Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 28 - Still Here...

"Hai, Pendek? Bangun, dong. Kalau kamu tidur terus, gimana kamu mau menemukan aku?"

"Aku udah bangun kok, Gab. Tapi, kenapa kamu masih kelihatan samar-samar? Kamu sebenarnya di mana, sih?" Aku bisa melihat senyumnya, wajah tampannya. Namun, masih tidak jelas.

"Aku nggak pernah pergi ke mana-mana, Sayang... aku selalu di situ. Di hati kamu."

"Kalau itu aku tahu. Maksudnya, kamu ada di mana sekarang? Biar aku datang ke sana, nyamperin kamu. Aku nggak suka dengan keadaan ini. Aku bisa melihatmu sedikit, tapi kenapa terasa jauh sekali. Aku pengen meluk kamu, Gab. Aku kangen."

"Hm ... aku juga kangen kamu, Amanda. Makanya, ayo bangun. Cari aku."

Setelah selesai berbicara, ia memutar tubuhnya. Seperti hendak berjalan menjauh. Bayangannya yang sudah samar, semakin kabur. Kaki ini kupaksa melangkah, tapi aneh. Aku tidak bisa bergerak. Ada apa denganku?

"Gab! Kamu mau ke mana? Tunggu aku, Gabriel! Gabriel!"

Aku berteriak sekencang mungkin, tapi ia tidak berbalik. Malah semakin menjauh, dan menjauh. Hingga sosoknya tidak terlihat lagi. Tangisku pun pecah saat itu juga.

"Gabriel ... Gabriel ...." Mulut ini tak berhenti memanggil namanya. Meski suaraku sudah mulai parau. Isakanku semakin keras. Tangisan kini berganti menjadi teriakan putus asa. Ketika sudah tidak tahu harus berbuat apa. Perlahan, aku mulai merasakan sebuah tangan hangat menyentuh serta menggenggam erat telapak tangan. Bersamaan dengan munculnya seberkas cahaya. Menerangi pandanganku yang semula diselimuti kegelapan.

"Amanda sayang ... akhirnya kamu bangun."

Aku mengerjap beberapa kali, ketika berhasil membuka mata sampai pandanganku jelas. Plafon putih, suhu ruangan yang dingin, dan bau khas yang berasal dari cairan karbol, menyambut saat aku sadar. Baunya persis seperti bau cairan yang kugunakan untuk membersihkan lantai kamar mandi.

Pandangan kuedarkan ke sekeliling ruangan. Menatap cepat mata orang-orang yang sedang melihatku dengan begitu sendu. Bahkan Momon juga ada. Berdiri tidak jauh dariku. Mataku kembali menutup, seiring rasa pening yang secara tiba-tiba menyerang kepala.

Mengapa semuanya ada di sini? Mengapa mata Mama berkaca-kaca seperti itu? Kesedihannya begitu menusuk. Tunggu sebentar. Lalu tadi apa? Bukankah seharusnya ada Gabriel juga? Apa aku sakit?

"Manda, kamu tenang, ya. Semuanya akan baik-baik aja. Papa yakin," ucap Papa pelan sembari memegang tangan kananku.

Aku kembali membuka mata karena perkataan Papa. Menatap bingung ke arahnya selama beberapa detik. Hingga sekelebat memori aneh berhasil melintas memenuhi kepala. Tepat di mana pemberitaan di televisi tentang pesawat yang ditumpangi Gabriel mengalami kecelakaan.

Mataku membelalak cepat. Napasku tercekat. Aku ingat semuanya.

"Ma! Gabriel mana? Dia nggak kenapa-napa, kan?" tanyaku panik.

Keinginanku untuk duduk langsung dicegah oleh Mama dan Papa. Aku menatap mereka, meminta jawaban. Namun, Mama malah menangis. Ia menangkup wajahnya ke punggung tanganku yang digenggamnya erat dengan tangan yang bergetar. Respons yang Mama berikan benar-benar membuatku ketakutan.

"Pa ... please ... Dia baik-baik aja, kan, Pa?" desakku sembari meraih lengan Papa dan menggoncangkannya. Aku sudah tidak bisa lagi menahan air mata. Tangisanku kembali pecah, seperti di mimpiku barusan.

"Manda Sayang ... maaf ... tapi Papa, nggak bisa memastikan apa-apa. Tim SAR belum menemukan apa pun. Mereka masih melakukan pencarian lokasi jatuhnya pesawat, Nak." Papa menarik napas panjang. Aku tidak berhenti menatapnya. Menunggu kelanjutan dari omongan beliau yang semoga saja berarti baik. "Tapi, kemungkinan besar ... pesawatnya meledak, Sayang," tambahnya dengan begitu berat.

Sesaat setelah mendengar kabar buruk itu, dadaku terasa remuk. Seperti ada yang meremasnya, sangat keras. Hingga aku tidak bisa melakukan apa-apa selain terisak. Aku mengangkat tangan, dan menutup setengah wajahku dengan lengan. Meski berusaha kuat meredakan tangisan, tapi aku tidak bisa. Kesedihan bercampur keputusasaan. Hanya dua hal itu yang tengah menyelimutiku sekarang.

Untuk beberapa menit, suasana hening ruangan tergantikan oleh isak tangisku juga Mama. Benakku buyar ke mana-mana. Memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi. Sementara itu hatiku terasa sakit luar biasa. Membayangkan bagaimana hidupku jika tanpa kehadiran Gabriel lagi.

Ya, Tuhan ... kumohon ... lindungi Gabriel di mana pun dia berada. Aku mohon, Tuhan. Tolong dia. Kembalikan dia ke sisiku, bukan ke sisi-Mu. Jangan sekarang. Kumohon ...

"Ma! Aku mau ke bandara. Pasti ada kabar terbarunya di sana. Di kantor maskapainya dibuka posko, kan? Kayak yang pernah disiarin di televisi? Manda harus ke sana, Ma, Pa. Tolong anterin Manda ke sana!" aku berseru sembari mencoba duduk dan mencabut jarum infus. Namun, tangan Papa dengan cepat menarik tanganku. Aku menepisnya, membalas dengan tatapan penuh amarah. "Kenapa, sih? Apa yang kalian sembunyiin dari Manda? Apa, Pa?" aku berteriak sekencang yang kubisa.

"Man, kamu tenang dulu." Momon berbicara pelan berusaha menenangkanku. Ia berdiri di ujung tempat tidur. Menyentuh pergelangan kakiku seraya melemparkan pandangan sedih. Namun, aku menggeleng. Tidak setuju dengan ucapannya tadi.

"Nggak bisa, Mon. Gimana bisa aku tenang di saat seperti ini? Aku pengen tahu kabar terbarunya!" sergahku.

"Amanda!" tegur Mama keras. Suaranya berubah meninggi. Terpancing sikapku yang sulit diatur. Mataku beralih cepat ke arahnya.

"Dokter bilang, kamu harus istirahat sampai kesehatanmu membaik. Tolong, Sayang ... tolong dengarkan Mama," mohon Mama dengan amat sangat.

Ia mengusap kasar pipinya yang basah. Kedua tangannya mencengkeram pundakku. Memaksaku kembali merebahkan tubuh. Aku memberontak. Menolak ditenangkan oleh ketiga orang yang tengah memegangi tangan dan kakiku. Perhatian kami semua teralihkan ketika pintu ruang inapku diketuk beberapa kali. Mataku terarah pada sumber suara. Berharap akan ada kabar baik dari sosok yang sedang memutarkan kenop pintu.

Tante Irina muncul dengan memakai kacamata hitam. Wanita yang rambutnya sudah mulai memutih di beberapa bagian, tetapi masih terlihat cantik itu berjalan menghampiriku. Ia membuka kacamatanya ketika tiba di sisi kiri. Menggantikan posisi Mama yang sudah mundur selangkah. Kedua sudut bibirnya sedikit terangkat. Meski mencoba tersenyum, aku bisa tahu kalau beliau habis menangis semalaman. Matanya sedikit bengkak, dan kemerahan.

"Manda ...," lirihnya pelan. Wanita yang seharusnya menjadi ibu mertuaku itu duduk di tepian tempat tidur kemudian merengkuh tubuh mungil yang hampir kehabisan tenaga. Kami saling menumpahkan kesedihan. Menangis lagi meski dengan suara parau.

"Tan-te. Gab gimana? Udah, ada, kabar?" tanyaku agak terbata-bata.

Tante Irina melepaskan pelukan. Ia menggenggam kedua tanganku yang kini saling bertumpu. Kepalanya menggeleng pelan. Memilih tidak menjawab pertanyaanku dengan kata-kata, tapi lewat sorot matanya.

"Belum, Manda. Kita terus berdoa, ya. Semoga Tuhan melindungi Gabriel. Di mana pun dia berada," ucap Tante Irina. Aku mengangguk dengan mata yang masih berlinang.

"Kamu tenang. Tunggu di sini. Bang Adri tadi pagi sudah berangkat ke Pangkal Pinang. Semoga segera ada kabar baik, ya, Sayang."

Aku mengangguk pasrah. Hanya terus berdoa yang bisa kulakukan.

Semoga, Tuhan. Semoga... Kembalikanlah ia seperti semula. Dalam keadaan hidup, tanpa kekurangan apa pun. Izinkah kami untuk bersama, Tuhan. Amin...

Sepertinya hari ini mau aku upload sampai tamat. Ditunggu, yaa!

Thank youuu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro