Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

104

Perkiraan akan tamat di part 111 ya

vote 130

komen 150

Sabar-sabar plis kalo masih butuh tissue 

.

.

.

Ara mengemasi semua barang bawaannya, memasukkan baju-baju miliknya ke dalam koper dan barang penting ke dalam tas besar. Ia hampir selesai, hanya tinggal menunggu laptopnya yang sedang di-charge agar baterainya penuh ketika Jimin mengetuk pintu kamar.

"Sudah selesai?" tanya Jimin mendekat.

Ara yang tengah duduk di sisi ranjang tersenyum, mengangguk membiarkan sang kakak duduk di sampingnya. "Sudah."

Jimin diam sebentar, membalas senyuman Ara, menatap adiknya dengan hati yang sedih. Jika bisa, Jimin sebenarnya tak mau jauh dengan Ara, tetapi melihat perkembangan Ara ketika di Korea, Jimin mengkhawatirkan banyak hal. Jimin takut jika Ara mulai luluh, tak ingin sampai adiknya itu terluka lagi.

"Oppa, aku baik-baik saja," ujar Ara lebih dulu, mengerti arti tatapan Jimin padanya.

"Meskipun kau berbohong saat ini, tetapi Oppa akan tetap percaya, Yeong-ie. Maafkan Oppa, sungguh Oppa hanya tak ingin kau terluka."

Ara tersenyum lembut, memeluk Jimin erat, menumpukan dagunya pada bahu Jimin. "Oppa aku tahu. Jangan merasa bersalah karena memintaku kembali ke Jepang sekarang. Sebenarnya aku memang harus kembali secepatnya. Terlalu lama berada di dekat dia dan Bora, harapanku untuk bahagia menjadi semakin tak terkendali. Obat penenang dari dokter Yoshinori juga sudah habis, aku harus kembali ke Kitashiobara."

Jimin tak melepaskan pelukan adiknya. Ia justru menghela napas panjang, merasa sedih atas kondisi Ara. "Kau pantas bahagia, Yeong-ie. Jangan terus merasa takut, mn?"

"Ya, tapi mungkin bukan saat ini. Aku masih sangat takut dengan harapanku sendiri, Oppa. Aku takut jika harapanku menjadi boomerang dan kembali terluka lagi. Aku sedih harus menjauh dari orang-orang yang aku sayangi, tetapi aku harus lebih dulu menyayangi diriku sendiri. Dokter Yoshinori bilang, aku tak perlu merasa bersalah karena harus meninggalkan masa laluku. Aku harus sembuh total jika ingin kembali pada orang-orang yang aku sayang."

Jimin melepaskan pelukan, tersenyum sedih pada adiknya. "Dokter Yoshinori benar, kau harus benar-benar sembuh, Yeong-ie. Jika nanti kau mampu menatap masa lalumu tanpa gemetar, pulanglah. Oppa sendiri yang akan menjemputmu."

"Terima kasih, Oppa."

"Ya." Jimin berdiri, hendak keluar dari kamar Ara ketika adiknya memanggil.

"Oppa."

"Ya?" jawab Jimin menunggu.

"Aku ingin pamit dengan benar pada Bora dan Yoongi Oppa. Bolehkah?" pinta Ara, tak melunturkan senyum tipisnya.

"Jika Oppa mengizinkan, bisakah kau berjanji untuk tidak berubah pikiran?"

"Oppa sangat mengkhawatirkanku rupanya," monolog Ara, menunduk sebentar lalu tertawa kecil. "Oppa, dua tahun pengobatanku tidak berakhir dengan sia-sia. Dokter Yoshinori akan sedih jika melihat Oppa sebegitu sangsi pada mentalku seperti ini."

"Aku bukan mengkhawatirkan mentalmu, Yeong-ie, tapi hatimu," jawab Jimin sendu. "Meskipun kita tidak sedarah, tapi kau tetaplah adikku. Kau sangat mudah terenyuh dan kasihan. Apalagi pada Bora, benarkan?"

Ara hanya melebarkan senyum ketika ketahuan, tetapi dia tak merasa sedih karena sikap lancang Jimin ini. "Oppa benar. Jika nanti aku berubah pikiran, Oppa bisa menyeretku pergi. Bagaimana?"

Jimin mengembuskan napas panjang, mengalah kali ini. "Baiklah. Oppa akan mengantarmu."

"Terima kasih, Oppa."

"Bersiaplah sekarang jika ingin pamit lebih dulu pada Bora dan Yoongi."

"Ya." Ara membiarkan Jimin keluar dari kamarnya, lalu senyumnya pudar ketika pintu tertutup.

Apa aku harus benar-benar pergi?

***

Bora baru saja pulang sekolah, dijemput Yuna dan Junkyu tadi. Bora tidak pulang ke apartemennya, selama Yoongi sakit, ia tinggal bersama Yuna di apartemen Jimin. Bora menolak tinggal bersama kakeknya, selain karena lebih senang tinggal bersama Yuna, jarak sekolahnya jauh lebih dekat jika ia tinggal di apartemen jauh alih-alih rumah besar kakek neneknya.

Kini, setelah mengganti baju, Bora sudah duduk rapi di kamar Ara, sendirian karena ibunya itu sedang ada di kamar mandi. Namun, ketika Bora melihat koper Ara ada di dekat ranjang, mau tak mau Bora mulai merasa ketakutan. Apa ibunya akan pergi lagi sekarang?

Ketika pintu kamar mandi terbuka, mata cantik Bora tak bisa lepas dari Ara. Seolah meminta jawaban dari pertanyaan yang ia dengungkan dalam hati. Sedangkan Ara yang baru selesai mandi, sedikit terkejut melihat Bora duduk diam sambil memandanginya.

"Oh, Sayang, kau sudah pulang? Bagaimana sekolahmu hari ini? Apa semua berjalan baik?"

Pertanyaan beruntun Ara tak dijawab oleh Bora. Gadis itu tak bisa menggerakkan lidahnya, kelu dan terasa mati rasa ke seluruh tubuh.

"Hei, kenapa?" tanya Ara mendekat, duduk tepat di samping Bora yang tak juga mau bicara. Ara menjadi cemas karenanya. "Apa ada yang nakal di sekolah? Atau ada guru yang memarahimu?"

"Eomma...." Bora ingin bicara, tetapi sulit sekali suaranya keluar.

"Kenapa Sayang?"

Bora tiba-tiba saja menubruk tubuhnya, memeluk Ara dengan erat, membuat Ara semakin cemas. "Hei, kau kenapa? Ada apa?"

"Jangan pergi," ujar Bora tercekat, tak bisa menyembunyikan gesture ketakutan.

Ara membuka mulut, terkejut akan respons Bora sekarang. Ini terlalu berlebihan. Tak apa jika Bora menahannya atau menangis, tetapi Bora yang terus menolak melepaskan pelukannya ini, badannya menggigil ketakutan. Ara tahu ada yang tidak beres dengan anaknya.

"Bora-ya," panggil Ara dengan nada ceria, berusaha melepaskan pelukan, tetapi Bora tiba-tiba memekik kecil.

"Eomma, jangan tinggalkan aku, kumohon!"

Ara memejamkan mata, menahan tangisannya. "Omo, uri Bora kenapa?"

Bora langsung melepaskan pelukan, tetapi tidak dengan tangan Ara. Bora menggenggam tangan Ara sebagai gantinya. "Eomma akan pergi kan?"

"Eomma sudah harus pulang, Sayang."

"Tidak! Eomma pasti mau menghilang lagi."

Ara pura-pura merengut sedih, membawa Bora kembali pada pelukan hangatnya. Ara mengusap lembut punggung sempit anaknya, menggoyangkan tubuhnya pelan, membuai Bora dalam kehangatan yang lama tak ia rasakan. "Bora-ya, kau tahu kan Eomma sedang kuliah. Ini sudah satu bulan, dan sudah waktunya Eomma untuk kembali kuliah. Belum lagi Eomma harus menyelesaikan sekuel Ahjussi's Queen, itu membutuhkan semua fokus Eomma."

"Tidak bisakah Eomma kuliah di sini saja? Aku tidak mau Eomma pergi."

"Eomma ingin saja, tetapi teman-teman Eomma ada di Jepang semua. Jika harus berpindah, bukankah itu sedikit menjengkelkan?" tanya Ara sehalus mungkin.

Bora mulai luluh, memikirkan jika dirinya sendiri harus pindah sekolah, pasti sangat menyebalkan. "Eomma, dulu kau berjanji untuk kembali pulang, tapi Eomma tak juga pulang. Eomma hanya singgah sebentar, itu pun hanya mengantarku pulang dan karena Appa mengalami kecelakaan. Eomma, kapan Eomma akan benar-benar pulang?"

Oh, Tuhan! Sudut hati Ara seperti dicubit rasanya. Anaknya menanyakan janji yang ia buat dulu, yang entah kapan bisa ia tepati. Ara melepaskan pelukan, mencium seluruh wajah Bora, mencoba memberikan semua afeksi sayangnya.

"Nanti ya. Sekarang Eomma masih harus menyelesaikan kuliah dan buku Eomma dulu di Jepang."

Bora menunduk, tak mau menatap ibunya. "Apa Eomma sangat membenci aku dan Appa?"

Ara mengerutkan kening, terkejut dengan pemikiran Bora. Tangannya terulur, menaikkan dagu Bora agar mau menatapnya. Ara bisa melihat pipi itu sudah basah, Bora menangis tanpa suara. Ara mengesat air mata Bora, lalu mencium kedua pipinya.

"Kenapa berpikir begitu, Eomma tidak membenci kalian."

"Tapi waktu itu, Jimin Samchon bilang, Eomma menghilang karena Appa. Eomma, jika Appa sangat nakal, bisakah Eomma memaafkan Appa?" pinta Bora sedih.

"Itu sudah lama berlalu, Bora-ya. Eomma sudah memaafkan Appa."

"Jika sudah, bisakah Eomma kembali bersama dengan aku dan Appa. Apa Eomma tidak merindukan kami?"

Ara menggigit bibir bawahnya. Tak mungkin ia menjabarkan kondisi hatinya atau masalah apa yang telah dibuat Yoongi hingga mereka harus berpisah. Dari mata Bora, Ara menyadari sesuatu. Lebih dari dirinya dan Yoongi, dampak besar telah menekan Bora sedemikian rupa. Anaknya ini mungkin tidak menyadari jika masa kecilnya terganggu.

"Bora-ya, kau mulai besar, mulai mengerti banyak hal. Sayang, kau tahu kan Appa dan Eomma sudah berpisah?" tanya Ara hati-hati, dan Bora mengangguk kecil, Ara melanjutkan ucapannya.

"Sayang, hubungan Appa dan Eomma sudah berakhir. Eomma pergi karena memang sudah seharusnya pasangan yang telah berpisah tak lagi bersama dalam satu rumah. Eomma tak ingin kembali pada Appa, tetapi bukan berarti Eomma membenci Appa atau dirimu, yang berakhir adalah hubungan Appa dan Eomma, bukan hubungan Eomma denganmu. Kau tetap anak Eomma, rubah kecil kesayangan Eomma. Sampai kapanpun, aku adalah Eomma-mu. Apa kau bisa mengerti?"

Butuh beberapa detik ketika akhirnya Bora mengangguk, terlihat sekali raut kecewa di wajah gadis itu. "Jadi Eomma akan pergi?"

"Maafkan Eomma," sesal Ara.

"Jika Eomma pergi, apa akan lama lagi? Saat itu, jika aku tak menemukan Eomma bersembunyi di balik nama Akio, pasti Eomma tak akan pernah mencariku kan?" Bora tersenyum ketika bertanya, tetapi Ara tercenung melihat mata Bora terlihat tidak fokus, terkesan menghindari sesuatu yang entah apa.

"Eomma tidak berniat bersembunyi darimu, Sayang." Ara mengusap lembut pipi anaknya, tetapi Bora segera menurunkan tangan Ara dari pipinya.

"Jadi Eomma tak pernah menemuiku karena aku anak Appa ya?" tebak Bora yang membuat Ara panik.

"T-tidak, bukan seperti itu."

"Eomma, aku tahu kau bukan ibu kandungku, tetapi aku sangat menyayangimu. Aku selalu belajar dengan tekun, makan dengan baik apa pun yang disiapkan Yuna Eomma atau Go Imo. Eomma, aku melakukan apa yang Eomma minta, tetapi Eomma melupakan janjimu untuk pulang. Setiap hari aku selalu menangis karena merindukanmu, tetapi Eomma bahkan tak mau repot menelepon atau sekadar bertanya kabarku. Sekali, bahkan sekali saja Eomma tak pernah menghubungiku."

Bora terisak, menunduk dan melepaskan tangan Ara yang kini dipenuhi rasa bersalah.

"Aku tidak tahu apa kesalahan Appa. Aku tidak tahu alasan apa yang membuat kalian harus berpisah. Aku juga tidak mengerti kenapa Eomma harus pergi jauh dan menghilang selama ini. Appa, Eomma, Yuna Eomma, kalian punya kehidupan masing-masing sekarang. Aku kadang merasa sepi, terasingkan karena dipaksa mengerti keadaan kalian. Eomma ... jika Eomma memang ingin pergi, maka pergilah. Aku tak apa." Bora bangkit berdiri, mengesat air matanya.

Sejak tadi Ara telah menangis, tak mau sekadar menjawab kalimat sang putri yang kini tumbuh penuh luka di hatinya. Ara mengakui kesalahannya, dia kira tak apa jika dirinya tak menemui Bora, berpikir jika Yuna telah kembali, maka Bora tak akan kehilangan figur seorang ibu, tetapi dia salah! Dia meragukan kasih sayang Bora, hal itu pasti membuat luka di hati anaknya.

"Sayang, maafkan Eomma."

Bora hanya tersenyum sedih, tak menjawab apa pun dan memilih keluar dari kamar Ara. Bahkan ketika lengannya ditahan, Bora melepaskan tangan ibunya itu, kembali melangkah untuk masuk ke dalam kamarnya sendiri, menguncinya dari dalam.

"Bora-ya," panggil Ara, mengetuk pintu kamar anaknya. "Tolong buka pintunya, Sayang."

"Eomma, aku lelah sekali, aku ingin tidur. Jangan menunda kepergianmu karena aku. Kau akan ketinggalan pesawat nanti. Hati-hati di jalan." Tanpa membuka pintu, Bora bicara dari dalam kamarnya, tak mau bertatap muka lagi dengan Ara. Hatinya terluka, kecewa begitu dalam entah karena apa atau siapa.

Ara jatuh terduduk di depan pintu Bora, memejamkan mata bersamaan dengan helaan napas panjang. Ara terlambat mengerti perasaan Bora, dan kini akan semakin terlambat karena Jimin telah berdiri menjulang di depannya.

"Oppa tidak perlu menyeretmu, kan?"

Bora-ya, maafkan Eomma, Sayang.

=============

Sepanjang jalan menuju rumah sakit bersama Jimin, Ara melamun. Pikirannya tak fokus, alasannya apa lagi jika bukan karena Bora, bahkan saat ia pamit tapi Bora tetap menolak untuk membuka pintu kamarnya. Ara sedih karena hal itu, sangat. Namun, lebih dari rasa sedih, Ara merasa bersalah sekaligus khawatir pada kesehatan mental Bora yang sepertinya tak baik.

Tadi, saat Ara pamit pada Yuna, meminta dengan halus agar Yuna meluangkan waktu untuk membawa Bora ke psikiater, kakak iparnya tertawa kecil, mencubit hidungnya. Yuna bilang Ara terlalu berlebihan, Bora baik-baik saja, anak itu mungkin tak mau membuka pintu karena terlalu sedih karena harus berpisah lagi dengannya. Yuna juga bilang, selama ini Bora tak menunjukkan gejala apa pun, dan Ara akhirnya harus mengiyakan.

Ara merasa tak benar jika meragukan kesimpulan Yuna karena bukan Ara yang selama ini menemani Bora. Namun, meskipun demikian, Ara tak bisa berhenti merasa khawatir.

"Oppa," panggilnya pada Jimin yang berjalan di sampingnya, melalui lorong dari meja resepsionis menuju ruangan VIP Yoongi.

"Ya?"

"Eum, aku hanya khawatir karena meninggalkan Bora dalam keadaan yang tidak baik. Bisakah Oppa memastikan bahwa dia baik-baik saja nanti? Tolong segera hubungi aku, ya?" pinta Ara, dan Jimin mengangguk menyanggupi.

"Tentu, Oppa akan mengabarimu begitu Oppa memastikannya baik. Kau tidak perlu khawatir, Ra-ya. Yuna benar, mungkin kau terlalu sedih karena respons Bora terlalu berlebihan. Selama ini Bora selalu terlihat bahagia, bertemu denganmu lalu berpisah lagi, mungkin membuatnya mengalami waktu yang buruk. Aku akan meminta Yuna untuk memastikan Bora tak berlarut-larut dalam kesedihan."

Mendapat janji seperti itu, Ara merasa lebih tenang. Ia segera membuka pintu ruang rawat Yoongi, tetapi berhenti karena kakaknya justru memilih duduk di depan ruangan.

"Oppa tidak ikut masuk?" tanya Ara bingung.

Jimin menunjuk apa yang ditenteng Ara, masakan yang sudah disiapkan adiknya sejak pagi, khusus untuk Yoongi. "Kau mungkin butuh waktu berdua. Jangan terlalu lama, Oppa akan menunggumu di sini."

Ara hanya mengangguk, masuk ke dalam ruang rawat Yoongi dengan senyum tipis yang ia pamerkan. Bunyi sol sepatunya tidak begitu keras, tetapi mampu membuat dua pria di dalam ruangan mengalihkan atensi padanya.

"Omo peach berenda!" teriak Yuta yang langsung terkena pukulan Yoongi.

"Sampai kapan kau akan terus memanggilnya seperti itu, hah! Benar-benar seperti orang mesum!" maki Yoongi, tetapi Yuta hanya tertawa.

"Mau bagaimana, peach berenda tidak bisa lepas dari otakku. Hehe."

Ara mendekat, menggeleng pasrah pada kelakuan Yuta yang tidak pernah berubah. "Oppa, apa kabar?"

"Baik," jawab Yuta cepat. "Yoongi Hyung bilang kau ada di sini sejak tiga minggu yang lalu. Tahu begitu, lebih baik aku kemari lebih sering dari pada pusing membantu pekerjaan Yoongi Hyung di kantor."

"Memang kemari mau apa? Mengganggu Ara?" tanya Yoongi sinis.

Yuta menjentikkan jarinya ringan. "Kau memang pandai membaca isi pikiranku, Hyung."

"Kau mau mati, eoh?!" teriak Yoongi dan Yuta malah tertawa senang, menjauhkan badan karena Yoongi mau memukulnya lagi.

"Haha, kau bahkan tidak bisa menggerakkan kakimu, Hyung. Jangan banyak bergerak, diam saja di atas ranjang. Ara sedang menyiapkan sesuatu untukku," ujar Yuta ketika melihat Ara membuka kotak makanan yang sejak tadi dia pegang, tetapi Yoongi segera menyalak tak terima.

"Yak! Itu untukku, tau!" teriak Yoongi ketika melihat Ara membuatkannya bulgogi. Yoongi tersenyum senang karena Ara memenuhi keinginannya.

Yuta mendekat, menatap Yoongi dan bulgogi itu bergantian. Yuta bahkan mendesis, menampilkan raut berpikir yang serius. "Hyung."

"Apa?"

"Kau tidak takut?"

Yoongi mengerutkan kening tak mengerti. "Takut kenapa?"

"Ah, kau benar-benar dimabuk cinta, tapi Hyung, apa kau tidak pernah mendengar, sakit hati membawa racun mematikan. Aku hanya berpikir, racun apa yang dicampur Ara dalam bulgogi itu." Yuta bicara omong kosong, tertawa keras ketika Yoongi terpancing emosi dan melempar bantal padanya.

"Keluar!" teriak Yoongi yang langsung dipukul Ara. Ekspresi marahnya seketika berubah, dan Yuta semakin tertawa karenanya.

"Apa kau tidak lelah berteriak?" tanya Ara.

"Maaf."

Yuta kembali terpingkal, mendekati Ara untuk mencomot satu daging sapi berbumbu itu, tak peduli ketika Yoongi kembali menyalak tak terima.

"Aku akan keluar, kalian bisa habiskan waktu berdua, tapi Hyung, jika kau merasa ada pahit dalam salah satu daging yang kau kunyah, kau harus segera memuntahkannya, atau surga akan menantimu. Haha."

Yuta benar-benar definisi cobaan hidup yang sebenarnya, Yoongi merasa kepalanya berdenyut sakit. Jika bukan karena usul ayahnya yang meminta Yuta menjaga Yoongi-- tak ada yang punya waktu menjaga pria itu hari ini, Yoongi sangat enggan berdekatan dengan Yuta.

Setelah ditinggal berdua saja, Ara duduk di sisi ranjang, bukan di kursi. Ia ingin menyuapi Yoongi, maka Ara harus melewati batasnya kali ini. Tak apa sedikit tak tahu malu, bukankah ini saat terakhir kebersamaan mereka?

Yoongi yang melihat Ara duduk di sisi ranjangnya, tentu saja merasa sangat senang. Dia merasa Ara mulai luluh dan mau membuka hati untuk memaafkan dirinya. Ia tak bisa menahan senyum lebarnya, tangannya terulur untuk mengusap halus tangan Ara menggenggamnya erat.

"Lepaskan, biar aku menyuapimu," ujar Ara, dan Yoongi menurut untuk melepaskan genggaman tangannya.

"Kau memasaknya sendiri?"

"Ya, kau bilang ingin bulgogi bukan. Aku memastikan sendiri, bumbu yang aku masukkan tak melanggar daftar makanan yang harus kau hindari selama proses penyembuhan."

"Dokter bilang, tiga bulan gips ini baru bisa dilepas dan aku bisa mulai terapi untuk berjalan jika tulangku tak ada masalah." Yoongi menerima saja suapan pertama dari sumpit yang disodorkan Ara padanya.

"Benarkah? Bagus jika kondisimu membaik." Ara terus menyuapi Yoongi dengan lembut, bahkan mengusap sudut bibir pria itu jika terdapat noda saus.

Dalam hati Yoongi, dirinya sudah sangat berbunga-bunga, membayangkan harapan besar untuk masa depan mereka sangatlah indah. Namun bagi Ara, perpisahan kali ini seolah kesedihan yang ditutupi senyuman. Ia tak ingin meninggalkan Yoongi, tetapi jika bersama Yoongi hanya membawa traumanya kembali, maka Ara harus memilih pergi.

Hanya butuh setengah jam, kotak makan berisi bulgogi habis tak bersisa, Yoongi mengucapkan terima kasih dan menerima gelas berisi air minum, membiarkan Ara turun dari sisi ranjang untuk membereskan kotak makan dan membuang tisu bekas.

"Yoongi-ssi, bisakah kau memberi perhatian lebih pada Bora?" tanya Ara sambil berlalu, hanya membuang sampah di sudut ruangan lalu kembali lagi.

"Kenapa? Apa ada masalah?"

Ara bingung mengatakannya, tetapi ia berusaha mencari kata yang tepat agar tak menyinggung peran Yoongi sebagai ayah. "Sepertinya Bora selama ini sedikit tertekan. Aku tidak bilang dia tidak bahagia, tetapi Bora seolah menyimpan banyak hal dalam hatinya. Tadi saat aku pamit, dia tak mau membuka pintu. Sepertinya Bora marah padaku."

"Pamit?" Yoongi bertanya bingung, berpikir jika pamit untuk Ara menunggui dirinya di rumah sakit, kenapa anaknya sampai tak mau membukakan pintu dan merajuk? Lalu pikiran Yoongi ada pada tempatnya, dan ia langsung mencengkeram lengan Ara kuat. "Kau mau pergi lagi?!"

Ara yang mendapat perlakuan tiba-tiba, melepaskan tangan Yoongi dengan lembut. Ara tersenyum lembut, mengusap punggung tangan Yoongi halus.

"Yoongi-ssi, aku tak bisa meninggalkan kuliahku terlalu lama. Tujuanku kemari hanya untuk memastikan kondisimu dan kini kau sudah jauh lebih baik. Yoongi-ssi... sudah saatnya aku kembali."

Yoongi berontak, berusaha menggerakkan tubuhnya, tetapi tak bisa karena kakinya masih terbungkus gips tebal.

"Tidak! Kau tidak boleh pergi! Aku tidak mengizinkanmu!"

Ara tertawa kecil, menjauh untuk mengambil tasnya di sofa. "Yoongi-ssi, aku tidak memerlukan izinmu untuk apa pun. Jaga dirimu, semoga kau cepat sembuh."

Yoongi berteriak ketika Ara berjalan menjauh, berusaha keras agar Ara tak meninggalkan dirinya lagi kali ini. "Queen, kumohon jangan tinggalkan aku!"

Ara tak menggubris, tetap melangkah keluar dari ruang rawat Yoongi ketika Yuta menerobos masuk ke dalam kamar. Yuta termenung, bingung ketika melihat Ara sudah menenteng tasnya.

"Kau sudah akan pergi? Kenapa cepat sekali?" tanya Yuta bingung, semakin bingung ketika Yoongi berteriak padanya dari atas ranjang.

"HALANGI DIA YUTA-YA! DIA MAU PERGI MENINGGALKANKU LAGI!"

Yuta tak segera bertindak, justru matanya bergerak bingung bersama otaknya yang tak bisa mencerna dengan jelas, apa yang sudah terjadi. Tubuhnya berdiri kaku di depan pintu, secara tak sadar telah menghalangi Ara yang ingin keluar, dan belum sempat dia beralih, tubuhnya terdorong ke samping oleh orang di belakangnya.

"Ayo." Jimin membuka jalan bagi Ara, tak ingin adiknya berubah pikiran.

Ara mengangguk, berjalan keluar ruangan, tetapi berhenti ketika mendengar suara jatuh yang sangat keras dari dalam ruangan. Ara menoleh, matanya melebar kaget, hampir berbalik untuk menghampiri Yoongi yang tengah mengerang kesakitan di lantai. Ara bahkan tak berpikir bahwa Yoongi akan melakukan hal senekat itu, rasanya ikut sakit ketika darah mengucur keluar dari jarum infus yang terlepas karena Yoongi membanting dirinya sendiri dari atas ranjang.

"Ahjussi."

Jimin menarik lengan Ara, tak membiarkan Ara menghampiri Yoongi, karena Jimin tahu, adiknya ini hanya akan kembali luluh dan tak jadi pergi melihat berapa menyedihkannya Yoongi yang kini terus memanggil nama Ara sambil menangis itu.

"Oppa, Ahjussi--" Ara berujar terbata, tetapi Jimin tak mau melepaskan tarikannya, terus membawa Ara menjauh dari ruang rawat Yoongi.

"Itu bukan urusanmu. Biarkan dokter yang menanganinya. Kita harus segera pergi, atau kau akan ketinggalan penerbangan."

Ara tak bisa menghentikan Jimin meskipun hatinya begitu mengganjal, ingin kembali pada Yoongi. Ia hanya bisa berdoa, semoga Yoongi dan Bora baik-baik saja.

Sedangkan di dalam kamar, Yoongi menolak bantuan Yuta yang ingin membantunya naik ke atas ranjang. Ia ingin mengejar Ara, tak mau jika Ara kembali pergi dan menghilang. Yoongi sangat membutuhkan Ara, sungguh.

"Lepaskan aku! Biarkan aku mengejar istriku!" teriak Yoongi memberontak, semakin tak senang ketika dokter dan perawat yang dipanggil Yuta melalui tombol darurat datang. "Pergi! Jangan sentuh aku!"

Yuta yang kesulitan menangani Yoongi bersama para perawat akhirnya kehilangan kesabaran, menyalak keras pada Yoongi. "Hyung! Setidaknya kau harus bisa berdiri dengan kakimu sendiri jika ingin mengejar istrimu!"

Yoongi terdiam kaku, menatap kakinya yang terbungkus gips tebal. Otaknya kembali berjalan dengan benar, tak bisa memberontak lagi ketika beberapa perawat pria bersama Yuta membawa dirinya kembali ke atas ranjang. Yoongi bahkan diam saja ketika dokter kini mulai menanganginya, menghentikan pendarahan akibat jarum infusnya tercabut. Yoongi terus diam, mencerna dengan baik apa yang terjadi.

"Yuta-ya, kau benar. Aku harus sembuh jika ingin membawa istriku pulang."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro