106
130 vote
150 komen
Happy Reading
.
.
.
Bora menguap malas, menatap Yoongi dan Yuna bertengkar karena dirinya. Tadi siang ia dipanggil wali kelasnya, menanyakan tentang aduan Jessica yang mengatakan kalau dirinya merokok di kamar mandi. Bora tak bisa membantah karena memang ada satu bungkus rokok dan korek api yang ditemukan Na Ssaem di toilet. Belum lagi bau asap rokok yang membekas di seragamnya. Hal itulah yang menyebabkan Na Ssaem menelepon orang tuanya.
Bora tak peduli, bahkan ketika itu Jessica lagi yang mengganggunya. Bora juga tak merasa kesal.
Entah sejak kapan, ia tak menyadari bahwa segala sesuatu tak lagi menarik minatnya. Semua terasa biasa, bahkan Bora hampir tak merasakan emosi berlebihan terhadap apa pun, entah itu emosi sang ayah terhadap kenakalannya, atau tangisan sang ibu ketika terus dipanggil ke sekolah. Bora bahkan tak berminat ketika ditawari untuk tinggal bersama Yuna, pun sebenarnya tak mau juga jika harus pulang ke rumah kakek dan neneknya. Sungguh, Bora tak peduli.
Seperti saat ini, ketika orang tuanya bertengkar di area parkir karena ulahnya itu, Bora hanya berdiri malas, menyandarkan punggungnya pada mobil sang ayah.
"Haruskah kita terus bertengkar di sini?" tanya Yuna mulai lelah. Area parkir sekolah Bora memang sepi, tapi ini tetaplah tempat umum dimana tak selayaknya pertengkaran terjadi.
"Apa kita harus bertengkar jika kau bisa mendidik putrimu dengan benar?"
Yuna mendesau tak percaya, agaknya ia mulai lelah dengan sikap Yoongi yang terus saja menyalahkan dirinya. "Apa dia hanya putriku, eoh?! Apa aku satu-satunya orang tua Bora di sini?! Bukankah dia tinggal denganmu? Bukankah aku sudah sering memintamu memantau Bora di rumah saat pertama kali Bora membolos? Sekarang kau menyalahkanku atas keteledoranmu itu?"
"Kau tahu aku sibuk, Na-ya. Bagaimana bisa aku mengontrol Bora. Kau yang lebih punya banyak waktu, harusnya kau yang mengurus Bora lebih banyak!"
Yoongi dan Yuna memang tidak saling berteriak, tetapi nada suara mereka penuh penekanan. Menjadi sarana keduanya dalam mengeluarkan penat berlebih karena tingkah Bora yang kini harus di skors selama satu bulan. Beruntung Yoongi adalah bagian dari donatur terbesar, jika tidak, Bora mungkin harus mencari sekolah baru yang mau menerima anak nakal.
"Bagaimana caraku menjaga Bora jika dia lebih memilih tinggal di rumah orang tuamu! Tidak mungkin bagiku untuk tiba-tiba datang dan pergi sesukaku demi memantaunya di luar sekolah! Aku juga punya Junkyu yang butuh perhatian. Hari ini bahkan aku harus meninggalkannya di daycare padahal dia sedang demam!" Yuna bisa merasakan darah naik semua ke kepalanya. Napasnya tersengal, yakin jika raut wajahnya sudah terlihat merah padam.
"Jadi kau beralasan karena Junkyu? Lalu bagaimana dengan Bora? Sejak kecil dia tak pernah mendapatkan perhatian dan kehadiranmu. Apa kau tidak merasa bersalah karena telah meninggalkannya selama bertahun-tahun?!"
"Kau kira karena siapa aku harus pergi meninggalkan anakku, Yoon? Itu karena ulah licik ibumu?!" pekik Yuna hampir berteriak.
"Jaga kata-katamu, Na-ya. Bora ada di sini." Yoongi mengingatkan, sementara Bora yang mendengarkan fakta baru itu hanya mendengkus remeh, tak terlihat terkejut atau antusias untuk mengetahui lebih jauh.
"Menjaga kata-kataku? Haruskah aku katakan kau lebih mementingkan Ara dari pada mengurus Bora?! Kau kira aku tidak tahu waktumu habis untuk mencari Ara, eoh?!"
Yoongi memicing sengit, berusaha menahan tangannya yang terasa ingin menghancurkan Yuna saat ini. "Kau! Jangan melewati batasmu, Na-ya!"
Yuna terkekeh remeh, mengusak rambutnya ke belakang. "Aku diam selama ini, Yoon. Aku berusaha keras membagi waktu untuk Bora dan Junkyu. Aku terus membujuknya untuk tinggal di rumahku, tapi apa? Dia bilang ingin bersama Appa-nya. Lalu aku bisa apa, hah?! Setiap hari aku selalu memastikan apa dia sudah makan, apa dia sudah belajar, apa dia nyaman di sekolah hari ini. Meskipun hanya lewat panggilan telepon, tapi aku tidak pernah melewatkan tugasku sebagai ibunya. Kau tak perlu mengingatkanku akan rasa bersalah, karena aku tahu itu dengan baik, tapi kau?! Apa kau melakukan apa yang aku lakukan. Sejak Ara pergi enam bulan yang lalu, dari seratus delapan puluh hari waktumu, berapa menit yang kau habiskan dengan Bora?! Kau kira Bora tidak pernah mengeluhkan dirimu yang selalu saja sibuk mencari Ara? Kau kira dia tidak kesepian di rumah, eoh?!"
Bora menunduk, kali ini ada serpihan kesedihan yang mencubit hatinya. Benar bahwa ia merindukan perhatian ayahnya, tetapi dia juga butuh ibunya. Bora selalu mencoba mengerti semua orang, berusaha tak mengeluhkan apa pun, dan justru ayah dan ibunya kini saling melemparkan kesalahan di depan matanya.
Bora merasa menjadi beban, tak diharapkan dan mungkin lebih baik menghilang. Agar ibu kandungnya itu bisa fokus menjaga Junkyu, dan ayahnya bisa segera menemukan Ara Eomma-nya.
Bora menghela napas besar, membiarkan kedua orang tuanya terus berdebat. Ia lebih memilih melangkah menjauh, pergi dari area sekolah, toh dia diskors selama satu bulan. Bukannya merasa sedih, Bora merasa senang, dia bisa bermain dengan Lee An dan teman-temannya.
Ketika ia akan mencapai gerbang sekolah, Jessica menghalangi jalan, berdiri tepat di hadapannya.
"Kau mau kemana?" tanya Jessica penuh selidik.
"Aku tidak ingat kita pernah sedekat itu untuk saling menanyakan satu sama lain?" sarkas Bora, memandang Jessica tak senang. "Oh, aku lupa. Terima kasih karena sudah mengadu. Aku punya waktu satu bulan untuk puas bermain."
"Bora-ya. Kau punya banyak teman, kenapa kau berteman dengan anak nakal."
Bora sedikit membutuhkan waktu untuk mengerti ucapan Jessica. Ia bisa menebak Jessica tahu dia punya teman-teman di luar area sekolah, tapi dia tidak berminat untuk bertanya dari mana Jessica tahu.
"Apa kau tidak lelah ikut campur dan mengomentariku? Jessica, jika kau iri maka diam saja, lampaui aku dengan usahamu, bukan bersikap menjengkelkan seperti ini."
"Aku mengatakan ini karena khawatir denganmu, bodoh! Kau tidak seharusnya berteman dengan murid dari SMA itu! Mereka itu anak-anak nakal."
Bora mendengus, mendorong bahu Jessica sampai temannya itu mundur beberapa langkah. "Pergilah! Aku muak denganmu!"
====
"Oppa!"
Akhirnya yang ditunggu datang. Ara berjalan mendekat ke arahnya dengan Hyunjin yang lebih mirip ninja karena pakaian yang hampir menutup seluruh tubuhnya. Jimin bahkan was-was karena topi yang dikenakan Hyunjin turun sampai ke bibir. Apa dia bisa berjalan dengan benar?
Ara memeluk Jimin sebentar. "Aku merindukan Oppa!"
"Oppa juga merindukanmu, Yeong-ie."
"Mn, permisi, bisakah kita langsung ke mobil?" bisik Hyunjin. "Jika ada yang sampai tahu Oh Hyunjin di bandara bersama seorang gadis, itu akan menjadi berita yang menyebalkan."
Ara mendengkus, tetapi tetap menurut untuk segera keluar area bandara. Jimin mengambil mobilnya lebih dulu, sementara Ara menunggu di sisi luar bandara bersama Hyunjin. Sebenarnya hanya Ara yang akan pulang ke Korea, berniat mengunjungi Jimin dan Bora, tetapi karena Hyunjin mendapat jatah libur satu minggu, akhirnya ia ikut pulang karena Sunny dan Haru sudah ada di Korea sejak beberapa hari yang lalu. Rumah orang tua Sunny katanya akan dijual, jadi Sunny terpaksa harus pulang sendirian karena jadwal syuting Hyunjin padat sekali.
"Oppa, wajahmu kenapa cemas begitu?" tanya Ara ketika memperhatikan ekspresi sang kakak yang sejak tadi lebih banyak diam saat menyetir, "Apa ada masalah?"
"Junkyu sedang demam, dia ada di daycare sekarang. Aku harus menjemputnya segera."
"Hyung, jika seperti itu padahal kau tidak perlu memaksa menjemput kami. Aku dan Ayeong bisa memesan taksi untuk ke apartemenmu." Hyunjin turut berkomentar, melepaskan topi dan jaket tebalnya. Udara cukup gerah baginya, mungkin akan segera turun hujan.
"Tidak apa-apa. Aku harus menjemput adikku, memastikan dia selamat sampai di apartemen."
Ara memandang heran. "Memang Yuna Eonnie kemana?" tanyanya.
"Tadi dapat panggilan dari sekolah Bora. Katanya Bora ketahuan merokok di area sekolah."
"HAH?!" Ara memekik, antara tidak percaya atau pendengarannya yang bermasalah. Ia bahkan sampai menoleh ke belakang, meminta pendapat pada Hyunjin lewat tatapan matanya, apa dia mendengar dengan benar.
"Hyung, bagaimana mungkin?" Hyunjin merespons lebih dulu, sementara Ara masih mencoba mengembalikan kesadarannya karena benar-benar terkejut.
Jimin menghela napas panjang lebih dulu sebelum menjawab. "Aku tidak tahu sejak kapan, tetapi awalnya Yuna terus mendapat pemberitahuan dari wali kelasnya, jika nilai Bora turun drastis dan kadang susah berkonsentrasi. Gurunya bilang, agar orang tuanya lebih memperhatikan Bora, siapa tahu dia mendapat masalah dengan teman-temannya atau ada masalah di rumah. Namun, hampir dua minggu ini Bora terus membuat masalah yang lebih serius. Awalnya membolos sehari, tetapi menjadi semakin sering, dan akhirnya Yuna di panggil ke sekolah karena Bora tak mau mengikuti pelajaran dengan benar. Jika tidak tidur, maka dia akan bermain game saat jam pelajaran. Yuna kesulitan mengawasi Bora kerena anak itu memilih tinggal di rumah orang tua Yoongi. Yuna merasa tak benar jika dia harus keluar masuk sembarangan ke rumah orang tua Yoongi demi mengawasi Bora."
Air mata Ara menetes bersamaan dengan cerita Jimin tentang perkembangan anaknya. "Jika seperti itu, kenapa Yuna Eonnie tidak meminta bantuan Yoongi Oppa untuk mengawasi Bora?"
"Sudah. Sejak wali kelas Bora mengatakan nilai Bora turun, Yuna terus menghubungi Yoongi, meminta tolong untuk mengawasi Bora selama di rumah. Juga ketika Bora pertama kali membolos, Yuna sudah memperingatkan dengan jelas agar Yoongi benar-benar mengawasi Bora dengan baik. Namun sikap Bora terus memburuk, puncaknya hari ini. Yuna bahkan terburu-buru pergi, saat dikabari wali kelasnya kalau dia merokok. Yuna ingin mendengar sendiri dari mulut Bora. Aku ingin mengantarnya, tetapi dia bilang lebih baik aku mengantar Junkyu ke daycare saja lalu menjemputmu."
Ara mengesat air matanya dengan tisu, merasa sedih dengan tumbuh kembang Bora yang justru memburuk. Ara merasa bersalah, harusnya ia tak pergi saat itu. Harusnya ia menunggu Bora sampai keluar dari kamar, bicara dengan baik dan mendengarkan keluh kesahnya, bukannya malah pergi tanpa memedulikan kondisi anaknya itu.
"Ini salahku," ujar Ara terisak.
Hyunjin menepuk puncak kepala Ara, menenangkan gadis itu. "Jangan menangis, tidak ada tembok untukmu bersandar."
Dengan emosi Ara memukul tangan Hyunjin yang duduk di belakang, memicing sengit karena kesal. "Bodoh!" makinya kesal.
"Maaf, aku hanya tidak suka kau menangis atau menyalahkan diri sendiri. Bora menjadi nakal pasti ada alasannya."
"Aku tahu!" sahut Ara masih kesal, tak terima suasana sedih dan perasaan bersalahnya pada Bora terganggu oleh tingkah iseng Hyunjin.
Sedang ribut berdua, ponsel Jimin berbunyi, Yuna yang menelepon.
"Yeoboseyeo."
"Oppa! Bora menghilang!" teriak Yuna panik.
"Bora hilang?!" Berganti Jimin yang panik, bahkan ia sampai harus menginjak pedal rem karena takut mobil yang dikendarainya oleng.
Ara dan Hyunjin saling berpandangan. Butuh waktu beberapa detik bagi keduanya untuk bisa memahami situasi. Lalu ketika akhirnya mereka berdua mengerti apa yang diteriakkan Jimin barusan, baik Ara dan Hyunjin seperti lupa bagaimana cara bernapas.
"JIN-AH, ANAKKU!"
=====
Ara tahu musim telah berganti, tapi dari sekian banyak musim, kenapa harus hujan deras yang terjadi disaat kondisi panik seperti saat ini?
Tiba di sekolah Bora, tanpa menunggu Jimin yang ingin memayungi dirinya, Ara segera berlari mendekat begitu melihat eksistensi Yoongi dan Yuna di teras sekolah. Tanpa basa-basi, Ara mencengkeram kerah kemeja Yoongi, berteriak keras mengalahkan suara hujan.
"KENAPA KAU MASIH DI SINI, EOH?! DIMANA ANAKKU?!"
Sejak melihat Ara mendekat, sebenarnya kesadaran Yoongi hampir hilang. Sosok yang dicarinya tiba-tiba datang, berlari lalu mencengkeram kemejanya. Yoongi bahkan tak bisa merasakan amarah ketika hatinya justru berbunga. Di tengah kepanikan atas Bora yang tiba-tiba menghilang, Yoongi mendapat anugerah besar dengan kembalinya Ara.
Hyunjin yang ikut keluar dari mobil, langsung menarik tubuh Ara agar menjauh dari Yoongi. Sikap Ara tak pantas karena ini masih area sekolah.
"Tenangkan dirimu, ini masih di sekolah!" tekan Hyunjin, memegang kedua bahu Ara dengan erat, hanya untuk mendapati wanita itu kembali menangis.
"Anakku hilang dan dia justru diam seperti orang bodoh di sini!" adu Ara jengkel. Merasa Yoongi benar-benar manusia paling bajingan di dunia ini.
"Aku sudah mengerahkan orang-orangku, sebentar lagi pasti ada kabar," ujar Yoongi, ingin mendekat, tetapi kakinya seolah dipaku ke lantai. Gerakannya begitu canggung, antara rasa bahagia bertemu Ara, juga kepanikan karena Bora, sungguh Yoongi bingung harus merasakan yang mana.
"Kenapa harus menyuruh orangmu?!" tanya Ara marah, menatap Yoongi dengan air mata berlinang. "Kau Appa-nya atau bukan, hah?! Harusnya kau gunakan kaki dan tanganmu sendiri untuk mencari Bora! Bukannya berdiam di sini sementara kita tidak tahu dimana Bora sekarang. Bagaimana kalau dia terluka, bagaimana kalau dia kehujanan!"
Hyunjin segera memeluk Ara dengan erat, tak membiarkan Ara lepas kendali. Hyunjin bahkan tak peduli saat Ara terus memberontak, juga tatapan tak suka Yoongi yang dilayangkan untuknya.
"Yeong-ie, tenanglah. Kau tidak akan menemukan Bora jika begini." Jimin mendekat, mengusap lembut punggung adiknya. Tak lama Yuna mendekati mereka, menunduk dan meminta maaf karena merasa bersalah.
"Maafkan aku. Ini salahku." Yuna benar-benar menyesal telah terpancing emosi karena ucapan Yoongi. Harusnya sebagai seorang ibu, ia mendahulukan Bora lebih dulu, bicara dari hati ke hati kenapa anaknya berubah. Namun, semalaman dia tidak tidur karena Junkyu sakit, rewel dan sulit tidur. Secara fisik Yuna kelelahan, secara batin Yuna terluka karena merasa gagal menjaga Bora.
Jimin mengusap lembut rambut istrinya, mengangguk menenangkan. "Sudahlah. Jangan menyalahkan satu sama lain. Saat ini kita harus cepat mencari Bora."
Ara yang tengah menangis di dekapan Hyunjin tiba-tiba menghentikan tangisannya. Memaksa melepaskan diri dari pelukan Hyunjin. Ia mendongak, mengesat kasar air matanya yang terus saja mengalir.
"Oppa benar. Aku harus cepat mencari Bora. Dia pasti sedang tidak baik-baik saja sekarang." Ara segera berlari, terlambat bagi Hyunjin menghalangi.
Ara berlari dengan gesit, tetapi ketika akan mencapai ujung koridor teras itu, seorang murid mencegatnya, menghalangi jalan Ara.
"Kau Jessica kan?" tanya Ara memastikan.
"Ya, Aunty."
"Tolong minggirlah, aku harus mencari Bora." Ara berujar tak tenang, apalagi Hyunjin tiba-tiba saja sudah ada di belakangnya. Ara tak mau dihalangi siapapun.
"Aunty, a-aku mungkin tahu dimana Bora sekarang, t-tapi aku juga tidak terlalu yakin."
"Katakan!" ujar Ara, menggoyang kasar bahu Jessica, membuat gadis kecil itu merasa ketakutan dan Hyunjin segera menarik Ara menjauh darinya.
"Jaga sikapmu, dia masih anak-anak." Hyunjin mengingatkan, dan Ara pun perlahan mengerti.
"Maafkan, Aunty. Katakan saja kau tahu Bora ada dimana sekarang."
Jessica meremas ujung seragamnya, takut untuk bicara. "Jika nanti dia tidak di sana, apa Aunty akan memarahiku?"
"Tidak. Aunty berjanji tidak akan memarahimu. Dari pada Aunty hanya diam saja seperti orang dungu, lebih baik Aunty segera mencarinya. Katakan Jessica, dimana Bora."
Jessica berbalik badan, berjalan paling depan lalu menunjuk ujung jalan sekolahnya. "Di samping toko roti itu, ada gang kecil Aunty. Aku pernah melihat Ara dibonceng murid SMA masuk ke dalam gang itu."
"SMA?" ucap Ara dan Hyunjin bersamaan. Ara tak habisa pikir bagaimana Bora bosa berhubungan dengan anak SMA.
Ara menggelengkan kepala agar tetap fokus, tak mau memikirkan apapun selain menemukan anaknya. Ia akan berlari, tetapi Jimin menahan lengannya.
"Oppa, aku harus menemukan Bora!"
"Hujan terlalu besar Yeong-ie. Biar aku yang mencarinya." Jimin memberi saran, tetapi Ara terlalu keras kepala.
"Hujan sangat deras, Queen. Jimin benar, biar aku yang mencarinya." Yoongi berujar, tetapi Ara merasa tak terima, melepas tangan Yoongi kasar.
"Jangan bodoh! Jalanmu saja masih belum benar!" ujar Jimin memperhatikan Yoongi yang masih memakai tongkat di tangannya, tetapi Ara terlalu tak peduli pada Yoongi, tak mau menatapnya sama sekali.
"Oppa, Junkyu sedang menunggumu dan Yuna Eonnie untuk menjemputnya. Kalian bisa mengurus Junkyu dulu, dia lebih membutuhkan kalian sekarang. Jika ada sesuatu, aku janji akan segera menghubungi Oppa dan Eonnie!" Ara melepaskan tangan kakaknya, berlari menerjang derasnya hujan. Dalam pikirannya toko roti itu tak terlalu jauh, akan lebih cepat jika dia berlari dari pada menunggu seseorang menyiapkan mobil.
Yoongi menggeleng tak percaya dengan kenekatan Ara. Dengan terseok-seok ia ikut berlari tak peduli jika kemeja dan jas mahalnya basah, bahkan ia melupakan jika kakinya belum sembuh sepenuhnya. Ara mungkin benar, harusnya dia bergerak cepat mencari Bora, bukannya diam menunggu seperti orang dungu.
Di belakangnya, Hyunjin ikut menyusul dan tidak berapa lama, Ara kini sudah sampai di depan toko roti. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan untuk mencari gang yang dimaksud Jessica. Dengan tak sabar, Ara langsung memacu larinya ketika menemukan gang yang dimaksud. Gang itu sempit, terbengkalai dan banyak sampah berserakan.
Dadanya mulai sesak, pandangannya juga kabur karena air hujan, tetapi Ara tak peduli, tetap berlari sampai dia menemukan gubuk kecil di ujung gang buntu itu.
Ara menghentikan langkah, terengah-engah mengatur napasnya. Ia jadi ragu, apa benar Bora ada di dalam sana?
"Kau mau masuk?" tanya Hyunjin dan Ara tak menunggu dua kali.
Ia segera mendekat, mendorong gubuk kecil itu sampai terbuka. Lalu alangkah terkejutnya Ara, ketika ia melihat Bora terbaring di sofa lusuh dalam keadaan tak sadarkan diri bersama seorang anak lelaki yang memakai seragam SMA. Ternyata Jessica benar.
"Kalian siapa?" tanya Lee An bingung.
Ara belum sempat bergerak ketika Yoongi lebih dulu mendekat, membanting anak lelaki itu dengan kasar sampai menghantam tembok.
"Apa yang kau lakukan pada anakku, hah?! Bajingan cilik! Berani sekali kau menculik anakku!"
Ara tak peduli pada Yoongi dan anak lelaki itu. Dia hanya peduli pada Bora yang bajunya basah dan bibirnya yang mulai membiru. Segera setelah ia mendekat, Ara menepuk pipi Bora, menguji kesadarannya.
"Bora-ya, bangun, Sayang." Ara terisak, mengamati setiap jengkal tubuh Bora. Apa ada yang terluka atau tidak, tetapi anaknya itu justru menggigil hebat, tubuhnya juga panas ketika Ara menyentuhnya.
Hyunjin masuk setelah memastikan tidak ada yang membuntuti dirinya. Namun, begitu dia masuk, pemandangan Yoongi yang tengah mencekik seorang anak lelaki membuatnya terkejut. Ia segera mendekat, melepas paksa cengkeraman Yoongi di leher Lee An. Biar hanya menggunakan satu tangan karena tangan Yoongi yang lain tengah memegang tongkat untuk menyangga tubuhnya, tetapi Hyunjin bisa melihat betapa kuat cekikan Yoongi pada Lee An.
"Menjauh darinya!" teriak Hyunjin memperingatkan, tetapi Yoongi justru memaksa merangsek maju, ingin menghajar anak lelaki yang disembunyikan Hyunjin di balik punggungnya.
"Minggir! Aku harus menghajar bocah sial itu! Gara-gara ulahnya Bora menjadi tak terkendali. Anak itu harus dimasukkan ke dalam penjara karena berani mengusik anakku!"
Hyunjin mendorong tubuh Yoongi, menjauh darinya dan Lee An. Tatapan Hyunjin mencemooh atas ucapan Yoongi barusan. Ia akan bicara ketika mendengar Lee An terbatuk di belakangnya. Ada rasa khawatir yang membuatnya menghela napas panjang.
Hyunjin kembali mendorong tubuh Yoongi, tetapi ia justru mendapat satu tinjuan di pipi kanan, membuatnya terdorong ke samping, tetapi masih gesit menarik tangan Lee An agar tak terkena pukulan Yoongi.
"Sial! Jangan ikut campur urusanku, berengsek!" murka Yoongi.
Hyunjin mengusap sudut bibirnya yang basah, dan benar saja, darah mengalir dari sana. Hyunjin berdecak tak senang, sebagai publik figur, wajah adalah aset berharga baginya. Hyunjin merasa kesal karena wajahnya pasti akan bengkak, sementara minggu depan dia harus melanjutkan syuting.
Hyunjin menatap Yoongi, memainkan lidah pada sudut bibirnya yang terasa kebas, mati rasa. Wajahnya terlihat menantang, tak lupa sergahan meremehkan.
"Tuan Min, betapa picik pikiranmu. Bora ada di sini saat ini, apa karena anak ini yang menculiknya, atau karena keteledoranmu hingga anakmu bisa kabur kemari? Bukankah ketika anak melakukan kesalahan, maka orang tualah yang harus dituding pertama kali? Lalu kenapa kau menyalahkan anak orang lain untuk membenarkan kelalaianmu sebagai orang tua?"
"Kau tidak berubah Oh Hyunjin. Masih banyak omong kosong dan tak masuk akal. Minggir, atau kuhajar kau sebagai ganti anak itu!" Yoongi memperingatkan, tetapi Hyunjin kukuh menghalangi Lee An dari jangkauan Yoongi.
Hal itu jelas membuat emosi Yoongi meledak. Akan bergerak maju ketika sebuah tangan menarik pundaknya, membuatnya menoleh hanya untuk mendapat satu tamparan keras di pipi. Ara yang melakukannya.
"Queen." Yoongi berbisik tak percaya.
Sedangkan Ara memicing sengit, mengepalkan tangannya kuat. "Jangan pernah berani menyakiti Hyunjin, Tuan Min yang terhormat. Kau semakin membuatku muak! Tidak bisakah kau mengurus Bora lebih dulu?! Bora tak sadarkan diri dan kau justru sibuk memamerkan emosimu?! Melihatmu yang seperti ini, aku tak lagi penasaran kenapa Bora bisa berubah."
Ara mendekati Bora lagi, memanggil Hyunjin mendekat. "Jin-ah, tolong aku membawa Bora ke rumah sakit."
Yoongi menunduk, hatinya terluka atas ucapan Ara. Namun, saat Hyunjin mendekati anaknya, Yoongi bergerak lebih dulu, menghalangi akses Hyunjin.
"Jangan mendekat," ujar Yoongi dingin. Ia lalu melepaskan tongkatnya, membiarkannya terjatuh dengan bunyi nyaring di lantai. Ia mengumpulkan semua kekuatannya dan segera menggendong Bora yang tengah tak sadarkan diri. Yoongi masih sempat menatap wajah membiru anaknya yang tubuhnya terasa panas, tetapi justru menggigil hebat. Kali ini emosi Yoongi hilang entah kemana. Berganti rasa bersalah yang membuatnya muak pada diri sendiri.
Bora-ya, bisakah kau memaafkan Appa?
Suara tongkat yang terjatuh menarik seluruh atensi Ara yang kini berdiri membeku. Sejak tadi ia begitu emosi, sangat marah pada Yoongi sampai tak memperhatikan jika lelaki itu masih memakai tongkat untuk berjalan. Ara bahkan tadi mengatainya dungu karena tak lekas mencari Bora dengan usahanya sendiri, padahal Yoongi memang dalam kondisi tak bisa bergerak terlalu banyak. Sudut hati Ara seperti baru dipukul batu besar, sakit sekali.
Terseok-seok karena jalannya tak bisa tegak, Yoongi membawa tubuh Bora untuk keluar dari gubuk itu, dan Ara yang melihat hal itu kembali meneteskan air mata.
"Apa yang sudah aku lakukan?" Bisiknya penuh penyesalan.
Ara menunduk, memungut tongkat pendek milik Yoongi, memeluknya erat di dada, dan segera menyusul Yoongi yang jaraknya sudah cukup jauh. Entah kekuatan dari mana, Yoongi mampu berjalan tanpa tongkat dengan Bora di gendongannya, tetap berusaha keras, sesekali seperti akan terjatuh ketika membawa anaknya keluar dari gang sempit di bawah guyuran derasnya hujan siang itu.
Ahjussi ... Maafkan aku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro