Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 27 - Breaking News!

"Jadi udah fix ya, Kak, semuanya? Susunan acara, daftar tamu pihak Kak Amanda, sama posisi-posisi tempat duduk tamu penting Bapak Hendrik?" tanya Wina—petugas WO yang mengurus acara pernikahan—sembari terus berjalan beriringan denganku.

Aku masih membaca dengan teliti semua yang tertulis di lembaran kertas yang kupegang sejak awal. Kepalaku mengangguk, setiap kali sudah puas dengan poin-poin yang tertera. Mama mengekor di belakang sambil berbicara dengan petugas WO lainnya. Sementara Papa beristirahat di kamar karena lelah menyetir dari Bandung ke Jakarta.

"Kayaknya udah sih, Mbak. Paling, daftar lagu yang dibawain band-nya belum sesuai yang aku update, nih. Terus, jangan lupa pas video foto-fotoku sama Gabriel diputar, backsound-nya pakai lagu All of Me-nya John Legend, ya. Atau kalau bisa, band yang nyanyiin." Aku berkata agak cepat karena sudah mau tiba di ruang pertemuan dengan pihak hotel untuk mencoba semua menu makanan yang akan dihidangkan. "Satu lagi, Mbak. Kalau aku mau ganti olesan wedding cake-nya, masih bisa nggak kira-kira?" tanyaku hati-hati karena merasa agak tidak enak.

Kepala lawan bicaraku terangkat, alisnya sedikit mengkerut. Aku tahu kalau sejak awal sudah memilih butter cream sebagai pelapis lemond pound cake yang kupilih sebagai rasa kue pengantinnya. Namun, kemarin saat tidak sengaja melihat foto-foto wedding cake dengan bentuk unik di pinterest, aku jadi ingin sekali mendapatkan yang mirip seperti itu. Dan, bahan utama pelapisnya bukan butter cream, melainkan pondant. Aku baru tahu kalau lapisan pondant itu begitu lentur hingga bisa dibentuk berbagai macam. Bahkan, menurutku lebih bagus hiasan pondant daripada butter cream biasa.

"Hm... Oke, Kak. Aku coba bicarakan sama bagian vendor kuenya, ya. Kakak bisa kirim gambar referensi kuenya? Biar lebih mudah aku jelaskan ke mereka," jawab gadis muda itu sambil menulis sesuatu di binder yang ia pegang, lalu kembali melihatku.

"Nah, udah aku kirim fotonya, Mbak Wina. Poin penting dari cake-nya itu perpaduan warna sama tata letak hiasan bunganya. Aku suka banget. Elegan, cantik," jelasku tanpa diminta.

"Baik, Kak. Aku akan info secepatnya. Bisa atau nggaknya, ya, Kak."

"Oke, terima kasih banyak, Mbak."

Gadis berambut sebahu itu menganggukkan kepala seraya tersenyum. Seorang pegawai hotel berkemeja biru langit yang bertugas mendampingiku hari ini, segera membukakan pintu ketika aku dan rombongan tiba di depan ruangan yang dimaksud. Sosok calon mama mertuaku langsung terlihat saat aku melangkah masuk. Kegiatan saling menyapa dan mencium pipi kiri-kanan pun terjadi. Menyita waktu sekitar sepuluh menit sampai Pak Hendra—Manajer hotel—berdeham untuk meminta atensi kami.

Aku, Mama, dan Tante Irina menurut dengan menutup mulut sembari mendengar penjelasan rinci dari beliau. Pak Hendra mengatakan kalau siang ini kami akan disuguhi beberapa opsi makanan utama juga makanan penutup yang akan dihidangkan di acara resepsi hari Sabtu malam nanti. Sementara, di acara pemberkatan persiapannya sudah beres karena yang diundang tidak banyak. Hanya keluarga inti dariku dan Gabriel, juga kakak-adik dari kedua orang tua kami.

Pintu terbuka, dan beberapa petugas restoran hotel masuk membawa troli makanan. Tanpa sadar, aku menelan ludah ketika melihat piring-piring diletakkan di meja bundar tempat aku duduk sekarang. Menu steak yang terdiri dari tiga jenis daging berbeda terhidang di tiga piring putih lebar dengan hiasan yang mempercantik tampilan. Setelah mendapat lampu hijau dari Pak Hendra untuk mulai mencicipi makanan, aku segera meraih garpu dan pisau untuk menyantap makan siang.

Mataku sampai terpejam, ketika merasakan daging super empuk yang langsung lumer di mulut. Saus truffle-nya sangat sesuai dengan seleraku. Aku langsung memilih daging tenderloin, tidak lama setelah mencicipi ketiga menunya. Untungnya, Mama dan Tante Irina juga setuju. Wina yang berdiri tidak jauh dari kami, terlihat sibuk mencatat setiap keputusan yang diambil siang hari ini.

Tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul setengah dua siang. Aku beserta Mama dan Tante Irina pamit pada Pak Hendra dan pihak hotel karena harus mampir ke butik untuk memeriksa gaun pernikahan. Mama juga rencananya akan mencoba lagi kebaya yang akan dipakai. Begitu pula dengan Tante Irina. Kami bertiga pergi menggunakan mobil Tante Irina. Sementara Wina dan seorang staf WO lainnya mengikuti dengan mobil terpisah.

Mulutku tersenyum lebar, ketika melihat sebuah gaun putih panjang dengan bagian atas dada hingga lengannya tertutup oleh kain tile tipis dibawa ke hadapanku. Roknya melebar. Bertumpuk, hingga membuat gaunnya terlihat semakin cantik. Andaikan saja, Gabriel bisa hadir di sini. Aku penasaran seperti apa ekspresinya.

Sebelumnya ia memang sudah melihatku mengenakan gaun ini dipercobaan pertama. Namun, sekarang gaunnya telah diubah sedikit. Aku meminta Kak Dian—desainer yang merancang gaunku—untuk menambahkan bordiran bunga tumpuk di beberapa bagian roknya.

Aku berputar pelan di depan cermin besar yang terletak di ruangan berukuran sedang. Mematut diri sembari membayangkan aku memakainya di hari Sabtu nanti. Senyumku tidak henti terulas. Hingga membuat Mama dan Tante Irina terpancing untuk menggoda. Entah sudah berapa banyak foto yang Mama ambil. Ia tidak henti mengarahkan kamera ponselnya ke arahku. Wajahnya tampak puas, sekaligus terharu. Aku bisa menangkap air mata yang tertahan di sudut kelopak matanya. Keadaan calon mama mertuaku juga tidak jauh berbeda. Sama-sama melihatku dengan raut wajah bahagia.

"Mama kirim foto kamu ke Gabriel, ya? Biar dia lihat juga calon istrinya yang cantik jelita ini!" seru Mama heboh.

"Iya, boleh," kataku mengiyakan.

Jarum panjang jam sudah berhenti di angka tiga, ketika proses fitting-ku selesai. Gaun untuk pemberkatan dan resepsi sudah oke. Jas yang akan Gabriel pakai juga sudah aku periksa. Sangat elegan dan pasti membuat wajah calon suamiku semakin bertambah kadar ketampanannya. Diam-diam, aku sudah membayangkan Gabriel memakai jas hitam ini sembari menungguku di altar. Begitu membahagiakan hingga rasanya seperti terbang ke atas awan.

Sekarang giliran Mama dan Tante Irina yang berdiskusi dengan staf butik, tentang apa yang kurang dan yang sudah pas dari kebaya mereka. Aku menunggu di ruang tamu ditemani oleh televisi yang sengaja dinyalakan agar tidak bosan. Aku mengirimkan pesan pendek ke nomor Gabriel. Berisi rekap kegiatanku hari ini dari pagi hingga sore.

Tidak dipungkiri, kalau aku sudah sangat tidak sabar bertemu dengannya. Namun, Mama melarangku untuk menemui Gabriel sampai hari pernikahan. Dengan kata lain, kami berdua sedang dipingit. Meski bukan tipe yang percaya dengan mitos-mitos, tetapi orang tuaku dan orang tua Gabriel sepakat melarang kami bertemu hingga saat pemberkatan. Katanya, supaya menambah rasa antusias dan rindu terhadap satu sama lain. Sebagai anak yang berbakti, aku tidak berani menolak. Begitu juga dengan Gabriel.

Sebuah getaran panjang dari ponsel, membuatku berhenti melamun. Kedua sudut bibirku terangkat tinggi, ketika melihat nama tokoh utama lamunanku muncul di layar.

"Hai, hai! Udah di bandara?" tanyaku segera setelah wajah tampannya memenuhi pandangan.

"Halo ... maaf baru baca pesanmu. Ini aku lagi antri untuk check-in," jawab Gabriel sambil mengelap keringat yang tampak jelas memenuhi keningnya. Melakukan panggilan video sudah menjadi kebiasaan aku dan Gabriel sekarang. Meski tidak setiap hari, tapi sebisa mungkin selalu kami lakukan. Apalagi ketika ia akan naik pesawat seperti sekarang.

"Iya, nggak apa-apa. Kamu lagi ribet kayaknya, ya? Mau ganti telepon biasa aja, nggak?" tawarku padanya.

"Boleh, deh. Wait, aku check-in dulu," ujarnya sebelum mendiamkanku.

Panggilan video pun terus berjalan, meski yang terlihat di layar hanya gelap saja. Sambil menunggu, aku menyandarkan tubuh lelahku ke sandaran sofa yang empuk. Menumpukan kaki kanan di atas kaki kiri, agar posisi lebih santai dan aku bisa istirahat sambil menunggu. Suara Gabriel kembali terdengar, ketika panggilan video telah berganti menjadi panggilan biasa.

"Aku udah jalan ke ruang tunggu gate-nya, nih. Kamu udah selesai di butik?" tanya Gabriel, akhirnya.

"Aku udah. Sekarang lagi nunggu mamaku sama mamamu yang fitting."

Embusan napas lelah keluar dari mulutku setelah menyelesaikan kalimat. Memang benar, pernikahan itu cukup satu kali. Persiapannya sungguh sangat melelahkan sampai aku tidak ingin mengulanginya lagi.

"Sabar ... sebentar lagi selesai."

"Iya, Gab. Aku kangen betewe," ungkapku jujur, meski terasa kurang mesra. Namun, aku tahu Gabriel menyukainya. Sebab, gelak tawa singkatnya mengalun di telinga.

"Aku juga, Pendek. Eh, iya. Aku nggak boleh banget mampir ke hotel, ya?"

"Kata Mama nggak boleh. Kecuali kita ketemu diem-diem gitu. Kayaknya seru," tuturku memberikan ide cemerlang. Aku yakin pasti sekarang Gabriel sedang mengangguk.

"Wih, good idea, Sayang! Nanti aku kabarin kamu kalau udah mendarat, ya. Eh, Man. Kayaknya, sebentar lagi gate-nya mau dibuka, deh. Aku mau ke toilet dulu. Nanti aku kabarin lagi setelah masuk pesawat, ya? Kamu merem-merem sebentar, gih. Sambil nunggu," katanya mencetuskan gagasan yang sudah terlintas di pikiran.

"Oke, nanti kabarin, ya! Love you ...."

"Love you too, bye ...."

Kuletakkan ponsel di atas perut datar, lalu memejamkan mata. Setelah beberapa menit bersantai sendirian ditemani suara televisi, mataku kembali terbuka. Aku melirik ke arah Mama di ruang sebelah. Beberapa pegawai Kak Dian masih mengerubuinya. Sepertinya, persiapan para Mama malah lebih ribet daripada persiapanku. Untung saja aku tidak terlalu banyak maunya. Kecuali bagian cake tadi, ya. Kalau Tante Irina tidak kelihatan. Mungkin sedang di ruang ganti.

Sebuah chat masuk ke ponsel. Aku membukanya, dan tampak foto Gabriel yang tengah melakukan swafoto dengan latar belakang situasi di dalam pesawat. Ia tersenyum begitu lebar. Menampakkan deretan gigi juga mata yang tinggal segaris saja. Wajahnya terlihat begitu bahagia. Belum sempat membalas, sebuah chat masuk lagi ke ponselku. Kali ini ia mengirimkan sebuah video. Aku segera menekan layar, agar video Gabriel mulai diputar.

"Hai, Pendek! Finally, beberapa jam lagi aku bisa nyamperin kamu. Kita jadi, kan, ketemu diem-diemnya? Dandan yang cantik ya! Biar aku makin sayang. Hehehe ... Oh, iya. Aku beliin sesuatu buat kamu. Pasti kamu suka, deh." Gabriel mengedipkan mata jail. Sesekali ia tertawa geli sendiri dengan perkataannya. Begitu juga denganku. Merasa geli pada nada bicaranya yang sangat dibuat-buat.

"Hm ... apa lagi, ya? Pokoknya sampai ketemu nanti malam, ya! Jangan sampai ketahuan sama mamamu. Tapi, kalau misalnya gagal, berarti ... kita ketemu di depan altar aja, deh. Semoga aja aku bisa tahan."

Mata Gabriel mengerling, ketika seorang pramugari menegur ulahnya. Ia menyimpan sejenak ponselnya, hingga yang terlihat hanya gelap saja. Namun, tidak lama wajahnya kembali muncul menyapa.

"Aku harus pamit sekarang. Sampai ketemu ya, Sayang. I love you, Amanda Aurelia. I love you, so ... much. Muach! Bye!" Gabriel melambaikan tangan sekejap, lalu video pun selesai. Aku segera mengetik pesan balasan, sebelum ia mematikan ponsel.

"Have a safe flight, Gabriel Dimitri. See you soon."

Sayang sekali, sepertinya sudah terlambat. Pesan yang kukirim barusan tidak terkirim. Hanya centang satu saja. Embusan napas berat keluar dari mulutku. Meski begitu, hati ini tetap terasa hangat. Kupeluk ponsel dengan wajah Gabriel sebagai latar belakang sembari memejamkan mata sekali lagi.

**

Tidur sebentarku terganggu, ketika terdengar suara bisikan orang-orang yang berdiri di sekitar. Mau tak mau, aku bangun. Agak menggeliat karena rasa kantuk yang masih tersisa. Pemandangan pertama yang kulihat adalah Mama dan Tante Irina yang sedang berdiri menatap televisi dengan raut wajah penuh keterkejutan. Mereka kompak menutup mulut dengan tangannya yang tampak gemetaran.

Kejadian aneh ini membuat aku ikut melihat ke arah televisi. Tulisan Breaking News, tertera besar di layar yang sedang menampilkan seorang pembawa berita laki-laki. Mataku memicing, ketika berusaha membaca kalimat yang ada di layar kaca, dan mendengar apa yang sedang dikatakan sang pembawa berita.

"Baru saja dilaporkan, telah terjadi kecelakaan pesawat X - Air, dengan nomor penerbangan XY - 235. Pesawat yang bertolak dari Singapura menuju ke Jakarta ini dikabarkan hilang kontak di perairan sekitar kepulauan Bangka-Belitung, atau lebih tepatnya di Selat Karimata. Belum ada konfirmasi, apakah pesawat terjatuh, atau ...."

Perlahan aku bangkit saat berhasil memahami situasi. Kepalaku terus menggeleng, agar pikiran buruk ini segera menghilang dari otakku.

Ini pasti mimpi, kan? Pasti ini khayalanku aja. Amanda, bangun! Bangun, Amanda!

"Amanda ...," lirih Tante Irina memanggilku. Namun, aku tak mampu menjawab.

"Sayang ... kamu tahu nomor penerbangan Gabriel? Dia nggak naik pesawat itu, kan?" tanya Mama yang berdiri di sampingku sembari memegangi pundak anaknya yang mulai gemetaran. Jantungku tiba-tiba memompa semakin cepat. Bahkan tanganku bergetar hebat. Hal pertama yang harus aku lakukan adalah mencari tahu nomor penerbangan pesawat yang membawa Gabriel.

Kuambil ponsel yang tergeletak di sofa dengan susah payah. Memeriksa email berisi detail tiket pesawat yang dikirimkan olehnya tadi pagi. Sembari tetap berusaha menarik napas, aku menyamakan nomor penerbangan pesawat Gabriel dengan yang tertera di layar televisi. Belum sempat aku menyelesaikan, panggilan telepon dari Bang Adri lebih dulu masuk. Aku mengangkatnya dengan kegelisahan yang sudah memuncak.

"Manda ...." Suara lirihan Bang Adri terdengar begitu menyayat hati. Detik itu juga, aku tahu. Kalau ini, bukanlah mimpi.

"Pesawat Gabriel ... jatuh."

Bagai tersambar petir, genggaman tanganku terlepas seketika. Ponselku terjun bebas, menghantam ubin keramik yang keras. Dadaku terasa begitu sesak. Hingga aku kesulitan bernapas dan memukul-mukul tempat di mana organ pernapasan itu berada. Dunia seperti berputar amat cepat. Wajah serta tawa Gabriel bermunculan di kepala. Bersamaan dengan lenyapnya kekuatan pada tumpuan kedua telapak kaki.

Aku terjatuh, dan yang terakhir kulihat adalah bayangan samar dari wajah dua wanita yang dipenuhi kepanikan serta kesedihan sebelum semuanya menjadi gelap.

"Aku harus pamit sekarang. Sampai ketemu ya, Sayang. I love you, Amanda Aurelia. I love you so ... much. Muach! Bye!"

Kamu bilang, kita akan ketemu sebentar lagi, Gab. Kita pasti ketemu, kan? Kamu janji akan menemuiku malam ini.

Gabriel ... tolong. Jangan pergi ...

Jangan tinggalin aku. Kumohon, jangan ...

Gimana kesan kalian selama baca kisahnya Amanda dan Gabriel?

**

Trailer 'When My Boy Turn Into a Star'

https://youtu.be/gyuyuQ2lt6A

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro