5 | Bagian Lima
Fajar masih di taman tadi. Duduk di kursi yang sebelumnya Karen tempati. Tidak ada yang ia lakukan. Hanya duduk diam sembari sesekali meringis karena luka di sudut bibirnya. Lumayan juga tinjuan Karen tadi. Untungnya hanya sekali, kalau berkali-kali mungkin Fajar akan mati di tempat.
Mengingat apa yang baru saja ia dapatkan dan perkataan Karen sebelum akhirnya remaja laki-laki itu pergi membuat Fajar menyadari satu hal.
Kesalahan mamanya sudah terlalu fatal dan ia tidak bisa memperbaiki itu sama sekali.
Melihat Karen yang begitu membencinya dan kata-kata yang keluar dari mulutnya selalu membekas di hatinya harusnya Fajar paham. Kalau luka yang ada dalam diri saudara tirinya itu sudah terlalu dalam dan tidak bisa disembuhkan. Harusnya Fajar tahu itu dan berhenti bertindak bodoh demi suatu hal yang akhirnya sia-sia.
Kendati ia selalu berpikir apa yang dilakukannya ini pasti memiliki dampak baik padanya atau pada Karen, baik itu negatif atau positif. Tapi ternyata semuanya salah. Apa yang ada di kepalanya tidak akan terealisasikan secara sempurna. Karen sudah terlalu terluka dan dengan caranya selalu mendekati Karen saja pasti menambah luka yang ia rasa.
Fajar menghela napas berat. Mengapa ia selalu bertindak sesukanya dan tidak pernah memikirkan perasaan Karen. Remaja itu memang tidak pernah mengatakan apa-apa, tapi dari sikap dan rasa bencinya seharusnya Fajar paham.
Ah, semua hal ini membuat kepala Fajar semakin terasa pening saja. Lalu apa yang akan ia lakukan? Diam saja? Atau melakukan hal yang sama?
"Bego lo, Jar. Bego banget. Siapa yang bakal maafin orang yang udah rebut semuanya dari lo. Harusnya dari dulu lo paham, Jar. Apa yang lo lakuin ini nggak sebanding sama apa yang Karen terima. Bego emang!" katanya pelan.
Fajar bodoh memang. Seharusnya sejak pertama kali ia datang dan melihat tatapan Karen saat itu, Fajar sadar kalau hadirnya saja tidak akan pernah cowok itu harapkan. Dengan bodohnya Fajar malah mencoba menganggu hidup Karen dengan mendekatinya dan mencoba segala cara.
Kelakuan ibunya saja tidak akan termaafkan. Ditambah Fajar yang dengan kurang ajarnya datang dan kembali mengacaukan hidup dan perasaan cowok itu. Belum lagi sikap ayah kandung Karen yang malah dengan sengaja selalu membandingkan dirinya dengan Karen.
Apa tidak gila kalau ia jadi Karen.
Dan bodohnya lagi, Fajar baru sadar akan semuanya. Ah, satu lagi. Harusnya Fajar berterimakasih pada bogem mentah yang baru saja Karen layangkan. Kalau tidak begitu jelas Fajar tidak akan pernah sadar.
"Terus gimana, Jar? Lo mau tetap ada di rumah itu atau balik ke rumah neraka yang lo punya?" Lagi dan lagi Fajar berbicara sendiri.
Fajar dan segala rahasianya.
Sebenarnya Fajar tidak ingin semua orang tahu, kalau ia datang ke rumah Karen karena menghindari kejamnya sang ayah. Tapi Fajar tidak punya pilihan lain, kembali ke rumah itu dengan resiko mati di tangan ayahnya lebih baik dibanding membuat hidup orang lain makin hancur karenanya.
Ayahnya yang abusive itu memang neraka. Kembali lagi ke sana sama halnya dengan membawa diri ke kandang macan. Kapan saja Fajar akan mati di tangan ayahnya sendiri. Tapi sekali lagi, Fajar tidak punya pilihan lain. Dan sepertinya memang itu pilihan yang paling tepat.
Setidaknya yang terluka hanya dirinya dan bukan orang lain karena dirinya.
Akhirnya, Fajar mengangkat ponselnya setelah mengetikkan sebuah nama di sana.
"Ma, kayaknya lebih baik kalau aku pulang ke rumah Ayah aja."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro