Chapter 4 - Lamaran Dadakan
Setelah beberapa menit mobil melaju dengan kecepatan di atas batas normal, akhirnya Gabriel mengurangi kecepatan dan berbelok masuk ke halaman sebuah resort yang cukup besar. Ia memakirkan kendaraan tepat di depan barisan cottage dua lantai yang dilengkapi dengan taman kecil. Aku mengedarkan pandangan, dan segera bisa melihat ada dua orang petugas keamanan yang sedang duduk-duduk tidak jauh dari posisi kami.
"Jangan berpikiran untuk kabur, Man. We really need to talk," ucap Gabriel mengingatkan. Sorot mata tajam Gabriel begitu mengintimidasi, hingga membuatku tidak bisa menolak perintahnya. Lelaki bertampang serius itu keluar dari dalam mobil dan berjalan memutar hingga berhenti di sisi pintuku.
"Ayo turun," titah Gabriel dengan suara yang mulai melembut.
Aku kira ia benar-benar sudah biasa saja, tetapi begitu keluar dari dalam mobil, Gabriel langsung menggenggam erat tanganku. Seperti benar-benar takut aku kabur.
Apa ini yang dimaksud Mario tadi? Tetapi kalau memang begitu, mengapa ia baik-baik saja melihatku berpacaran sama orang lain sebelumnya? Apa Gabriel seperti ini karena aku bertemu dengan Mario?
"Masuk, Man. Kamu mau diam di luar terus?" tegurnya agak sedikit membentak.
Lamunanku langsung buyar seketika. Aku menatapnya yang tengah berdiri di samping pintu cottage yang sudah terbuka. Keraguan sempat mencegah kaki ini untuk melangkah masuk, tetapi wajah Gabriel yang terlihat tidak sabar, membuatku terpaksa menuruti kemauannya.
"Kamu ngapain nginep di hotel, Gab? Boros banget. Tumben. Mentang-mentang awal bulan, ya?" cibirku sembari melepas sepatu pesta model pumps, yang baru dibeli dua hari lalu. Sekilas terlihat beberapa goresan di bagian kulit luarnya. Ini pasti gara-gara kejadian tadi. Gabriel, sih. Lihat saja, aku pasti bakal meminta ganti rugi.
Setelah menutup pintu, dia berjalan masuk mendahuluiku. Aku terus mengamati setiap gerakannya, sampai dia berbelok ke sisi yang tidak terlihat. Selama beberapa saat aku terus menimbang-nimbang, lebih baik aku kabur atau tidak. Namun, suara bernada cukup tinggi membuatku sadar, kalau kini sudah tidak ada opsi lain.
"Iya, Bawel!" balasku tidak mau kalah. Sesaat setelah melewati lorong dan masuk ke ruangan utama, langkah kakiku berhenti.
Ini tidak salah, kan? Kenapa ada balon warna-warni dan lilin-lilin yang menyala begini? Memangnya ada yang ulang tahun? Perasaan, tidak ada hal yang istimewa hari ini.
Kehadiran sosok Gabriel yang keluar dari dalam kamar dengan membawa satu buket bunga mawar merah, mengalihkan semua perhatian. Aku terperangah. Sungguh. Ini hal langka. Selama hampir tujuh tahun bersahabat dengannya, belum pernah satu kali pun Gabriel membawakan bunga untukku.
"Sebentar, deh. Aku hari ini nggak ulang tahun kok, Gab. Kenapa pake niup balon sebanyak ini?" tanyaku penasaran.
Alih-alih menjawab, lelaki yang sebenarnya tampan ini terus berjalan sampai tiba tepat di hadapanku. Selanjutnya, adegan yang biasanya aku lihat di film terjadi. Lelaki dengan tinggi hampir dua meter ini, perlahan menurunkan kakinya dan bersimpuh di depanku. Ia menatap begitu lekat dan untuk sepersekian detik, aku merasa terharu. Namun, tunggu dulu. Masa Gabriel mau melamarku? Kita kan, cuma bersahabat.
Gabriel berdeham. Ini pertama kalinya aku melihat ia begitu serius, padahal hanya sedang menarik napas.
"Amanda Aurelia, nikah, yuk!"
"Hah?"
Detik berikutnya, kedua mata dan mulutku terbuka lebar. Sedangkan lelaki yang tingginya tidak jauh dariku meskipun sedang berlutut ini, tetap bergeming dan menatapku penuh harap. Bukannya menjawab, kakiku malah mundur selangkah. Membuat raut wajahnya berubah gusar.
"Man? Gimana? Kamu mau jadi istriku, kan?" tanyanya sekali lagi.
Kepalaku menggeleng. Menolaknya segera sebelum semuanya terlambat. Jawaban yang tak sesuai harapan, mengubah raut wajah Gabriel menjadi sedih. Ia menunduk. Kedua tangan yang semula terangkat hingga ke perut, perlahan turun sampai sejajar dengan kaki jenjangnya.
"Kamu menolak, gara-gara kejadian tadi?" lirih Gabriel pelan.
Aku kembali menggeleng. "Bukan."
"Terus, kenapa?"
"Aku bingung. Kenapa kamu tiba-tiba ngajak nikah? Bukannya kamu bilang belum kepikiran? Bahkan, menurutmu pernikahan itu hal yang mengerikan, kan?" tanyaku tak habis pikir. Begitu mendengar jawabanku, Gabriel melangkah maju dan meraih tangan kananku.
"Sebelumnya ... aku memang belum kepikiran, Man."
Keraguan yang tersembunyi di balik perkataannya tadi, membangkitkan emosiku. Aku menepis lengan kokohnya dan melempar tatapan galak.
"Nah, kan. Kalau kamunya aja masih belum yakin, jangan asal ngelamar anak orang, Gab! Kamu pikir pernikahan itu permainan?"
Selanjutnya aku berjalan mengikuti barisan lilin kecil yang apinya mulai meredup. Sengaja, supaya terhindar dari tatapan Gabriel yang seakan ingin menyanggah semua perkataanku, tetapi masih belum menemukan kalimat yang tepat. Sempat aku menangkap kegetiran yang terlukis jelas di wajah tampannya itu. Namun, tidak lama. Hanya sekejap, sebelum berubah menjadi kekecewaan dan juga sedikit amarah.
Ya, aku bisa merasakannya. Meski sedang berdiri membelakangi Gabriel, tetapi tarikan napasnya yang perlahan memburu terdengar begitu jelas. Aku juga yakin, telapak tangannya sedang mengepal sekarang. Sebab suara remasan plastik pembungkus buket bunga yang belum sempat kuterima, saat ini telah mengalahkan suara helaan napasnya tadi. Saat aku berbalik, ternyata Gabriel telah tiba lebih dulu.
Aku terhempas, menubruk tubuh kekarnya sampai pipiku terasa ngilu saat ia menarikku dalam satu hentakan. Dengan mudahnya Gabriel merengkuh tubuhku yang minimalis. Seperti anak kangguru yang tersimpan di dalam kantung induknya.
Tindakan spontan yang belum pernah ia lakukan sebelumnya, membuatku diam tak berkutik. Aku tidak mampu berontak atau menolak. Sentuhannya kali ini terasa berbeda. Hingga aku mulai membayangkan yang tidak seharusnya.
Sadar, Amanda! Sadar!
"Sebelumnya, aku minta maaf soal yang tadi. Aku juga kaget. Sungguh. Kamu tahu, kan, kalau aku nggak pernah seperti itu sebelumnya? Aku tadi ... hm, cemburu. Aku nggak suka melihat kamu ramah sama Mario," ucapnya pelan, hampir berbisik di atas telingaku. Jantung Gabriel berdetak cepat. Aku menengadahkan kepala. Ingin memastikan kejujuran langsung dari bola matanya.
"Kamu cemburu? Berarti, selama ini ... kamu diem-diem suka sama aku, Gab?" tanyaku memastikan sembari memicingkan mata. Wajah Gabriel bersemu merah. Ia memalingkan kepala, lalu melepaskanku sebelum berjalan ke arah jendela besar yang menghadap ke sisi belakang cottage.
"Kamu ngapain pake cemburu, sih? Apa kamu lupa, kalau aku sama sekali nggak pernah dekat yang lebih dari temen sama Mario? Kalo kamu jadi ingin menikah sama aku hanya karena hal itu, kamu nggak usah khawatir. Aku nggak ada niat mau ada apa-apa sama Mario, kok," imbuhku memperjelas isi hati.
"Kamu pikir, aku melamar kamu hanya karena cemburu sama Mario? Come on, Amanda. Aku nggak sedangkal itu, kali!" sanggahnya keras, sembari berjalan ke arahku yang sudah duduk di sofa. Kami duduk bersisian sambil menatap lurus ke wajah masing-masing.
"Kalau begitu, coba sekarang kamu jelasin apa alasannya!" balasku tegas. Gabriel mengerling. Tiba-tiba kepalanya menunduk.
"Ya ... karena aku itu," cicitnya malu-malu.
"Kamu kalau ngomong itu yang jelas dong!"
Aku masih menantinya kembali melanjutkan kalimat. Namun, tiba-tiba Gabriel malah bangkit sembari melonggarkan ikatan dasinya dengan kasar. Setelah sempat berjalan memutar, kaki panjangnya berhenti tepat di hadapan. Membuatku yang tingginya tak seberapa terpaksa mengangkat kepala, supaya bisa melihat langsung sorot matanya.
Gabriel mengembuskan napas panjang dari hidung mancungnya, lalu memejamkan mata sekejap. "Oke, fine. It's because ... i love you, Man. Masa gitu aja kamu nggak paham, sih?" Gabriel melipat kedua tangan di depan dada.
Keningku mengernyit. Keheranan dengan pernyataan cinta dari lelaki yang selama ini kuanggap sahabat baik. Butuh waktu hingga entah berapa detik, sampai aku bisa menerima fakta kalau selama ini Gabriel diam-diam mencintaiku. Namun, aku jadi bingung. Aku harus menjawab apa?
"Memangnya ... kamu udah suka aku dari kapan?" tanyaku penasaran. Gabriel menggelengkan kepala, dan menatapku sambil mengulas senyum tipis.
"Penasaran? Jawabannya nanti, ya. Aku mandi dulu sebentar. Gerah."
Tanpa menunggu persetujuanku, tubuh besarnya sudah lebih dulu kabur ke kamar mandi. Aku berdecak sebal. Bisa-bisanya Gabriel mandi pas kita lagi bicara serius begini. Sebetulnya anak ini serius atau tidak, sih?
"Gab! Jangan lama-lama! Aku harus pulang!" teriakku keras.
Aku menghempaskan tubuh yang lelah dengan posisi berbaring. Kepala mungil ini kupaksa berpikir keras. Sesekali aku melirik ke arah jam dinding yang terpasang di tembok belakang televisi. Sekarang sudah pukul sepuluh. Kalau sampai tengah malam, aku belum sampai di rumah, Mama bisa murka.
Lima belas menit kemudian, akhirnya lelaki bertubuh kekar itu keluar.
"Maaf lama. Otakku kepanasan," cibirnya cuek. Dia berjalan melewatiku, dan berhenti di meja dapur.
"Kayaknya mandi enak, ya. Aku juga gerah tapi nggak bekal baju ganti," keluhku.
"Aku masih ada baju lain kok, kalau kamu mau pinjem," sahutnya cepat.
"Enggak, ah. Ntar Mama curiga lagi. Kamu juga pasti kena interogasi. Perginya pake gaun, kok pulangnya pake setelan tidurmu," jawabku serius. Tampang Gabriel berangsur berubah semakin menyebalkan. Aku sudah bersiap menerima ocehan yang biasanya tidak bisa kuterima.
"Justru bagus. Nanti tinggal aku bilang aja kalau kita habis tidur bareng, terus aku mau langsung tanggung jawab."
Benar, kan dugaanku.
Bantal yang semula teronggok di sofa, melayang secepat kilat ke arah kepala berambut tebal. Sayangnya tidak tepat sasaran. Keahlian Gabriel menghindar dari serangan memang luar biasa.
"Gabriel! Bisa nggak, sih. Kalau ngomong itu dipikir dulu! Kamu pikir aku apaan?" bentakku penuh emosi. Sadar kalau ucapannya salah, Gabriel berjalan menghampiri. Ia duduk di sofa, lalu meraih telapak tanganku yang masih mengepal.
"Maaf. Pikiranku lagi kacau belakangan ini. Jangan kesel lagi, dong. Kalau suka marah-marah, nanti cepet tua, lho ...."
Aku hanya berdeham sekilas, tetapi terus mengumpat di dalam hati. "Kapan aku dianterin pulang?" tanyaku ketus. Bukannya menjawab, lelaki menyebalkan ini malah berdiri dan pergi ke dapur.
Aku kesal. Perasaanku seperti sedang dipermainkan olehnya sekarang. Sesaat ia terlihat sungguh-sungguh, tetapi detik berikutnya berubah tak mengacuhkanku lagi. Perlakuan labilnya bikin aku bersedekap. Mukaku sudah menekuk maksimal sekarang. Namun, bukan Gabriel namanya kalau tidak hobi membuat tekanan darahku naik. Aku mengerjap beberapa kali saat melihatnya datang membawa beberapa kaleng minuman beralkohol yang sampai memenuhi tangannya.
"Kamu mau minum? Nanti aku pulang sama siapa kalau kamu mabuk, Gab?" Aku panik. Bisa gagal pulang, kalau Gabriel teler.
"Satu kaleng nggak akan bikin aku mabuk. Percaya, deh." Gabriel tersenyum manis, berusaha meyakinkan. Akhirnya aku mengiyakan, sebab sebelumnya kami pernah minum bersama, dan dia memang punya toleransi yang cukup tinggi terhadap alkohol. Sangat berbanding terbalik denganku.
"Ya udah, tapi aku enggak, ya. Kamu aja."
"Yah, nggak asyik banget. Temenin, dong. Satu kaleng aja. Kamu udah lama nggak minum, kan?" ujar Gabriel dengan begitu santainya. Memancing emosiku kembali bergelora.
"Kamu lupa, kalau waktu itu aku minum satu gelas udah pingsan? Nggak, ah. Aku enggak mau," tolakku mantap.
"Ya, jelas kamu pingsan. Waktu itu kita minum wine, Man. Wine itu kandungan alkoholnya bisa sampai lima belas persen. Kalau ini kecil, kok. Nggak sampai lima persen malah. Tapi kalau kamu nggak mau, ya, udah. Kamu makan roti aja, nih. Katanya laper." Ia menyodorkan satu bungkus roti isi cokelat padaku.
"Thanks." Mulutku segera sibuk mengunyah sementara sahabatku ini mulai menyesap minuman. Tatapannya terus mengarah ke luar. Entah ada apa di sana. Gelap.
"Man, duduk di balkon, yuk. Sekalian kita lanjutin obrolan tadi," ajaknya tiba-tiba. Gabriel bangkit, kemudian membuka pintu geser yang terbuat dari kaca berbingkai kayu. Tubuh kurus yang hanya terbalut gaun tanpa lengan, segera bergidik saat diterpa angin malam yang sangat dingin.
"Ah, maaf."
Gabriel berjalan masuk lagi begitu melihat aku mulai gemetaran. Ia mengambil jas, lalu memakaikannya ke pundakku, sebelum menarik tangan kiriku agar ikut duduk di kursi kayu yang ada di balkon. Anehnya aku hanya diam menuruti perintahnya tanpa membantah. Hingga tahu-tahu, kami sudah duduk bersebelahan dengan jarak yang sangat dekat.
"Man, aku mau cerita."
Aku menoleh ke arahnya yang sudah lebih dulu melihat ke arahku. Seketika perasaan aneh menyeruak. Menyerang setiap syaraf yang ada di dalam tubuh. Aku menggelengkan kepala. Berusaha untuk tetap waras.
Jaga dirimu, Amanda. Jangan sampai terbawa suasana. Bahaya.
Aku sedikit mundur, sebelum memberikan respons. "Cerita apa?"
Gabriel menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, sambil menatap lurus ke arah langit malam yang begitu gelap. "Kayaknya ... aku bakal sering nggak di Indonesia, Man," desahnya pelan.
"Memangnya kamu bakal stay di mana?" Aku duduk menyerong, supaya bisa jelas melihat wajahnya.
Gabriel menghela napas. "Belum tahu, tapi kemungkinan di Singapura atau Malaysia. Ayah minta aku untuk meng-handle semuanya langsung dari sana."
Ucapannya membuatku ikut menghela napas. "Jadi ini, alasan kamu aneh belakangan ini? Karena kamu tahu, kita bakal tinggal berjauhan?"
Gabriel mengangguk lemah.
"Ini juga alasan kamu melamarku, Gab?"
Ia berdeham ringan cukup panjang. "Bisa dibilang begitu. Karena permintaan Ayah, aku jadi sadar kalau nggak akan sanggup tinggal berjauhan sama kamu, Man. Dan aku juga sadar, kalau artimu buatku lebih dari sekedar sahabat. Kamu cinta dalam hidupku."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro