101
130 vote?
150 komen?
bisalah yaaaa
btw bisa minta komennya, kenapa kalian sangat nungguin cerita ini?
So far cerita ini gimana efeknya buat kalian?
Jawab ya jika berkenan (buat materi video nih hehehe)
.
.
.
Dulu aku paling takut untuk bertemu denganmu, tetapi ternyata saat itu tiba, aku bersyukur karena aku bisa berdiri, melihatmu terlihat baik-baik saja.
"Yoongi-ssi, apa kabar?" tanya Ara memecahkan situasi canggung yang terbangun antara dirinya dan pria itu.
Setelah Bora pergi dengan alasan bukunya tertinggal di rumah Hana, Ara terjebak di dalam apartemen berdua saja dengan Yoongi. Awalnya dia mengira, bahwa ia akan kembali terperosok dalam kubangan depresi, tetapi kini setelah Ara berhasil menantang rasa takutnya sendiri, bernapas dengan benar dan tenang, dokter Yoshinori benar ... ia siap bertemu dengan masa lalunya. Bahwa Ara telah berdamai dengan waktu kelam yang membuatnya sekarat itu.
"Aku tidak baik," jawab Yoongi setelah lama diam.
Ara berjalan memutari area apartemen yang dulu pernah dia tinggali, tak terlalu memikirkan raut wajah Yoongi yang terkesan menyedihkan. Jika memang Yoongi masih tak bisa terlepas dari rasa bersalahnya, tentu itu bukan kesalahan Ara.
"Kau bilang ingin mengatakan sesuatu, memaksaku ikut kemari untuk bicara, tetapi kau hanya diam saja. Jika tak ada yang penting, bisakah aku pulang sekarang?" tanya Ara yang seketika membuat Yoongi panik.
"Maafkan aku." Dari semua hal yang berputar di otaknya, lagi-lagi hanya kata maaf itu yang berhasil keluar dari mulutnya. Yoongi ingin merutuk dirinya sendiri, merasa menjadi pecundang payah karena tak bisa bicara dengan benar.
Ara yang mendengar kata maaf terus terucap dari bilah Yoongi, cukup merasa bosan juga akhirnya. Gadis itu berjalan mendekat, berdiri tepat di hadapannya.
"Yoongi-ssi, berhenti meminta maaf. Aku sudah memaafkanmu, semua sudah berakhir lima tahun yang lalu. Kau tidak bisa terus terjebak pada masa lalu."
Ara harus mundur beberapa langkah ketika usai berucap karena Yoongi tiba-tiba saja menjatuhkan diri, berlutut di hadapannya. Yoongi menunduk penuh sesal, terisak perih meminta belas kasihan dari Ara.
"Tolong katakan bagaimana caranya," bisik Yoongi perih, hampir tak terdengar jika saja mereka tak hanya berdua di ruangan itu.
Ara memandang sedih pada sosok yang dulu begitu hangat ketika memeluknya itu, tetapi kenapa kini Yoongi harus menjatuhkan harga diri dengan menangis meminta belas kasihan padanya? Ara bahkan menyadari bahwa bahu pria itu terlihat merosot.
Ara merendahkan tubuh, mengusap lengan atas beberapa kali. Ia hanya ingin menyalurkan energi baik yang ada pada dirinya, bahwa semua sudah berlalu dan sudah seharusnya Yoongi bisa melepas rasa bersalahnya. Yoongi mendongak, hendak memeluk gadis itu tatkala Ara memutuskan untuk berdiri, menegakkan punggung dan kembali menjauh.
"Seperti ini, Yoongi-ssi. Lihat, aku bisa berdiri dan berbicara denganmu karena sudah berhasil berdamai dengan diriku sendiri. Aku sudah memaafkanmu, dan kau juga harus memaafkan dirimu sendiri."
Yoongi menatap tangan Ara yang terulur, isyarat untuk membantunya berdiri, tetapi kakinya lemas sekali, rasa bersalah benar-benar telah menggerogoti setiap sendi dalam tubuhnya, Yoongi terjatuh, duduk menyandar lemah pada tembok di belakangnya.
"Bisakah aku melakukannya? Kau tahu, Queen. Lima tahun ini aku tak pernah lelah mencarimu, tidak bisa tidur setiap malam dan harus ketergantungan obat tidur karena mengkhawatirkan dirimu. Bagaimana jika kau terluka, bagaimana jika kau tidak baik-baik saja, tetapi minggu lalu aku berhasil menemukan alamatmu melalui kantor penerbit pusatmu, tetapi apa yang aku lihat, apa itu pantas untukku?"
Ara menarik satu kursi, mendekat ke arah Yoongi, memberi jarak sedikit, tak mau ikut duduk di lantai bersama pria itu. Ia bertekad menyelesaikan semuanya hari ini sebelum Hyunjin datang menjemputnya pulang.
"Kau membaca bukuku?" tanya Ara yang sudah duduk di kursi.
"Ya, bukankah kau menulisnya untuk kita?"
Ara tiba-tiba saja tertawa, merasa lucu dengan kalimat yang baru saja Yoongi lontarkan. "Sudah tidak ada 'kita' Yoongi-ssi. Aku menulisnya untukku sendiri."
"Tapi kau menulis kisah bahagia di sana, bersama rubah besar dan rubah kecil, bukankah itu menggambarkan pernikahan kita dulu?"
"Apa kau membacanya sampai akhir?" tanya Ara lembut, lalu menggelengkan kepala tak percaya ketika melihat Yoongi hanya diam tak menanggapi. "Tidak, ya?"
Barulah Yoongi menggeleng dan Ara melanjutkan ucapannya. "Sebagai penulis aku kecewa karena pembacaku tak menyelesaikan apa yang aku tulis, tetapi Yoongi-ssi, untukmu aku akan menjelaskan akhir dari kisah dalam novelku. Di sana, ketika keluarga kecil ada pada puncak bahagia, rubah besar tanpa sengaja menghancurkan satu-satunya manik berharga milik Queen, membuat tubuh Queen tiba-tiba saja mulai menghilang, lenyap bersama embusan angin. Yoongi-ssi, Queen itu tidak mati, tapi lenyap tanpa sisa."
Yoongi mendongak sejak Ara bicara, memahami setiap hal dengan baik, mencoba membuat otaknya yang panas bekerja. "Lenyap?"
"Ya, lenyap."
"Jadi kau tak akan memberikan kesempatan kedua untukku? Aku tahu aku salah, aku sungguh menyesalinya, Ra-ya. Kumohon, maafkan aku, bukalah sedikit saja pintu hatimu. Aku akan menebus semua hal yang aku lakukan padamu. Sekali saja, kumohon."
Ara menggeleng tegas sebagai jawaban, tak ingin mengulur rasa kasihan yang hanya akan menyakiti dirinya sendiri dan Yoongi.
"Satu pertanyaan," ujar Yoongi, mulai berdiri walau masih merasa lemah, mendekat ke arah Ara yang duduk di kursi. "Apa kau masih mencintaiku?"
Diluar dugaan, Ara justru mengedikkan bahunya santai, tersenyum penuh arti. "Untuk ukuran dua orang yang baru bertemu setelah lima tahun, pertanyaanmu terlalu lancang, Yoongi-ssi. Aku menolak menjawab."
"Kau masih mencintaiku, Lim Ara."
"Lalu apa?" tantang Ara, ikut berdiri, menatap lekat pada mata Yoongi, meskipun ada rasa rindu yang mendobrak sisi lemahnya, tetapi Ara masih bisa mengontrol dirinya sendiri.
"Jika aku masih mencintaimu, apa kau pikir aku akan kembali? Jangan terlalu percaya diri, Yoongi-ssi. Aku sudah memakan satu apel yang kau tawarkan, tetapi ternyata terlalu banyak ulat di dalamnya, apa kau pikir aku akan kembali memakan apel itu meskipun aku sangat menyukainya?"
Ara berniat keluar dari apartemen, merasa sudah cukup memberikan waktu pada Yoongi, tetapi ucapan Yoongi membuatnya berhenti berjalan.
"Apa ini karena Oh Hyunjin? Apa kau menjalani hidupmu dengan bahagia bersamanya? Apa semudah itu kau melupakanku dan Bora?"
Otak Ara tak bisa langsung mencerna, tetapi ketika ingat jika Yoongi mengatakan sudah menemukan alamatnya di Jepang, Ara bisa sedikit menebak arah pembicaraan Yoongi. Ara berbalik badan, kembali menatap tepat pada mata Yoongi, menantangnya dengan jawaban yang dia berikan.
"Ya, aku bahagia dengan hidupku yang sekarang, tapi bukankah harusnya kau ikut merasa bahagia karena akhirnya aku mendapat kebahagiaan? Kau mengajakku kemari untuk meminta maaf atau memintaku kembali padamu? Karena jika kau meminta maafku, maka akan aku berikan dengan murah hati, tetapi jika kau mengharapkanku kembali ... telan saja harapanmu itu." Ara sudah berniat pergi, tetapi ada sesuatu yang masih mengganjal hatinya, tak nyaman sebelum mengungkapkan semua isi hatinya. Ara kembali mendongak, berdamai dengan keadaan bukan berarti diam saja.
"Yoongi-ssi, kejadian lima tahun yang lalu, membuatmu terkurung dalam rasa bersalah. Kau menunjukkan betapa kau terluka karena kehilangan diriku, merasa sangat kecewa karena aku telah bahagia sementara kau tak bisa membebaskan dirimu dari kesedihan, tapi Yoongi-ssi, semua luka yang kau derita itu ... apakah itu kesalahanku? Kau yang menghancurkan rumah tangga kita, menghancurkan kepercayaan yang aku berikan padamu. Jika kau saja merasakan luka yang teramat ... lalu pikirkanlah seberapa hancurnya diriku karenamu."
Selesai mengatakan isi hatinya, pintu apartemen terbuka dari luar, Ara mengalihkan atensi ke sana, Bora masuk dengan takut-takut, di susul Jimin yang menatapnya tajam. Ara tau Jimin mungkin akan memarahi dirinya karena memberikan kesempatan Yoongi untuk menemuinya, tetapi sosok yang ikut masuk di belakang Jimin, membuat napas Ara seolah menghilang-- Hyunjin menatapnya penuh rasa kecewa.
"Jin-ah," bisik Ara lirih.
"Ayeong-ah, kepercayaan yang aku berikan padamu, apa semurah ini harganya hah?!"
Pria itu menghambur, melayangkan tinjunya tepat di rahang kiri Yoongi yang diikuti teriakan histeris Ara dan Bora
Tak sampai di situ, Hyunjin dengan membabi buta melayangkan pukulannya beberapa kali disertai tendangan di perut Yoongi yang kini meringis memegangi perutnya.
Kasar, Hyunjin kemudian menarik kerah kemaja Yoongi, mendekatkan wajahnya pada wajah lebam Yoongi dengan mata berkilat berbahaya.
"Aku sudah memperingatkanmu untuk tidak mengganggu keluargaku, Tuan Min."
"Aku hanya mengajak Ara bicara."
"Bahkan kau tak lagi pantas menatap bayangannya," balas Hyunjin menahan geram.
Jimin bergerak, menarik Hyunjin agar melepaskan cengkeramannya pada Yoongi. Sebenarnya ia tengah menahan diri untuk ikut melayangkan pukulan di wajah Yoongi. Ada Bora di sana yang sudah dapat dipastikan terluka melihat ayahnya babak belur.
"Ayo pulang. Terlalu lama di sini tak akan baik, selesaikan semua di apartemenku."
"Eomma, apa kau akan pergi?" tanya Bora sedih.
Mata Ara bergetar, menatap genggaman tangan Jimin padanya. Hatinya bimbang, tak tega meninggalkan Bora, tetapi juga tak ingin membuat kedua pria terbaik itu marah padanya. Kaki Ara membeku di tempat, apalagi mendengar Bora mengadu pada sang ayah untuk tidak membiarkan Ara pergi.
Jimin yang tidak mendapat respons dari Ara, menoleh untuk memastikan. "Apa kau tidak mau pulang?" tanya Jimin menahan geram.
"Oppa, bisakah aku memeluk Bora sebentar saja?" tanya Ara lirih.
"Tidak." Hyunjin menyela singkat, tegas dan tak ingin dibantah, merasa tak perlu karena Ara sudah cukup menghabiskan waktu dengan gadis kecil itu.
"Jin-ah, sebentar saja," pinta Ara memelas, tetapi Hyunjin tak juga luluh.
"Eomma," rengek Bora sekali lagi, tubuhnya tak bisa mendekat karena ditahan Yoongi. "Appa, Eomma akan pergi lagi.
Yoongi menatap Bora dengan sedih, sebagai seorang ayah dia terluka melihat air mata sang putri. "Lim Ara, tolong berikan sedikit waktu untuk Bora."
"Siapa yang kau panggil itu hah?" tanya Jimin merasa tak senang. "Lim Ara sudah mati sejak kau menghancurkan hatinya, Min Yoongi. Lalu siapa yang kau minta waktunya untuk putrimu? Bora adalah anakmu, jika dia sedih maka itu tanggung jawabmu untuk menghiburnya. Adikku tak ada lagi kewajiban untuk mengorbankan hatinya hanya demi senyum anakmu."
"Lim Jimin, kau punya seorang putra. Seperti inikah sikapmu jika melihat seorang anak menangis?"
Tawa Jimin terdengar, menggema penuh ejekan pada kalimat yang diucapkan Yoongi. "Jika anakku menangis, maka aku akan menimangnya, menawarkan dunia dan seisinya jika dia ingin, tetapi merampas kebahagiaan orang lain ... itu tidak pantas dilakukan. Sebelum aku menjadi seorang ayah, kau kira bagaimana rasanya tak memiliki kesempatan untuk menghapus air mata adikku, eoh?! Demi membantu kesembuhannya, aku hanya bisa diam seperti orang dungu, menunggu kabar setiap saat dengan hati berdebar penuh ketakutan. Setiap hari, hampir setiap hari Hyunjin mengabariku jika adikku terus mencoba menghabisi nyawanya sendiri, dan kau masih mempertanyakan kemanusiaan yang aku punya? Min Yoongi, tangisan anakmu ... tak sebanding dengan keputusasaan yang harus diderita adikku."
Yoongi terdiam di tempat, merasakan ada himpitan besar dalam dadanya. Tangisan Bora dan kenyataan bahwa lebih dari dirinya, Ara adalah korban yang sebenarnya. Yoongi terlalu fokus pada kesedihannya sendiri, tak pernah berpikir jika Ara menghilang karena mengalami depresi atas pengkhianatan yang dia lakukan.
Sedangkan Ara memandang Jimin dengan sedih, menyadari jika sikap kakaknya selama ini hanya sebagai upaya agar ia tak merasa tertekan ketika menjalani pengobatan. Semua kebohongan yang ia lakukan untuk menutupi depresinya dari Jimin, ternyata sia-sia saja. Jimin mengetahui dirinya tengah sakit, dan memilih untuk berpura-pura tak tahu apa-apa, itu pasti sangat menyakitkan hatinya sebagai seorang kakak. Ara merasa jahat sekali pada Jimin.
Hyunjin menghela napas panjang, menaikkan dagu Ara, meminta gadis itu mendongak untuk bersitatap dengannya. Mata Ara memerah, tetapi Hyunjin tak melihat sembab di sana. Ada sedikit perasaan lega, setidaknya Ara tidak menangis.
"Jangan membuat perjuanganmu dan pengorbananku untuk membuatmu sembuh sia-sia, Ayeong-ah." Hyunjin mengulurkan tangannya untuk Ara, "ayo pergi."
Ara menatap gamang pada tangan Hyunjin, tak langsung menyambut uluran tangan yang mengajaknya pergi, menjauh dari Bora. Hatinya terasa semakin berat karena Bora terus menangis dan memanggil namanya, meminta gadis itu untuk tinggal sebentar lagi karena masih merindukan dirinya.
"Haru sedang menunggu di mobil. Dia mungkin tak nyaman jika harus menunggumu terlalu lama."
Mendengar nama Haru disebut, Ara mencoba menguatkan hati. Dulu karena tangisan Bora itu, ia terjebak dalam pernikahan kontrak. Demi membuat Bora berhenti menangis, Ara mengorbankan perasaannya dan berakhir menelan kecewa atas janji Yoongi dan kebodohannya sendiri karena dengan mudah membuka hati. Kini, rasa takut mengulangi kesalahan yang sama membuat Ara menyambut uluran tangan Hyunjin, menggenggamnya dengan erat, meminta kekuatan pada Hyunjin.
"Bora-ya, Eomma pergi. Jaga dirimu baik-baik. Kau harus tahu Eomma sangat menyayangimu, Rubah kecilku."
***
Kedatangan Hyunjin ke Korea bukan semata untuk menjemput Ara, tetapi juga menjemput Sunny yang telah menyelesaikan tugas terakhirnya sebagai seorang anak. Ibu Sunny meninggal seminggu yang lalu, Hyunjin sempat datang sebentar, tetapi Ara tak bisa datang karena harus menjaga Haru yang sakit.
Saat ini sudah hampir tengah malam, tetapi Ara justru terlihat duduk di kursi belakang rumah Sunny, menatap kebun kecil yang mungkin dulu milik ibunya.
Sunny terbangun karena haus, saat akan ke dapur, ia melewati pintu belakang dan melihat Ara tengah duduk melamun di sana. Karena terlihat tak begitu baik, Sunny memutuskan untuk membuatkan Ara cokelat panas lebih dulu sebelum menemaninya.
Ara terkejut ketika sebuah cangkir tersodor di depannya, aroma cokelat panas membuatnya tersenyum kecil. Dulu ketika masih harus menjalani terapi untuk mengatasi depresi, satu hal yang membuat Ara akhirnya mulai mampu melawan rasa sakitnya-- cokelat panas buatan Akio. Namun bukan cokelat panasnya, tetapi ucapan Akio saat itu.
Jika masalahmu memang sedemikian sulit, cobalah menemukan satu alasan kecil untuk tetap berkeinginan bertahan hidup, Yeong-chan. Seperti cokelat panas ini, bukankah akan sangat nikmat diminum ketika malam hari yang sangat dingin seperti ini. Cokelat panas ini rasanya akan tetap sama, tak akan berubah meskipun hari berganti. Bukankah sedikit menyebalkan jika kau tak bisa lagi meminum cokelat panas ini esok hari? Danau Inawashiro dan cokelat panas, kau harus menikmati suasana yang sama esok, bukan?
"Akio San sangat menyukai cokelat panas ini," ujar Ara ketika merasakan cokelat panas buatan Sunny. "Terima kasih, Eonnie."
"Sama-sama. Kenapa belum tidur?" tanya Sunny, ikut duduk di samping Ara.
"Setelah tiga tahun, hari ini aku kembali mimpi buruk, Eonnie. Emosiku sangat tidak stabil hari ini, mungkin aku harus menemui dokter Yoshinori lagi."
Sunny sudah tahu apa yang terjadi dari cerita Hyunjin tadi, ia merasa kasihan pada Ara, membuatnya mengusap lembut rambut panjang Ara, menyalurkan rasa sayangnya sebagai seorang kakak.
"Apa kau merasa sedih?" tanya Sunny dan Ara mengangguk jujur. "Kau sangat merindukan Bora ya?"
Sekali lagi Ara mengangguk jujur, tak bisa berbohong jika sudah bersama Sunny. "Eonnie, aku ingin terus bersama Bora, tetapi tak mau terjebak pada masa lalu dengan ayahnya. Ketika aku memilih untuk mendekat pada Bora, kemungkinan besar untuk traumaku kembali pasti terjadi. Aku sudah melalui masa yang sangat sulit, Eonnie, jika harus kembali berkubang dalam kesedihan, hal itu tak akan adil bagi Hyunjin. Dia sudah mengorbankan banyak hal demi kesembuhanku, aku tak mau mengecewakannya."
"Ini hidupmu Yeong-ie, jika kau mau, kau bisa menentukan sendiri ke mana kau akan melangkah melanjutkan masa depanmu. Hyunjin tak punya hak atas pilihanmu." Sunny berujar bijak tanpa berniat apa pun.
"Aku tahu, Eonnie. Alasan kenapa aku tak pernah membantah larangan Hyunjin selama ini, karena aku sebenarnya tak lagi tahu kemana harus melangkah. Sejak aku mengikutinya sampai ke Jepang, tanpa sadar langkahku akan berjalan sesuai ke mana Hyunjin menuntunku. Mungkin terlihat tak punya prinsip, tetapi Hyunjin terlalu memahamiku, Eonnie. Dia mengerti mana yang terbaik untukku." Ara menjelaskan dengan senyuman kecil, mengingat kembali semua pengorbanan Hyunjin untuknya.
"Bocah menyebalkan yang selalu bolos kelas, mengganggu teman-teman hanya karena meminta perhatian ketika merasa bosan, siapa sangka aku akan sangat bergantung padanya, bajingan itu kenapa bisa terlihat keren sekarang," ujar Ara entah pada siapa.
Sunny ikut tersenyum, memperbaiki posisi duduknya dan meminum cokelat panas di tangannya. "Apa Haru sangat merepotkankan?" tanya Sunny.
"Tidak. Hyunjin yang lebih merepotkan," jawab Ara lalu ikut terkekeh karena Sunny mengangguk, menyetujui ucapannya.
"Kau benar. Dia merengek di telepon setiap ada kesempatan. Bocah menyebalkan itu, bagaimana bisa menjadi idola banyak remaja."
"Eonnie, apa kau baik-baik saja terus bersembunyi di balik profesimu sebagai manajernya? Hyunjin sering bertanya, apa kau benar-benar tak apa, tidak diperkenalkan pada publik. Hyunjin mengkhawatirkanmu," tanya Ara penasaran. Nanti ia akan menyampaikan jawaban Sunny pada Hyunjin.
"Aku yang meminta untuk Hyunjin melanjutkan karirnya, Yeong-ie. Ada kontrak yang sudah dia tanda tangani dan tak bisa dilanggar begitu saja. Ada banyak pihak yang bergantung pada karir Hyunjin seperti Lee San, Pak Nakamoto, dan Bibi Shin. Mungkin sedikit yang mengganggu adalah status Haru. Anakku semakin besar, mungkin suatu saat akan bertanya kenapa dia tak bisa bebas berjalan-jalan bersama Appa-nya di Mall, tapi itu hanya kecemasan sekilas, Haru bahkan baru dua tahun."
Ara mengangguk mengerti, melanjutkan ucapannya, "Dia sangat pintar, Haru pasti mengerti dengan baik konsekuensi pekerjanya Appa-nya."
"Ya, semoga saja."
Malam itu, setelah tiga tahun tidur lelapnya, Ara kembali mengalami mimpi buruk. Hal itu terjadi karena dia takut setelah bertemu Yoongi, atau karena dia takut kehilangan Yoongi?
.
.
.
BTW setelah pov Yuna yang kalian rikues, kesimpulannya tetap ya. MOSTLY DARI READERNIM BENCI YUNA ... HIKS
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro