Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 25 - Tujuh Hari Lagi

Sudah beberapa menit aku duduk termangu di kursi makan. Mengaduk-aduk gula pasir yang dituang ke teh hangat untuk menemani sarapan. Setelah mimpi buruk tadi malam, sejak bangun tidur hingga sekarang perasaanku sungguh tak enak. Entah apa itu, tapi ada yang mengganjal di hati ini.

"Manda, itu rotimu kenapa nggak dimakan? Bukannya kamu buru-buru, Sayang?" Mama yang duduk di hadapanku, melemparkan tatapan bingung.

"Ha? Ah, iya, Ma." Aku buru-buru mengambil roti panggang isi cokelat keju mozarella yang sudah terhidang di meja ketika turun dari kamar beberapa menit lalu.

"Ada yang lagi kamu pikirin, Sayang? Mukamu aneh dari tadi," tanya Mama pelan.

"Hm ...." aku berkata sembari menimbang. Apakah lebih baik menceritakan mimpiku tadi malam atau tidak pada Mama? Namun, lebih baik tidak, deh. Aku takut Mama ikut kepikiran.

Kepalaku menggeleng. "Nggak kok, Ma. Nggak ada apa-apa," kilahku berusaha tersenyum. "Papa mana, Ma? Kok nggak kelihatan?" tanyaku seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah.

Mama mengedikkan dagu ke arah pintu masuk rumahku. "Biasa. Lagi cuci mobil di depan," imbuhnya. Mulutku membentuk bulatan, sembari menganggukkan kepala.

Mama juga sedang menyantap sarapan dengan menu yang sama. Hal yang berbeda adalah minuman pendampingnya. Kalau aku memilih teh manis hangat. Sementara Mama memilih bandrek panas yang uapnya masih mengepul ke atas.

"Jadi, rencana kamu hari ini padat juga, ya? Itu habis konseling di gereja, Gabriel langsung ke bandara?" tanya Mama memastikan lagi agenda yang sudah aku beritahu dua hari lalu.

"Iya, Ma." Aku melirik ke arah jam dinding bulat emas yang terpasang di atas televisi layar datar. "Setengah jam lagi Gabriel dateng, terus kita ke Jakarta. Nanti mungkin cari makan siang dulu di sekitaran gereja. Jam satu baru mulai konseling pra-nikahnya. Habis itu, langsung cuss ke bandara, deh. Pesawat dia jam enam sore. Semoga aja keburu," jelasku sambil terus mengunyah.

Mama mengangguk-angguk. Menatap lurus ke arah wajahku. "Kenapa, Ma?" tanyaku dengan menelengkan kepala.

"Nggak. Mama ... masih nggak nyangka aja. Minggu depan kamu udah nikah. Ya, ampun! Itu beres resepsi, kamu langsung diboyong ke Singapura atau mau bulan madu dulu?"

"Hm ... kayaknya sih, honeymoon dulu, Ma. Gabriel tuh, udah menyiapkan sesuatu yang entah apaan. Aku disuruh ngikut aja katanya. Semua udah diatur sama dia," jawabku, jadi agak sebal lagi.

Calon suamiku itu memang hobi memberikan kejutan. Bahkan, sesi honeymoon saja, ia yang curi start menyiapkannya. Padahal sebenarnya aku juga punya keinginan. Akan tetapi, Gabriel berjanji. Setelah rencananya sukses, aku akan diberikan kesempatan untuk mengatur honeymoon jilid dua yang rencananya akan dilaksanakan akhir tahun ini.

Tentu saja aku menurut. Mana bisa aku menolak saat ia menjanjikan akan mengambil cuti selama dua minggu dan mengajakku keliling Eropa? Tawaran yang sangat menggiurkan.

"Bagus, dong. Si Gabriel itu memang kelihatan cinta ... banget sama kamu. Padahal dulu nggak kelihatan deh perasaan. Adem-adem aja, gitu," ucap Mama hingga alisnya saling bertautan.

Aku terkekeh. "Gabriel itu diem-diem suka sama Amanda, Ma. Kayaknya dari lama, sih. Cuma baru berani nyatainnya setelah lulus kuliah. Gara-gara disuruh stay di Singapura sama Om Prabu."

Obrolan bersama Mama tanpa sadar membuat kedua sudut bibirku terangkat terus. Mengingat kenangan selama tujuh tahun bersahabat dengan lelaki yang sebentar lagi menjadi suamiku, selalu sukses bikin hati ini terharu. Siapa yang bisa menebak kalau pada akhirnya yang menjadi suamiku adalah sahabatku sendiri? Ah ... sepertinya anggapan itu memang benar. Tuhan, memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan.

"Oh ... begitu cerita detailnya. Tapi, Mama kagum sih, sama pengorbanan dia. Tiap minggu bolak-balik Bandung-Singapura demi menemui kamu. Pasti capek banget itu. Mana persiapan buka restorannya agak tersendat katanya, ya? Ibunya Gabriel sempat cerita waktu terakhir ketemu. Makanya rencana Gabriel yang pengin bantu-bantu menyiapkan pernikahan jadi gagal." Mama bercerita panjang dengan mata yang berbinar, lalu mulai meredup ketika tiba di ujung kalimat.

"Manda juga kagum, Ma. Makin sayang gitu sama laki-laki itu," ucapku seraya tertawa malu-malu. Mama jadi menyipitkan mata, setelah mendengar pengakuan jujur yang keluar spontan dari mulutku. Wanita cantik itu terlihat menghela napas, dan mengembuskannya perlahan. Menyandarkan tubuh berbalut daster motif bunga aster ke sandaran kursi, seraya menatap langit-langit.

"Mama kadang iri lihat kalian. Papa dulu kayaknya nggak semanis itu sama Mama," desahnya pelan.

"It's okay, Ma. Yang penting, Papa setia sampai sekarang. Daripada manis di awal, pahit di pertengahan hingga akhir, kan?" kataku bijak. Mama jadi menegakkan badan, sebelum tersenyum membalas ucapanku.

"Sejak kapan anak Mama jadi dewasa begini pemikirannya? Keren ...," pujinya dengan mengangkat ibu jari. Aku ikut tertawa, hingga suara Papa yang memanggilku terdengar.

Gabriel sudah datang. Aku menyesap sisa teh manis yang telah dingin, setelah berhasil menghabiskan sarapan. Lalu, dengan gerakan cepat aku bangkit dan menyambutnya di ambang pintu. Belakangan ini kemunculannya tidak pernah gagal membuat detak jantungku berpacu.

Ia segera melakukan kebiasaan manisnya. Mencium keningku sembari memberikan pelukan hangat, setelah satu minggu tak bertemu. Lelaki beraroma kekayuan yang mencandukan ini juga menyalami kedua orang tuaku. Tidak lupa membawakan sedikit buah tangan yang selalu berbeda setiap minggunya.

"Ini kamu baru sampe Bandung tadi malam, Gab?" tanya Mama prihatin.

Wajah tampan, tapi lelah itu mengangguk. "Iya, Tante."

Aku berdiri di samping Gabriel. Menggenggam tali tas model bucket bag berwarna pink pucat yang dibelikan Gabriel minggu lalu. Sementara sebelah tanganku memegang tote bag berisi satu pasang baju ganti beserta dalaman. Berjaga-jaga, jika udara panas Jakarta membuat tubuh ini mengeluarkan keringat yang berlebihan.

"Sini aku bawain tasnya," bisik Gabriel. Aku tersenyum, saat tanpa diminta ia mengambil alih barang bawanku.

"Waduh ... kamu baru sampai tadi malam, terus langsung ke Jakarta dan malam ini terbang lagi ke Singapura?" tanya Mama lagi, seraya menggelengkan kepala tidak percaya. Gabriel jadi meringis. Ia menyunggingkan senyum lebar sambil garuk-garuk kepala.

"Mau bagaimana lagi, Tante. Besok ada persiapan final, sebelum lusa grand opening. Jadi, Bang Adri minta Gabriel untuk pulang lagi malam ini. Supaya besok siang bisa ikut semua kegiatannya. Soalnya dia masih honeymoon, Tan. Baru balik besok sore," jelas Gabriel mengabarkan berita yang semakin membuat mamaku terkagum-kagum.

Aku juga begitu. Gabriel yang dulu dengan yang sekarang, jauh berbeda. Gabriel yang saat ini sedang berdiri sembari melingkarkan sebelah tangannya di pinggangku ini, sudah berubah menjadi Bapak Direktur Operasional dari Dimitri Group. Perusahaan yang berfokus di bidang kuliner, dan sudah memiliki dua cabang usaha selain Warung New Normal yang lebih booming di tengah masyarakat Indonesia, khususnya di kalangan anak-anak muda.

"Kamu jaga kesehatan, ya. Jangan sampai sakit. Sabtu depan kan, udah hari H, tuh."

"Iya, Tante. Gabriel rajin minum multivitamin sama olahraga, kok, setiap beres kerja."

"Bagus, deh. Hati-hati selalu, ya, calon menantu. Udah, kalian berangkat, gih. Takut macet jalanan. Kan hari Sabtu ini," anjur Mama, setelah sudah puas bertanya.

Beres berpamitan pada Mama dan Papa, kami berdua keluar rumah dan berjalan menuju mobil milik Gabriel. Terlihat seorang pria yang tampak sudah berusia lebih dari lima puluh tahun, duduk sigap di kursi pengemudi. Rupanya, hari ini Gabriel membawa supir. Wajar, sih. Pasti diam-diam ia kelelahan. Meskipun tidak pernah memperlihatkannya terang-terangan di depanku.

"Tidur, gih. Sini, nyender ke pundakku." Aku menyodorkan bahu padanya. Meski tidak selebar ukuran kepala Gabriel, aku tetap ingin membuat lelaki manis ini bisa beristirahat dengan nyaman.

Gabriel mengecup pipiku pelan, sebelum menumpukan kepalanya di bahuku. Tidak butuh lama, matanya terpejam. Sudut bibir penuhnya itu naik. Ia tersenyum begitu manis, seiring dengan tarikan napas yang semakin beraturan. Seharusnya aku merasa bahagia karena momen ini. Namun, entah mengapa hatiku malah terenyuh. Kubuang muka ke arah jendela. Berusaha menetralkan emosiku yang secara ajaib berubah drastis.

Ada apa denganku? Apa ini pengaruh mimpi burukku tadi malam?

Dengan tarikan napas yang sengaja dipanjangkan, akhirnya aku berhasil menurunkan kembali emosi yang hampir meluap. Sembari melihat wajahnya dari sudut mataku, aku berbisik dalam hati.

I love you, Gabriel. Sungguh. Aku cinta kamu. Terima kasih, sudah mencintaiku sebesar ini.

**

Pukul lima sore, aku dan Gabriel tiba di terminal dua Bandara Soekarno Hatta. Hampir dua jam kami tempuh untuk membelah kemacetan ibukota Jakarta, setelah mengikuti konseling pra-nikah di gereja, tempat akan dilaksanakan pemberkatan pernikahan hari Sabtu depan. Selama di perjalanan tadi, lelaki yang sekarang sedang mengantre untuk membeli minuman terus membahas materi konseling. Mulai dari cara mendidik anak, menjalin komunikasi di antara suami istri, cara menghadapi konflik hingga cara mengatur keuangan. Gabriel begitu serius menanggapinya, sementara aku masih santai-santai saja. Terkadang, sepaham apa pun kita kalau giliran dipraktekkan, pasti ada yang terlewat. Karena itu aku memilih untuk, let it flow saja, deh.

"Nih," ujar Gabriel menyodorkan sebuah teh kotak kemasan dingin rasa blackcurrant.

"Thanks," jawabku.

Kami berdiri di dekat pintu masuk terminal dua keberangkatan internasional sembari menikmati sore. Pesawat yang akan dinaiki Gabriel ternyata berangkat pukul 18.45 WIB. Masih ada waktu bagi kami untuk melepas rindu, sebelum ia kembali terbang ke Singapura.

"Kamu yakin nggak mau nginep aja di rumah? Aku takut kamu kecapekan, Sayang."

"Hah? Nggak, deh, Gab. Aku nggak begitu capek juga. Kan, Pak Sony yang nyetir, bukan aku. Jadi di jalan, tinggal tidur aja akunya," tolakku sekali lagi.

"Ya, udah. Nanti sampai rumah, langsung mandi terus tidur, ya," pintanya lembut. Aku mengangguk patuh, seraya melemparkan senyum sebelum mengecup pipinya. Tentu saja dengan berjinjit maksimal. Ia tertawa geli, ketika bibir mungilku menyentuh pipinya yang kasar.

"Nanti dicukur dong ini. Aku geli tahu," protesku sembari mengerucutkan bibir.

Tanganku mendarat di jambang tipisnya. Menggosoknya seperti Aladdin yang sedang menggosok lampu ajaib.

Ia terkekeh, kemudian mengangguk. "Oke. Pokoknya, Sabtu depan, aku akan tampil setampan mungkin. Okay?" janjinya.

"Oke. Janji, ya! Jangan telat lho nanti!"

Kucubit hidung mancung milik pria berkemeja cokelat muda yang sedang menatapku intens. Gabriel menarikku ke pelukan. Menghirup aroma rambutku yang untung saja sudah dicuci tadi pagi.

"Ah ... Amanda. Aku nggak sabar menikahi kamu," celetuknya mesra.

"Aku juga. Nggak sabar Sabtu depan. Eh, kamu masih main rahasiaan, nih, soal bulan madu kita," selidikku spontan. Ia mengendurkan pelukan, hingga bisa menatap mataku. Bibir penuhnya itu mengembang di kedua sudut, sebelum kepalanya menggeleng.

"Nope. Ra-ha-si-a. Kalau dikasih tahu sekarang, nggak seru dong. Sabar, Sayang. Tinggal tujuh hari lagi. Berarti ... sekitar seratus enam puluh enam jam lagi, sampai kita mengikat janji di depan altar. Ah ... I can't wait!" serunya begitu antusias. Ia mengeratkan pelukan, dan kedua tanganku pun melingkar sempurna di pinggangnya yang kokoh.

"Kamu nggak bisa berangkat besok pagi-pagi aja? Aku, kok, masih kangen banget sama kamu, ya? Aneh rasanya." Aku mendesah panjang setelah mengungkapkan isi kepala.

"Hm ... besok aku nggak boleh telat, Sayang. Kalau ada Bang Adri sih, mungkin aku bisa telat. Tapi, untuk besok aku nggak bisa telat. Kamu pasti nggak mau kan, kalau calon suamimu ini kena omel Bos Besar? Nanti jatah cuti honeymoon kita, dipotong pula."

"Hm ... iya juga. Ya, udah. Kamu mau masuk sekarang?"

Gabriel menilai raut wajahku, setelah melihat jam tangannya. "Hah ... iya, deh. Udah masuk waktu check-in. Sini, biar aku peluk sekali lagi."

Ia kembali mengeratkan lengan kokohnya yang menyelimuti tubuh kecilku. Aku pun melakukan yang sama. Mendekapnya erat, seperti tidak ada hari esok. Setelah hampir sepuluh menit, akhirnya tiba saatnya berpisah. Dengan berat hati, aku melepaskan tangan dan memperlebar jarak. Sekali lagi kutatap lekat wajah tampannya yang begitu berseri dan penuh kasih sayang.

"Well, sampai ketemu di depan altar, ya, Amandaku Sayang. Jaga kesehatanmu. Jangan begadang karena hal nggak penting. Pasti kamu tahu maksudku," ujarnya menasehati.

"Iya ... bawel. Nanti aku pamitan sama oppa-oppa ku, deh."

"Okay. Aku beneran masuk, nih, ya?" Gabriel terus bertanya. Mengulur waktu hingga sore berganti malam.

"Iya ... udah sana! Nanti ketinggalan pesawat, lagi. Aku sambil nelepon Pak Sony dulu, biar jemput ke sini."

Sementara aku meraih ponsel dari dalam tas, Gabriel mengeluarkan paspor dan lembaran tiket untuk diperlihatkan kepada petugas yang menunggu di pintu keberangkatan.

"Udah neleponnya?"

Aku mengangguk. "Udah. Otewe ke sini, kok. Kamu duluan masuk aja. Aku nggak apa-apa," kataku sembari mendorong pelan tubuhnya.

Sengaja aku paksa ia agar segera pergi. Sebab, kalau semakin lama aku semakin tidak rela melepasnya. Entahlah. Ini pasti hanya perasaanku saja. Kata Momon, makin dekat hari pernikahan, emosi kita pasti semakin labil. Mungkin ini yang sedang terjadi padaku sekarang.

"Sampai ketemu, Pendek. Aku pergi, ya. Jaga dirimu. I love you."

Gabriel mengecup sekilas bibir yang kupaksa tersenyum.

"I love you, too. Bye, Bau."

Tautan tangan terus melonggar, seiring melebarnya jarak di antara kami. Namun, tatapan aku dan Gabriel terus terarah pada bola mata masing-masing.

"Aku pamit, ya?"

Kali ini, ia benar-benar pergi. Aku melambaikan tangan ke arahnya sampai Gabriel masuk melewati pintu kaca yang terbuka. Saat sosoknya menghilang dari pandangan, pertahananku runtuh sudah. Aku menangis, tanpa suara. Menahan kesedihan yang entah mengapa, terasa berbeda.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro