian ini. Mungkin karena aku tadi memarahinya."
"Hei, kau tidak boleh terlalu keras padanya. Rata-rata gadis pada usia segitu mereka sedang dalam proses mencari jati diri. Ia bisa marah bahkan dengan hal sepele sekali pun jika itu tidak sesuai dengan kehendaknya."
"Begitu? Tapi aku dulu tak seperti itu."
"Jangan menyamakan dirimu dengan orang lain. Kau 'kan, bukan manusia."
"Lalu kalau aku bukan manusia, lalu apa? Hantu? Vampire?" tanya Jimin lalu terkekeh.
"Kau kan Malaikat. Malaikat yang baik."
Jimin berdecak dan tak bisa menyembunyikan senyuman lebarnya. Ia bahkan menutup wajahnya dengan satu tangan karena malu. "Hei, aku tak sebaik itu."
"Kau baik, sungguh! Yak, jangan tutup wajahmu. Apa kau malu? Hm? Ah manis sekali. Jimin-ie yang malu benar-benar manis."
"Haish, berhentilah menggodaku dan cepat pulang ke Korea agar kita cepat menikah. Aku akan mengenalkanmu pada ibu dan adikku."
"Segera setelah pekerjaanku selesai, oke?" ujar wanita cantik di layar laptop milik Jimin. "Lalu bagaimana wawancara kerjamu tadi?"
"Sangat baik, aku hanya perlu menunggu kabar lagi dari perusahaan itu."
"Ya sudah, aku akan mematikan panggilan sekarang. Jika waktumu luang, jangan lupa untuk menghubungi aku lagi, oke?"
"Hm. Jaga kesehatan, Jagiya. Saranghae."
"Nado saranghae, Jimin-ie. Dah."
Jimin tersenyum dan melambaikan tangan, menatap layar laptopnya yang kini kembali ke layar utama. Lama ia memandang layar, tapi sebenarnya ia tengah merenung tentang perubahan sikap sang adik. Pria itu sebenarnya pribadi yang cukup peka, dan perubahan sikap Ara dimulai sejak ia mengatakan sudah punya kekasih kemarin. Karena sebelum itu, Ara bahkan masih sangat ceria dan manja dengan meminta digendong.
"Apa Ara cemburu?" monolog Jimin lalu mengambil kotak hadiah dari Ara dan membukanya. Sebuah hoodie dengan gambar tak lengkap seperti terpotong separuh. "Apa ini hoodie pasangan?"
Jimin berdiri dan meletakkan hoodie itu di atas ranjang, menatapnya lama. Pria dua puluh lima tahun ini tengah memikirkan banyak hal, ini dan itu.
Sampai kemudian ia mengembuskan napas panjang dan segera ke luar dari dalam kamarnya untuk ke kamar Ara. Ia mengetuk pintu dua kali dengan irama pelan.
"Ra-ya, Oppa masuk ya?"
Tak ada jawaban, Jimin mencoba memutar kenop dan pintu terbuka. Adiknya tak mengunci pintu seperti tadi siang.
"Ra-ya, sedang apa?" tanya Jimin mendekat ke meja belajar di mana Ara berada.
"Belajar," jawab Ara bohong. Karena jangankan untuk belajar, ia saja sampai melupakan makan siang dan ponselnya yang masih belum ia isi daya. Ah, gara-gara siluman rubah sialan itu, dia jadi berantakan begini. Ia tadi sebenarnya sedang merengut memukuli bantal dan begitu suara ketukan pintu terdengar, ia segera melompar dari ranjang dan pura-pura belajar.
Jimin yang mendengar nada suara adiknya yang tak bersahabat segera mengusap rambut Ara dengan sayang. "Apa kau marah pada Oppa?"
"Tidak!"
Benar kok, Ara tak marah dan tak akan bisa marah pada Jimin. Dia tidak berbohong untuk itu.
"Lalu kenapa sikapmu berbeda?"
"Apa yang berbeda. Kita sudah tiga tahun tidak bertemu, dan aku sudah beranjak dewasa. Mungkin Oppa yang terlalu menganggapku anak kecil, jadi setiap aku bicara, Oppa merasa nada suaraku tidak sama seperti dulu."
Jimin menatap adiknya lama lalu mengangguk. Ia mengusap pipi seputih susu Ara dan tersenyum. "Ya. Mungkin Oppa yang lupa kalau adik Oppa ini sudah tumbuh lebih besar, cantik lagi. Lalu kenapa tadi tiba-tiba pergi saat akan Oppa kenalkan pada kekasih Oppa?"
Mati kau, Lim Ara! Bagaimana kau menjawab yang satu ini, hah?! Gadis bodoh! Setidaknya tahan amarahmu jika tak mau ketahuan!
Melihat adiknya melebarkan mata, tapi tak bisa menjawab membuat Jimin tertawa dan mengusak rambut adiknya gemas. "Astaga, apa Princess kesayangan Oppa ini cemburu?"
Ara menahan napas karena merasa ketahuan. Jangan-jangan Jimin sudah bisa menebak perasaannya. Aduh, bagaimana ini. Apa kakaknya akan marah?
"Hei, dengarkan Oppa," ucap Jimin memutar tubuh Ara agar menghadapnya. "Princess, bagaimana pun sayangnya Oppa pada kekasih Oppa. Aku punya kasih sayang yang jaaauuuh lebih besar untukmu, mn? Oppa tak akan pernah mengabaikanmu meskipun sudah punya kekasih. Kau tak perlu cemburu atau merasa tersaingi, Ra-ya. Kau adik kesayangan Oppa dan selamanya akan begitu."
Ara merasa lega karena tak ketahuan, tapi juga patah hati di saat yang bersamaan. Hanya adik kesayangan, bukan wanita kesayangan dan itu selamanya katanya.
Apa yang coba kau impikan, Ara! Cintamu ini salah! Bagaimana kau bisa mencintai kakakmu sendiri dan berharap dia balas mencintaimu!
"Oppa, tolong peluk aku."
Jimin kembali tersenyum dan memeluk tubuh kecil adiknya dengan erat. "Maaf karena lambat menyadari kalau kau sangat takut kehilangan Oppa. Jadi sekarang jangan khawatir lagi ya. Oppa akan terus menyayangimu apa pun yang terjadi nanti."
"Mn. Aku juga sayang Oppa."
Bahwa sayang itu berbeda arti untuk keduanya. Ara sadar bahwa Jimin menyayangi dirinya sebagai adik, lalu bagaimana caranya mengembalikan rasa sayangnya seperti dulu? Seperti saat ia bisa menatap Jimin sebagai kakak yang baik dan bukan lelaki yang ia cintai?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro